Ilustrasi Gambar |
Betawi Oktober 1893. Rakyat Betawi di seluruh kampung-kampung tengah berduka. Tersiar kabar dari mulut ke mulut Si Pitung
atau Bang Pitung meninggal dunia, setelah tertembak dalam pertarungan
tidak seimbang melaan penjajah kompeni atau tentara Belanda.
Kematian Si Pitung
merupakan duka mendalam. Karena ia membela rakyat kecil yang mengalami
penindasan pada masa penjajahan Belanda. Sebaliknya, bagi kompeni sebutan untuk pemerintah kolonial Belanda pada masa itu, dia dilukiskan sebagai penjahat, pengacau, perampok, 'ekstrimis' dan entah apa lagi.
Jagoan kelahiran Rawa Belong, Jakarta Barat, dan 'jagoan' ini dikenal sebagai jagoan yang telah membuat repot pemerintah kolonial di Batavia,
termasuk gubernur jenderal. Karena Bang Pitung merupakan potensi
ancaman keamanan dan ketertiban hingga berbagai macam strategi dilakukan
pemerintah Hindia Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati. Pokoknya
Pitung ditetapkan sebagai orang yang kudu dicari dengan status penjahat
kelas wahid di Betawi.
Bagaimana Belanda tidak gelisah, dalam melakukan aksinya membela
rakyat kecil Bang Pitung berdiri di barisan depan. Kala itu Belanda
memberlakukan kerja paksa terhadap pribumi termasuk “turun tikus”. Dalam
gerakan ini rakyat dikerahkan membasmi tikus di sawah-sawah disamping
belasan kerja paksa lainnya. Belum lagi blasting (pajak) yang sangat
memberatkan petani oleh para tuan tanah.
Si Pitung, yang sudah bertahun-tahun menjadi incaran Belanda, berdasarkan cerita rakyat,
mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh Schout van Hinne dalam
suatu penggerebekan karena ada yang mengkhianati dengan memberi tahu
tempat persembunyiannya. Ia ditembak dengan peluru emas oleh schout
(setara Kapolres) van Hinne karena dikabarkan kebal dengan peluru biasa.
Begitu takutnya penjajah
terhadap Bang Pitung, sampai tempat ia dimakamkan dirahasiakan. Takut
jago silat yang menjadi idola rakyat kecil ini akan menjadi pujaan.
Si Pitung, berdasarkan cerita rakyat
(folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil belajar
mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong. Dia, menurut
istilah Betawi, “orang yang denger kate”. Dia juga “terang hati”, cakep
menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca
(tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung
–seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga
guru tarekat dan ahli maen pukulan.
Suatu ketika di usia remaja sekitar 16-17 tahun, oleh ayahnya Pitung disuruh menjual kambing ke Pasar Tanah Abang, Jakarta
Pusat. Dari kediamannya di Rawa Belong dia membawa lima ekor kambing
naik gerobak. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, Pitung dibegal
oleh beberapa penjahat pasar. Mulai saat itu, dia tidak berani pulang
ke rumah. Dia tidur di langgar dan kadang-kadang di kediaman gurunya H
Naipan. Ini sesuai dengan tekadnya tidak akan pulang sebelum berhasil
menemukan hasil jualan kambing. Dia merasa bersalah kepada orangtuanya.
Dengan tekadnya itu, dia makin memperdalam ilmu maen pukulan dan ilmu
tarekat. Ilmu pukulannya bernama aliran syahbandar. Kemudian Pitung
melakukan meditasi alias tapa dengan tahapan berpuasa 40 hari. Kemudian
melakukan ngumbara atau perjalanan guna menguji ilmunya. Ngumbara
dilakukan ke tempat-tempat yang “menyeramkan” yang pasti akan berhadapan
dengan begal alias perampok.
Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari Bang Pitung disebut Rawa Rontek. Gabungan antara tarekat Islam
dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Bang Pitung dapat
menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak
melihat keberadaan Bang Pitung. Karena itu dia digambarkan seolah-olah
dapat menghilang. Menurut cerita
rakyat, dengan ilmu kesaktian rawa rontek-nya itu, Bang Pitung tidak
boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang
usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.
Si Pitung yang mendapat sebutan “Robinhood Betawi", sekalipun tidak sama dengan “Robinhood” si jago panah dari hutan
Sherwood, Inggris. Akan tetapi, setidaknya keduanya memiliki sifat yang
sama: Selalu ingin membantu rakyat tertindas. Meskipun dari hasil
rampokan terhadap kompeni dan para tuan tanah yang menindas rakyat
kecil.
Sejauh ini, tokoh legendaris Si Pitung dilukiskan sebagai pahlawan
yang gagah. Pemuda bertubuh kuat dan keren, sehingga menimbulkan rasa
sungkan setiap orang yang berhadapan dengannya. Dalam film Si Pitung
yang diperankan oleh Dicky Zulkarnaen, ia juga dilukiskan sebagai pemuda
yang gagah dan bertubuh kekar. Tapi, menurut Tanu Trh dalam “Intisari”
melukiskan berdasarkan penuturan ibunya dari cerita kakeknya, Pitung
tidak sebesar dan segagah itu. ”Perawakannya kecil. Tampang Si Pitung
sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti
jagoan. Kulit wajahnya kehitam-hitaman, dengan ciri yang khas sepasang
cambang panjang tipis, dengan ujung melingkar ke depan.”
Menurut Tanu Trh, ketika berkunjung ke rumah kakeknya berdasarkan
penuturan ibunya, Pitung pernah digerebek oleh schout van Hinne. Setelah
seluruh isi rumah diperiksa ternyata petinggi polisi Belanda ini tidak
menemukan Si Pitung. Setelah van Hinne pergi, barulah Si Pitung secara
tiba-tiba muncul setelah bersembunyi di dapur. Karena belasan kali
berhasil meloloskan diri dari incaran Belanda, tidak heran kalau Si
Pitung diyakini banyak orang memiliki ilmu menghilang. ”Yang pasti,”
kata ibu, seperti dituturkan Tanu Trh, ”dengan tubuhnya yang kecil
Pitung sangat pandai menyembunyikan diri dan bisa menyelinap di
sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang-orang lain.” Sedang kalau ia
dapat membuat dirinya tidak tampak di mata orang, ada yang meyakini
karena ia memiliki kesaksian “ilmu rontek”.
No comments:
Post a Comment