Sebelum menjadi Gubernur Jakarta, Henk dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal. Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia ikut medirikan "Gelanggang". Henk juga pernah menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok 1955-1958.
Sebelum diangkat menjadi gubernur, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai deputi gubernur di bawah Soemarno.
Saat itu banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung.
Soekarno ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dan,
Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik. Salah satu pengalaman yang
barangkali menarik adalah tatkala presiden memanggilnya ke istana untuk
mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati perlu
dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas
dari perhatian Ngantung. Tapi semuanya tidak berhasil.
Pelukis, dan gubernur DKI Jakarta ini , bernama lengkap Hendrick Joel
Hermanus Ngantung. Lahir di Bogor, 1 Maret 1921 dan meninggal 12
Desember 1990. Ayah bundanya berasal dari Tomohon (Minahasa). Ia hanya
menamatkan SD Belanda, seterusnya tidak bercita-cita meneruskan sekolah
karena orangtuanya bukan berada. Yang dicita-citakannya hanya menjadi
pelukis, sesuai dengan bakatnya sejak SD dan mendapat dorongan dari E.
Katoppo, kepala SD itu. Gurunya itu pula yang menganjurkannya membuat
pameran gambar dan cat air saat usianya 15 tahun di Tomohon. Tahun 1937
pindah ke Jawa dan menetap di Bandung dan belajar secara serius dan
akademis dari Prof. Rudolf Wenghart, seorang pelukis potret terkenal
asal Wina (Austria).
Sejak itu ia berkenalan dengan Affandi dan tokoh seni lukis Indonesia lainnya yang tergabung dalam PERSAGI dan Keimin Bunka Shidoso.
Di awal tahun 1940-an, ia berkesempatan ikut pameran bersama di
Bataviasche Bond von Kunstkring, yang mendapat ulasan baik dari pers
Belanda. Dan semenjak itu, selalu menjadi peserta aktif dalam berbagai
pameran baik di masa pendudukan Jepang maupun masa Agresi Belanda. Baru
pada bulan Agustus 1948, di Hotel Des Indes, Jakarta, ia berkesempatan
mengadakan pameran tunggal. Setelah itu sejak Oktober 1948, mengembara
ke seluruh Indonesia untuk menyaksikan sendiri kehidupan bangsanya yang
sedang berevolusi. Dokumentasi sketsa-sketsa hitam putih yang dibuatnya,
kemudian dirangkum dalam buku Sketsa-Sketsa Henk Ngantung(Sinar Harapan, 1981).
Sejak 1957 ia duduk dalam berbagai Panitia maupun Lembaga Negara dan
juga mendapat kesempatan melawat ke berbagai negara di Eropa Barat
maupun Timur, lalu Asia, Afrika, Amerika Serikat maupun Amerika Selatan.
Sudah tentu juga pulau-pulau lain di luar Jawa. Di luar dugaan dia
diangkat menjadi Wakil Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1960-1964)
dan kemudian menjadi Gubernur DKI (1964-1965). Setelah menduduki
berbagai jabatan tersebut, ia kembali menjadi pelukis dan tinggal
Cawang, hingga akhir hayatnya.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung tidak sekadar tinggal dalam kemiskinan hingga harus
menjual rumah di pusat kota untuk pindah ke perkampungan. Derita Henk
Ngantung terus menerpa karena nyaris buta oleh serangan penyakit mata
dan dicap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia tanpa pernah
disidang, dipenjara, apalagi diadili hingga akhir hayatnya bulan
Desember 1991. Henk Ngantung hingga akhir hayatnya tinggal di rumah
kecil di gang sempit Cawang, Jakarta Timur.
Kesetiaan Henk melukis terus berlanjut meski dia digerogoti penyakit
jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya
berfungsi 30 persen. Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris
melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Sebulan sebelum
wafat, saat ia dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha Ciputra memberanikan diri mensponsori pameran pertama dan terakhir Henk.
No comments:
Post a Comment