Pada suatu kisah
menurut cerita pada masa dahulu, hiduplah seorang gadis yang bernama
Jenab. Ia berumur 20 tahun. Parasnya amat cantik. Ia tinggal bersama
ibunya yang sudah tua di sebuah rumah yang besar dan indah. Rumah itu
warisan ayahnya. Di masa hidupnya, ayah Jenab kaya raya dan terpandang
di kampungnya. Kedua orang tuanya amat menyayangi Jenab sebagai anak
semata wayang. Setelah ayahnya meninggal karena sakit, Jenab diurus
ibunya dengan baik, sehingga tumbuh dewasa sebagai gadis cantik.
Kecantikannya itu terkenal di seluruh kampung di Betawi. Boleh dikatakan
tak ada kekurangannya kecantikan Jenab itu, sehingga seluruh pemuda
tergila-gila padanya. Sayang di balik kecantikannya itu Jenab mempunyai
sifat tercela. Ia angkuh. Karena itu banyak pemuda yang akhirnya kecewa
terhadap Jenab. Meskipun demikian, ada juga pemuda yang tertarik kepada
Jenab. Hal itu menyebabkan keangkuhan Jenab menjadi-jadi. Sifatnya dari
hari ke hari menjadi makin kasar. Melihat tingkah laku Jenab yang kasar,
ibunya bersedih hati.
Pada suatu hari berkatalah ibunya kepada Jenab :
"Jenab, ibu ini sudah tua, ibu kepengin kamu menikah. Tapi ibu lihat, engkau
terlalu angkuh dan sombong, sehingga banyak pemuda yang menghindar
darimu. Jenab, apakah engkau ingin menjadi tua tanpa suami yang
mendampingimu ? Rubahlah sisfat burukmu, nak "
Jenab termenung, lalu berkata : "Coba ibu katakan, siapa gerangan pemuda yang ingin melamarku, nanti Jenab jelaskan mengapa Jenab tidak mau dengan dia". Ibunya berpikir sejenak, lalu berkata lagi : "Lamaran si Ayub dulu mengapa kau tolak ? Padahal ia berasal dari keluarga terpandang".
"Oh, si Ayub yang pendek itu ? Maaf, bu, aku tak tertarik padanya."
Ibunya sangat terpukul dengan jawaban Jenab, kemudian ibunya berkata:
"Baiklah, nak, itu alasanmu menolak si Ayub. Tapi bagaimana dengan Mat
Bongkar yang tubuhnya tinggi dan tegap, Jenab tolak juga kan ?".
"Mat Bongkar, bu, hidungnya pesek, lagi pula ia miskin".
Ibunya bangkit amarahnya, dan berkata :
"Jenab, kalau begitu, terserah kepadamulah, ibu tak ingin turut campur lagi" .
Ibunya kemudian berlalu dengan hati yang kecewa meninggalkan Jenab.
Percakapan dengan ibunya ini tidak mengubah perangai Jenab, ia tetap sombong.
Pada suatu hari, adalah seorang pemuda bernama Roing berjalan di depan
rumah Jenab. Jenab asyik menyapu beranda rumahnya, sehingga tak
terpandang olehnya si Roing itu. Tiba-tiba beberapa lembar kertas yang
disapunya melayang dan jatuh di kaki si Roing. Pemuda itu menoleh ke
arah dari mana datangnya sampah, dan ia terkejut bukan kepalang melihat
gadis cantik sedang menyapu. Roing tersenyum, Jenab malah membuang muka.
Roing berusaha tersenyum lagi, dan berkata :
"Mohon maaf, bolehkah aku menolongmu ?".
Jenab menjawab dengan tegas :
"Kau sungguh kurang ajar dan tak tahu kesopanan, beraninya kau menyapa gadis yang belum kau kenal".
Dengan kecewa Roing berlalu dari rumahJenab. Ia berusaha melupakan
peristiwa itu, tetapi hatinya yang sakit susah diobati. Dari hari ke
hari Roing merasakan sakit hatinya dihina Jenab. Akhimya ia berdoa kepada Tuhan
agar memperoleh jalan untuk mengatasi perasaannya itu. Setelah berdoa dan sembahyang, Roing tertidur. Dalam tidur ia bermimpi kedatangan
seorang lelaki tua bersorban dan berjanggut putih seraya berkata
padanya: "Janganlah kau bersedih anakku. Jenab itu bukan jodohmu. Suatu hari
kelak ia akan mendapat balasan Tuhan atas kesombongannya itu"
Syahdan, menurut cerita di kampung itu hidup seorang perampok. Perampok
itu ingin menuntut ilmu hitam, yaitu ilmu kejahatan di sebuah gunung
yang angker. Caranya dengan bertapa di dalam gua di pegunungan tersebut.
Bila sampai waktunya, maka jin Afrit penguasa gunung akan muncul dan
menurunkan ilmu hitamnya kepada si pertapa. Tapi sebagai imbalannya, si
pertapa mesti menjalankan syarat yang ditentukan jin Afrit dan menuruti
kemauannya.
Perampok tadi melakukan tapa, dan setelah jin Afrit muncul perampok
dapat menerima syarat yang diminta jin Afrit. Maka iapun menerima ilmu
hitam dari jin Afrit. Syarat yang harus dipenuhinya ialah si perampok
tak boleh menikah seumur hidupnya. Jika perampok itu melanggar, maka ia
akan menjadi seekor buaya.
Perampok itu turun gunung, dan kembali ke kampung. Maka ia pun
mengumpulkan pengikut, lalu menjalankan aksi kejahatan. Karena ilmu
hitam yang dimilikinya itu, perbuatan jahat ini tak diketahui orang
siapa sesungguhnya pelakunya. Maka ia pun kaya raya sebagai hasil
perbuatannya menjarah harta orang lain.
Karena kekayaannya, maka ia pun menjadi orang terpandang di kampung
itu. Banyak orang yang memandang harta menginginkan perampok itu menjadi
menantunya. tetapi tidak seorang wanita pun dapat menarik hati si
perampok. Sebenarnya si perampok hatinya galau, karena ia teringat
perjanjiannya dengan jin Afrit.
Pada suatu hari ketika berjalan di depan rumah Jenab, perampok itu
bertatap pandang dengan Jenab. Hatinya tertarik, namun Jenab segera
masuk ke dalam rumahnya. Perampok itu lalu singgah di sebuah warung
kopi, dan bertanya kepada seorang wanita penjaja kopi:
"Mpok siapa gadis cantik yang berdiam di rumah besar dan indah itu ?"
"Oh, itu si Jenab. Dia cantik memang, tapi sombong. Tidak mungkin deh ada lelaki yang dapat mengawininya".
Mendengar keterangan penjaja warung, perampok itu merasa ditantang. Ia
bergegas meninggalkan warung. Perjanjiannya dengan Jin Afrit
dilupakannya demi hawa,nafsu ingin menikah dengan Jenab.
Pada suatu hari ia nekad bertandang ke rumah Jenab. Ia diterima ibu si
Jenab dengan baik. Maklum perampok itu di kampung dikenal sebagai orang
kaya, tak ada yang tahu bahwa ia sesungguhnya perampok belaka. Ternyata
Jenab amat tertarik mendengar dari balik pintu percakapan perampok
dengan ibunya itu. Perampok mengajukan lamaran, ibu si Jenab tidak
menjawab melainkan masuk ke dalam rumah memberitahu Jenab. Tak disangka
Jenab menerima lamaran perampok itu.
Tidak perlu diceritakan betapa gembiranya perampok itu mendengar
lamarannya diterima Jenab. Dialah satu-satunya laki-laki yang mampu
meminang Jenab. Perampok itu makin melupakan perjanjiannya dengan jin
Afrit.
Maka persiapan pesta perkawinan pun diadakan, tenda besar dipasang di
depan rumah Jenab. Undangan disebar ke seluruh sanak saudara dan handai
taulan. Dan pesta pun berlangsung dengan meriahnya selama tiga hari tiga
malam.
Perampok itu hidup dengan Jenab sebagai suami isteri. Tak lama kemudian
Jenab pun hamil. Sembilan bulan kemudian Jenab melahirkan seorang anak
lelaki yang gagah dan diberi nama Mi'ing. Kedua orang tuanya merawat
Mi'ing dengan kasih sayang. Mi'ingpun tumbuh sebagai anak laki-laki yang
tampan.
Sehari-hari Mi'ing bemain dengan sesama anak orang kaya juga. Tapi
Mi'ing bertabiat buruk. Ia serakah dan suka mengambil barang milik orang
lain. Pada suatu malam Mi'ing bermupakat dengan temantemannya untuk
mengambil buah-buahan dari kebun seorang haji. Namun haji itu sudah
mendengar sejak lama perbuatan Mi'ing yang tidak senonoh. Setiap malam
haji itu tidur larut malam menjaga tanaman buah-buahannya. Ia selalu
menyelipkan sebilah golok di pinggangnya bila berjalan mengelilingi
kebun buahnya.
Tengah malam Mi'ing masuk ke kebun milik haji bersama temantemannya
dengan merusak pagar kebun. Haji bersiap menanti aksi Mi'ing. Ketika
Mi'ing mendekat, langsung haji menebas Mi'ing dengan goloknya. Mi'ing
yang tidak menyangka dirinya akan kena batunya tak dapat menghindar dari
sabetan golok haji. Tulang pinggul Mi'ing patah terkena golok haji. Ia
jatuh tersungkur. Teman-temannya segera melarikan Mi'ing. Haji melihat
dari kegelapan anak-anak kurang ajar itu bertolak dari rumahnya sambil
memapah Mi'ing.
Jenab amat terkejut melihat anak kandung sibiran tulang digotong
temannya dalam keadaan mandi darah. Jenab bertanya kejadian apa yang
telah menimpa Mi'ing. Dengan terbata-bata Mi'ing mendustai ibunya
tentang na'as yang menimpa dirinya. Ia mengatakan terkena kecelakaan.
Ibunya sibuk memanggil orang yang pandai untuk mengobati Mi'ing. Ketika
itu si perampok tidak berada di rumah. Sehingga Jenablah yang mengurus
segalanya. Mi'ing dapat disembuhkan, tapi ia cacat.
Pada suatu malam ketika si perampok sedang tidur bersama isterinya
Jenab, terdengar suara gemuruh yang amat dahsyatnya yang didengar
perampok dan Jenab : "Hei perampok celaka, aku jin Afrit datang bersama setan-setan
pegunungan. Engkau ingkar janji. Kau telah berjanji untuk tidak kawin,
tapi kau bohong. Sekarang engkau kami hukum. Engkau dan anakmu menjadi
buaya, dan harta bendamu akan kembali ke tempat asalnya, ha-ha-ha".
Jin Afrit dan setan-setan pegunungan meninggalkan perampok dan Jenab
yang dalam kebingungan. Selang beberapa saat Jenab memekik
sekuat-kuatnya melihat suaminya berubah jadi buaya. Jenab berlari ke
kamar Mi'ing, ia hampir pingsan melihat Mi'ing berubah menjadi buaya
buntung. Kedua binatang itu merayap meninggalkan kamarnya masing-masing.
dan sebelum meninggalkan rumah kedua buaya itu menatap wajah Jenab
dengan sedih.
Jenab menangis sejadi-jadinya. Tak ada seseorang tempat mengadu, karena
ibunya telah lama meninggal dunia beberapa bulan setelah Jenab menikah.
Tapi tak ada lagi yang dapat dibuatnya melainkan mengantarkan dua ekor
buaya itu ke tepi sungai.
Jenab menjadi pemurung, tampak sekali ia cepat tua. Wajahnya menyerupai
nenek-nenek. Yang menghibur Jenab adalah saat-saat ia berdiri di tepi
sungai.
Pada suatu hari, seperti biasanya, Jenab berdiri di tepi sungai
memanggil-manggil nama suami dan anaknya. Tetapi yang muncul hanya
seekor buaya buntung. Itulah Mi'ing anaknya. Jenab memanggil nama
suaminya lagi. Buaya buntung malah bergerak ke arah Utara sungai. Jenab
menatap dengan cemas gerakan buaya buntung. Sekitar 20 meter dari arah
tempat Jenab biasa berdiri terlihat bangkai seekor buaya mengambang.
Buaya buntung kembali lagi ke tempat semula, Jenab memandang dengan
sedih. Tak lama kemudian buaya buntung menyelam. Tahulah Jenab bahwa
suaminya telah mati. Kini hanya tinggal buaya buntung saja yang ia
jumpai setiap berdiri di tepi sungai.
No comments:
Post a Comment