Saturday, February 14, 2015

Anatomi Cinta Pertama: Sembilan Ciuman

Aku sedang duduk dikantin sekolah, makan siang bersama dua orang temanku, Amanda dan Rachel, saat seorang pemuda yang sangat imut, yang belum pernah kulihat, lewat. “Amanda!” panggilnya, hanya untuk mendapat perhatiannya. Kami semua menoleh dan Amanda melambai, lalu, seolah pemuda itu orang biasa, Amanda mengalihkan kembali perhatiannya pada obrolan kami bertiga, “Wah!” bisikku supaya hanya Amanda dan Rachel yang mendengar. “Dia imut sekali. Siapa dia?”
“Paul Turkell”, kata Amanda, menambahkan, “anak kelas Sembilan”.
Sekolah kami berbentuk huruf H, seperti Herbert Hoover, presiden ke-34. Kelas enam sampai Sembilan bertempat di sekolah kami dan setiap kelas memiliki ruang di bagian H yang berbeda. Jadi, kamu jarang beremu anak dari kelas lain. Meskipun kantin terletak di tengah gedung dan semua anak makan di tempat yang sama, sebagian besar makan siang pada waktu yang berbeda-beda, jadi kami juga biasanya tidak bertemu anak-anak dari kelas lain. Mungkin karena itulah aku belum pernah melihat Paul Turkell. Dia anak kelas Sembilan, sedangkan aku baru kelas tujuh.
Saat itu sudah tanggal 15 April, dan selama sisa tahun ajaran, aku melihat Paul Turkell yang kelas Sembilan itu hanya enam kali lagi: Tanggal 24, 26 April, tanggal 7, 16, 26 Mei, dan tanggal 2 Juni (hari terakhir sekolah). Pada waktu-waktu itu, aku dan Paul saling melambaikan tangan. Sejauh itulah pertemanan kami sampai liburan musim panas. Lalu, kami kebetulan bertemu empat kali di Walgreen’s. setiap kali bertemu, kamu berdua sedang bersama ibu masing-masing. Saat bertemu, kami berdiri bersama dan membicarakan masalah sekolah dan teman-teman sampai ibu kami siap meninggalkan toko. Pada akhir musim panas, kami bertukar nomor telepon. Pada saat itulah kami mulai saling menelepon hanya untuk mengobrol, bercerita dan melewatkan waktu liburan musim panas. Aku belum pernah punya teman lelaki, dan sungguh menyenangkan rasanya ada lelaki menjadi teman sebaik ini.
Saat tahun ajaran berikutnya dimulai, Paul James Turkell kini duduk di kelas sophomore dan bersekolah di SMU, yang berada di bagian kota lain. Jadi, selama tiga bulan pertama sekolah, aku tak pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, hampir setiap malam Paul meneleponku atau aku menelepon dia. Kami mengobrolkan hari kami dan hal-hal umum lainnya---seperti saat anjingnya harus menginap di rumah sakit hewan karena memakan kabel listrik saat menggali di pekarangan, atau kejadian heboh di rumahku saat kakakku yang berusia 19 tahun menindik hidungnya.
Tak lama kemudian, aku dan Paul tak hanya membicarakan apa yang terjadi di sekolah, tetapi apa yang terjadi dalam kehidupan keluarga. Lalu, kami mulai berbagi sebagian rahasia kami yang paling dijaga---misalnya betapa dia menyukai gadis tertentu di sekolah (meskipun gadis itu tidak menyukainya) dan betapa aku tak sabar ingin punya pacar.
Kami bahkan membicarakan berapa banyak anak yang ingin kami punya masing-masing saat kami sudah dewasa dan menikah. Lalu, tepat pada awal semester Sembilan minggu kedua, aku dan Paul mendapati bahwa minat kami banyak yang sama. Kami berdua suka menyanyi, dan kami berdua pernah les dansa dua tahun, jadi kami tahu langkah-langkah  untuk hampir setiap jenis dansa. Jadi, kami memutuskan mengikuti edisi teater masyarakat setempat untuk Frease, produksi yang beriklan membutuhkan remaja yang dapat bernyanyi dan berdansa untuk membintangi musim drama yang akan datang. Tentu saja, ini berarti aku dan Paul harus mempraktikan langkah-langkah dansa---bersama. Jadi, selama dua minggu kami beremu di teater setempat. Di sana staf produksi menyisihkan satu ruang latihan untuk orang-orang yang berniat mencoba ikut drama.
Semakin sering aku dan Paul berlatih, semakin aku mulai punya perasaan untuknya---sebagai pacar. Akan tetapi, aku tak yakin apakah aku harus mengatakan hal ini kepadanya. Dari sebagian obrolan kami, aku punya perasaan bahwa, selain Natali Parker (gadis sekelas yang dia sukai), dia juga menyukai sahabatku, Amanda---meskipun aku tidak tahu persis sesuka apa. Dan meskipun Amanda berperilaku seolah dia tak punya waktu untuk Paul, aku tahu dia menyukai karena dia selalu saja membicarakannya. Lalu, pada suatu sore, saat aku dan Paul sedang latihan, dia berkata: “Aku suka padamu”.
Aku sungguh terkejut. Sekaran aku benar-benar ingin dia jadi pacarku. Jadi, aku berkata aku juga menyukainya. “Aku tahu”, katanya. Hanya itu yang dia katakana. Tetapi perkataannya mengubah segalanya!
Jadi, teman cowokku yang pertama menjadi pacarku yang pertama. Rasanya seperti berada di puncak dunia. Aku bersekolah keesokan harinya dalam suasana hati terbaik dalam hidupku. Keadaan lebih membaik lagi saat, dua hari kemudian, Paul meneleponku dan mengajakku ke pesta dansa kelas sophomore. Dia berkata aku harus berdansa hanya dengannya, tak boleh dengan orang lain. Aku begitu yakin dia akan menjadi satu-satunya pemuda yang ingin kuajak berdansa. Selama sisa hdiupku. Selama sepanjang sejarah manusia. Selamanya. Dan selamanya.
Dan memang aku berdansa hanya dengannya. Dan rasanya luar biasa, “sesuatu” lagi yang belum pernah kualami. Lalu, pada dansa ketiga, Paul mendekapku dan menyanyikan seluruh lagi itu untukku. Luar biasa. Pada saat itu juga aku tahu pasti aku sangat mencintainya. Dan aku yakin dia merasakan hal yang sama, karena dia dan aku berdansa pada setiap lagu di acara itu, dan pada setiap lagu lambat, dia mendekapku semakin erat. Pada akhirnya, tak ada jarak antara kami sama seklai. Pada lagu terakhir, “End of the Road”. Aku memandang matanya dan mengatakan aku akan mencintainya selamanya. Pada perjalanan pulang, Paul merangkulku dan menggenggam tanganku. Selagi kami mengucapkan selamat malam dengan sedih, dia mencium pipiku dan memelukku.
Enam hari kemudian, Paul memintaku menemaninya sekolah, sambil upah di tempat dia bekerja paro-waktu. Sepanjang jalan ke sana dan kembali, kami bergandengan tangan. Pada perjalanan kembali, dia merangkulku sepanjang waktu. Dan saat mengantarku ke rumah, dia menggosokkan pipinya pada dahiku, lalu mencium dahiku Sembilan kali. Sembilan kali! Teman-temanku, Amanda dan Rachel, dua-duanya pernah dicium. Rachel dua kali oleh Ben Henry. Amanda juga sudah sering dicium---enam kali---sekali oleh Raymond Lux, sekali oleh Clay Lloyd, dan empat kali oleh Joey Edwards. Tetapi, aku sudah dicium Sembilan kali. Sembilan! Dan Sembilan-sembilannya oleh Paul james Turkell, cinta sejatiku!
Lalu, baru saja dua minggu, hari setelah ulang tahunku tepatnya. Paul berkata dia pikir kami sebaiknya “berteman saja’. Itulah. Hanya begitu. Bukan pacarku, hanya kembali menjadi “temanku”.
Aku menangis sampai tertidur malam itu. dan setiap malam selama dua minggu. Akan tetapi, kemudian rasanya tak begitu buruk, jadi kurasa aku sudah berhasil berhenti mencintainya. Lalu, dua minggu dan satu hari kemudian, aku sedang menghadiri pesta di tempat temannya. Paul ada di sana bersama seorang gadis dari sekolahku, Krissy. Mereka berdua mulai berciuman dan aku mulai menangis, karena aku tahu aku tak akan pernah melakukan itu lagi bersama Paul. Saat melihatku menangis, Paul menghampiri dan bertanya ada apa. Meskipun aku tidak mengungkapkan perasaanku, senang rasanya dia peduli. Pada saat itu, aku tidak tahu mana yang lebih kurindukan, persahabatan sebelum kami mulai pacaran, atau pacaran dengannya. Aku akhirnya tau apa rasanya punya pacar. “Kita dansa yuk”. Katanya, lalu kami berdansa selama dua lagu lambat---dengan cara yang sama seperti di pesta dansa kelas sophomore. Aku jatuh cinta sekali lagi dan kuberitahukan. “ Kau teman yang baik” katanya menjawab.Selagi di pesta, dia bertemu seorang gadis bernama Liz, dan mereka berdua jatuh cinta. dan sebelum pesta itu usai, gadis itu sudah mengenakan gelang Paul. Itu berarti mereka benar-benar jatuh cinta. jadi, sekarang aku harus memulai lagi seluru proses merasa sakti hati, supaya bisa kembali berteman saja.
Setelah pesta itu, aku dan Paul tidak bertegus sapa selama hampir dua minggu. Akan tetapi, dia lalu menelepon dan berkata, “ Kita berteman lagi yuk, supaya kita bisa mengobrol lagi”. Aku memikirkan betapa enak rasanya mengobrol dengannya. Kuputuskan, berteman dengan Paul itu lebih baik daripada tak bisa mengobrol dengan seseorang tentang segala hal yang bisa kami obrolkan. Jadi, sekarang aku dan Paul kembali saling menelepon setiap malam.
Aku tahu dia tak akan pernah menjadi pacarku lagi, karena dia bilang sebaiknya pacaran dengan gadis yang setidaknya seusia dengannya. Jadi, begitulah. Akan tetapi. Kuputuskan itu tak apa-apa. Ini mirip dengan tidak terpilih memerankan Grease---mengecewakan, akan tetapi latihan dan antisipasinya sangat menyenangkan. Lagi pula, Paul memang teman yang baik, teman yang bisa kuajak bicara tentang hampir segala hal. Dan aku benar-benar mencintainya sebagai teman. Akan tetapi, aku akan selalu ingat bahwa dia adalah pacar pertamaku, dan segala hal yang kurasakan berkat dia. Terutama kesembilan ciuman itu. sebagai pacar pertama, kurasa itu rekor yang  baik!


No comments:

Post a Comment