Konstantinus
Agung (bahasa Latin: Flavius Valerius Aurelius Constantinus Augustus; bahasa Yunani: Κωνσταντῖνος
ὁ Μέγας; 27 Februari kr. 272 M – 22 Mei 337 M), juga dikenal sebagai Konstantinus I atau Santo
Konstantinus (dalam Gereja Ortodoks sebagai Santo
Konstantinus Agung, Setara Rasul), merupakan seorang Kaisar Romawi dari tahun 306 sampai 337 M. Konstantinus adalah
putra dari Flavius Valerius Konstantius, seorang perwira tentara Romawi, dan Helena istrinya. Ayahnya menjadi Caesar, wakil kaisar, di barat pada tahun 293 M.
Konstantinus diutus ke timur, di mana ia menapaki pangkat-pangkatnya hingga
menjadi seorang tribun militer di bawah Kaisar Diokletianus dan Galerius. Pada tahun 305 Konstantius meraih pangkat Augustus, kaisar barat senior, dan Konstantinus dipanggil ke
barat untuk membantu ayahnya melangsungkan kampanye di Britania. Dengan pengakuan sebagai kaisar oleh pasukannya di Eboracum (York masa kini) setelah ayahnya meninggal dunia pada tahun
306 M, Konstantinus meraih kemenangan dalam serangkaian perang saudara
melawan Kaisar Maxentius dan Lisinius hingga ia menjadi penguasa tunggal di barat maupun
timur pada tahun 324 M.
Sebagai
kaisar, Konstantinus melakukan banyak reformasi di bidang administrasi,
keuangan, sosial, dan militer untuk memperkuat kekaisaran. Pemerintahan direstrukturisasi, serta dilakukan pemisahan kewenangan sipil dan militer. Koin emas baru, yakni solidus, dikeluarkan untuk mengatasi inflasi. Ini menjadi
standar mata uang Bizantin dan Eropa selama lebih dari seribu tahun. Sebagai
kaisar Romawi pertama yang mengaku melakukan konversi ke Kekristenan, Konstantinus memainkan suatu peranan penting dalam
mendeklarasikan Edik Milan pada tahun, yang menetapkan toleransi bagi
Kekristenan di dalam kekaisaran. Ia menghimpun Konsili Nicea Pertama pada tahun 325; pada saat itu kaum Kristiani
menyatakan pengakuan iman mereka melalui Kredo Nicea. Dalam bidang militer, tentara Romawi direorganisasi
sehingga terdiri dari unit lapangan yang
mobil dan tentara garnisun yang mampu menghadapi ancaman internal dan invasi kaum barbar. Konstantinus melakukan kampanye-kampanye militer
yang sukses terhadap suku-suku di perbatasan Romawi—suku Franka, Alemanni, Goth, dan Sarmatia—bahkan memukimkan kembali wilayah-wilayah yang
ditinggalkan oleh para pendahulunya selama gejolak pada abad sebelumnya.
Masa
pemerintahan Konstantinus menandai suatu zaman yang berbeda dalam sejarah Kekaisaran Romawi. Ia membangun kediaman kekaisaran yang baru
di Bizantium dan
mengganti nama kota itu menjadi Konstantinopel (Kota Konstantinus) menurut namanya
sendiri (julukan "Roma Baru" yang
bersifat pujian baru timbul belakangan, dan tidak pernah menjadi julukan
resmi). Kota ini nantinya menjadi ibu kota Kekaisaran selama lebih dari seribu
tahun, dan karenanya Kekaisaran Timur yang terbentuk kelak menjadi dikenal
sebagai Kekaisaran Bizantin.
Warisan politiknya yang lebih berdampak
langsung yaitu, ketika meninggalkan kekaisaran untuk para putranya, ia
menggantikan sistem tetrarki Diokletianus dengan prinsip suksesi dinasti.
Reputasinya berkembang selama masa pemerintahan anak-anaknya dan berabad-abad
setelah pemerintahannya. Gereja abad pertengahan mempertahankannya sebagai
salah seorang teladan kebajikan, sementara para penguasa sekuler merujuknya sebagai suatu prototipe, titik acuan, serta
simbol identitas dan legitimasi kekaisaran. Mulai dari Masa Renaisans, timbul penilaian-penilaian yang lebih kritis atas
pemerintahannya karena ditemukannya kembali sumber-sumber anti-Konstantinian.
Para kritikus menggambarkannya sebagai seorang tiran. Tren dalam keilmuan
modern dan baru-baru ini berupaya untuk menyeimbangkan kedua sisi ekstrem
keilmuan sebelumnya.
Konstantinus
merupakan seorang tokoh penting dalam sejarah Kekristenan. Gereja Makam Kudus,
yang dibangun atas perintahnya di lokasi yang diklaim sebagai makam Yesus di Yerusalem, menjadi tempat tersuci dalam dunia Kristiani. Klaim Kepausan atas kekuasaan temporal pada Abad Pertengahan Tinggi didasarkan pada sebuah dokumen yang disebut Donasi Konstantinus.
Konstantinus Agung dihormati sebagai orang kudus (santo) oleh kalangan Ortodoks Timur, Katolik Bizantin,
dan Anglikan.
Konstantinus
adalah salah seorang penguasa besar yang penting dalam sejarah, dan ia
senantiasa menjadi salah seorang tokoh yang kontroversial.[7] Naik turunnya reputasi Konstantinus mencerminkan sifat
dari sumber-sumber kuno seputar pemerintahannya. Sumber-sumber ini sangat
banyak tersedia dan terperinci,[8] namun sangat dipengaruhi oleh propaganda resmi periode
tersebut,[9] dan seringkali hanya sepihak.[10] Tidak terdapat cerita sejarah ataupun biografi yang
masih terlestarikan hingga sekarang berkenaan dengan pemerintahan dan kehidupan
Konstantinus.[11] Sumber pengganti yang terdekat adalah Vita Constantini karya Eusebius dari Kaisarea, suatu karya yang merupakan paduan dari eulogi dan hagiografi.[12] Ditulis antara tahun 335 M dan kr. 339 M,[13] Vita meninggikan
kebajikan religius dan moral dari Konstantinus.[14] Vita menciptakan
suatu citra positif Konstantinus yang menimbulkan perdebatan,[15] dan para sejarawan modern seringkali menantang
keandalannya.[16] Seluruh kehidupan sekuler Konstantinus dikisahkan
dalam sebuah karya anonim berjudul Origo
Constantini.[17] Sebagai sebuah karya yang tidak jelas tarikhnya,[18] Origo berfokus
pada peristiwa-peristiwa militer dan politik, mengabaikan hal-hal religius dan kultural.[19]
De
Mortibus Persecutorum karya Laktansius, sebuah pamflet politis Kristiani pada masa pemerintahan Diokletianus dan periode Tetrarki, menyajikan informasi berharga namun terdapat rincian
tendesius mengenai para pendahulu dan kehidupan awal Konstantinus.[20] Sejarah-sejarah gerejawi dari Sokrates, Sozomen, dan Teodoretus mendeskripsikan perselisihan keagamaan pada masa akhir
pemerintahan Konstantinus.[21] Karya-karya para sejarawan gerejawi itu
ditulis pada masa pemerintahan Teodosius II (408–50 M),
seabad setelah pemerintahan Konstantinus, serta dianggap mengaburkan
peristiwa-peristiwa dan teologi-teologi pada zaman Konstantinus melalui penyimpangan,
kekeliruan, dan ketidakjelasan yang disengaja.[22] Tulisan-tulisan
kontemporer dari dari seorang Kristiani ortodoks bernama Athanasius dan
sejarah gerejawi dari seorang Arian bernama Filostorgius juga masih terlestarikan hingga saat
ini, kendati terdapat bias yang tidak kalah tegasnya.[23]
Berbagai epitome dari Aurelius Victor (De Caesaribus), Eutropius (Breviarium), Festus (Breviarium),
dan penulis anonim Epitome de Caesaribus menyajikan sejarah militer dan politik sekuler yang
dipadatkan dari periode tersebut. Meskipun bukan sumber Kristiani,
epitome-epitome itu melukiskan suatu citra baik Konstantinus, tetapi tidak
mengandung referensi seputar kebijakan-kebijakan keagamaan Konstantinus.[24] Panegyrici Latini, suatu kumpulan panegirik dari akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4, menyajikan
informasi berharga mengenai politik dan ideologi pada periode tetrarki dan
kehidupan awal Konstantinus.[25] Arsitektur kontemporer, seperti Pelengkung Konstantinus di Roma dan istana-istana di Gamzigrad dan Kordoba,[26] peninggalan epigrafi, dan uang logam dari era tersebut melengkapi sumber-sumber literer
yang tersedia.[27]
Flavius Valerius
Konstantinus, nama aslinya, dilahirkan di kota Naissus (sekarang Niš, Serbia), bagian
dari Provinsi
Dardania di Moesia pada tanggal
27 Februari,[28] mungkin kr. 272 M.[29] Ayahnya adalah Flavius Konstantius, orang Iliria,[30][31] dan asli dari Provinsi Dardania di Moesia (Dacia Ripensis kelak).[32] Konstantinus kemungkinan hanya menghabiskan sedikit waktu dengan
ayahnya,[33] yang adalah seorang perwira tentara Romawi dan termasuk salah seorang
pengawal imperial Kaisar Aurelianus. Sang ayah, Konstantius, digambarkan sebagai seorang yang toleran dan
memiliki ketrampilan berpolitik,[34] yang menapaki kariernya tahap demi tahap, dijadikan gubernur Dalmatia oleh Kaisar Diokletianus, salah seorang kolega Aurelianus dari Ilirikum, pada tahun 284 atau 285.[32] Ibu Konstantinus adalah Helena, kemungkinan
seorang Bitinia dengan status sosial rendah.[35] Tidak dapat dipastikan apakah ia menikah secara sah dengan
Konstantius, atau hanya menjadi selirnya.[36] Tidak ada kejelasan apakah Konstantinus dapat berbicara bahasa Trakia, bahasa utamanya adalah Latin dan ia membutuhkan penerjemah Yunani saat
berpidato di hadapan publik.[37]
Orang tua dan saudara-saudari Konstantinus, tahun dalam kurung siku
mengindikasikan perolehan gelar minor.
Pada bulan Juli
285 M, Diokletianus mendeklarasikan Maximianus, koleganya yang lain dari Ilirikum, sebagai rekan-kaisar. Masing-masing
kaisar memiliki istana sendiri, kekuasaan administratif serta militer
tersendiri, dan masing-masing memerintah dengan prefek praetoria terpisah sebagai deputi kepala.[38] Maximianus memerintah di Barat, dari ibu kotanya di Mediolanum (Milan, Italia) atau Augusta
Treverorum (Trier, Jerman), sementara
Diokletianus memerintah di Timur, dari Nikomedia (İzmit, Turki). Pembagian ini
dianggap pragmatis: Kekaisaran disebut "tak terbagi" dalam panegirik
resmi,[39] dan kedua kaisar dapat bergerak dengan bebas di seluruh Kekaisaran.[40] Pada tahun 288, Maximianus menunjuk Konstantius sebagai prefek
praetorianya di Galia. Konstantius
meninggalkan Helena untuk menikahi Teodora, anak tiri Maximianus, pada tahun 288 atau 289.[41]
Diokletianus
kembali membagi Kekaisaran pada tahun 293 M, menunjuk dua Caesar (kaisar
junior) untuk memerintah atas wilayah pembagian lanjutan di Timur dan Barat.
Keduanya berada di bawah Augustus (kaisar senior) masing-masing, tetapi mereka dapat bertindak dengan
otoritas tertinggi dalam wilayah kekuasaan masing-masing. Sistem ini kelak
disebut Tetrarki. Penunjukkan pertama Diokletianus untuk jabatan Caesar adalah Konstantius;
penunjukkan kedua adalah Galerius, yang berasal
dari Felix Romuliana. Menurut Laktansius, Galerius adalah seorang yang brutal dan bersifat kebinatangan. Kendati
sama-sama menganut paganisme dari aristokrasi Roma, ia dipandang oleh mereka
sebagai seorang sosok asing, seorang semibarbar.[42] Pada tanggal 1 Maret, Konstantius dipromosikan ke jabatan Caesar,
dikirim ke Galia untuk memerangi pemberontakan Karausius dan Alektus.[43] Kendati terdapat implikasi meritokratis, Tetrarki tersebut
mempertahankan peninggalan dari hak istimewa keturunan,[44] dan Konstantinus segera menjadi kandidat utama Caesar di masa
mendatang setelah ayahnya mendapatkan posisi tersebut. Konstantinus mendiami
istana Diokletianus, tempat ia hidup sebagai pewaris ayahnya sebagaimana
dihipotesiskan.[45]
Konstantinus
menerima pendidikan formal di istana Diokletianus, tempat ia belajar sastra
Latin, bahasa Yunani, dan filsafat.[46]Lingkungan budaya di Nikomedia bersifat terbuka,
fleksibel, dan kesosialannya luwes; Konstantinus mampu berbaur dengan para
intelektual baik dari kaum pagan maupun Kristiani. Ia mungkin menghadiri
pengajaran yang diberikan Laktansius, seorang akademisi Kristiani dalam
keilmuan Latin di kota tersebut.[47] Karena Diokletianus tidak sepenuhnya
mempercayai Konstantius—tak satu pun dari para penguasa Tetrarki yang
sepenuhnya percaya pada kolega mereka—Konstantinus dijaga sebagai semacam
sandera, suatu alat untuk memastikan Konstantius menunjukkan sikapnya yang
terbaik. Bagaimanapun Konstantinus tetap seorang anggota keluarga istana yang
menonjol: ia berperang bagi Diokletianus dan Galerius di Asia, dan melayani
dalam beragam tribunat; ia melangsungkan kampanye militer
terhadap kaum barbar di Danube pada tahun 296 M, serta bertempur melawan bangsa
Persia yang berada di bawah kekuasaan Diokletianus di Siria (297
M) dan di bawah kekuasaan Galerius di Mesopotamia (298–299 M).[48]Pada akhir tahun 305 M, ia telah menjadi seorang tribunus peringkat pertama, seorang tribunus ordinis primi.[49]
Konstantinus telah kembali ke
Nikomedia dari front timur pada musim semi tahun 303 M, sehingga turut
menyaksikan awal mula "Penganiayaan Besar"
yang dilangsungkan Diokletianus, penganiayaan terhadap umat Kristiani yang paling berat dalam sejarah
Romawi.[50] Pada tahun 302 akhir, Diokletianus dan Galerius
mengirim seorang utusan ke orakel Apollo di Didima dengan suatu pertanyaan terkait umat Kristiani.[51] Konstantinus dapat mengingat kehadirannya di istana
saat utusan tersebut kembali, ketika Diokletianus mengabulkan tuntutan kalangan
istananya untuk melangsungkan penganiayaan secara universal.[52] Pada tanggal 23 Februari 303 M, Diokletianus
memerintahkan penghancuran bangunan gereja baru di Nikomedia, membakar
kitab-kitab suci yang terdapat di dalamnya, dan menyita hartanya. Selama
bulan-bulan berikutnya, berbagai bangunan gereja dan kitab suci dihancurkan,
orang-orang Kristiani kehilangan jabatan resminya, dan para imam dipenjarakan.[53]
Konstantinus tidak memainkan
peranan apapun dalam penganiayaan tersebut.[54] Dalam
tulisan-tulisannya kelak ia berupaya menampilkan dirinya sebagai seorang
penentang dari "edik-edik berdarah" Diokletianus terhadap
"jemaah Allah",[55] namun
tidak terlihat indikasi kalau ia melakukan penentangan secara efektif pada saat
tersebut.[56] Meskipun tidak ada kalangan Kristiani kontemporer yang
menantang Konstantinus karena ia tidak berbuat apa-apa selama masa
penganiayaan, hal ini tetap dianggap sebagai suatu beban politis sepanjang
hidupnya.[57]
Pada
tanggal 1 Mei 305 M, Diokletianus, sebagai akibat dari suatu penyakit parah
yang dideritanya sejak musim dingin tahun 304–305 M, mengumumkan pengunduran
dirinya. Dalam suatu upacara paralel di Milan, Maximianus melakukan hal yang
sama.[58] Laktansius menyatakan bahwa Galerius memanipulasi
Diokletianus yang berada dalam kondisi lemah agar mengundurkan diri, dan
memaksa dia untuk menerima para sekutu Galerius dalam suksesi imperial. Menurut
Laktansius, orang banyak yang mendengarkan pidato pengunduran diri Diokletianus
meyakini, sampai saat-saat terakhir, bahwa Diokletianus akan memilih
Konstantinus dan Maxentius (putra Maximianus) sebagai para penggantinya.[59] Namun yang terjadi tidak demikian: Konstantius dan
Galerius dipromosikan menjadi Augustus, sementara Severus dan Maximinus Daia, keponakan Galerius, berturut-turut ditunjuk sebagai
Caesar mereka. Konstantinus dan Maxentius diabaikan.[60]
Beberapa
sumber kuno merinci plot-plot yang dilakukan Galerius terhadap Konstantinus
dalam bulan-bulan berikutnya setelah abdikasi Diokletianus. Sumber-sumber
tersebut menegaskan bahwa Galerius menugaskan Konstantinus memimpin suatu unit
untuk maju terlebih dulu dalam serangan kavaleri melalui rawa-rawa di tengah Sungai Donau (Danube), membuatnya terlibat dalam duel satu lawan
satu dengan seekor singa, serta berusaha untuk membunuhnya dalam perburuan dan
peperangan. Konstantinus selalu tampil sebagai pemenang: singa dalam kontes
tersebut kondisinya lebih buruk daripada Konstantinus; Konstantinus kembali ke
Nikomedia dari Danube dengan seorang Sarmatia yang ditawan untuk diletakkan di kaki Galerius.[61] Tidak jelas sejauh mana kisah-kisah
tersebut dapat dipercaya.[62]
Konstantinus
menyadari masih adanya bahaya tersirat di dalam istana Galerius, tempat ia
ditahan sebagai seorang sandera virtual. Kariernya bergantung pada penyelamatan
yang dilakukan oleh ayahnya di Barat. Konstantius bertindak cepat dengan
melakukan intervensi.[63] Pada akhir musim semi atau awal musim panas tahun 305 M, Konstantius
meminta izin agar putranya diperbolehkan membantunya dalam kampanye di
Britania. Setelah minum sepanjang malam, Galerius mengabulkan permintaan
tersebut. Propaganda Konstantinus kelak mendeskripsikan bagaimana ia melarikan
diri dari istana pada malam hari, sebelum Galerius berubah pikiran. Ia
mengendarai kuda dengan kecepatan tinggi dari satu stasiun pos ke stasiun pos lainnya, melumpuhkan (hamstringing) kuda-kuda lain di belakangnya.[64] Pada saat Galerius terbangun keesokan paginya, Konstantinus telah
melarikan diri sedemikian jauh sehingga sulit dikejar.[65] Konstantinus bergabung dengan ayahnya di Galia, di Bononia (Boulogne) sebelum musim
panas tahun 305 M.[66]
Dari Bononia
mereka menyeberangi Selat menuju Britania dan melakukan perjalanan ke Eboracum (York), ibu kota provinsi Britannia Secunda dan merupakan suatu pangkalan militer besar. Konstantinus
menghabiskan waktu selama setahun di Britania utara dengan mendampingi ayahnya,
melakukan kampanye militer terhadap suku Pict di luar Tembok Hadrianus pada musim panas dan musim gugur.[67] Kampanye Konstantius, sebagaimana yang dilakukan Septimius Severus sebelumnya, kemungkinan berlanjut hingga jauh ke utara tanpa meraih
kesuksesan besar.[68] Konstantius lalu menderita sakit parah, dan wafat pada tanggal 25
Juli 306 di Eboracum. Sebelum wafat, ia menyatakan dukungannya untuk mengangkat
Konstantinus ke peringkat Augustus sepenuhnya. Chrocus, raja suku Alemanni, seorang barbar yang mengabdi pada Konstantius, kemudian memproklamirkan Konstantinus
sebagai Augustus. Pasukan yang setia pada Konstantius mengikutinya secara
aklamasi. Galia dan Britania segera menerima kekuasaannya;[69] Sementara Iberia, yang baru menjadi wilayah kekuasaan ayahnya kurang
dari setahun, menolaknya.[70]
Konstantinus
mengirimkan Galerius sebuah pemberitahuan resmi mengenai wafatnya Konstantius
dan aklamasinya sendiri. Bersama dengan pemberitahuan itu, ia menyertakan
sebuah potret dirinya mengenakan jubah seorang Augustus.[71]Potret tersebut dilingkari daun-daun laurel.[72] Ia meminta pengakuan sebagai
pewaris takhta ayahnya, dan melemparkan tanggung jawab pengangkatannya yang
melanggar hukum kepada pasukannya, mengklaim kalau mereka telah memaksakannya
kepada dia.[73] Galerius marah besar karena pesan itu; ia nyaris membakar potret
tersebut. Para penasihatnya menenangkan dia, dan berpendapat bahwa penolakan
langsung atas klaim Konstantinus berarti perang.[74] Galerius terpaksa berkompromi: ia memberikan Konstantinus gelar
"Caesar", bukan "Augustus" (jabatan ini sebagai gantinya
diberikan ke Severus).[75] Untuk memperjelas kalau ia sendiri yang memberikan Konstantinus
legitimasi, Galerius secara pribadi mengirimkan Konstantinus jubah ungu tradisional kekaisarannya.[76] Konstantinus menerima keputusannya,[75] karena mengetahui bahwa hal itu akan menghapus keraguan mengenai
legitimasinya.[77]
Bagian wilayah
Kekaisaran yang menjadi kekuasaan Konstantinus meliputi Britania, Galia, dan
Spanyol. Dengan demikian ia memimpin salah satu pasukan terbesar Romawi, yang
menempati perbatasan penting Rhein.[78] Setelah promosinya menjadi kaisar, Konstantinus tetap di Britania,
mengusir kembali suku Pict dan mengamankan kendalinya di keuskupan-keuskupan sipil bagian barat laut. Ia menyelesaikan rekonstruksi pangkalan-pangkalan
militer yang dimulai sejak pemerintahan ayahnya, dan memerintahkan perbaikan
jalan raya di kawasan itu.[79] Ia segera berangkat menuju Augusta Treverorum (Trier) di Galia, ibu kota Tetrarki di Kekaisaran Romawi bagian barat laut.[80] Suku Franka, setelah mengetahui aklamasi Konstantinus, menginvasi Galia di hilir
Sungai Rhein selama musim dingin tahun 306–307 M.[81] Konstantinus mengusir mereka kembali ke luar Rhein dan menangkap dua
raja mereka, Ascaric dan Merogaisus. Kedua raja dan tentara mereka dijadikan
mangsa hewan-hewan di amfiteater Trier dalam perayaan-perayaan adventus (kedatangan)
yang mengiringinya.[82]
Konstantinus
memulai perluasan Trier. Ia memperkuat dinding yang mengelilingi kota dengan
menara-menara militer dan gerbang-gerbang berkubu, serta mulai membangun
kompleks istana di bagian timur laut kota. Di sisi selatan istananya, ia
memerintahkan pembangunan sebuah balairung formal yang besar, dan sebuah
pemandian imperial yang sangat besar. Konstantinus memprakarsai banyak proyek
bangunan di seluruh Galia selama masa jabatannya sebagai kaisar Barat,
khususnya di Augustodunum (Autun) dan Arelate (Arles).[84] Menurut Laktansius, Konstantinus mengikuti jejak ayahnya dalam hal
kebijakan toleransi terhadap Kekristenan. Meskipun belum menjadi seorang
penganut Kristiani, ia mungkin pada saat itu menilainya sebagai kebijakan yang
lebih bijaksana daripada penganiayaan secara terbuka,[85] dan sebagai salah satu cara untuk membedakan dirinya dari sang
"penganiaya besar", Galerius.[86] Konstantinus secara resmi memutuskan diakhirinya penganiayaan, dan
mengembalikan segala milik penganut Kristiani yang telah hilang selama masa
penganiayaan.[87]
Karena Konstantinus umumnya masih belum
teruji dan memiliki suatu jejak ilegitimasi, ia mengandalkan reputasi ayahnya
dalam propaganda awalnya: berbagai panegirik tertua mengenai Konstantinus
memuat perbuatan-perbuatan ayahnya sebanyak perbuatan-perbuatan Konstantinus
sendiri.[88] Proyek-proyek bangunan dan keterampilan militer Konstantinus segera
memberikan sang panegiris kesempatan untuk berkomentar positif mengenai
kesamaan antara ayah dan putranya. Eusebius mengatakan bahwa Konstantinus
adalah suatu "pembaruan dari kehidupan dan pemerintahan ayahnya,
seakan-akan di dalam pribadinya sendiri".[89]Oratoria, patung, dan uang logam Konstantinian juga menunjukkan suatu
kecenderungan baru yang merendahkan "bangsa barbar" d luar
perbatasan. Setelah kemenangan Konstantinus atas suku Alemanni, ia mencetak
koin yang menggambarkan suku Alemanni sedang meratap dan memohon—"Suku Alemanni
takluk"—di bawah frasa "Kegembiraan bangsa Romawi".[90] Hanya ada sedikit simpati bagi
musuh-musuh itu. Panegirisnya menyatakan: "Adalah suatu ampunan yang bodoh
jika menyayangkan musuh yang ditaklukkan."[91]
Pemberontakan Maxentius
Setelah
pengakuan Galerius atas Konstantinus sebagai caesar, potret Konstantinus dibawa
ke Roma, sesuai kebiasaan saat itu. Maxentius mencemooh subjek potret tersebut sebagai anak seorang pelacur, dan meratapi ketidakberdayaannya sendiri.[92]Maxentius, karena iri akan otoritas Konstantinus,[93] merebut gelar kaisar pada tanggal 28 Oktober 306 M. Galerius menolak
mengakuinya, namun gagal menggesernya. Galerius mengirim Severus untuk melawan Maxentius, tetapi pasukan Severus, sebelumnya berada di
bawah komando Maximianus (ayah Maxentius), membelot pada saat kampanye militer;
Severus ditangkap dan dipenjarakan.[94] Maximianus keluar dari masa
pensiunnya karena pemberontakan anaknya; ia berangkat menuju Galia untuk
berunding dengan Konstantinus pada akhir tahun 307 M. Ia menawarkan Fausta putrinya kepada Konstantinus untuk
dinikahi, dan mengangkatnya ke peringkat Augustan. Sebagai imbalannya, Konstantinus harus menegaskan kembali aliansi lama
keluarga antara Maximianus dan Konstantius, dan mendukung perkara Maxentius di
Italia. Konstantinus menyetujui, dan menikahi Fausta di Trier pada akhir musim
panas tahun 307 M. Konstantinus sekarang memberikan sedikit dukungannya kepada
Maxentius, memberikan Maxentius pengakuan politik.[95]
Namun, Konstantinus tetap menjauhkan
diri dari konflik Italia. Selama musim semi dan musim panas tahun 307 M, ia
meninggalkan Galia menuju Britania untuk menghindari keterlibatan apapun dalam
gejolak Italia;[96] alih-alih memberikan bantuan
militer kepada Maxentius, ia mengirim pasukannya untuk melawan suku Jermanik di
sepanjang Sungai Rhein. Pada tahun 308
M, ia menyerang wilayah suku Brukteri, dan membuat sebuah jembatan yang melintasi Rhein di Colonia
Agrippinensium (Köln). Pada tahun 310 M, ia bergerak menuju Rhein utara dan bertempur melawan
suku Franka. Ketika tidak sedang melakukan kampanye, ia mengunjungi wilayahnya
sambil mempromosikan kebaikan hatinya, serta mendukung perekonomian dan
kesenian. Penolakan Konstantinus untuk berpartisipasi dalam perang meningkatkan
popularitasnya di kalangan rakyatnya, dan memperkuat basis kekuasaannya di
Barat.[97] Maximianus kembali ke Roma pada musim dingin tahun 307–308 M, namun
segera terlibat dalam perdebatan dengan putranya. Pada awal tahun 308 M,
setelah kegagalan upaya untuk merebut gelar Maxentius, Maximianus kembali ke
istana Konstantinus.[98]
Pada tanggal 11
November 308 M, Galerius menghimpun suatu konsili umum di kota militer Carnuntum (Petronell-Carnuntum, Austria) untuk menyelesaikan isu ketidakstabilan di provinsi-provinsi Barat. Di
antara yang hadir terdapat Diokletianus, kembali sejenak dari masa pensiunnya,
Galerius, dan Maximianus. Maximianus dipaksa untuk turun takhta lagi dan
Konstantinus kembali diturunkan ke peringkat Caesar. Lisinius, salah seorang kolega lama Galerius dalam militer, ditunjuk sebagai
Augustus di wilayah Barat. Sistem baru tersebut tidak berlangsung lama:
Konstantinus menolak demosinya, dan tetap menyebut dirinya Augustus pada uang
logam yang dicetaknya, kendati anggota Tetrarki yang lain menyebutnya Caesar
pada uang logam cetakan mereka. Maximinus Daia frustasi karena ia telah dilewati dalam promosi tersebut sementara
Lisinius sebagai pendatang baru telah diangkat ke jabatan Augustus, dan
menuntut agar Galerius mempromosikan dirinya. Galerius mengajukan penawaran
untuk memanggil Maximinus maupun Konstantinus dengan sebutan "putra-putra
Augusti",[99] namun tidak satupun di antara mereka menerima gelar baru itu. Pada
musim semi tahun 310 M, Galerius menyebut keduanya Augusti.[100]
Pemberontakan Maximianus
Pada tahun 310
M, Maximianus yang telah dicabut kekuasaannya memberontak terhadap Konstantinus
ketika Konstantinus sedang melakukan kampanye melawan kaum Franka. Maximianus
telah dikirim ke selatan menuju Arles dengan satu kontingen tentara
Konstantinus, sebagai persiapan untuk menangkal setiap serangan dari Maxentius
di Galia selatan. Ia mengumumkan bahwa Konstantinus telah gugur, dan
mengambil jubah ungu kekaisaran. Meskipun menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang mendukungnya
sebagai kaisar, kebanyakan tentara Konstantinus tetap setia kepada kaisar
mereka, dan tak lama kemudian Maximianus terpaksa pergi. Konstantinus segera
mendengar pemberontakan tersebut, mengesampingkan kampanyenya terhadap kaum
Franka, dan menggerakkan pasukannya ke hulu Sungai Rhein.[102] Di Cabillunum (Chalon-sur-Saône),
ia memindahkan pasukannya ke dalam kapal-kapal yang telah menanti untuk
menyusuri Sungai Saône yang
berarus lambat menuju Sungai Rhône yang arusnya lebih cepat. Ia mendarat di Lugdunum (Lyon).[103]Maximianus melarikan diri ke Massilia (Marseille), suatu kota yang lebih mampu menahan pengepungan dalam waktu lama
daripada Arles. Bagaimanapun, hal ini hanya membuat sedikit perbedaan karena
para penduduk yang setia membuka gerbang belakang untuk Konstantinus.
Maximianus ditangkap dan ditegur karena kejahatannya. Konstantinus memberikan
sejumlah ampunan, namun sangat menganjurkan agar ia melakukan bunuh diri. Pada
bulan Juli 310 M, Maximianus gantung diri.[102]
Terlepas dari
perpecahan sebelumnya dalam relasi mereka, Maxentius sangat bersemangat untuk
menampilkan dirinya sebagai anak yang berbakti kepada ayahnya setelah kematian
Maximianus.[104] Ia mulai mencetak koin dengan gambar ayahnya yang didewakan,
menyatakan hasratnya untuk membalas kematian Maximianus.[105] Konstantinus awalnya menyajikan bunuh diri tersebut sebagai suatu
tragedi keluarga yang patut disayangkan. Namun, pada tahun 311 M, ia
menyebarkan versi yang lain. Menurut versi ini, setelah Konstantinus
mengampuninya, Maximianus merencanakan untuk membunuh Konstantinus saat tidur.
Fausta mengetahui rencana tersebut dan memperingatkan Konstantinus, yang
menempatkan seorang kasim di tempat tidurnya sendiri. Maximianus ditangkap ketika dia membunuh
kasim tersebut dan ditawarkan untuk melakukan bunuh diri, yang ia setujui.[106] Bersamaan dengan penggunaan propaganda, Konstantinus melakukan damnatio memoriae pada Maximianus dengan menghancurkan semua inskripsi yang menyebutkan
namanya dan melenyapkan segala karya umum yang mengandung citra dirinya.[107]
Kematian
Maximianus menyebabkan perlunya suatu perubahan citra publik Konstantinus. Ia
tidak dapat lagi mengandalkan hubungannya dengan kaisar sepuh Maximianus, dan
membutuhkan suatu sumber legitimasi baru.[108] Dalam pidato yang disampaikannya
di Galia pada tanggal 25 Juli 310 M, seorang orator anonim mengungkapkan suatu
hubungan kedinastian yang sebelumnya tidak diketahui dengan Klaudius II, kaisar dari abad ke-3 yang
terkenal karena mengalahkan suku Goth dan
memulihkan ketertiban dalam kekaisaran. Pidato tersebut menekankan hak prerogatif untuk memerintah dari leluhur
Konstantinus, bukan prinsip-prinsip kesetaraan imperial, sehingga melepaskan
diri dari model tetrarki. Ideologi baru yang diungkapkan dalam pidato ini menjadikan Galerius dan
Maximianus tidak relevan bagi hak Konstantinus untuk memerintah.[109] Orator tersebut menekankan
keturunan dengan mengesampingkan semua faktor lainnya: "Tidak mungkin
kesepakatan manusia, ataupun sejumlah konsekuensi persetujuan yang tak terduga,
menjadikan Anda kaisar," sebagaimana dinyatakan sang orator bagi
Konstantinus.[110]
Orasi tersebut
juga menggeser ideologi keagamaan Tetrarki, dengan berfokus pada dinasti
kembar Yupiter dan Herkules. Sang orator menyatakan bahwa Konstantinus mengalami suatu penglihatan
ilahi tentang Apollo dan Viktoria yang memberikan dia rangkaian laurel kesehatan dan suatu pemerintahan yang panjang. Dalam keserupaan
Apollo, Konstantinus mengenali dirinya sendiri sebagai sosok penyelamat yang
kepadanya diberikan "kekuasaan seluruh dunia",[111]mirip dengan yang pernah diramalkan penyair Virgil.[112] Pergeseran keagamaan yang disampaikan dalam orasi tersebut diiringi
dengan pergeseran serupa dalam cetakan koin Konstantinus. Dalam masa awal
pemerintahannya, cetakan koin Konstantinus mengiklankan Mars sebagai pelindungnya. Sejak tahun 310 M dan seterusnya, Mars
digantikan dengan Sol Invictus, suatu dewa yang biasa diidentifikasi dengan Apollo.[113] Hanya ada sedikit alasan untuk
meyakini bahwa baik hubungan kedinastian ataupun penglihatan ilahi adalah
sesuatu yang lain daripada fiksi, tetapi proklamasi mereka memperkuat klaim
Konstantinus atas legitimasi dan meningkatkan popularitasnya di antara warga
Galia.[114]
Perang melawan Maxentius
Pada pertengahan tahun 310 M, penyakit yang diderita Galerius membuatnya
tidak dapat lagi melibatkan diri dalam politik imperial.[115] Catatan mengenai tindakan
terakhirnya masih terlestarikan: sebuah surat kepada para pimpinan provinsi
yang diberikan di Nikomedia pada tanggal 30 April 311 M, menyatakan akhir dari
masa penganiayaan, dan dimulainya kembali toleransi keagamaan.[116] Ia wafat tidak lama setelah proklamasi edik tersebut,[117] menyingkirkan sedikit isu yang masih tersisa dalam Tetrarki.[118] Maximinus melakukan mobilisasi untuk melawan Lisinius, dan merebut
Asia Kecil. Suatu perdamaian yang tergesa-gesa ditandatangani di atas sebuah
perahu di tengah Selat Bosporus.[119] Sementara Konstantinus berkeliling mengunjungi Britania dan Galia,
Maxentius bersiap untuk perang.[120] Ia membentengi Italia utara, dan memperkuat dukungannya dalam
komunitas Kristiani dengan mengizinkan mereka memilih Uskup Roma yang
baru, Paus Eusebius.[121]
Kekuasaan Maxentius bagaimanapun tetap
tidak aman. Dukungan awalnya menghilang di tengah tarif pajak yang tinggi dan
kelesuan perdagangan; terjadi kerusuhan di Roma dan Kartago;[122] dan Domitius Aleksander berhasil
merebut kekuasaannya untuk sementara waktu di Afrika.[123] Pada tahun 312 M, ia adalah orang yang nyaris tidak toleran, bukan
orang yang didukung secara aktif,[124] bahkan di antara warga Italia penganut Kekristenan.[125] Pada musim panas tahun 311 M, Maxentius melakukan mobilisasi untuk melawan
Konstantinus ketika Lisinius terlibat dalam urusan-urusan penting di Timur. Ia
menyatakan perang terhadap Konstantinus, bersumpah untuk membalas
"pembunuhan" ayahnya.[126] Demi mencegah Maxentius menjalin aliansi dengan Lisinius untuk
melawannya,[127]Konstantinus membentuk sendiri aliansinya dengan Lisinius saat musim dingin
tahun 311–312 M, dan menawarkan Konstantia saudarinya untuk dinikahi. Maximinus
menganggap kesepakatan Konstantinus dengan Lisinius sebagai suatu penghinaan
terhadap otoritasnya. Sebagai tanggapan, ia mengirim utusan ke Roma, menawarkan
pengakuan politik kepada Maxentius dengan imbalan dukungan militer. Maxentius
menerimanya.[128] Menurut Eusebius, perjalanan antar daerah menjadi tidak memungkinkan,
dan terjadi penumpukan militer di mana-mana. Tidak ada "tempat di mana
orang tidak mengharapkan terjadinya permusuhan setiap hari".[129]
Para jenderal
dan penasihat Konstantinus memperingatkan untuk tidak melangsungkan serangan
pendahuluan terhadap Maxentius;[130] bahkan para peramalnya menyarankan hal serupa, dengan menyatakan
bahwa pengurbanan-pengurbanan telah menghasilkan pertanda kurang baik.[131] Konstantinus, dengan semangat yang meninggalkan suatu kesan mendalam
pada para pengikutnya, menginspirasi beberapa dari mereka untuk percaya bahwa
ia mendapat sejumlah petunjuk supranatural,[132] untuk mengabaikan semua peringatan ini.[133] Pada awal musim semi tahun 312 M,[134] Konstantinus menyeberangi Pegunungan Alpen Kottian dengan seperempat pasukannya yang berjumlah sekitar 40.000.[135] Kota pertama yang ditemui pasukannya adalah Segusium (Susa, Italia), suatu kota dengan pertahanan kuat yang menutup pintu gerbangnya bagi
dia. Konstantinus memerintahkan tentaranya untuk membakar pintu gerbang itu dan
memanjat temboknya. Ia merebut kota tersebut dalam waktu singkat. Konstantinus
memerintahkan pasukannya untuk tidak menjarah kota, dan melanjutkan perjalanan
bersama mereka menuju Italia utara.[134]
Mendekati sisi
barat kota penting Augusta Taurinorum (Torino, Italia), Konstantinus bertemu dengan sepasukan besar kavaleri Maxentianus
yang bersenjata lengkap.[136] Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, pasukan Konstantinus mengepung kavaleri
Maxentius, mengelilingi mereka dengan kavalerinya sendiri, dan membubarkan
mereka dengan pukulan dari tongkat-tongkat pemukul berujung besi. Pasukan
Konstantinus meraih kemenangan.[137] Torino menolak untuk memberikan perlindungan kepada pasukan Maxentius
yang dipukul mundur, namun membuka pintunya bagi Konstantinus.[138] Kota-kota lain di daratan Italia utara mengirim utusan mereka kepada
Konstantinus untuk mengucapkan selamat atas kemenangannya. Ia bergerak menuju
Milan, disambut dengan pintu gerbang yang terbuka dan sukacita kegembiraan.
Konstantinus mengistirahatkan pasukannya di Milan sampai pertengahan musim
panas tahun 312 M, ketika ia melanjutkan perjalanannya ke Brixia (Brescia).[139]
Pasukan Brescia
dengan mudah dibubarkan,[140] dan Konstantinus segera bergerak menuju Verona, tempat perkemahan sejumlah besar pasukan Maxentius.[141]Ruricius Pompeianus, jenderal pasukan Verona dan prefek praetoria
Maxentius,[142] berada dalam suatu posisi defensif yang kuat, karena tiga sisi kota
tersebut dikelilingi oleh Sungai Adige. Konstantinus mengirim sepasukan kecil ke utara kota tersebut dalam upaya
untuk menyeberangi sungai itu secara diam-diam. Ruricius mengirim satu
detasemen besar untuk menangkal upaya pasukan ekspedisi Konstantinus, namun
mengalami kekalahan. Pasukan Konstantinus berhasil mengelilingi kota tersebut
dan melakukan pengepungan.[143] Ruricius melarikan diri dan kembali dengan kekuatan yang lebih besar
untuk melawan Konstantinus. Konstantinus tidak mau menghentikan pengepungan,
dan hanya mengirim sepasukan kecil untuk melawannya. Dalam keputusasaan pertempuran yang terjadi, Ruricius gugur dan pasukannya dihancurkan.[144] Verona segera menyerah setelah itu, disusul oleh Aquileia,[145] Mutina (Modena),[146] dan Ravenna.[147] Jalan menuju Roma kini terbuka
lebar bagi Konstantinus.[148]
Maxentius mempersiapkan
diri untuk perang serupa yang pernah ia langsungkan terhadap Severus dan
Galerius: ia tetap di Roma dan bersiap untuk menghadapi pengepungan.[149] Ia masih memegang kendali atas
para garda praetoria, dilengkapi dengan persediaan biji-bijian Afrika yang
memadai, dan semua sisi kota dikelilingi oleh Tembok Aurelianus yang tampaknya tidak
dapat ditembus. Ia memerintahkan agar semua jembatan di Sungai Tiber dihancurkan, yang kabarnya
mengikuti nasihat para dewa,[150] dan membiarkan wilayah Italia
tengah yang lain tanpa pertahanan; Konstantinus memperoleh dukungan dari
wilayah itu tanpa perlawanan.[151] Konstantinus maju perlahan-lahan[152] melintasi Via Flaminia,[153]membiarkan kelemahan Maxentius menarik pemerintahannya lebih jauh ke dalam
kekacauan.[152] Dukungan terhadap Maxentius terus melemah: saat acara balap kereta perang tanggal 27
Oktober, massa mengejek Maxentius secara terbuka, meneriakkan bahwa
Konstantinus tak terkalahkan.[154] Maxentius, yang tidak lagi yakin kalau ia akan menang dalam
pengepungan, membangun sebuah jembatan temporer di Sungai Tiber sebagai
persiapan untuk suatu pertempuran lapangan dengan Konstantinus.[155] Pada tanggal 28 Oktober 312 M, peringatan pemerintahannya yang
keenam, ia mendatangi para penjaga Kitab-Kitab Sibilin untuk
memohon petunjuk. Para penjaga itu meramalkan bahwa, pada hari itu juga,
"musuh orang Romawi" akan mati. Maxentius bergerak maju menuju utara
untuk menemui Konstantinus dalam pertempuran.[156]
Maxentius
mengorganisir pasukannya—dua kali lebih banyak dari pasukan Konstantinus—dalam
barisan memanjang berhadapan dengan dataran medan pertempuran, dalam posisi
membelakangi sungai.[157] Pasukan Konstantinus tiba di medan pertempuran sambil membawa
perisai-perisai dengan simbol-simbol yang tidak lazim bagi mereka ataupun
kebiasaan saat itu.[158] Menurut Laktansius, Konstantinus mendapat suatu mimpi pada malam
sebelum pertempuran yang mengandung pesan agar dia "memberi tanda surgawi
Allah pada perisai-perisai para prajuritnya ... dengan sebuah huruf miring X
yang bagian atas kepalanya dilengkungkan ke bawah, ia menandai Kristus pada
perisai mereka."[159] Eusebius mendeskripsikan versi yang lain: ketika sedang melakukan
mars saat tengah hari, "ia melihat dengan matanya sendiri di langit
terdapat sebuah piala salib yang timbul dari cahaya matahari, mengusung
pesan, In Hoc Signo Vinces (dengan tanda ini engkau akan
menang)";[160] dalam laporan Eusebius, Konstantinus mendapat suatu mimpi pada malam
berikutnya yang mengisahkan bahwa Kristus menampakkan diri dengan tanda surgawi
yang sama, dan mengatakan kepadanya agar membuat suatu standar, labarum, bagi pasukannya dalam bentuk itu.[161] Eusebius tidak yakin mengenai kapan dan di mana peristiwa-peristiwa
tersebut terjadi,[162] tetapi ia memasukkan ceritanya sebelum perang melawan Maxentius dimulai.[163] Eusebius mendeskripsikan tanda itu
sebagai Chi (X)
yang dilintasi oleh Rho (Ρ): ☧, sebuah simbol yang merepresentasikan
dua huruf pertama pengejaan Yunani dari kata Christos (Kristus).[164][165] Pada tahun 315 M, di Ticinum
dikeluarkan sebuah medali yang memperlihatkan Konstantinus sedang mengenakan
helm yang bertuliskan Chi Rho,[166] dan koin-koin yang
dikeluarkan di Siscia pada tahun 317/318 M kembali memuat citra tersebut.[167]Bagaimanapun, figur tersebut jarang ditemukan dan tidak lazim dalam
propaganda maupun ikonografi imperial sebelum tahun 320-an.[168]
Konstantinus
mengerahkan kekuatannya sendiri di sepanjang barisan Maxentius. Ia
memerintahkan kavalerinya untuk melakukan serangan, dan mereka mengalahkan
kavaleri Maxentius. Ia kemudian mengirim kavalerinya untuk menghadapi infanteri
Maxentius dan mendesak mereka ke Sungai Tiber, tempat banyak dari antara mereka
dibunuh atau tenggelam.[157]Pertempuran tersebut berlangsung singkat,[169] pasukan Maxentius dikalahkan sebelum serangan pertamanya.[170] Garda berkuda dan praetoria Maxentius awalnya dapat mempertahankan
posisi mereka, namun pertahanan mereka terpecah oleh kekuatan serangan kavaleri
Konstantinus; barisan mereka juga terpecah dan mereka melarikan diri ke sungai.
Maxentius melarikan diri dengan kudanya bersama mereka, dan berusaha untuk
menyeberangi jembatan, tetapi ia didorong ke dalam Sungai Tiber oleh massa
tentaranya yang melarikan diri, dan ia tenggelam.[171]
Di Roma]
Patung kepala raksasa Konstantinus, dari sebuah patung duduk: suatu citra
resmi duniawi lainnya, muda, klasik (Metropolitan Museum of Art).[172]
Konstantinus
masuk ke Roma pada tanggal 29 Oktober 312.[173][174] Ia menyelenggarakan suatu upacara adventus yang megah
di kota itu, dan disambut orang banyak dengan sorak-sorai.[175] Jenazah Maxentius dikeluarkan dari Sungai Tiber dan kepalanya
dipancung. Kepalanya diarak di jalanan agar dapat dilihat semua orang.[176] Setelah upacara-upacara tersebut, kepala Maxentius dikirim ke Kartago; sejak saat itu, Kartago tidak lagi mengadakan perlawanan.[177] Tidak seperti para pendahulunya, Konstantinus melalaikan kebiasaan
mengunjungi Bukit Capitolinus maupun
melakukan pengurbanan sesuai adat di Kuil Yupiter.[178] Namun, ia memilih untuk menghormati Kuria Senatorial dengan suatu kunjungan.[179] Di tempat itu ia berjanji untuk mengembalikan hak-hak istimewa senat
yang adalah warisan turun-temurun dan memberinya peran yang aman dalam
pemerintahan reformasi Konstantinus: tidak akan ada balas dendam terhadap para
pendukung Maxentius.[180] Sebagai tanggapan, Senat menetapkannya "predikat nama
pertama", yang berarti bahwa namanya akan tercantum pada urutan pertama
dalam semua dokumen resmi,[181] dan mengakuinya sebagai "Augustus terbesar".[182] Ia mengeluarkan dekret-dekret mengenai pengembalian properti yang
hilang selama pemerintahan Maxentius, memulangkan kembali orang-orang buangan
politik, dan membebaskan para penentang Maxentius yang dipenjarakan.[183]
Setelah itu
dilakukan suatu kampanye propaganda yang ekstensif, yang seiring dengannya
citra Maxentius secara sistematis disingkirkan dari semua tempat umum.
Maxentius ditulis sebagai seorang "tiran", dan dibuat berlawanan dengan citra ideal sang "pembebas",
Konstantinus. Eusebius, dalam karya-karyanya belakangan, merupakan representasi
terbaik elemen propaganda Konstantinus tersebut.[184] Berbagai reskrip Maxentius dinyatakan tidak valid, dan gelar-gelar kehormatan yang
telah diberikan oleh Maxentius kepada para pimpinan Senat dibatalkan.[185] Konstantinus juga berupaya untuk menghilangkan pengaruh Maxentius
pada lanskap kota. Semua struktur yang dibangun oleh Maxentius didedikasikan
ulang bagi Konstantinus, termasuk Kuil Romulus dan Basilika Maxentius.[186] Pada titik sentral basilika itu, didirikan sebuah patung batu
Konstantinus yang sedang memegang labarum Kristiani di
tangannya. Inskripsinya memuat pesan yang terkandung secara jelas pada patung
itu: Dengan tanda ini Konstantinus telah membebaskan Roma dari kuk sang tiran.[187]
Dalam hal Konstantinus tidak mengklaim
pencapaian-pencapaian Maxentius, ia mengunggulinya: Circus Maximus dipugar sehingga kapasitas tempat
duduknya dua puluh lima kali lebih besar dibandingkan dengan
kompleks balap Maxentius di Via Appia.[188] Para pendukung terkuat Maxentius dalam militer dihilangkan
pengaruhnya ketika Garda Praetoria dan Garda Berkuda Imperial (equites singulares) dibubarkan.[189] Batu nisan dari makam-makam Garda Berkuda Imperial dihancurkan dan
dimanfaatkan untuk digunakan dalam sebuah basilika di Via Labicana.[190] Pada tanggal 9 November 312 M, hampir dua minggu setelah Konstantinus
merebut kota Roma, bekas pangkalan Garda Berkuda Imperial ditetapkan untuk
dibangun kembali menjadi Basilika Lateran.[191] Legio II Parthica dikeluarkan
dari Albanum (Albano Laziale),[185] dan sisa tentara Maxentius diberikan tugas di daerah perbatasan di
Sungai Rhein.[192]
Perang melawan Lisinius]
Pada tahun-tahun
berikutnya, Konstantinus secara bertahap mengkonsolidasikan superioritas
militernya atas para pesaingnya di dalam Tetrarki yang telah runtuh itu. Pada
tahun 313, ia bertemu dengan Lisinius di Milan untuk mengamankan aliansi mereka melalui pernikahan Lisinius dan
saudari seayah Konstantinus, Konstantia. Selama pertemuan tersebut, para kaisar bersepakat untuk mengeluarkan apa
yang disebut Edik Milan,[193] yang secara resmi memberikan toleransi penuh kepada Kekristenan dan
semua agama di dalam Kekaisaran.[194] Dokumen tersebut mengandung manfaat khusus bagi umat Kristiani, melegalkan
agama mereka dan mengembalikan semua properti mereka yang disita selama
masa penganiayaan Diokletianus. Dokumen tersebut tidak lagi mengakui metode-metode pemaksaan agama
seperti yang pernah dilakukan sebelumnya dan hanya menggunakan istilah-istilah
umum untuk menyebut hal ilahi—"Keilahian" dan "Keilahian
Tertinggi", summa divinitas.[195] Namun konferensi itu dipersingkat karena Lisinius mendapat berita
bahwa Maximinus pesaingnya telah menyeberangi Selat Bosporus dan menginvasi wilayah Eropa. Lisinius berangkat untuk menghadapi
Maximinus dan akhirnya mengalahkan dia, meraih kontrol atas seluruh bagian
timur Kekaisaran Romawi. Hubungan antara kedua kaisar yang tersisa mengalami
kemerosotan, karena Konstantinus mengalami suatu percobaan pembunuhan oleh
seseorang yang hendak diangkat oleh Lisinus menjadi Caesar;[196] Lisinius, karena keterlibatannya, telah menghancurkan patung-patung
Konstantinus di Emona.[197] Pada tahun 314 atau 316, kedua Augusti itu saling memerangi satu sama
lain dalam Pertempuran Cibalae, yang berakhir
dengan kemenangan Konstaninus. Bentrokan antara mereka kembali terjadi
dalam Pertempuran Mardia tahun 317,
dan berakhir dengan satu kesepakatan bahwa putra-putra Konstantinus (Krispus dan Konstantinus II) dan putra Lisinius (Lisinianus) dijadikan para caesars.[198] Setelah pengaturan ini, Konstantinus memerintah keuskupan-keuskupan
sipil Panonia dan Makedonia serta bertempat tinggal di Sirmium. Dari sana ia memerangi kaum Goth dan Sarmatia pada tahun 322, serta
kembali memerangi kaum Goth pada tahun 323.[196]
Pada tahun 320, Lisinius diduga
mengingkari kebebasan beragama sebagaimana dijanjikan dalam Edik Milan tahun 313 dan memulai lagi
penindasan terhadap umat Kristiani,[199] umumnya tanpa pertumpahan
darah, tetapi ia melakukan penyitaan dan pemberhentian para pemegang jabatan
Kristiani.[200] Meskipun karakterisasi
Lisinius sebagai anti-Kristiani sedikit meragukan, kenyataannya adalah ia
tampak jauh lebih tertutup dalam mendukung Kekristenan daripada Konstantinus. Oleh karena itu, Lisinius cenderung memandang Gereja sebagai suatu kekuatan
yang lebih loyal kepada Konstantinus daripada kepada sistem Imperial pada
umumnya[201] – menurut penjelasan sejarawan Gereja yang bernama Sozomen.[202]
Pengaturan yang
meragukan tersebut akhirnya menjadi suatu tantangan bagi Konstantinus di Barat,
berpuncak dalam perang saudara besar pada tahun 324. Lisinius, dibantu
oleh tentara bayaran Goth, merepresentasikan kepercayaan Pagan kuno dari masa lampau. Konstantinus dan kaum Franka yang berada di pihaknya melakukan mars dengan mengusung panji labarum. Kedua belah pihak memandang pertempuran tersebut dari segi keagamaan.
Kendati kalah jumlah, namun dikobarkan oleh semangat mereka, pasukan
Konstantinus menang dalam Pertempuran Adrianopolis. Lisinius melarikan diri ke seberang Selat Bosporus dan menunjuk Martinianus, komandan
pengawalnya, sebagai Caesar. Konstantinus kemudian menang dalam Pertempuran Hellespontus, dan akhirnya Pertempuran Krisopolis pada tanggal 18 September 324.[203] Lisinius dan Martinianus menyerah
kepada Konstantinus di Nikomedia dengan janji bahwa mereka akan dibiarkan
hidup: masing-masing dari mereka dikirim untuk hidup sebagai warga biasa di
Tesalonika dan Kapadokia. Namun, pada tahun 325, Konstantinus mendakwa Lisinius
berkomplot untuk melawannya lalu mereka berdua ditangkap dan dihukum gantung;
putra Lisinius (putra dari saudari seayah Konstantinus) juga dibunuh.[204] Dengan demikian Konstantinus menjadi satu-satunya kaisar dalam
Kekaisaran Romawi.[205]
Kekalahan
Lisinius dianggap merepresentasikan kekalahan dari suatu pusat tandingan
kegiatan politik berbahasa Yunani dan Pagan di Timur, bertentangan dengan Roma
yang berbahasa Latin dan Kristiani, serta dikemukakan bahwa sebuah ibu kota
Timur yang baru seharusnya merepresentasikan integrasi Timur ke dalam
Kekaisaran Romawi secara keseluruhan, sebagai suatu pusat pembelajaran,
kemakmuran, dan pelestarian budaya bagi keseluruhan Kekaisaran Romawi Timur.[206]Di antara beragam lokasi yang dikemukakan sebagai ibu kota alternatif tersebut,
sepertinya Konstantinus telah memikirkan mengenai Serdica (sekarang Sofia), sebab ia dilaporkan mengatakan bahwa "Serdica adalah Romaku".[207] Sirmium dan Tesalonika juga dipertimbangkan.[208] Namun, pada akhirnya
Konstantinus memutuskan kota Yunani Bizantium, yang pada abad sebelumnya telah
dibangun kembali secara ekstensif sesuai pola urbanisme Romawi oleh Septimius Severus dan Caracalla, yang telah mengetahui arti penting
strategisnya.[209] Kota tersebut kemudian didirikan pada tahun 324,[210]didedikasikan pada tanggal 11 Mei 330[210] dan namanya diganti menjadi Konstantinopolis ("Kota
Konstantinus" atau Konstantinopel). Koin-koin peringatan khusus dikeluarkan pada tahun 330 untuk menghormati
peristiwa tersebut. Kota baru itu ditempatkan dalam perlindungan relikui Salib Sejati, Tiang Musa, dan relikui suci lainnya, meskipun terdapat sebuah kameo di Museum Ermitáž yang juga
merepresentasikan Konstantinus dimahkotai oleh tikhe kota baru itu.[211] Figur-figur dewa-dewi lama diganti atau diasimilasikan ke dalam suatu
bingkai simbolisme Kristiani. Konstantinus
membangun Gereja Rasul Suci di lokasi
bekas kuil Afrodit. Di kemudian hari terdapat kisah bahwa suatu penglihatan ilahi membawa
Konstantinus ke tempat ini, dan seorang malaikat yang tidak dapat dilihat orang lain, membawanya menyusuri jalan yang
melingkari tembok baru tersebut. Ibu kota ini sering dibandingkan dengan Roma
'lama' sebagai Nova Roma Constantinopolitana, "Roma Baru
Konstantinopel".[205][212]
Kebijakan keagamaan
Konstantinus
adalah kaisar pertama yang menghentikan penganiayaan terhadap umat Kristiani,
serta melegalkan Kekristenan bersama dengan semua kultus dan agama lainnya di
Kekaisaran Romawi.
Pada bulan
Februari 313, Konstantinus bertemu dengan Lisinius di Milan, tempat mereka
menyusun Edik Milan. Edik tersebut menyatakan bahwa umat Kristiani harus diizinkan untuk
menjalankan praktik keimanan mereka tanpa penindasan.[213] Hukuman karena mengimani Kekristenan, yang telah membuat banyak dari mereka
wafat sebagai martir, dihapuskan,
dan properti Gereja yang sebelumnya disita dikembalikan. Edik tersebut tidak hanya
melindungi umat Kristiani dari penganiayaan keagamaan, tetapi juga penganut
agama yang lain, sehingga mengizinkan semua orang untuk beribadah kepada Tuhan ataupun ilah pilihan mereka. Edik serupa sebelumnya dikeluarkan pada tahun 311
oleh Galerius, kaisar senior dalam Tetrarki; edik Galerius memberikan hak kepada umat Kristiani untuk mempraktikkan
agama mereka, tetapi tidak mengembalikan properti mereka.[214] Edik Milan memuat beberapa klausul yang menyatakan bahwa semua
bangunan gereja yang disita akan dikembalikan bersama dengan properti lain milik umat Kristiani yang sebelumnya mengalami penindasan.
Para akademisi
berdebat seputar apakah Konstantinus mengadopsi Kekristenan sejak kecil
dari St. Helena ibunya, atau apakah ia mengadopsinya secara bertahap seiring
perjalanan hidupnya.[215] Konstantinus mungkin mempertahankan gelar pontifex maximus, suatu gelar yang diberikan kepada kaisar sebagai kepala imam agama Romawi
kuno hingga Gratianus (memerintah tahun 375–383) memutuskan untuk meninggalkan gelar
tersebut.[216][217] Menurut para penulis Kristiani,
Konstantinus telah berusia lebih dari 40 tahun ketika ia menyatakan diri bahwa
ia adalah seorang Kristiani, menulis kepada umat Kristiani untuk menjelaskan
bahwa ia percaya kalau kesuksesannya semata-mata karena perlindungan Allah
Kristiani.[218] Sepanjang pemerintahannya, Konstantinus mendukung Gereja secara
finansial, membangun basilika-basilika, memberikan hak-hak istimewa kepada kaum
klerus (misalnya pembebasan dari pajak tertentu), mempromosikan umat Kristiani
ke jabatan tinggi, dan mengembalikan properti yang disita selama masa
penganiayaan Diokletianus.[219] Proyek bangunan paling terkenal yang ia prakarsai misalnya Gereja Makam Kudus dan Basilika Santo Petrus Lama.
Tampaknya
Konstantinus tidak hanya mendukung Kekristenan saja. Setelah meraih kemenangan
dalam Pertempuran Jembatan Milvius (312), suatu pelengkung kemenangan—Pelengkung Konstantinus—dibangun (315) untuk merayakan kemenangannya. Pelengkung tersebut dihiasi
dengan citra dewi Viktoria. Pada saat dedikasinya, dilakukan pengurbanan-pengurbanan kepada dewa-dewi
seperti Apollo, Diana, dan Herkules. Tidak ada penggambaran simbolisme Kristiani pada Pelengkung tersebut.
Bagaimanapun, karena pembangunannya ditugaskan oleh Senat, ketiadaan simbol-simbol
Kristiani kemungkinan mencerminkan peranan Senat pada saat itu sebagai salah
satu kubu pagan.[220]
Pada tahun 321,
ia mengesahkan bahwa hari matahari yang terhormat harus
menjadi suatu hari istirahat bagi seluruh warga kekaisaran.[221] Pada tahun 323, ia mengeluarkan suatu dekret yang membebaskan
keharusan bagi umat Kristiani untuk berpartisipasi dalam acara pengurbanan
imperial.[222] Selanjutnya, koin Konstantinus
tetap memuat simbol-simbol matahari. Setelah dewa pagan dihilangkan dari
koinnya, simbol-simbol Kristiani tampil sebagai atribut Konstantinus: chi rho di antara kedua tangannya atau
di labarumnya,[223] serta di koin itu sendiri.[224]
Konstantinus membakar buku-buku Arian, penggambaran dari manuskrip abad
ke-9.
Pemerintahan
Konstantinus membentuk suatu preseden terhadap posisi kaisar yang memiliki
pengaruh besar dan otoritas sipil tertinggi di dalam diskusi keagamaan yang
melibatkan beberapa konsili Kristiani pada saat itu, terutama perselisihan
seputar Arianisme. Konstantinus sendiri tidak menyukai risiko yang berdampak pada stabilitas
sosial yang disebabkan oleh perselisihan keagamaan, dan lebih berharap untuk
membangun suatu ortodoksi sejauh memungkinkan.[225] Pengaruhnya atas konsili-konsili
Gereja perdana adalah menegakkan doktrin, menyingkirkan bidah, dan mendukung persatuan gerejawi;
mengenai ibadah, doktrin, maupun dogma yang tercakup merupakan wewenang Gereja
untuk menetapkannya, di tangan para uskup yang
berpartisipasi di dalam konsili.[226]
Peristiwa paling
terkemuka, dari tahun 313 sampai 316, para uskup di Afrika Utara bergulat
dengan uskup-uskup Kristiani lainnya yang telah ditahbiskan oleh Donatus untuk
menentang Sesilianus. Para uskup Afrika tidak dapat meraih kesepakatan dan kaum
Donatis meminta Konstantinus untuk bertindak sebagai hakim dalam perselisihan
tersebut. Tiga konsili regional Gereja dan suatu percobaan lain telah dilakukan
sebelum Konstantinus memutuskan untuk melawan Donatus dan gerakan Donatisme di Afrika Utara. Pada tahun 317, Konstantinus mengeluarkan suatu edik
untuk menyita properti gereja milik kaum Donatis dan mengirim klerus Donatis ke
pengasingan.[227] Peristiwa yang lebih penting, pada
tahun 325, ia menghimpun para uskup dalam Konsili Nicea, yang secara efektif
merupakan Konsili Ekumenis pertama
(kecuali Konsili Yerusalem juga
diklasifikasikan demikian). Konsili tersebut
umumnya dikenal karena menyelesaikan permasalahan dengan Arianisme dan melembagakan Pengakuan Iman Nicea.
Konstantinus
memberlakukan ketetapan dalam Konsili Nicea I yang melarang perayaan Perjamuan Tuhan pada hari sebelum Paskah Yahudi (14 Nisan) (lih. Kuartodesimanisme dan kontroversi Paskah). Hal ini menandai secara definitif pemisahan Kekristenan dari tradisi
Yahudi. Sejak saat itu Kalender Julian Romawi, suatu kalender matahari, diprioritaskan di atas Kalender Ibrani suryacandra di antara
gereja-gereja Kristiani di Kekaisaran Romawi.[228]
Konstantinus membuat beberapa
undang-undang baru terkait kaum Yahudi, tetapi meskipun beberapa edik yang
dikeluarkannya tidak menguntungkan mereka, undang-undang itu lebih lunak
daripada para pendahulunya.[229] Adalah pelanggaran hukum jika kaum Yahudi mencari penganut ataupun
menyerang orang Yahudi lain yang telah menganut Kekristenan.[229] Mereka dilarang memiliki budak dari kaum Kristiani ataupun mengkhitan budak mereka.[230][231] Di sisi lain, klerus Yahudi mendapatkan pengecualian-pengecualian
yang sama seperti klerus Kristiani.[229][232]
Reformasi administratif
Sejak
pertengahan abad ke-3, para kaisar mulai lebih memilih anggota ordo ekuestrian daripada senator, yang telah memonopoli jabatan-jabatan imperial
terpenting. Para senator dicopot dari komando legiun-legiun dan sebagian besar
jabatan gubernur provinsi (sebab mereka dirasa tidak memiliki pendidikan
militer khusus di tengah kebutuhan pertahanan yang mendesak[234]), posisi-posisi tersebut diberikan kepada para ekuestrian oleh
Diokletianus dan kolega-koleganya—mengikuti praktik yang diterapkan sedikit
demi sedikit oleh para pendahulu mereka. Bagaimanapun, para kaisar itu tetap
membutuhkan talenta dan bantuan dari yang kaya raya, yang diandalkan untuk
memelihara tatanan sosial dan kepaduan dengan menggunakan suatu jaringan pengaruh
yang kuat dan kontak di semua tingkatan. Pengecualian pada aristokrasi
senatorial lama mengancam pengaturan ini.
Pada tahun 326,
Konstantinus membalikkan tren pro-ekuestrian tersebut, mengangkat banyak posisi
adminstratif ke pangkat senatorial dan dengan demikian membuka jabatan-jabatan
ini bagi aristokrasi lama. Pada saat yang sama ia mengangkat pangkat para
pemegang jabatan ekuestrian yang telah ada menjadi senator, mendegradasi ordo
ekuestrian—setidaknya sebagai suatu pangkat birokratis[235]—dalam prosesnya, sehingga pada akhir abad ke-4 gelar perfectissimus hanya
diberikan kepada para pejabat menengah ke bawah.
Dengan
pengaturan baru yang dilakukan Konstantinus itu, seseorang dapat menjadi
senator baik dengan terpilih sebagai pretor ataupun (dalam kebanyakan kasus) dengan mengisi salah satu fungsi
dalam peringkat senatorial:[236] sejak saat itu, memegang kekuasaan yang sesungguhnya dan status
sosial dilebur bersama ke dalam suatu hierarki imperial gabungan. Pada saat
yang sama, bersamaan dengan hal itu, Konstantinus mendapatkan dukungan
bangsawan lama,[237] karena Senat dapat memilih para pretor dan kuestor, sebagai ganti praktik yang lazim dari para kaisar yang secara langsung
menciptakan magistrat (adlectio) baru. Dalam suatu inskripsi untuk
menghormati prefek kota (336–337) Ceionius Rufus Albinus, tertulis bahwa Konstantinus
memulihkan "auctoritas [Senat] yang telah hilang pada zaman Caesar".[238]
Senat sebagai
suatu badan tetap tidak memiliki kekuasaan yang signifikan; namun demikian,
para senator, yang sepanjang abad ke-3 telah terpinggirkan sebagai orang-orang
yang berpotensi memegang fungsi imperial, sekarang dapat menentang
posisi-posisi tersebut bersama dengan para birokrat yang lebih baru diangkat.[239] Beberapa sejarawan modern memandang bahwa dalam reformasi
administratif ini terdapat suatu upaya oleh Konstantinus untuk mengintegrasikan
kembali tatanan senatorial ke dalam elite administratif imperial untuk
menangkal kemungkinan keterasingan senator-senator pagan dari Kristenisasi
peraturan imperial;[240] namun, penafsiran seperti demikian tetap berupa dugaan, mengingat
fakta bahwa tidak ada angka pasti mereka yang pindah keyakinan ke Kristiani di
dalam lingkungan senatorial lama—beberapa sejarawan mengemukakan bahwa konversi
awal dalam aristokrasi lama lebih banyak dari dugaan sebelumnya.[241]
Reformasi
Konstantinus hanya seputar pemerintahan sipil: para pimpinan militer, yang
sejak Krisis Abad Ketiga telah
diangkat sebagai perwira,[242] tetap berada di luar senat, dan mereka baru disertakan oleh anak-anak
Konstantinus.[243]
Reformasi moneter
Setelah inflasi tak terkendali
pada abad ketiga, terkait dengan produksi uang fiat untuk membiayai pengeluaran
publik, Diokletianus telah berupaya membangun kembali kepercayaan publik dengan
mencetak koin perak maupun bilon.
Namun, upaya-upaya yang ia lakukan menemui kegagalan karena pada kenyataannya
mata uang perak tersebut dinilai terlalu tinggi dibandingkan kandungan logam
yang sebenarnya, dan oleh sebab itu hanya dapat beredar dengan tingkat diskonto
besar. Karenanya pencetakan argenteus perak "murni" tersebut dihentikan tidak lama setelah tahun
305, sedangkan mata uang bilon terus digunakan sampai tahun 360-an. Sejak tahun
300-an, Konstantinus meninggalkan upaya apapun untuk memulihkan mata uang
perak, dan lebih memilih untuk berkonsentrasi pada pencetakan keping emas (solidus) standar yang baik dalam jumlah besar, 72 kepingnya setara dengan satu pon
emas. Keping-keping perak baru (dengan nilai sangat rendah) terus dikeluarkan
selama pemerintahan Konstantinus kemudian dan setelah wafatnya. Proses
penarifan ulang atasnya dilakukan secara berkesinambungan hingga pencetakan emas
batangan tersebut dihentikan secara de jure pada tahun 367,
dan kepingan perak ini secara de facto dilanjutkan oleh
beragam denominasi koin perunggu, yang paling penting yaitu centenionalis.[244] Kepingan perunggu ini terus didevaluasi, untuk mempertahankan
pencetakan demi menjaga kepercayaan di samping suatu standar emas. Penulis
anonim dari De Rebus Bellicis, yang kemungkinan adalah risalah kontemporer tentang militer, menyatakan
bahwa, sebagai suatu konsekuensi dari kebijakan moneter ini, kesenjangan antar
kelas semakin melebar: orang kaya diuntungkan karena stabilitas daya beli
kepingan emas, sementara orang miskin harus berhadapan dengan kepingan perunggu
yang terus turun nilainya.[245]Kaisar-kaisar di kemudian hari seperti Yulianus yang Murtad berupaya untuk menampilkan diri mereka sebagai penolong kaum humiles dengan
memaksakan pencetakan mata uang perunggu yang dapat dipercaya.[246]
Kebijakan moneter Konstantinus terkait
erat dengan kebijakan keagamaannya. Meningkatnya pencetakan tersebut dikaitkan
tindakan-tindakan penyitaan—sejak tahun 331 sampai 336—semua patung emas,
perak, dan perunggu dari kuil-kuil pagan, yang ia nyatakan sebagai properti
imperial dan dengan demikian sebagai aset moneter. Dua komisaris imperial untuk masing-masing provinsi diberi tugas untuk
mendapatkan patung-patung tersebut dan meleburnya untuk dicetak menjadi
koin—dengan pengecualian sejumlah patung perunggu yang digunakan sebagai
monumen-monumen publik untuk memperindah ibu kota baru di Konstantinopel.[247]
Eksekusi Krispus dan Fausta
Pada suatu waktu
antara tanggal 15 Mei dan 17 Juni 326, Konstantinus menangkap Krispus, putra sulungnya dari Minervina, dan membunuhnya dengan menggunakan
"racun dingin" di Pola (Pula, Kroasia).[248] Pada bulan Juli, Konstantinus membunuh Maharani Fausta istrinya dengan menempatkannya dalam sebuah tempat mandi yang
panasnya berlebihan.[249] Nama-nama mereka dihapus dari permukaan banyak inskripsi, referensi
kehidupan mereka dalam catatan literer dihapuskan, dan kenangan atas keduanya
disingkirkan. Eusebius, misalnya, mengedit pujian bagi Krispus dari salinan-salinan
kemudian Historia Ecclesiastica karyanya, dan Vita Constantini karyanya sama sekali
tidak menyebutkan Fausta ataupun Krispus.[250] Hanya sedikit sumber kuno yang membahas kemungkinan motif
Konstantinus terkait peristiwa-peristiwa tersebut; semua sumber yang ada itu
menyajikan alasan-alasan yang tidak meyakinkan dan secara umum tidak dapat
diandalkan.[251] Pada saat eksekusi, secara umum diyakini bahwa Maharani Fausta
terlibat dalam hubungan terlarang dengan Krispus atau menyebarkan rumor seperti
itu. Berkembang suatu mitos populer, dimodifikasi sesuai legenda Hippolitus–Faedra, yang
beranggapan bahwa Konstantinus membunuh Krispus dan Fausta karena perilaku
amoral mereka.[252] Salah satu sumber, Kisah Sengsara Artemius yang
utamanya dipandang sebagai karya fiksi, kemungkinan ditulis pada abad ke-8
oleh Yohanes dari Damaskus, terkait secara eksplisit dengan legenda itu.[253] Sebagai suatu interpretasi atas eksekusi-eksekusi tersebut: legenda
itu dianggap hanya bertumpu pada "bukti yang paling tipis":
sumber-sumber yang menyinggung hubungan antara Krispus dan Fausta baru ditulis
di kemudian hari dan tidak dapat diandalkan, serta pengemukaan modern bahwa
edik-edik "saleh" Konstantinus pada tahun 326 dapat terkait dengan
penyimpangan Krispus tidak bersandar pada bukti apapun.[252]
Meskipun Konstantinus menjadikan
ahli-ahli warisnya sebagai para "Caesar", mengikuti suatu pola yang
dibangun oleh Diokletianus, ia menjadikan mereka suatu karakter turun-temurun,
yang asing bagi sistem tetrarki: para Caesar Konstantinus dijaga dengan harapan
untuk naik ke Kekaisaran, dan sepenuhnya sebagai subordinasi dari Augustus
mereka, sepanjang ia masih hidup.[254] Oleh karenanya, salah satu
penjelasan alternatif mengenai eksekusi Krispus adalah, mungkin, keinginan
Konstantinus untuk mempertahankan para ahli warisnya yang prospektif, hal
ini—dan keinginan Fausta agar yang menjadi pewaris adalah para putranya bukan
saudara tiri mereka—dapat menjadi alasan untuk membunuh Krispus; sementara
Fausta yang dieksekusi belakangan kemungkinan dimaksudkan sebagai suatu
pengingat bagi anak-anaknya bahwa Konstantinus tidak akan ragu-ragu
"membunuh keluarganya sendiri ketika ia merasa hal ini diperlukan".[255]
Konstantinus
menganggap Konstantinopel sebagai ibu kota dan tempat tinggal permanennya. Ia
tinggal di sana hampir sepanjang sisa hidupnya kemudian. Ia membangun kembali
jembatan Trajanus di Sungai Donau (Danube), dengan harapan merebut
kembali Dacia, suatu provinsi yang telah ditinggalkan pada masa pemerintahan Aurelianus.
Pada akhir musim dingin tahun 332, Konstantinus melakukan kampanye militer
bersama dengan kaum Sarmatia untuk melawan suku Goth. Cuaca dan kurangnya makanan mengakibatkan kerugian besar bagi suku Goth:
kabarnya, hampir seratus ribu orang meninggal dunia sebelum mereka tunduk pada
Roma. Pada tahun 334, setelah rakyat jelata Sarmatia menggulingkan pimpinan
mereka, Konstantinus memimpin suatu kampanye melawan suku tersebut. Ia
memperoleh kemenangan dalam perang itu dan memperluas kekuasaannya atas wilayah
tersebut, sebagaimana diindikasikan oleh sisa-sisa kamp dan benteng di wilayah
tersebut.[256] Konstantinus memukimkan kembali beberapa orang buangan Sarmatia
sebagai petani-petani di berbagai distrik Romawi dan Iliria, serta
memberlakukan wajib militer atas selebihnya ke dalam ketentaraan. Konstantinus
menggunakan gelar Dacicus maximus pada tahun 336.[257]
Dalam
tahun-tahun terakhir hidupnya, Konstantinus merencanakan suatu kampanye
melawan Persia. Dalam sebuah
surat yang ditulis kepada raja Persia, Shapur II, Konstantinus menegaskan dukungannya pada orang-orang Kristiani Persia dan
mendesak Shapur untuk memperlakukan mereka dengan baik.[258] Surat tersebut tidak dapat ditarikhkan. Menanggapi serangan-serangan
mendadak di perbatasan, Konstantinus mengutus Konstantius untuk menjaga
perbatasan timur pada tahun 335. Pada tahun 336, pangeran Narseh menginvasi Armenia (suatu kerajaan Kristiani sejak tahun 301) dan
menobatkan seorang klien Persia ke atas takhtanya. Konstantinus kemudian memutuskan untuk
melakukan sendiri kampanye terhadap Persia. Ia memperlakukan perang tersebut
sebagai suatu perang salib Kristiani, meminta para uskup untuk menemani pasukan
dan membangun sebuah tenda dalam bentuk bangunan gereja untuk mengiringinya.
Konstantinus berencana untuk dibaptis di Sungai Yordan sebelum menyeberang ke Persia. Utusan-utusan Persia datang ke
Konstantinopel selama musim dingin tahun 336–337 untuk mengupayakan perdamaian,
tetapi Konstantinus menolak mereka. Kampanye tersebut lalu dibatalkan karena
Konstantinus jatuh sakit pada musim semi tahun 337.[259]
Penyakit dan wafatnya
Konstantinus
telah menyadari bahwa hidupnya di dunia akan segera berakhir. Di dalam Gereja
Rasul Suci, Konstantinus diam-diam menyiapkan makam baginya.[260] Kenyataannya datang lebih cepat dari perkiraannya. Tidak lama setelah
Hari Raya Paskah tahun 337, Konstantinus menderita sakit parah.[261] Ia meninggalkan Konstantinopel untuk mandi air panas di dekat kota
ibunya, yaitu Helenopolis (Altinova), di pesisir selatan Teluk Nikomedia
(sekarang Teluk İzmit). Di sana, di dalam suatu gereja yang dibangun ibunya untuk menghormati
Rasul Lusianus, ia berdoa, dan di sana ia menyadari bahwa ia sedang sekarat. Ia
mencari pemurnian dari dosa dan menjadi seorang katekumen, serta berusaha kembali ke Konstantinopel, walau hanya berhasil sampai
daerah pinggiran kota Nikomedia.[262] Ia memanggil para uskup, dan menyampaikan kepada mereka harapannya
untuk dibaptis di Sungai Yordan, tempat Yesus dibaptis sesuai yang tertulis. Ia meminta agar segera
dibaptis, berjanji untuk menjalani kehidupan yang lebih Kristiani seandainya ia
dapat sembuh dari penyakitnya. Menurut catatan Eusebius, para uskup
"melangsungkan upacara suci sesuai kebiasaan".[263] Ia meminta uskup dari kota tempat ia terbaring sekarat, Eusebius dari Nikomedia yang cenderung mendukung Arian, sebagai pembaptisnya. Mengenai penundaan pembaptisannya,
hingga ia merasa layak, ia mengikuti kebiasaan pada saat itu yang menunda
pembaptisan hingga melewati masa bayi. Hingga sekarang Konstantinus dianggap menunda pembaptisannya selama
mungkin agar dapat sebanyak-banyaknya terbebas dari dosa.Tidak lama kemudian Konstantinus
wafat di suatu vila di pinggiran kota yang disebut Achyron, pada hari terakhir
dari lima puluh hari perayaan Pentakosta setelah Paskah, pada tanggal 22 Mei
337.
Di dalam laporan
Eusebius, wafatnya Konstantinus menyusul berakhirnya kampanye Persia.
Bagaimanapun, kebanyakan sumber lainnya melaporkan kalau wafatnya terjadi saat
kampanye tengah berlangsung. Kaisar Yulianus (keponakan Konstantinus), menulis pada pertengahan tahun 350-an,
menyampaikan bahwa Kekaisaran Sasaniyah lolos dari
hukuman atas perbuatan-perbuatan buruk mereka karena Konstantinus wafat
"di tengah-tengah persiapan untuk perang".[268]Laporan-laporan serupa tercantum
dalam Origo Constantini, sebuah dokumen anonim yang ditulis ketika
Konstantinus masih hidup, dan yang mengisahkan wafatnya Konstantinus di
Nikomedia;[269] Historiae abbreviatae dari
Sextus Aurelius Victor, ditulis tahun 361, yang mengisahkan wafatnya
Konstantinus di suatu properti di dekat Nikomedia yang disebut Achyrona ketika
melakukan mars untuk melawan bangsa Persia;[270] dan Breviarium dari
Eutropius, sebuah buku pedoman yang disusun pada tahun 369 untuk Kaisar Valens, yang mengisahkan wafatnya Konstantinus
di suatu vila pemerintah yang tidak disebutkan namanya di Nikomedia.[271] Dari laporan-laporan ini dan yang lainnya, beberapa kalangan
menganggap kalau Vita karya Eusebius telah diedit untuk
mempertahankan reputasi Konstantinus dari hal-hal yang dianggap Eusebius kurang
pantas terkait kampanye tersebut.[272]
Setelah
wafatnya, jenazah Konstantinus dipindahkan ke Konstantinopel dan dimakamkan
di Gereja Rasul Suci di sana.[273] Ia digantikan oleh ketiga putranya dari Fausta, yaitu Konstantinus II, Konstantius II, dan Konstans. Sejumlah kerabatnya dibunuh oleh para pengikut Konstantius, khususnya
keponakan-keponakan Konstantinus yang bernama Dalmatius (yang berpangkat Caesar) dan Hannibalianus, diduga untuk menghilangkan potensi saingan dalam suatu suksesi yang sudah
cukup kompleks. Ia juga memiliki dua putri, Konstantina dan Helena, istri Kaisar Yulianus.[274]
Meskipun Konstantinus diberi sebutan kehormatan "Agung" (bahasa Inggris: The Great; "Μέγας") oleh para sejarawan Kristiani jauh setelah wafatnya, ia dapat saja mengklaim gelar tersebut semata-mata karena berbagai kemenangan dan pencapaian militernya. Selain mempersatukan Kekaisaran di bawah
kepemimpinan satu orang kaisar, ia memperoleh kemenangan-kemenangan besar
atas kaum Franka dan Alemanni antara tahun 306–308, atas kaum Franka lagi antara tahun 313–314,
atas kaum Goth pada tahun 332, dan atas kaum Sarmatia pada tahun 334. Pada tahun 336, Konstantinus kembali menduduki hampir
seluruh provinsi Dacia yang telah lama terlepas, sejak Aurelianus terpaksa melepaskannya pada tahun 271. Pada saat wafatnya, ia sedang
merencakan suatu ekspedisi besar untuk mengakhiri serangan-serangan yang
dilakukan Kekaisaran Persia atas provinsi-provinsi timur.[275]Dengan total masa pemerintahan 31 tahun (gabungan masa pemerintahannya
sebagai rekan-penguasa dan penguasa tunggal), ia menjadi kaisar yang paling
lama menjabat sejak Augustus dan kaisar kedua yang paling lama menjabat dalam sejarah Romawi.
Dalam ranah
budaya, Konstantinus memiliki kontribusi terhadap bangkitnya mode wajah yang
dicukur bersih di antara para kaisar Romawi dari Augustus sampai Trajanus, yang awalnya diperkenalkan di kalangan Romawi oleh Scipio Afrikanus. Mode baru imperial Romawi itu bertahan hingga masa pemerintahan Fokas.[276][277]
Kekaisaran
Bizantin memandang Konstantinus sebagai pendirinya, dan Kekaisaran Romawi Suci memperhitungkan dia di antara para figur terhormat dari tradisinya.
Dalam Kekaisaran Bizantin di kemudian hari, adalah suatu kehormatan besar bagi
seorang kaisar jika dipuji sebagai seorang "Konstantinus baru".
Sepuluh kaisar, termasuk kaisar terakhir Kekaisaran Romawi Timur, menyandang julukan tersebut.[278] Beragam bentuk monumental Konstantinian digunakan di istana Charlemagne untuk mengesankan bahwa ia adalah penerus Konstantinus dan setara
dengannya. Konstantinus mendapat suatu peran dalam mitos sebagai seorang
pejuang penentang "kaum kafir". Motif ekuestrian Romanesque, figur
penunggang kuda dalam postur kaisar Romawi yang berjaya, menjadi suatu metafora
visual dalam patung-patung untuk memuji para dermawan daerah setempat. Nama
"Konstantinus" sendiri kembali populer di Perancis barat pada abad
ke-11 dan ke-12.[279]Gereja Ortodoks memandang Konstantinus
sebagai seorang santo (Άγιος Κωνσταντίνος, Santo
Konstantinus), yang diperingati setiap tanggal 3 September,[280] dan menyebutnya isapostolos (Ισαπόστολος
Κωνσταντίνος)—orang yang setara dengan para Rasul.[281]
Bandar
Udara Niš dinamai "Konstantinus Agung" untuk
menghormati dirinya. Sebuah Salib besar pernah
direncanakan untuk dibangun di atas bukit yang menghadap Niš, Serbia, tetapi proyek ini
kemudian dibatalkan.[282] Pada tahun 2012, sebuah memorial didirikan di Niš untuk
menghormatinya. Peringatan Edik Milan diadakan di Niš pada
tahun 2013.[283]
Selama masa
hidupnya dan para putranya, Konstantinus disajikan sebagai suatu teladan
kebajikan. Kaum pagan seperti Praxagoras dari Athena dan Libanius melontarkan banyak pujian mengenainya. Namun, ketika yang terakhir
dari para putranya wafat pada tahun 361, Yulianus yang Murtad keponakannya (dan menantunya) menulis satire Simposium, atau
Saturnalia yang merendahkan Konstantinus, menyebut dia inferior
dibandingkan dengan para kaisar besar pagan, serta menghubungkannya dengan
kemewahan dan keserakahan.[284] Setelah Yulianus, Eunapius memulai—dan Zosimus melanjutkan—suatu tradisi
penulisan sejarah yang menyalahkan Konstantinus karena memperlemah Kekaisaran
melalui keberpihakannya pada kaum Kristiani.[285]
Dalam dunia
Timur maupun Barat pada abad pertengahan, Konstantinus disajikan sebagai
seorang penguasa yang ideal, tolok ukur setiap raja ataupun kaisar.[285] Penemuan kembali sumber-sumber anti-Konstantinian pada Abad Renaisans memicu penilaian ulang terhadap karier Konstantinus. Seorang humanis
Jerman bernama Johann Löwenklau, penemu tulisan-tulisan Zosimus, memublikasikan suatu terjemahan Latin
daripadanya pada tahun 1576. Dalam kata pengantarnya, ia berpendapat bahwa
penggambaran Zosimus mengenai Konstantinus lebih baik daripada yang disajikan
oleh Eusebius dan para sejarawan Gereja, menawarkan suatu pandangan yang lebih
seimbang.[286] Kardinal Caesar Baronius, seorang tokoh Kontra Reformasi, lebih menyukai laporan Eusebius dari era Konstantinian. Kisah
Hidup Konstantinus (1588) karya Baronius menyajikan Konstantinus
sebagai model seorang pangeran Kristiani.[287] Dalam Sejarah Kemunduran dan Kejatuhan Kekaisaran Romawi (1776–89)
karyanya, Edward Gibbon,
yang bertujuan menyatukan kedua ekstrem keilmuan Konstantinian, menawarkan
suatu citra Konstantinus yang dibangun berdasarkan narasi-narasi dari Eusebius
dan Zosimus yang dikontraskan.[288] Dengan suatu bentuk yang
menyejajarkan laporan karyanya mengenai kemunduran Kekaisaran Romawi, Gibbon
menyajikan Konstantinus dalam versi seorang pahlawan perang terhormat yang
dirusakkan oleh pengaruh Kristiani, yang berubah menjadi seorang diktator
Oriental pada masa tuanya: "seorang pahlawan ... mengalami kemerosotan
menjadi seorang penguasa yang kejam dan tak bermoral".[289]
Interpretasi
modern tentang pemerintahan Konstantinus diawali dengan Zaman
Konstantinus Agung (1853, rev. 1880) karya Jacob Burckhardt. Konstantinus versi Burchhardt adalah seorang sekularis licik, seorang
politisi yang memanipulasi semua pihak dalam usaha untuk mengamankan
kekuasaannya sendiri.[290] Henri Grégoire, menulis pada tahun 1930-an, mengikuti penilaian Burckhardt mengenai
Konstantinus. Menurut Grégoire, Konstantinus menjadi berminat pada Kekristenan
setelah melihat manfaatnya secara politis. Grégoire merasa skeptis dengan
autentisitas Vita karya Eusebius, dan mendalilkan sebuah
pseudo-Eusebius untuk memikul tanggung jawab atas narasi-narasi penglihatan dan
konversi dalam karya tersebut.[291] Otto Seeck, dalam Geschichte des Untergangs der antiken Welt (1920–23),
dan André Piganiol, dalam L'empereur Constantin (1932),
menuliskan hal berlawanan dengan tradisi kesejarahan itu. Seeck menyajikan
Konstantinus sebagai seorang pahlawan perang yang tulus, dan ambiguitasnya
merupakan akibat dari inkonsistensinya yang naif.[292] Konstantinus versi Piganiol adalah seorang monoteis yang filosofis,
seorang anak dari sinkretisme religius pada zamannya.[293] Riwayat-riwayat sejarah yang berkaitan karya A. H. M. Jones (Konstantinus dan Konversi Eropa, 1949) dan Ramsay MacMullen (Konstantinus, 1969) memberikan gambaran-gambaran dari seorang
Konstantinus yang kurang visioner dan lebih impulsif.[294]
Laporan-laporan
belakangan lebih cenderung menyajikan Konstantinus sebagai seseorang yang
benar-benar melakukan konversi diri ke dalam Kekristenan. Dimulai dari Konstantinus
Agung dan Gereja Kristiani (1929) karya Norman H. Baynes, dan dipertegas dengan Konversi Konstantinus dan Roma Pagan (1948)
karya Andreas Alföldi, berkembang
suatu tradisi kesejarahan yang menyajikan Konstantinus sebagai seorang
Kristiani yang berkomitmen. Karya penting Timothy Barnes yang berjudul Konstantinus dan Eusebius (1981)
merepresentasikan puncak dari tren tersebut. Konstantinus versi Barnes
mengalami suatu konversi radikal, yang mendorongnya melakukan suatu perjuangan
pribadi untuk mengonversi kekaisarannya.[295] Konstantinus dan Kekaisaran Kristiani (2004) karya
Charles Matson Odahl memuat tema yang kurang lebih sama.[296] Terlepas dari karya tulis Barnes, argumen-argumen mengenai kekuatan
dan kedalaman konversi religius Konstantinus terus berlanjut.[297] Tema-tema tertentu dalam mazhab
ini mencapai ekstrem baru dalam Kekristenan Konstantinus Agung (1996)
karya T.G. Elliott, yang menyajikan Konstantinus sebagai seorang Kristiani yang
berkomitmen sejak ia masih anak-anak berusia dini.[298] Pandangan serupa tentang Konstantinus termuat dalam Quand
notre monde est devenu chrétien, karya Paul Veyne tahun 2007, yang tidak berspekulasi seputar asal mula motivasi
Kristiani Konstantinus, tetapi menyajikan dirinya, dalam perannya sebagai
Kaisar, sebagai seorang revolusioner keagamaan yang sangat meyakini bahwa
dirinya dimaksudkan "untuk memainkan suatu peran seturut waktunya dalam
karya milenium keselamatan umat manusia".[299]
(sumber: wikipedia)
No comments:
Post a Comment