Monday, January 12, 2015

Kisah anak yang ijual ke Cina

Sambil berjongkok di depan pintu rumah bambunya, nenek Khin Khin Oo, Ma Shan, menceritakan kisah bagaimana bocah berusia empat tahun itu dijual. Menurutnya, dia sangat miskin karena putranya ialah seorang pecandu heroin. Adapun penghasilan dari bertani jagung tidak seberapa.



Adapun putri Ma Shan juga tidak lebih baik. Dia kabur dengan lelaki lain dan meninggalkan kedua anaknya bersama sang nenek. Namun, suatu hari menantu Ma Shan, Soe Khine muncul guna mengunjungi kedua anaknya.
“Namun setelah empat hari berlalu dan mereka belum pulang, saya tahu ada sesuatu yang janggal."

Ma Shan berasumsi sesuatu hal yang buruk telah terjadi dan pergi dengan tetua desa untuk berbicara dengan beberapa teman Soe Khine. Mereka diberi tahu bahwa Soe Khin mengalami kesulitan finansial.

Satu tahun sudah berlalu sejak Khin Khin Oo dijual oleh ayahnya seharga 8.000 yuan atau Rp16,3 juta.

"Dia kehilangan semua uangnya bermain kartu," katanya sambil menggelengkan kepala.
Pada saat itu, mereka melibatkan polisi setempat. Polisi menemukan Soe Khine dan ia mengaku bahwa dengan bantuan seorang perempuan, ia menjual putrinya kepada seorang pedagang Cina.
Polisi mengikuti jejak tersebut ke kota perbatasan Cina, Ruili, di mana mereka diberi tahu Khin Khin Oo telah dijual lagi, sekarang dengan harga 12.000 yuan kepada sepasang suami-istri yang ingin mengadopsi anak.
Setelah seminggu bekerja sama dengan polisi Cina, Khin Khin Oo diselamatkan dan dikembalikan ke neneknya.
"Selama kepergiannya, saya bahkan tidak mau makan. Saya sangat khawatir," katanya.
Khin Khin Oo termasuk beruntung karena menerima perlakuan yang baik. Pasangan asal Cina itu pun tampaknya tidak menyadari bahwa Khin Khin Oo merupakan korban perdagangan anak.
Khin Khin Oo dikembalikan ke rumah neneknya di Hankan. Namun Ma Shan – yang mengkhawatiran keselamatan cucunya - kemudian mengirimkannya ke Cina lagi untuk tinggal bersama tantenya.

Perdagangan anak seperti yang dialami Khin Khin Oo nampaknya kasus yang jarang terjadi di Myanmar.
Namun daerah perbatasan negara tersebut dengan Cina dikenal untuk eksploitasi perempuan muda.
Kebijakan memiliki satu anak di Cina dan kecenderungan warganya untuk memilih memiliki anak lelaki berakibat kurangnya kaum perempuan dan istri di negara tersebut.
Prediksi menurut demografi menunjukkan bahwa pada 2020 mendatang akan terdapat sekitar 24 juta lelaki kekurangan perempuan untuk dinikahi.
Perdagangan yang terjadi di sekitaran perbatasan Myanmar sangat rumit, dan bahkan melibatkan keluarga si anak dalam transaksi tersebut.

Di meja di sebuah kamp pengungsi di Namkhan, tokoh masyarakat Myint Kyaw adalah membolak-balik foto-foto wanita yang hilang.

Kami menemui Myint Kyaw sedang merenungi foto-foto para wanita yang hilang. Myint Kyaw adalah seorang tokoh masyarakat setempat di kota Namkhan, dimana terdapat sebuah kamp pengungsi.

"Ini adalah empat gadis berusia antara 15 dan 18 tahu dari Kota Kutkai. Mereka pergi ke Cina untuk bekerja namun belum ada yang mendengar kabar dari mereka selama delapan bulan terkahir," katanya."Wanita ini berusia 26 tahun dan hilang juga. Kami sedang berusaha melacaknya melalui komunitas kami yang tinggal di Cina." Ia memperkirakan sekitar 10% dari perempuan setempat telah dijual atau diperdagangkan dalam berbagai cara. 

Lamo Bokdin adalah salah satu dari jumlah tersebut. Ketika ia menerima pekerjaan di sebuah restoran di kota perbatasan Ruili, ia berpikir dirinya adalah seorang karyawan biasa.
"Namun bos saya bilang saya tidak perlu bekerja di restoran lagi melainkan harus menikahi adiknya," katanya. Kesepakatan tersebut ternyata berharga 40.000 yuan atau Rp81,7 juta.
"Bila menolak, bos saya mengatakan akan menjual saya kepada orang lain.”

Lamo terpaksa pindah ke rumah suaminya di Beijing. Ia ditahan oleh suaminya dalam rumah tersebut selama tiga bulan. "Saya tidak diperbolehkan membuat panggilan telepon dan harus tinggal di dalam rumah. Suami saya mengatakan saya hanya boleh mengunjungi orang tua saya ketika kita memiliki bayi."

Setelah tiga bulan dikurung, Lamo menemukan cara untuk melarikan diri.
"Saya tinggal di bagian atas sebuah gedung, di lantai dua. Rumah tersebut memiliki jendela-jendala kecil yang ditutupi jaring – jadi saya memotong net itu dan melompat turun ke jalan,” jelasnya.

"Untungnya, orang-orang yang melihat saya lompat tidak perduli. Kemudian saya pergi ke stasiun kereta api di mana polisi membantu saya mendapatkan tiket untuk keluar dari Beijing."
Lamo sekarang bertempat tinggal di sebuah tenda, dimana ia tinggal bersama saudarinya. Ia menghasilkan uang dengan menenun rok tradisional.
Lamo adalah salah satu korban yang selamat dari perdagangan manusia yang sedang berkembang itu. (sumber: BBC Indonesia)

 

No comments:

Post a Comment