Percakapan antara Djadjang dan Mamad
Oleh Kwik Kian Gie
Sejak era reformasi perkembangan kehidupan tata negara kita
mengalami perubahan-perubahan yang cepat dan drastis. Dua sahabat
Djadjang (Dj) dan Mamad (M) yang sering mempunyai pendapat yang berbeda
berdiskusi tentang hal ini sebagai berikut.
M : Djang, sejak kita meninggalkan UUD 1945 yang asli, perkembangan ke arah demokrasi yang sejati mengalami percepatan luar biasa. Walaupun UUD hasil amandenem yang dinamakan UUD 2002 tetap mengatakan bahwa pemilihan pemimpin negara pada semua jenjang dilakukan secara demokratis, tidak dikatakan “secara langsung”, nyatanya gubernur, walikota dan bupati dipilih secara langsung. Tidak ada demokrasi yang sehebat seperti ini.
Ini adalah demokrasi yang tulen, yang sejati, yang vox populi vox dei. Eh…. baru dipraktekkan sekitar 9 tahun dikembalikan lagi pada Pilkada melalui DPRD. Yang mengembalikan ini kan merampok hak rakyat ?
Dj : Kalau pemilihan gubernur, walikota dan bupati melalui DPRD dikatakan merampok hak rakyat, sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2005 hak rakyat dari bangsa merdeka yang dinamakan RI dirampok oleh pemerintah dan DPR. Bukankah selama pemerintahan Bung Karno, Pak Harto, pak Habibie dan Gus Dur dari Presiden sampai Bupati dipilih oleh lembaga legislatif dari berbagai jenjang? Tidak oleh rakyat secara langsung. Ibu Megawati sendiri menjadi Wakil Presiden oleh MPR dan selanjutnya menjadi Presiden juga oleh MPR.
M : Memang, tetapi seperti halnya dengan semua bidang dalam kehidupan manusia kan ada kemajuan. Jadi demokrasi kita juga harus lebih maju. Maka semua pimpinan eksekutif pada semua jenjang harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Itu sudah tejadi selama sekitar 9 tahun. Mengapa sekarang diambil lagi ? Bukankah itu memang mayoritas di DPR merampok hak rakyat. Kalau tidak pernah diberlakukan pilkada secara langsung tidak apa-apa. Tetapi pernah dilakukan kok lantas diambil kembali.
Dj : Mungkin engkau lebih pandai menjelaskannya karena engkau orang sekolahan dengan gelar kesarjanaan tertinggi. Tetapi yang saya ketahui di lapangan berlainan. Pilkada langsung ternyata bukan kemajuan dalam memberikan hak-hak kepada rakyat dengan maksud supaya rakyat mensejahterakan dirinya sendiri, tetapi memajukan korupsi. Ini bukan pendapatku, tetapi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang berkali-kali menjelaskan bahwa hasil pilkada langsung antara lain yalah sekitar 330 kepala daerah masuk penjara. Mendagri juga pernah menjelaskan bahwa untuk bisa menjadi kepala daerah seseorang perlu mengeluarkan banyak, sampai puluhan milyar. Ini mempunyai banyak arti. Kalau kepala daerah mengeluarkan demikian banyaknya uang, dia harus mencari uang sejumlah itu plus jumlah yang sama selama 5 tahun dia menjabat. Jadi kalau dia mengeluarkan Rp. 20 milyar, selama dia menjabat dia harus mendapat penghasilan Rp. 40 milyar. Yang Rp. 20 milyar untuk mengembalikan modalnya, dan yang Rp. 20 milyar lainnya untuk pembiayaan supaya terpilih kembali.
Tapi yang saya dengar dari beberapa sahabat saya anggota DPR lebih gawat lagi. Kalau dalam pileg tahun 2009 dia mengeluarkan Rp. 300 juta untuk menjadi anggota DPR, di tahun 2014 ini dia harus mengeluarkan 10 kali lipat. Dia mengeluarkan Rp. 3 milyar. Jumlah ini adalah biaya yang rata-rata dikeluarkan oleh banyak anggota DPR.
M : Uang itu harus dibayarkan kepada siapa ?
Dj : Untuk rakyat yang memilihnya.
M : Kalau pilkada oleh DPRD kan rakyat memang lantas dirampok dari kemungkinan memperoleh uang untuk suaranya yang dijual ?
Dj : Memang, tapi kita bicara tentang perampokan hak pilih rakyat, bukan perampokan uang sogokan kepada rakyat supaya membeli suaranya.
M : Kalau kita tiadakan ekses bahwa rakyat menjual suaranya, hak rakyat untuk menentukan siapa yang dipilih untuk menjadi gubernur, walikota dan bupati kan memang hilang ?
Dj : Tidak hilang, tetapi haknya diwakilkan kepada para anggota DPR dan DPRD. Itu namanya Demokrasi Perwakilan.
M : Makanya, kadar demokrasinya kan lebih kecil dibandingkan dengan kalau rakyat memilih langsung ? Jadi memang benar dong bahwa kita mundur dalam berdemokrasi.
Dj : Kita memang mundur kalau rakyat mengenal atau mengetahui betul siapa, apa kemampuan dan apa rekam jejak dari yang dipilihnya. Rakyat kita kan tidak mengetahui siapa yang dipilih. Mereka berduyun-duyun datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) itu tidak untuk memilih, tetapi mencoblos gambar atau nama orang yang memberi uang kepadanya. Itu rakyat jelata. Kamu jujur sajalah Mad. Ketika kamu harus memilih anggota DPRD apa kamu mengetahui siapa yang kamu pilih, walaupun kamu tidak disogok ? Saya saja yang cukup banyak mengikuti perkembangan politik tidak mengenal para calon anggota DPRD. Maka yang saya pilih partainya.
Yang mengenal pilkada langsung itu hanya Amerika Serikat. Seluruh Eropa menerapkan Demokrasi Perwakilan. Rakyat memilih para anggota DPR. Selanjutnya para anggota DPR dan DPRD itulah yang memilih Perdana Menteri, para menteri, walikota dst. Apa kamu berani mengatakan bahwa semua negara di Eropa kalah kadar demokrasinya dibandingkan dengan Amerika ?
M : Kamu dasar bukan anak sekolahan si Djang. Di perguruan tinggi diajarkan teori Trias Politica yang digagas oleh filosof besar dalam bidang tata negara, yaitu Montesquieu. Tiga kekuasaan harus dipisahkan dengan tegas dan mutlak, yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Dj : Aku kebetulan sedang membaca bukunya Prof. AB Kusuma yang berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945”. Trias Poltica-nya Montesquieu dikemukakan dan dibela oleh anggota BPUPKI Maramis, yang langsung saja dijawab oleh anggota terkemuka Ir. Soekarno yang mengatakan : “Trias Politica sudah kadaluwarsa, kolot, tidak mencukupi, tidak bisa menjamin keadilan sosial.” Prof. Supomo segera mengatakan :”bahwa yang menjalankan Trias Politica hanya Amerika Serikat. Dalam praktek , badan yang membikin undang-undang diserahi juga pekerjaan pemerintahan, kehakiman juga diserahi pekerjaan pemerintahan dan pemerintah juga diberikekuasaanmembuat undang-undang.”
M : Lho, masa Bung Karno bersama-sama dengan pendiri bangsa kita sudah membahas demikian mendalamnya, dan putrinya sekarang menghendaki pilkada langsung ?
Dj : Mengapa tidak ? Kalau Bung Karno bisa mengatakan bahwa Trias Politica-nya Montesquieu kadaluwarsa, kolot dan tidak bisa menjsejahterakan rakyat, mengapa Megawati dan seluruh PDI-P tidak bisa mengatakan bahwa Bung Karno, Prof. Supomo dan para anggota BPUPKI yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia itu tidak kolot, tidak kuno ? Kan sudah sekian lamanya. Lagi pula, kecuali PDI-P mempunyai filosof tata negara besar Jakob Tobing, kita juga didampingi oleh para pakar dari National Democratic Institue dari Amerika Serikat.
M : Djang, sejak kita meninggalkan UUD 1945 yang asli, perkembangan ke arah demokrasi yang sejati mengalami percepatan luar biasa. Walaupun UUD hasil amandenem yang dinamakan UUD 2002 tetap mengatakan bahwa pemilihan pemimpin negara pada semua jenjang dilakukan secara demokratis, tidak dikatakan “secara langsung”, nyatanya gubernur, walikota dan bupati dipilih secara langsung. Tidak ada demokrasi yang sehebat seperti ini.
Ini adalah demokrasi yang tulen, yang sejati, yang vox populi vox dei. Eh…. baru dipraktekkan sekitar 9 tahun dikembalikan lagi pada Pilkada melalui DPRD. Yang mengembalikan ini kan merampok hak rakyat ?
Dj : Kalau pemilihan gubernur, walikota dan bupati melalui DPRD dikatakan merampok hak rakyat, sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2005 hak rakyat dari bangsa merdeka yang dinamakan RI dirampok oleh pemerintah dan DPR. Bukankah selama pemerintahan Bung Karno, Pak Harto, pak Habibie dan Gus Dur dari Presiden sampai Bupati dipilih oleh lembaga legislatif dari berbagai jenjang? Tidak oleh rakyat secara langsung. Ibu Megawati sendiri menjadi Wakil Presiden oleh MPR dan selanjutnya menjadi Presiden juga oleh MPR.
M : Memang, tetapi seperti halnya dengan semua bidang dalam kehidupan manusia kan ada kemajuan. Jadi demokrasi kita juga harus lebih maju. Maka semua pimpinan eksekutif pada semua jenjang harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Itu sudah tejadi selama sekitar 9 tahun. Mengapa sekarang diambil lagi ? Bukankah itu memang mayoritas di DPR merampok hak rakyat. Kalau tidak pernah diberlakukan pilkada secara langsung tidak apa-apa. Tetapi pernah dilakukan kok lantas diambil kembali.
Dj : Mungkin engkau lebih pandai menjelaskannya karena engkau orang sekolahan dengan gelar kesarjanaan tertinggi. Tetapi yang saya ketahui di lapangan berlainan. Pilkada langsung ternyata bukan kemajuan dalam memberikan hak-hak kepada rakyat dengan maksud supaya rakyat mensejahterakan dirinya sendiri, tetapi memajukan korupsi. Ini bukan pendapatku, tetapi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang berkali-kali menjelaskan bahwa hasil pilkada langsung antara lain yalah sekitar 330 kepala daerah masuk penjara. Mendagri juga pernah menjelaskan bahwa untuk bisa menjadi kepala daerah seseorang perlu mengeluarkan banyak, sampai puluhan milyar. Ini mempunyai banyak arti. Kalau kepala daerah mengeluarkan demikian banyaknya uang, dia harus mencari uang sejumlah itu plus jumlah yang sama selama 5 tahun dia menjabat. Jadi kalau dia mengeluarkan Rp. 20 milyar, selama dia menjabat dia harus mendapat penghasilan Rp. 40 milyar. Yang Rp. 20 milyar untuk mengembalikan modalnya, dan yang Rp. 20 milyar lainnya untuk pembiayaan supaya terpilih kembali.
Tapi yang saya dengar dari beberapa sahabat saya anggota DPR lebih gawat lagi. Kalau dalam pileg tahun 2009 dia mengeluarkan Rp. 300 juta untuk menjadi anggota DPR, di tahun 2014 ini dia harus mengeluarkan 10 kali lipat. Dia mengeluarkan Rp. 3 milyar. Jumlah ini adalah biaya yang rata-rata dikeluarkan oleh banyak anggota DPR.
M : Uang itu harus dibayarkan kepada siapa ?
Dj : Untuk rakyat yang memilihnya.
M : Kalau pilkada oleh DPRD kan rakyat memang lantas dirampok dari kemungkinan memperoleh uang untuk suaranya yang dijual ?
Dj : Memang, tapi kita bicara tentang perampokan hak pilih rakyat, bukan perampokan uang sogokan kepada rakyat supaya membeli suaranya.
M : Kalau kita tiadakan ekses bahwa rakyat menjual suaranya, hak rakyat untuk menentukan siapa yang dipilih untuk menjadi gubernur, walikota dan bupati kan memang hilang ?
Dj : Tidak hilang, tetapi haknya diwakilkan kepada para anggota DPR dan DPRD. Itu namanya Demokrasi Perwakilan.
M : Makanya, kadar demokrasinya kan lebih kecil dibandingkan dengan kalau rakyat memilih langsung ? Jadi memang benar dong bahwa kita mundur dalam berdemokrasi.
Dj : Kita memang mundur kalau rakyat mengenal atau mengetahui betul siapa, apa kemampuan dan apa rekam jejak dari yang dipilihnya. Rakyat kita kan tidak mengetahui siapa yang dipilih. Mereka berduyun-duyun datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) itu tidak untuk memilih, tetapi mencoblos gambar atau nama orang yang memberi uang kepadanya. Itu rakyat jelata. Kamu jujur sajalah Mad. Ketika kamu harus memilih anggota DPRD apa kamu mengetahui siapa yang kamu pilih, walaupun kamu tidak disogok ? Saya saja yang cukup banyak mengikuti perkembangan politik tidak mengenal para calon anggota DPRD. Maka yang saya pilih partainya.
Yang mengenal pilkada langsung itu hanya Amerika Serikat. Seluruh Eropa menerapkan Demokrasi Perwakilan. Rakyat memilih para anggota DPR. Selanjutnya para anggota DPR dan DPRD itulah yang memilih Perdana Menteri, para menteri, walikota dst. Apa kamu berani mengatakan bahwa semua negara di Eropa kalah kadar demokrasinya dibandingkan dengan Amerika ?
M : Kamu dasar bukan anak sekolahan si Djang. Di perguruan tinggi diajarkan teori Trias Politica yang digagas oleh filosof besar dalam bidang tata negara, yaitu Montesquieu. Tiga kekuasaan harus dipisahkan dengan tegas dan mutlak, yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Dj : Aku kebetulan sedang membaca bukunya Prof. AB Kusuma yang berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945”. Trias Poltica-nya Montesquieu dikemukakan dan dibela oleh anggota BPUPKI Maramis, yang langsung saja dijawab oleh anggota terkemuka Ir. Soekarno yang mengatakan : “Trias Politica sudah kadaluwarsa, kolot, tidak mencukupi, tidak bisa menjamin keadilan sosial.” Prof. Supomo segera mengatakan :”bahwa yang menjalankan Trias Politica hanya Amerika Serikat. Dalam praktek , badan yang membikin undang-undang diserahi juga pekerjaan pemerintahan, kehakiman juga diserahi pekerjaan pemerintahan dan pemerintah juga diberikekuasaanmembuat undang-undang.”
M : Lho, masa Bung Karno bersama-sama dengan pendiri bangsa kita sudah membahas demikian mendalamnya, dan putrinya sekarang menghendaki pilkada langsung ?
Dj : Mengapa tidak ? Kalau Bung Karno bisa mengatakan bahwa Trias Politica-nya Montesquieu kadaluwarsa, kolot dan tidak bisa menjsejahterakan rakyat, mengapa Megawati dan seluruh PDI-P tidak bisa mengatakan bahwa Bung Karno, Prof. Supomo dan para anggota BPUPKI yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia itu tidak kolot, tidak kuno ? Kan sudah sekian lamanya. Lagi pula, kecuali PDI-P mempunyai filosof tata negara besar Jakob Tobing, kita juga didampingi oleh para pakar dari National Democratic Institue dari Amerika Serikat.
No comments:
Post a Comment