Saturday, November 8, 2014

Murtado, Macan Kemayoran

Duet Macan Kemayoran dan Singa KarawangFoto itu menempel sendirian di dinding bercat kuning. Lusuh sudah kecoklatan. Bergambar lelaki kurus keriput, berpeci hitam dengan mata melotot. Seolah menatap saban tamu berkunjung ke rumahnya.

Dia mengenakan jas putih membungkus kemeja hitam, serupa pakaian khas suku Betawi. Tidak banyak yang mengenal siapa lelaki dalam foto itu. Namun empunya rumah mengaku pria dalam bingkai berukuran 30R ini ialah Murtado bergelar Macan Kemayoran. Seorang jawara kisahnya melegenda hingga saat ini.

"Itu ayah saya, Murtado Macan Kemayoran," kata Muhammad Ikhwan, putra dari Siti, istri ke-15 Macan Kemayoran, saat ditemui Jumat pekan lalu di kediamannya, Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat. Ikhwan lebih tersohor dengan sebutan Iwan Cepi Murtado. Dia mantan prajurit dari kesatuan Banteng Raiders.

Jejak Macan Kemayoran selama ini memang menjadi legenda rakyat. Kisah heroiknya di zaman penjajahan Belanda membuat nama Murtado mencorong. Bahkan saking terkenalnya, nama Macan Kemayoran digunakan untuk julukan Persatuan Sepak Bola Jakarta (Persija).

Murtado lahir di Kemayoran pada 1869 dan meninggal saat ulang tahun kemerdekaan ke-14 di Kebon Sirih, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ayahnya, mantan lurah bernama Murtado Sanim, dan ibunya adalah Aminah.

Umumnya anak Betawi zaman dulu, sejak kecil Murtado dikenal rajin mengaji dan belajar ilmu agama. Dia berani dan jago bela diri. Murtado dikenal jago toya, senjata biasa dipakai dalam kungfu china.

Gurunya banyak. Namun Iwan Cepi Murtado cuma ingat dua nama guru ayahnya: Kong Bek Guru di Sandang, Kemayoran, Jakarta Pusat, dan Guru Sandang asal Condet, Jakarta Timur. "Saya sempat menemui Guru Sandang sebelum ayah saya meninggal," ujar Iwan Cepi Murtado.

Guru Sandang hidup hingga lebih dari seabad. Dia sempat menemani Murtado dua pekan sebelum Macan Kemayoran dipanggil Sang Khalik. "Ada ilmu harus diambil, saya nggak tahu ilmu apa," tuturnya.

Cerita legendaris tentang Murtado memang betul adanya. Namun ada sedikit kisah berbeda dari Iwan Cepi Murtado. Saat Murtado berusia 20 tahun, dia berkelahi dengan Bek Lihun, orang kepercayaan Belanda untuk menagih pajak di Kemayoran. Dulu pajak dikenal sebagai upeti, sedangkan Bek adalah kepala kampung. Nama asli Bek Lihun ialah Solihun.

Bek Lihun terkenal kejam. Meski orang asli Betawi Kemayoran, namanya kesohor sebagai jawara paling ditakuti saat itu. Jawara se-Jakarta kala itu tidak bisa menumbangkan dia. Bek Lihun makin liar, dia dikenal tukang peras di tanah kelahirannya. Jika penduduk menolak kasih upeti, Bek Lihun tak segan menguras harta mereka. Bahkan, anak gadis juga bakal disita demi menakuti warga.

Nasib berkata lain ketika Bek Lihun menggoda dan hendak memerkosa kembang desa. Murtado turun tangan, dia berkelahi dengan Bek Lihun. Sejurus dua jurus, Bek Lihun jatuh, dia terbirit-birit meninggalkan Murtado.

Sejak saat itu Belanda mengganti Bek Lihun ke Murtado. Dia dipercaya menagih pajak hasil bumi di Kemayoran. Murtado malah berkhianat. Dia mengambil upeti itu untuk dibagikan kepada warga Kemayoran.

Murtado dikenal jago main pukul. Perawakannya jauh dari kesan jawara. Badannya kecil dan wajahnya mirip orang Tionghoa. Bermata sipit dan kerap berpeci hitam saban berpergian. Karena dekat dengan jago kungfu China, dia diwarisi seni beladiri. Murtado lihai menggunakan toya.

Toya merupakan senjata dalam seni bela diri berupa tongkat panjang. Murtado sering menggunakan toya dalam berkelahi. Toya ini pula mengantarkan Murtado mengalahkan Mandor Bacan dan Bek Lihun. Kisah ini diceritakan ulang oleh sepupu Macan Kemayoran, Ainan alias Mandor Tinggal, kepada Iwan Cepi Murtado.

Begini jalan ceritanya. Murtado ketika itu baru berumur seperempat abad geram atas kelakuan Mandor Bacan, tangan kanan Bek Lihun. Sebab, kerjanya memeras warga Kemayoran saat meminta upeti. Orang susah pun hartanya disikat.

"Bang inikan orang susah, kalo nggak ada jangan dipaksain," kata Iwan Cepi Murtado menirukan omongan Mandor Tinggal. Bacan tidak terima. Dia lantas menggertak Macan Kemayoran.
"Lu anak-anak mau macem-macem."

Murtado tidak takut. Dia membalas ancaman Mandor Bacan dengan nasihat agar tidak mengambil barang tetangganya. Karena sudah kesal, Mandor Bacan kalap dan mencoba memukul. Murtado berhasil menghindar dan langsung menyerang balik. Pukulannya membuat Mandor Bacan terjengkang. Dia lari terbirit-birit meninggalkan Murtado dan melapor ke Bek Lihun.

Mendengar anak buahnya diusik, Bek Lihun datang dengan para jago silat mencari Murtado. Orang-orang suruhan itu juga takluk. Murtado akhirnya berduel dengan Bek Lihun buat menolong kembang desa ingin dinikahi paksa oleh Bek Lihun.

Bek Lihun kalah dan kabur. Sejak saat itu Bek Lihun tidak berani datang ke Kemayoran. Belanda mendengar kabar mengejutkan itu. Mereka lantas mengangkat Murtado sebagai penagih upeti menggantikan Bek Lihun.

Belanda memberi dia tempat tinggal di tengah Kampung Kemayoran. Letaknya kini di samping Markas Kepolisian Sektor Kemayoran. Di sana sekarang berdiri rumah makan.

Berbeda dengan Bek Lihun, sejak menjadi mandor, Murtado justru membantu warga Kemayoran. Saban hari Murtado ditunggu warga untuk meminta bahan makanan. Dia mencuri isi gudang beras dia jaga untu dibagikan kepada orang miskin.

Saban berpatroli keliling kampung, warga selalu menunggu Murtado untuk meminta bantuan. Kemayoran dulunya penghasil beras, kelapa, dan pisang. Wilayahnya membentang hingga Senen. Karena ringan tangan, para jawara pernah kalah melawan Bek Lihun menobatkan Murtado menjadi Macan Kemayoran.

"Nah cuma pemuda Murtado mampu jatuhin sang jawara Bek lihun," ujar Iwan Cepi Murtado. Tiga orang tewas dalam perkelahian ditonton warga Kemayoran itu.

Sebagai mandor, Murtado diberi tempat tinggal oleh Belanda di tengah Kampung Kemayoran. Letaknya kini di samping Markas Kepolisian Sektor Kemayoran. Di sana sekarang berdiri rumah makan.

Sehabis mengalahkan Bek Lihun, Murtado diangkat sebagai mandor oleh Belanda. Namun, sikapnya tak pernah mencerminkan bagian dari penjajah. Selain tidak pernah kejam menarik pajak dari warga Kemayoran kala itu, Macan Kemayoran, julukannya, malah mendukung para pejuang kemerdekaan dalam mendistribusikan senjata.

Muhamad Ikhwani biasa dikenal Iwan Cepi Murtado mengatakan bapaknya sering mencuri gudang padi dan kelapa untuk dibagikan percuma kepada masyarakat di Kemayoran. Para mandor biasa bengis saat menagih upeti, Murtado sebaliknya. Dia melonggarkan pungutan buat pedagang dan petani.

Setiap pagi sama sore warga selalu menunggu babeh lewat karena biasanya pasti bagi-bagi apa saja, Kata Iwan saat ditemui merdeka.com Jumat pekan lalu di rumahnya, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Menurut Iwan sekitar akhir 1800 hingga 1900-an, Kemayoran masih banyak tumbuh kebun kelapa, sawah, hutan belantara dan sisanya rawa hingga ke laut Ancol sekarang ini. Hasil tanaman dan padi ikut melimpah. Semua diwajibkan memberikan pajak kepada Belanda, ujar Iwan.

Murtado memang tak pernah bertempur dengan penjajah secara langsung. Mendiang bapaknya mempunyai jaringan pengiriman senjata api hingga Bekasi. Macan Kemayoran memegang kunci gudang senjata dan makanan di Kemayoran itu sering mencuri untuk dikirim kepada para pejuang hingga Bekasi.

Dari penuturan mendiang Muhamad Sidiq, kakak kandung Iwan, bapaknya pernah mengirim beras dan senjata kepada pemimpin pejuang wilayah Bekasi, Kiai Haji Noer Alie. Dulu Sidiq pernah ikut membawa karung beras berisi senjata api bersama ayahnya menyusuri sungai sampai Bekasi.

Dari Kemayoran menyusuri sungai dua hari dua malam. Puluhan pasukan Belanda menghadang di sekitar Pulogadung. Murtado nekat menerobos dengan mengaku sebagai suruhan pihak penjajah untuk mengirim beras. Jadi Babeh bawa surat sambil ngomong spereken (Bahasa Belanda) ke pasukan Belanda dan lolos juga, tutur Iwan.

Murtado disebut dekat dengan Singa Kerawang, sebutan bagi Kiai Haji Noer Alie, pejuang asal Bekasi, Jawa Barat. Macan Kemayoran menganggap Singa Karawang sebagai sahabat sekaligus guru.

Jago Silat Rajin Sholat
Namanya kini menjadi ikon Kemayoran, Jakarta Pusat. Bahkan, sebuah organisasi kemasyarakatan di daerah itu menggunakan namanya, yakni Lembaga Macan Kemayoran (LMK). Letaknya di perempatan menuju Sunter dari arah Jalan Haji Ung, nama kakeknya mendiang Benyamin Sueb.

Putra Macan Kemayoran, Iwan Cepi Murtado, menjadi penasihat di LMK. Lembaga ini berupaya melestarikan budaya Kemayoran agar tidak hilang ditelan zaman. Murtado si Macan Kemayoran memang tersohor, namun tak banyak orang mengenal siapa dia sejatinya.

Murtado kian tersohor sehabis menaklukkan jawara paling ditakuti, Mandor Bacan dan Bek Lihun. Meski begitu, dia tidak pernah menantang orang berkelahi. Ibarat pepatah Betawi: elu jual gue beli. Dia enggan memamerkan kelihaiannya bermain silat. Seni bela diri dari beberapa guru itu dia simpan untuk menjaga diri. Agama menjadi penyeimbang agar dia tetap pada jalan lurus memanfaatkan ilmunya.

"Murtado sebenarnya bukan jawara, dia bukan simbol jagoan. Ayah saya orang tekun agama," kata Iwan Cepi Murtado anak dari Siti, istri ke-15 Macan Kemayoran, saat ditemui Jumat pekan lalu di kediamannya, Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Murtado diketahui memiliki 15 istri. Keturunannya ada banyak tapi jumlahnya simpang siur. Saat ini hanya Iwan Cepi Murtado tersisa. Catatan istri pertama hingga sebelas tak tertulis dan diingat jelas. Istri ke-12 bernama Mak Na asal Rawamangun, Jakarta Timur. Berikutnya Mak Sarah dari Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat. Lalu Mak Nok, orang Gagang Keran, Kemayoran.

"Ibu saya istri terakhir, dia ke-15," ujarnya. Dari Siti, Macan Kemayoran memiliki tiga putra: Muhammad Zakaria, Sidiq, dan Muhammad Ikhwani. Ikhwani dikenal dengan nama Iwan Cepi Murtado.

Sedangkan dari Mak Sarah, Macan Kemayoran mempunyai satu putri diberi nama Indun. Kabarnya Indun tinggal di Petamburan, Jakarta Pusat. "Hanya tinggal saya aja keturunannya. Kakak saya juga tidak diketahui keberadaannya, kabarnya ada di Petamburan," tutur Iwan Cepi Murtado.

Ada kisah unik dibalik banyaknya istri Murtado. Istri pertama diketahui berasal dari Kampung Pitung di Marunda. Ceritanya begini, gebetan Murtado merupakan anak dari seorang jawara di Marunda.

Murtado harus bisa mengalahkan putrinya jago silat untuk meminang. Dia menyanggupi syarat itu dan berkelahi dengan calon istrinya. Dia menang. Jawara Marunda itu akhirnya menyerahkan putrinya buat dinikahi Macan Kemayoran. "Bapak saya semua istrinya cantik, kalau sekarang disebut playboy. Dia itu haus nikah," kata Iwan Cepi Murtado.

Ada sebab kenapa tidak semua nama istri Macan Kemayoran tidak tercatat. Sebuah cacatan sepanjang 300 halaman hilang dari genggaman istri termudanya, Siti. Tidak jelas ke mana catatan itu hilang. Bahkan foto-foto Murtado berikut keluarganya juga raib. Hanya satu foto tertinggal dan kini terpasang di rumah Iwan Cepi Murtado.
(sumber: Merdeka.com)

No comments:

Post a Comment