Saturday, November 29, 2014

Arwah Makan Singkong

Orang-orang kampung baru saja selesai bekerja bakti. Saat mereka sedang beristirahat, seorang mengedarkan sepiring singkong rebus. Seorang anak yang terburu-buru tak sengaja menjatuhkan singkongnya.
"Ah, sial", ujar anak itu seraya mengangkat kakinya hendak menginjak singkong yang jatuh.
"He jangan", cegah seorang kakek, "Ambil saja lagi yang baru". "
Memang kenapa kong?" tanya anak itu.
"Singkong yang udah jatuh itu kan gak bakal akan ada yang mengambil?"
"Kau salah nak", sahut kakek itu, "Singkong itu jatuh karena ada yang menginginkannya".
"Siapa yang menginginkan singkong yang tergeletak di tanah?"
"Arwah orang yang sudah meninggal. Mungkin juga arwah salah satu kerabatmu".
"Sungguhkah?"
"Ya, jlka ada makanan yang kau pegang, namun belum tergigit, jatuh tanpa sebab, itu berarti makanan itu diinginkan oleh arwah seseorang. Maka jangan sekali-kali kau menginjak makanan itu".
 "Lalu bagaimana jika makanan yang jatuh itu dipatuk ayam?" tanya seorang anak muda.
"Itu berarti ada arwah yang sangat menginginkanya yang pengin makan singkong", Kakek menjelaskanya "maka arwah itu memakannya melalui ayam atau binatang lainnya".
"Betul tuh apa kata Engkong", sambung seorang laki-laki. Apa lagi jika itu terjadi dalam acara tahlilan".
"Mengapa dengan cara tahlilan?" seorang anak bertanya.
"Kau tahu", kakek menuturkan. "Dalam acara tahlilan terkadang ada minuman tertumpah itu pertanda arwah orang yang tengah ditahlilkan menginginkan minuman itu. Jadi jangan sekali-kali kau seka genangan minuman itu.
 

Thursday, November 27, 2014

Jenis-jenis Hantu Di Indonesia

Burong Tujoh dalam kepercayaan masyarakat Aceh merupakan sejenis setan, makhluk gaib yang tidak terlihat dan senang menggangu anak-anak kecil maupun perempuan yang sedang hamil. Orang yang dirasuki burong tujoh akan terlihat mengerikan, yaitu mata si korban terlihat melotot, terbelalak dan terus menerus melihat keatas. Koban kerasukan burrong tujoh akan terlihat kesakitan dan menderita hingga pada taraf kehilangan kesadarannya. Bagi korban kerasukan biasanya akan diobati oleh seorang pawang dimana si korban akan dimantrai dengan bacaan-bacaan mantra, biasanya setelah diobati korban akan kembali kesadarannya dan kondisinya berangsur-angsur membaik.
 

Geunteut adalah sebuah sebutan dari masyarakat di Provinsi Aceh guna menamai suatu makhluk gaib yang pada masa lalu secara umum diyakini ada di tengah kehidupan masyarakat tradisional Aceh. Geunteut adalah semacam makhluk gaib berupa hantu dengan wujud hitam dan berukuran sangat tinggi. Geunteut biasa ditemui ditengah jalan, menghadang perjalanan orang diwaktu malam hari. Geunteut bergerak dengan melangkahkan kakinya yang panjang dan menghilang dibalik rumpun bambu maupun semak belukar.
Beuno adalah sejenis makhluk gaib jahat yang diyakini oleh masyarakat tradisional di provinsi Aceh. Beuno adalah setan yang mengganggu orang tidur dengan cara menindih korbannya atau dalam kultur Jawa disebut ketindihan. Gejala korban dari perbuatan beuno ditandai dengan sikorban tidur pulas dan diiringi dengan suara dengkuran yang keras, diyakini bahwa suara dengkuran itu tanda bahwa si korban sedang dicekik oleh beuno

Balum Beude adalah sejenis makhluk halus yang dipercayai oleh masyarakat pesisir provinsi Aceh menghuni perairan sungai, muara sungai dan perairan pantai. Dalam tradisi lokal masyarakat tradisional di Aceh makhluk ini berupa setan yang tidak bisa dilihat oleh mata[1]. Sewaktu-waktu makhluk ini menampakkan wujudnya pada manusia dalam bentuk serupa hamparan tikar berwarna merah yang melayang di permukaan air. Bagi masyarakat yang berdomisili di pantai utara bagian timur Aceh makhluk ini dinamai pula dengan Baluem Bili, ada pula yang menyebutnya sebagai hantu gulungan tikar. Hingga tahun 80-an jika ada korban tenggelam di sungai atau perairan lainnya hingga meninggal seringkali dikaitkan dengan keberadaan makhluk ini.

Sane dalam tradisi kepercayaan masyarakat Aceh disebutkan untuk sejenis roh halus atau makhluk gaib yang bersemayam di rawa-rawa, sungai dan sungai mati. Sane dipercaya hinggap pada batang kayu yang ada di tempat yang dicurigai menjadi lokasi hunian sane. Sane adalah makhluk gaib yang jahat, apabila ada orang yang menyentuh batang kayu hunian sane, maka orang itu akan merasa sakit seluruh tubuhnya hingga ke tulang-tulangnya. Rasa sakit yang diakibatkan oleh sane adalah seperti ditusuk ribuan jarum dan duri[1].
 
Kuntilanak (bahasa Melayu: Pontianak atau Puntianak, atau sering disingkat kunti) adalah hantu yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia atau wanita yang meninggal karena melahirkan dan anak tersebut belum sempat lahir. Nama "puntianak" merupakan singkatan dari "perempuan mati beranak"[1]. Mitos ini mirip dengan mitos hantu langsuir yang dikenal di Asia Tenggara, terutama di nusantara Indonesia. Mitos hantu kuntilanak sejak dahulu juga telah menjadi mitos yang umum di Malaysia setelah dibawa oleh imigran-imigran dari nusantara. Kota Pontianak mendapat namanya karena konon Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak, diganggu hantu ini ketika akan menentukan tempat pendirian istana

Sundel bolong (dalam bahasa melayu: sundal bolong) adalah mitos hantu dari nusantara yang umumnya digambarkan sebagai wanita cantik berambut panjang dan bergaun panjang warna putih yang bolong ("berlubang tembus") di bagian punggung yang sedikit tertutup rambut panjangnya sehingga organ-organ tubuh bagian perut terlihat.[1]Banyak yang menyangka bahwa Sundel Bolong sama dengan Kuntilanak, karena dalam mitosnya, keduanya digambarkan sama-sama berambut panjang dan mengenakan gaun putih.[1]Hal yang membedakan antara penggambaran sundel bolong dengan kuntilanak adalah punggungnya yang bolong (berlubang).[1]
Mitos hantu sundel bolong juga telah menjadi mitos yang umum di Malaysia setelah dibawa oleh imigran-imigran dari nusantara.
 
Tuyul (bahasa Jawa: thuyul) dalam mitologi Nusantara, terutama di Pulau Jawa, adalah makhluk halus berwujud anak kecil atau orang kerdil dengan kepala gundul. Penggambaran lainnya yang tidak disepakati semua orang adalah kulit berwarna keperakan, bersifat sosial (dalam pengertian memiliki masyarakat dan pemimpin), serta bersuara seperti anak ayam. Tuyul dapat dipekerjakan oleh seorang majikan manusia untuk alasan tertentu, terutama mencuri (uang). Untuk menangkal tuyul, orang memasang yuyu di sejumlah sudut rumah karena tuyul dipercaya menyukai yuyu sehingga ia lupa akan tugas yang dibebankan pemiliknya.
Kejadian tuyul dipercaya berasal dari janin orang yang keguguran atau bayi yang mati ketika lahir. Karena berasal dari bayi, karakter tuyul juga seperti anak-anak: gemar bermain (seperti laporan orang melihat sejumlah tuyul bermain pada tengah malam, dsb.). Kemungkinan besar tuyul juga sejenis alien.
Dalam dunia hiburan, tuyul muncul dalam berbagai film komedi atau horor. Salah satu sinetron yang populer melibatkan tuyul, yaitu Tuyul dan Mbak Yul yang populer pada tahun 1990-an di RCTI dan Tuyul Millennium yang populer pada tahun 2004 di TPI. Sinetron Tuyul dan Mbak Yul tayang ulang di Lativi. Pemerannya adalah Ony Syahrial yang populer di sinetron Tuyul dan Mbak Yul dan Tuyul Millennium. Dia juga sebagai pengisi suara Crayon Shin-chan di RCTI.

Pocong adalah sejenis hantu yang berwujud guling. Di Malaysia, hantu semacam ini dikenal pula sebagai hantu bungkus
Penggambaran pocong bervariasi. Dikatakan, pocong memiliki wajah berwarnah hijau dengan mata yang kosong. Penggambaran lain menyatakan, pocong berwajah "rata" dan memiliki lubang mata berongga atau tertutup kapas dengan wajah putih pucat. Mereka yang percaya akan adanya hantu ini beranggapan, pocong merupakan bentuk "protes" dari si mati yang terlupa dibuka ikatan kafannya sebelum kuburnya ditutup. Meskipun di film-film pocong sering digambarkan bergerak melompat-lompat, mitos tentang pocong malah menyatakan pocong bergerak melayang-layang. Hal ini bisa dimaklumi, sebab di film-film pemeran pocong tidak bisa menggerakkan kakinya sehingga berjalannya harus melompat-lompat. Keadaan ini pula yang menimbulkan suatu pernyataan yang biasa dipakai untuk membedakan pocong asli dan pocong palsu di masyarakat:
Kepercayaan akan adanya hantu pocong hanya berkembang di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Walaupun penggambarannya mengikuti tradisi muslim, umat beragama lain pun ternyata dapat mengakui eksistensi hantu ini.

Genderuwa (dalam pengucapan Bahasa Jawa: "Genderuwo") adalah mitos Jawa tentang sejenis bangsa jin atau makhluk halus yang berwujud manusia mirip kera yang bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan, tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuh. Genderuwa dikenal paling banyak dalam masyarakat di Pulau Jawa, Indonesia. Orang Sunda menyebutnya "gandaruwo" dan orang Jawa umumnya menyebutnya "gendruwo". [1] .
Habitat hunian kegemarannya adalah batu berair, bangunan tua, pohon besar yang teduh atau sudut-sudut yang lembap sepi dan gelap. Menurut mitos, pusat domisili makhluk ini dipercaya berada di daerah hutan seperti Hutan Jati Cagar Alam Danalaya, kecamatan Slogohimo, sekitar 60 km di sebelah timur Wonogiri, dan di wilayah Lemah Putih, Purwosari, Girimulyo di Kulon Progo, sekitar 60 km ke barat Yogyakarta.

Wewe Gombel atau juga disebut Nenek Gombel adalah sebuah istilah dalam tradisi Jawa yang berarti roh jahat atau hantu yang suka menculik anak-anak, tapi tidak mencelakainya. Konon anak yang diculik biasanya anak-anak yang ditelantarkan dan diabaikan oleh orang tuanya. Wewe Gombel biasanya akan menakut-nakuti orang tua si anak atas sikap dan perlakuannya kepada anaknya sampai mereka sadar. Bila mereka telah sadar, Wewe Gombel akan mengembalikan anaknya.

Menurut cerita, mitos Wewe Gombel dipercayai digunakan untuk menakut-nakuti anak-anak agar mereka tidak berkeliaran di waktu malam hari. Sebab pada masa lalu, keadaan gelap gulita amat berbahaya karena hewan buas mungkin memasuki kawasan perkampungan dalam kegelapan malam. Oleh karena itu, Wewe Gombel diciptakan untuk menyelamatkan mereka dari ancaman tersebut. Wewe Gombel biasanya digambarkan dengan sosok wanita tua keriput dengan payudara yang terlihat panjang dan menggantung.
Nama Wewe Gombel dengan penggambaran umum seperti yang tertuis di atas mungkin juga bukan sekedar isapan jempol belaka, atau suatu analisis logis mengenai salah satu bentuk motivasi orang-orang dulu (tatanan masyarakat primodial) untuk mengantisipasi tindakan yang mengundang kebiasaan-kebiasaan buruk yang berpotensi melanggar aturan. Misalnya anak-anak yang seharusnya belajar di malam hari atau berkumpul bersama keluarga tapi malah bermain di luar rumah dan tanpa pengawasan orang. Cerita tentang adanya sosok Wewe Gombel secara turun temurun dan paralel menyebar ke berbagai individu yang sebagaian dari para individu itu mungkin juga secara sepihak mengarang definisi tambahan mengenai sosok Wewe Gombel, kemudian merebak ke segala arah dan dikomsumsi oleh banyak pihak. Konon katanya, Wewe Gombel berasal dari sebuah bukit di kawasan Gombel, Semarang. Dahulu, banyak orang mati di bukit itu akibat pembantaian di masa penjajahan Belanda.

Orang bunian atau sekedar bunian adalah mitos sejenis makhluk halus dari wilayah Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia. Berdasar mitos tersebut, orang bunian berbentuk menyerupai manusia dan tinggal di tempat-tempat sepi, di rumah-rumah kosong yang telah ditinggalkan penghuninya dalam waktu lama. Istilah ini dikenal di wilayah Istilah orang bunian juga kadang-kadang dikaitkan dengan istilah dewa di Minangkabau, pengertian "dewa" dalam hal ini sedikit berbeda dengan pengertian dewa dalam ajaran Hindu maupun Buddha. "Dewa" dalam istilah Minangkabau berarti sebangsa makhluk halus yang tinggal di wilayah hutan, di rimba, di pinggir bukit, atau di dekat pekuburan. Biasanya bila hari menjelang matahari terbenam di pinggir bukit akan tercium sebuah aroma yang biasa dikenal dengan nama "masakan dewa" atau "samba dewa". Aroma tersebut mirip bau kentang goreng. Hal ini dapat berbeda-beda namun mirip, berdasarkan kepercayaan lokal masyarakat Minangkabau di daerah berbeda. "Dewa" dalam kepercayaan Minangkabau lebih diasosiasikan sebagai bergender perempuan, yang cantik rupawan, bukan laki-laki seperti persepsi yang umum di kepercayaan lain.

Selain itu, masyarakat Minangkabau juga meyakini bahwa ada peristiwa orang hilang disembunyikan dewa / orang bunian. Ada juga istilah "orang dipelihara dewa", yang saat bayi telah dilarikan oleh dewa. Mitos ini masih dipercaya banyak masyarakat Minangkabau sampai sekarang.

Siluman dalam berbagai cerita rakyat adalah makhluk halus yang tinggal dalam komunitas dan menempati suatu tempat. Mereka melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari layaknya manusia biasa. Mereka juga mengenal peradaban. Siluman dapat berasal dari manusia biasa yang kemudian meninggalkan alam kasar atau setelah orang meninggal ruhnya masuk dalam masyarakat itu, atau memang sudah merupakan makhluk halus sejak awalnya. Pertemuan antara manusia dengan siluman seringkali menjadi bagian dari cerita-cerita misteri yang digemari.
Siluman dikenal pula sebagai orang bunian dalam tradisi masyarakat Sumatera. Mitos tentang Kanjeng Ratu Kidul merupakan satu mitos tentang masyarakat siluman yang sangat dikenal orang-orang di Jawa, bahkan digunakan sebagai legitimasi kekuasaan raja-raja pewaris Mataram.
Beberapa mitos tentang siluman lain:
Dalam mitologi Bali, Leak adalah penyihir jahat. Le artinya penyihir dan ak artinya jahat. Leak hanya bisa dilihat di malam hari oleh para dukun pemburu leak. Di siang hari ia tampak seperti manusia biasa, sedangkan pada malam hari ia berada di kuburan untuk mencari organ-organ dalam tubuh manusia yang digunakannya untuk membuat ramuan sihir. Ramuan sihir itu dapat mengubah bentuk leak menjadi seekor harimau, kera, babi atau menjadi seperti Rangda. Bila perlu ia juga dapat mengambil organ dari orang hidup.
Leak di Bali kerap diidentikkan dengan prilaku jahat para penganut ajaran kiri atau pengiwa yakni berups kepala manusia dengan organ-organ yang masih menggantung di kepala tersebut. Leak dikatakan dapat terbang untuk mencari wanita hamil, untuk kemudian menghisap darah bayi yang masih di kandungan. Ada tiga leak yang terkenal. Dua di antaranya perempuan dan satu laki-laki.
Menurut kepercayaan orang Bali, Leak adalah manusia biasa yang mempraktekkan sihir jahat dan membutuhkan darah embrio agar dapat hidup. Dikatakan juga bahwa Leak dapat mengubah diri menjadi babi atau bola api, sedangkan bentuk Leak yang sesungguhnya memiliki lidah yang panjang dan gigi yang tajam. Beberapa orang mengatakan bahwa sihir Leak hanya berfungsi di pulau Bali, sehingga Leak hanya ditemukan di Bali.
Apabila seseorang menusuk leher Leak dari bawah ke arah kepala pada saat kepalanya terpisah dari tubuhnya, maka Leak tidak dapat bersatu kembali dengan tubuhnya. Jika kepala tersebut terpisah pada jangka waktu tertentu, maka Leak akan mati.
Topeng berwujud wajah menakutkan dengan taring mencuat dan lidah menjulur keluar disebut celuluk yang merupakan leak paling rendah nilainya di Bali.

Rangda adalah ratu dari para leak dalam mitologi Bali. Makhluk yang menakutkan ini diceritakan sering menculik dan memakan anak kecil serta memimpin pasukan nenek sihir jahat melawan Barong, yang merupakan simbol kekuatan baik.
Menurut etimologinya, kata Rangda yang dikenal di Bali berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti Janda.[1] Rangda adalah sebutan janda dari golongan Tri Wangsa yaitu:
Sedangkan dari golongan Sudra disebut Balu dan kata Balu dalam bahasa Bali alusnya adalah Rangda.
Perkembangan selanjutnya istilah Rangda untuk janda semakin jarang kita dengar, karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tidak enak mengingat wujud Rangda yang 'aeng' (seram) dan menakutkan serta identik dengan orang yang mempunyai ilmu kiri (pengiwa). Hal ini terutama kita dapatkan dalam pertunjukan-pertunjukan cerita rakyat. Dengan kata lain, ada kesan rasa takut, tersinggung dan malu bila dikatakan bisa neluh nerangjana (ngeleak). Sesungguhnya pengertian di atas lebih banyak diilhami cerita-cerita rakyat yang di dalamnya terdapat unsur Rangda. Cerita yang paling besar pengaruhnya adalah Calonarang.

Kuyang merupakan siluman berwujud kepala manusia dengan isi tubuh yang menempel tanpa kulit dan anggota badan yang dapat terbang untuk mencari darah bayi atau darah wanita yang habis melahirkan. Makhluk ini dikenal masyarakat di Kalimantan. Kuyang sebenarnya adalah manusia (wanita) yang menuntut ajaran ilmu hitam untuk mencapai kehidupan abadi.
Pada siang hari, seorang kuyang akan menempuh hidup sehari-hari sebagaimana orang biasa, namun biasanya ia mengenakan pakaian jubah. Pada malam hari kuyang akan terbang untuk mencari darah bayi atau darah persalinan untuk dihisap sebagai sarana menambah kekuatan ilmunya. Orang yang melihat kuyang terbang biasanya melihatnya seperti burung besar.
Untuk menghadapinya korban perlu menggunakan sapu ijuk atau memukulkan perabot rumah tangga seperti panci atau wajan.

Pelesit (bahasa Minangkabau: Palasik) menurut cerita, legenda atau kepercayaan orang Minangkabau dan Melayu adalah sejenis makhluk gaib. Menurut kepercayaan Minangkabau pelesit bukanlah hantu tetapi manusia yang memiliki ilmu hitam tingkat tinggi. Pelesit sangat ditakuti oleh ibu-ibu di Minangkabau yang memiliki balita karena makanan pelesit adalah anak bayi/balita, baik yang masih dalam kandungan ataupun yang sudah mati (dikubur), tergantung dari jenis pelesit tersebut.
Ilmu pelesit dipercayai sifatnya turun-temurun. Apabila orang tuanya adalah seorang pelesit maka anaknya pun akan jadi pelesit.
Pada umumnya pelesit bekerja dengan melepaskan kepalanya. Ada yang badannya yang berjalan mencari makan dan ada pula yang kepalanya yang melayang-layang mencari makan.
Jenis pelesit ada bermacam-macam. Menurut jenis makanannya pelesit dapat dibagi sebagai berikut:
  • Yang memakan bayi dalam kandungan sehingga bayi tersebut lahir tanpa ubun-ubun / mati dalam kandungan
  • Yang memakan bayi yang masih rapuh sehingga bayi tersebut sering sakit-sakitan / meninggal
  • Yang memakan mayat bayi yang sudah dikubur
Pelesit yang lepas kepalanya disebut pelesit kudung.

Jin (bahasa arab: جن Janna) secara harfiah berarti sesuatu yang berkonotasi "tersembunyi" atau "tidak terlihat". Bangsa Jin dahulu dikatakan dapat menduduki beberapa tempat dilangit dan mendengarkan berita-berita dari Allah, setelah diutusnya seorang nabi yang bernama Muhammad maka mereka tidak lagi bisa mendengarkannya karena ada barisan yang menjaga rahasia itu.
...dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang[1] barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya) (Al-Jin 9:72)
Asal pembentukan kata "jin" dari huruf 'jim' (ج) dan 'nun' (ن) menunjukkan makna tertutup, Syaikh al-Islam berkata: "Ia dinamakan jin karena ketertutupannya dari pandangan manusia."
Kata jin menurut bahasa (Arab) berasal dari kata ijtinan, yang berarti istitar (tersembunyi).
Jadi jin menurut bahasa berarti sesuatu yang tersembunyi dan halus, sedangkan syetan ialah sifat dari setiap yang durhaka dari golongan jin dan manusia.
Dalam anggapan orang-orang sebelum Islam datang, Jin dianggap sebagai makhluk keramat, yang harus disembah dan dihormati. Orang orang pada masa tersebut menggambarkannya dalam bentuk patung sesembahan mereka.

Jenglot adalah figur berbentuk manusia yang berukuran kecil (sekitar 10-17 cm), berkulit gelap dengan tekstur kasar (seperti mumi), berwajah seperti tengkorak dan bertaring mencuat, serta memiliki rambut dan kuku yang panjang.[1][2][3] Jenglot ditemukan di beberapa wilayah di nusantara, misalnya Jawa,[1] Kalimantan,[2] dan Bali.[3][4] Jenglot dipercaya memiliki kekuatan mistis dan memakan darah manusia.[3][4] Masyarakat Indonesia meyakini jenglot sebagai makhluk yang memiliki kekuatan mistik dan dapat mengundang bencana.[1][3][4]
Secara sosio realistis jenglot merupakan binatang yang sangat lambat dalam bergerak hingga tak mungkin dapat bertahan hidup lama, jenglot hidup di hutan belantara penuh dengan pohon raksasa tempat persembunyiannya. jenglot hanya mampu keluar dimalam hari karena tak ada binatang buas dan manusia yang akan mengganggunya dan menyebabkan kepunahan. Dan dalam mitos jenglot dianggap memiliki kesaktian/kekuatan mistis seumpama dewa wisnu dengan sakti garuda dan siwa dengan sakti lembu (sakti=wahana/kendaraan/wadah/istri) Secara medis, jenglot didefinisikan sebagai bukan makhluk hidup setelah diteliti oleh tim forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.[5][6] Melalui foto sinar Rontgen, tidak ditemukan unsur tulang (sebagai penyangga organ mahluk hidup) namun hal yang mengejutkan justru diperoleh dari penelitian DNA lapisan kulit jenglot yang mengelupas.
Setelah diperiksa oleh Dokter Djaja Surya Atmaja dari Universitas Indonesia, ternyata lapisan kulit itu memiliki DNA mirip primata sejenis manusia. Akan tetapi, penyelidikan asal usul jenglot secara medis hanya dihentikan sampai di sana karena pemilik jenglot tidak mengizinkan jenglot dibedah, agar tidak ada hal buruk yang terjadi.[5][6]

Jailangkung adalah sebuah permainan tradisional Nusantara yang bersifat ritual supernatural. Permainan ini bersifat supernatural, umumnya dilakukan sebagai ritual untuk memanggil entitas supernatural. Media yang digunakan untuk menampung makhluk halus atau entitas supernatural yang dipanggil dalam permainan Jailangkung adalah sebuah gayung air yang umumnya terbuat dari tempurung kelapa yang didandani pakaian dan bergagang batang kayu.

Banaspati adalah sebutan bagi hantu yang memiliki wujud seperti api dan berelemen utama api. Bisa berwujud menyerupai manusia, juga sering ditemukan berbentuk seperti bola api. Hantu ini biasanya terbang rendah dari satu tempat ke tempat lain dengan kepala berada di bawah. Dikabarkan, hantu ini senang menghisap darah manusia sebagai makanannya. Sering ditemukan di daerah Jawa Tengah, Indonesia

Banaspati dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan bagaimana cara mereka mencari mangsa. Jenis-jenisnya antara lain :
  • Banaspati geni
Banaspati geni adalah banaspati yang bersenyawa dengan udara. Maka, udara adalah sumber kekuatan utamanya. Apabila seseorang bertemu dengan banaspati geni dan dia takut, maka semakin dia takut semaki besar pula kekuatan banaspati geni dengan menagambil energi udara di antara orang yang takut untuk membuatnya menjadi api yang berkobar-kobar
  • Banaspati tanah liat
Banaspati ini gemar bersembunyi di hutan. Dikabarkan senang memangsa korbannya dengan cara menghisap darahnya sampai habis. Korban yang diincar adalah orang-orang yang tidak menapakkan tubuhnya dengan tanah. Maka, cara paling aman untuk tidak dimangsa oleh banaspati tanah adalah dengan berdiri di atas tanah tanpa menggunakan alas kaki.
  • Banaspati banyu biru
Banaspati banyu menghabisi korban yang berada di dalam air. Korban akan dibuat tenggelam setelah sebelumnya dihisap darahnya terlebih dahulu.

Peri adalah istilah yang sering digunakan pada cerita rakyat, dongeng, fiksi untuk menggambarkan mahluk yang memiliki kekuatan gaib yang kadang kala turut campur dalam urusan-urusan manusia[1][2]. Dalam bahasa Indonesia istilah peri sering digunakan dalam penerjemahan tokoh yang menggambarkan elf atau fairy (istilah dalam bahasa Inggris) dalam cerita fiksi maupun dongeng-dongeng dari Eropa. Pada kisah fiksi modern karakter Peri sering dipinjam dari versi aslinya dan digunakan dalam kisah fiksi fantasi masa kini dengan berbagai variasi penggambaran tergantung oleh penulis atau penciptanya.

Dalam bahasa Inggris awalnya nama fairy berasal dari kata elvish sejak sebelum tahun 1000 M[1] yang berarti bangsa peri. Dalam cerita-cerita rakyat mahluk gaib ini adalah ras yang sakti. Menurut akar kata Indo-Eropa kemungkinan namanya berasal dari albiz yang walaupun asal-usulnya tidak diketahui, merupakan kata turunan dari albho yang berarti "putih". Kata-kata inipun menjadi populer di antara orang kulit putih sehingga kini, di zaman modern, masih bisa ditemui keberadaannya sebagai nama panggilan dan nama keluarga seperti Ælfræd "Penasehat-peri" (Alfred), Ælfwine "Teman-peri" (Alvin), Ælfric "Pemerintah peri" (Eldridge), dan juga nama-nama wanita seperti Ælfflæd "kecantikan-peri"[3] . Nama peri juga dikaitkan dengan rambut yang saling terkait yang dipercaya membawa ketidak-beruntungan apabila kaitan tersebut dilepaskan [4].

Peri sering diceritakan memiliki bentuk mirip dengan manusia[1], seringkali juga dipercaya merupakan perupaan roh atau jin yang menjelma sebagai perempuan cantik yang senang mengganggu[5][6]. Di Eropa (Inggris) sekitar tahun 1592 oleh Shakespeare peri digambarkan sebagai siluman (sprite) atau menjelma sebagai wanita cantik bersayap (fairy)[1][2][3], di negara-negara Skandinavia dan menurut cerita-cerita kuno dari Eropa Utara penamaan peri juga diberikan pada mahluk-mahluk halus yang digambarkan sebagai mahluk metafisik, gaib atau jelmaan dari alam.
Peri juga sering diidentifikasikan sebagai mahluk-mahluk mitologis. Dalam penggambarannya cerita-cerita rakyat yang menggunakan istilah "peri" seringkali berbeda definisi tentang apa itu peri, di satu pihak nama ini seringkali dihubungkan dengan mahluk gaib seperti siluman namun pada kali lain peri digambarkan sebagai mahluk yang lebih nyata.
Wujud dan penampakan peri ini bermacam-macam, kali waktu digambarkan bahwa mereka memiliki tinggi seperti rata-rata manusia biasa dan kali lain digambarkan bahwa mereka ini berupa mahluk-mahluk kecil. Di Eropa peri dalam wujud "besar" dipercaya telah "dibicarakan" sejak sebelum tahun 1000 M[1], sedangkan wujud "kecil"nya mengikuti kemudian dengan membentuk rupanya sendiri berupa mahluk kecil baik yang bersayap maupun tidak, dan dipercaya muncul pada sekitar tahun 1250 - 1300M sebagai istilah turunan (dari bahasa Swedia alf, elfva)[1] yang kemudian diterjemahkan sebagai fairy (Inggris) yang berarti mahluk yang menyerupai manusia kecil[2]. Kadang peri digambarkan memiliki telinga panjang dan lancip, dan memiliki rambut yang panjang. Peri juga seringkali digambarkan dapat berubah wujud, atau mengambil wujud wanita cantik yang tiba-tiba bisa menghilang[7].

Peri baik dan peri jahat

Peri dapat digambarkan sebagai baik (membantu manusia) atau jahat. Dalam kisah dongeng dan cerita cinta peri digambarkan sering muncul sebagai mahluk penolong, mungkin cerita yang paling terkenal dalam penggambaran peri adalah cerita Cinderella yang pada saat kesulitan dibantu oleh ibu peri, ada juga cerita ikan mas[8] dari Jawa Barat yang tengah membantu anak baik hati yang sedang kesulitan, peri dapat mengambil perwujudan binatang seperti lutung saat menampakan diri pada Putri Purbasari[9]. Peri lain yang digambarkan baik hati adalah peri rumah yang tinggal bersama manusia. Dalam kisah "Tukang Sepatu dan Peri-Peri Kecil", kehidupan keluarga tukang sepatu terangkat karena dibantu pengerjaan sepatunya oleh peri-peri kecil yang keluar pada malam hari dan membuat sepatu. Pada kisah lain di Devon, seluruh desa dapat bermalas-malasan karena pekerjaan penjahit, tukang roti, hingga pembuat anggur dikerjakan oleh peri-peri kecil ini[10]. Namun tidak semua peri rumah digambarkan keluar pada malam hari, ada juga peri rumah yang keluar pada siang hari. Dalam salah satu kisah anak-anak dunia Childcraft, penulis Swedia menggambarkan peri rumah kecil yang keluar dari pintu kecilnya dan dengan kekuatan gaibnya mengecilkan tubuh anak penghuni rumah, yang kesepian karena ditinggal orang tuanya bekerja, untuk ikut bermain bersamanya[11].
Sementara peri jahat digambarkan sebagai penyebab tersesatnya seseorang dalam perjalanannya[1]. Peri juga seringkali digambarkan sebagai nakal (jahil dan iseng), entah kenakalan yang membawa kebaikan ataupun keburukan. Di Eropa anak kecil yang nakal dan sulit dikendalikan seringkali digambarkan sebagai "persis seperti peri kecil"[1]. Pada cerita dongeng Peter Pan peri kecilnya Tinkerbell digambarkan sebagai tokoh yang baik kepada Peter Pan dan jahat kepada Wendy karena cemburu.

Tempat tinggal

Penggambaran asal usul peri seringkali dihubungkan dengan sejenis/ kelas mahluk gaib seperti siluman, yang seringkali berasal dari daerah-daerah pegunungan[1]. Namun dalam perkembangannya peri digambarkan sebagai mahluk kecil yang dapat tidur diatas bunga, tinggal di hutan dan menjaga pohon-pohon sehingga disebut peri hutan, ataupun tinggal di dalam rumah bersama dengan manusia seperti tokoh peri rumah yang digambarkan dalam kisah Harry Potter.

Dalam legenda

Ciri umum dari peri adalah kemampuannya dalam menggunakan sihir untuk mengubah wujud. Emas peri sangat tidak bisa diandalkan, karena dia berwujud emas ketika digunakan sebagai pembayaran namun kemudian berubah menjadi daun, semak, kue, dan berbagai benda tak berguna lainnya.[12]
Ada juga legenda mengenai pemakaman peri. William Blake mengklaim pernah menyaksikannya. Allan Cunningham dalam bukunya, Lives of Eminent British Painters, mencatat klaim William Blake tersebut. Diceritakan bahwa Blake suatu malam di kebunnya melihat makhluk-makhluk seukuran belalang dengan warna hijau dan abu-abu, meletakkan sesosok tubuh di sebuah daun mawar dan menguburnya dengan nyanyian.
Peri kadang-kadang dipercaya sebagai makhluk yang usil pada manusia. Mereka membuat kusut rambut orang yang sedang tidur, mencuri benda-benda kecil, dan menyesatkan peneglana. Tuberkulosis juga kadang-kadang disebut disebabkan oleh peri, yang memaksa pria dan wanita muda untuk menari setiap malam.[13] Hewan (sapi, babi, bebek, dll) yang ditunggangi oleh peri bisa mengalami kelumpuhan atau menderita penyakit misterius.

Dalam banyak legenda, peri diceritakan sering menculik bayi (dan meletakkan changeling sebagai gantinya), pria muda dan wanita muda. Penculikan ini bisa terjadi sementara waktu atau bisa juga selamanya. Dalam Balada dari abad ke-19, "Lady Isabel and the Elf-Knight", diceritakan bahwa Isabel dibawa pergi oleh ksatria peri. Untuk menyelamatkan dirinya, Isabel membunuh sang ksatria peri.[14] Sementara balada "Tam Lin" menceritakan tentang Tam Lin yang hidup di antara para peri padahal dia adalah seorang "ksatria bumi".[14] Dalam puisi Sir Orfeo, diceritakan bahwa istri Sir Orfeo diculik oleh raja peri. Sementara puisi Thomas the Rhymer bercerita tentang Thomas yang harus menghabiskan tujuh tahun di dunia peri sebelum berhasil kembali ke dunia manusia.[15] Sedangkan dalam cerita Oisín, tokoh utamanya diculik dan berada di dunia peri, ketika dia berniat kembali, ternyata di dunia manusia waktu telah berjalan selama tiga abad.[16]
Cukup banyak kisah mengenai peri dan changeling, yaitu sesosok makhluk yang dtinggalkan oleh peri sebagai pengganti atas anak manusia yang merek culik.[17] Orang dewasa juga bisa diculik oleh peri; seorang perempuan yang baru saja melahirkan biasanya rawan diculik peri.[18] Dalam beberapa cerita, seseorang bisa diculik peri jika memakan makanan peri, seperti Persefone dan Hades. Sementara keadaan orang diculik peri berbeda-beda menurut beberapa kisah, beberapa menceritakan bahwa tawanan peri hidup bahagia sementara beberapa yang lainnya selalu merindukan kerabat lama mereka.[19]

Klasifikasi

Dalam cerita rakyat Skotlandia, peri dibagi menjadi Seelie Court, yaitu peri yang menguntungkan namun bisa berbahaya, dan Unseelie Court, peri yang jahat. Peri dari golongan Unseelie court sering mencari hiburan dengan cara melakukan sesuatu yang membahayakan bagi manusia.[20]
Pasukan peri merujuk pada para peri yang muncul dalam kelompok dan mungkin mendirikan pemukiman. Dengan definisi ini, peri biasanya dipahami dengan makna yang lebih luas, karena istilah ini juga bisa meliputi berbagai makhluk mistis yang terutama berasal dari Keltik; namun istilah ini bisa juga digunakan untuk menyebut makhluk yang serupa, msialnya Kurcaci atau Elf dari cerita rakyat Jerman. Lawannya adalah peri soliter, yakni peri tidak berhubungan dengan peri lainnya.[21]

Perlindungan

Ada beberapa benda yang dipercaya dapat menghindarkan dari gangguan peri. Yang paling terkenal adalah besi dingin sementara cara yang lainnya dianggap mengganggu bagi peri: memakai pakaian terbalik, mengalirkan air, bel (terutama bel gereja), tanaman St. John's wort, dan semanggi berdaun empat. Ada juga cerita yang saling bertentangan, seperti msialnya pohon Rowan yang dalam beberapa cerita adalah sakral untuk peri sementara dalam cerita lainnya merupakan benda perlindungan melawan peri. Dalam cerita rakyat Newfoundland, benda pelindung yang paling populer adalah roti. Roti diasosiasikan dengan rumah dan perapian, juga dengan industri dan pengendalian alam, sehingga kemudian dipercaya bahwa roti tidak disukai oleh peri.[22]
....dan oleh karena itu merupakan sebuah simbol kehidupan, roti adalah salah satu pelindung paling umum dalam menghadapi peri. Sebelum pergi menuju tempat yang dihuni peri, adalah biasa untuk menyiapkan roti kering dalam kantung.
Briggs (1976) hlm. 41




(sumber: wikipedia.org)

 











 
 

Cerita Babi Ngepet

Malam telah larut. Rohim berjalan tergesa-gesa. Pemuda tanggung itu sesungguhnya enggan pulang malam itu. Namun karena mendapat kabar mengenai ibunya yang sakit, terpaksalah ia pulang. Untuk menghemat waktu Rohim memotong jalan. Saat melewati belakang rumah Mpek Tong Seng, pemuda itu melihat seekor anjing. Namun ketika angin bertiup, awan pun menyingkir, cahaya bulan menerangi, tampaklah olehnya seekor babi, keheranannya timbul. Betapa terkejutnya Rohim, babi dilihatnya amat besar, nyaris sebesar anak kerbau. Lekas pemuda berteriak-teriak menghalau. Babi itu pun lari. Melihat binatang itu lari, timbul keberanian Rohim. Dengan sebatang kayu ia mengejar babi itu. Namun Rohim kembali terperanjat, saat di kelokan, babi itu tiba-tiba lenyap begitu saja. Tanpa ampun pemuda itu lari pontang-panting. Berulang kali ia jatuh bangun, tersandung-sandung.
 
Esok harinya seisi kampung geger. Kisah Rohim telah menjalar ke mana-mana. Semua orang ramai membicarakannya. "Yang dilihat si Rohim itu pastilah babi ngepet", ujar Wak Modin.
"Babi apa wak?" tanya si Pepeng tercengang.
"Babi ngepet", ujar Cang Merebot sok tahu, "itu babi yang bisa nyolong uang".
"Ha, masa sih babi mencuri uang", si Kucay terkekeh, "Apakah babi itu hendak ke pasar membeli beras?"
"Dasar. Elu itu anak ingusan", gerutu Cang Merebot gusar.
"Babi ngepet itu, bukanlah babi sungguhan", Wak Modin menuturkan, "Ia sesungguhnya manusia yang menjelma menjadi babi jadi-jadian".
"He ajaib sekali", seru si Pepeng takjub, "Lalu untuk apa ia menjelma menjadi babi?"
"Ya untuk mencuri uang !" bentak Cang Merebot. Makanya, dengar dulu kalau orang tua ngomong!".
Si Pepeng tersipu-sipu, sementara si Kucay terbahak. Wak modin pun melanjutkan kisahnya. "Benar, dengan menjelma menjadi babi, ia dapat mencuri uang. Ia hanya perlu menggesek-gesekan badannya ke dinding rumah orang, maka uang milik orang itu akan berpindah secara gaib ke rumah si babi itu".
"Astaga", si Kucay menggeleng-gelengkan kepala, "Bagaimana caranya ia mengubah diri menjadi babi?"
"Emang elu mau jadi babi ngepet yah?" sela si Pepeng.
"Diam lu", si Kucay gusar, "Ayolah wak, lanjutkan saja ceritanya".
"Menjadi babi ngepet itu tak mudah", lanjut Wak Modin, Modin gusar".
"Hahaha", Cang Merebot dan si Pepeng tergelak. "Benar lu Peng, dia ingin menjadi babi ngepet".
Si Kucay terdiam dengan wajah merah padam. Wak Modin kembali bercerita, "Orang yang pergi ke gunung itu harus bersama istrinya. Sebab istrinya nanti yang akan membantunya menjadi babi ngepet. Di gunung itu keduanya menemui kuncen. Kepada kuncen mereka menyerahkan sesajen dan uang.

Kuncen menanyakan apakah keduanya siap menanggung segala akibatnya. Apabila siap, maka kuncen akan melakukan permohonan pada arwah penghuni gunung itu.
Ada pun syarat menjadi babi ngepet itu adalah, mereka harus memberikan tumbal berupa nyawa manusia. Manusia itu haruslah seorang kerabat dekat atau kalau perlu anak kandung kedua orang itu. Jika syarat tak dipenuhi, maka orang itu sendirilah yang akan menjadi tumbal.
Setelah kuncen melakukan permohonan, maka ia akan memberikan sebuah rompi kepada orang yang meminta itu. Dengan rompi itu orang akan menjadi babi. Kedua orang itu pun pulang dengan membawa rompi gaib itu. Pada saat-saat yang ditentukan, orang itu akan mengenakan rompinya. Ia pun berubah menjadi babi. Ia lalu pergi mendatangi rumah-rumah orang kaya. Ia mencuri uang orang-orang itu.

Sementara di rumahnya istrinya berjaga. Ia menunggui sebatang lilin yang menyala. Apabila api lilin tetap tenang, artinya suaminya aman. Namun jika api lilin itu meliuk-liuk, itu pertanda suaminya sedang dalam bahaya. Istrinya harus segera memadamkan api itu. Dengan demikian suaminya akan lenyap dari pandangan orang yang mengejarnya.

Apabila si isteri lalai, maka suaminya bisa saja tertangkap oleh orang yang memergokinya. Jika ia dibunuh, maka api lilin itu akan padam dengan sendirinya". Wak Modin mengakhiri kisahnya.

**  Babi ngepet adalah mahluk dalam legenda masyarakat Indonesia yang bercerita tentang siluman babi. Beberapa mitos menceritakan tentang babi ngepet yang merupakan orang yang ingin kaya dengan cara mengambil pesugihan babi. Saat akan "beraksi", si tuan harus mengenakan jubah hitam untuk menutupi tubuhnya. Dan nanti, secara ajaib, si tuan akan berubah menjadi babi. Orang yang satu lagi harus menjaga lilin agar tidak goyang apinya. Apabila api lilin sudah mulai goyang, artinya orang yang menjadi babi itu mulai dalam bahaya. Tugas si penjaga lilin adalah mematikan lilinnya agar si babi dapat berubah kembali menjadi manusia biasa. Babi ngepet biasanya mengambil uang dengan cara menggesek-gesekkan tubuhnya di pintu lemari, dsb.

Wednesday, November 26, 2014

Pak Kumis Tipis dan Monyet Pemalas

Di pagi, ketika matahari baru mengintip di balik perbukitan. Namun demikian pak Kumis tipis telah sibuk, ia berjalan kian kemari mencari kayu bakar dan bahan panganan lain di hutan. Kayu dan bahan makanan itu dibawa kerumahnya untuk persediaan, disebuah lubang di pojok rumah tua yang cukup besar. Kesibukan pak Kumis Tipis rupanya telah mengganggu si Monyet. Dengan terkantuk-kantuk ia menggeliat dari dahan tempat ia tidur. Setelah melihat ke kiri dan ke kanan, si monyet kesibukan pak Kumis tipis. 

"Hmm, dia lagi", Gerutu monyet kesal, "Tak bisakah ia diam barang sebentar?"
Sesaat kemudian monyet turun dari pohonnya. Mujur, sebutir buah mangga yang ranum ditemukannya tergeletak di tanah. Monyet pun memungut buah itu. Sambil berjemur di bawah matahari pagi, monyet pun mengunyah mangganya. Sesekali ia menggosok-gosok matanya yang terlalu banyak tidur. Monyet itu masih mengantuk, namun tak mungkin ia tidur lagi, sebab kesibukan pak Kumis tipis membuatnya merasa terganggu.

Saat menjelang senja, monyet duduk berayun-ayun di dahan seraya mengunyah jambu. Buah jambu itu ia temukan di cabang yang menjorok ke arahnya. Dan pada saat itu pak Kumis tipis masih saja sibuk, berjalan kian kemari mengumpulkan kayu dan bahan makanan. Lama-kelamaan monyet menjadi gusar melihat kelakuan beliau. "He pak Tua", seru monyet, "Tak dapatkah kamu diam barang sejenak? Pusing kepalaku melihat kelakuanmu yang gak bisa diam, sedari tadi aku tak dapat tenang karena kelakuanmu" .
"Wah maafkan aku sobat", sahut pak Kumis tipis, "Aku tak bermaksud mengganggumu".
"Jika demikian, behentilah berputar-putar, pulanglah kerumahmu".
"Tetapi aku harus mengumpulkan makanan".
"Astaga", seru monyet gusar, "Mengapa lagi harus dikumpulkan makanan itu? Lihat jambu ini, juga durian dan mangga. Semua yang kumakan ini datang sendiri menghampiri aku", omel monyet. "Jadi berhentilah menimbun makanan, sungguh sia-sia kelakuanmu itu".
Pak Kumis tipis hanya tersenyum mendengar perkataan monyet itu. Kebetulan hari mulai gelap. Maka pak Kumis pun segera kembali kerumahnya yang tak jauh dari sarang si Monyet. Tumpukan makanan miliknya telah cukup banyak. Namun jumlah persediaan makanan itu belum cukup memuaskan tupai, ia memutuskan untuk mencari lebih banyak lagi esok hari. Malam itu, ia hanya memakan sedikit makanan yang didapat untuk persediaan nanti.

Esok harinya, tanpa menghiraukan omelan dan cemooh monyet, Pak Kumis tipis kembali sibuk dengan pekerjaannya. Berhari-hari lamanya pak Kumis tipis  itu terus menerus sibuk dengan pekerjaannya.

Tibalah musim kemarau. Air sungai telah surut, dedaunan mengering, pepohonan merangas. Tak lagi ada buah yang dapat dipetik, tak lagi ada segala  umbi-umbian yang dapat dipungut. Hutan telah kering. Namun bagi pak Kumis tipis tak ada yang perlua dicemaskan, persediaan makanan cukup banyak untuk sekeluarga, bahkan berlebih. Ia dapat berbaring-baring dengan senang di rumahnya yang tenang, terlindung dari terik panas matahari.

Bagaimana dengan si monyet? Alangkah malang nasibnya kini, setiap hari ia harus berjalan jauh, meloncat dari pohon ke pohon, di bawah terik matahari untuk mencari bantuan dan makanan. ltupun didapatnya tak pernah banyak, akibatnya tubuhnya menjadi kurus kering kurang makan.

Sungguh menyesal hati monyet. Pada pikirannya, jika sewaktu musim penghujan ia rajin bekerja, mengumpulkan makanan untuk persediaan. Seandainya ia mengikuti jejak pak Kumis tipis, tentulah kini nasibnya tak akan semalang ini.
------------ 000-----------

Tuesday, November 25, 2014

Jacatraweg

encyclopedia/ead73474b494f8453fb62073dd8838dfNama jalan daerah elit di Batavia, banyak terdapat rumah-rumah milik orang kaya. Jalan tersebut membujur dari barat laut ke tenggara. Nama tersebut diambil dari nama sebuah benteng kecil bernama Jacatra yang terletak di ujung timur jalan tersebut. Sekarang disebut Jl. Pangeran Jayakarta. Sering juga disebut Herrenweg.

Di tempat ini pernah didirikan klenteng penguburan, tetapi sejak akhir abad ke-17 sudah hancur. Ada juga pekuburan Tionghoa yang pertama didirikan tahun 1650. Makam Souw Bing Kong juga berada di dekat jalan ini. Terdapat satu lagu untuk menggambarkan tentang Jacatraweg, karya Mr. Speenholf berikut:

At long last I enjoyed my self
ouside Batavia along the green
heather on Jaketra road.
(a song by Mr. Speenholf)

Terjemahan Bebasnya:
beristirahat diri ini akhirnya
diluar Batavia, sepanjang
kehijauan suasana Jalan Jaketra
(Satu lagu dan Mr.Speenholf)

Jl. Pangeran Jayakarta merupakan salah satu jalan tertua di Jakarta, sebagai bagian Batavia yang berkembang di luar tembok kota lama. Sebelah utara berbatasan dengan dinding dalam kota. Selama masa VOC, dibangun sebuah benteng yang sekarang berada di ujung timur Jl. Dr. Suratmo. Di utara jalan terdapat Gereja Tua Portugis yang masih ada sampai sekarang. Di sebelah selatan gereja ini berdiri Monumen Pieter Erberveld.

Pada awal abad ke-18, penduduk yang tinggal di luar dinding kota yang terkena wabah malaria pindah ke lingkungan Jacatraweg yang diduga lebih sehat. Pada waktu itu wilayah ini menjadi pemukiman elit dengan kebun-kebun luas. Namun ketika wilayah ini menjadi kurang sehat, para penghuninya pindah ke Molenvliet dan rumah-rumah lama dibiarkan runtuh (1835). Tidak jauh dari Jacatraweg, mengalir Sungai Ciliwung yang di pinggirnya berderet gedung-gedung bergaya Belanda dengan pekarangan berpagar dalam gaya barok. Di belakang gedung di tepian sungai dibuat tempat-tempat pemandian dan pangkalan-pangkalan perahu. Di antara tepian sungai dengan gedung dibuat taman yang terpelihara dengan baik, sehingga pemandangan makin indah. Ada suatu kebiasaan bagi penghuni Jacatraweg untuk berkunjung dengan tetangga menggunakan orembasi, yaitu sejenis perahu-perahu kecil yang didayung oleh budak-budak belian.

Sunday, November 23, 2014

Sejarah Kampung Kemayoran

encyclopedia/91496415e2a4fe5aff7e6edca482a8dbSalah satu kampung tua di Jakarta. Nama kampung berasal dari kata mayor yang merupakan "jabatan (pangkat)" yang diberikan pemerintah Belanda kepada orang yang bertugas menarik pajak. Jabatan mayor diberikan kepada orang Belanda dan juga orang Cina, yang karena jabatannya bisa kaya dan memiliki tanah-tanah luas, sehingga disebut sebagai "tuan tanah". Pada masa Belanda, Kemayoran merupakan sebuah Wekmeester yang dipimpin seorang Bek. Setelah Indonesia merdeka, Kemayoran menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Sawah Besar, Kawedanan Penjaringan. Pada tahun 1963-1968, dimasukkan ke dalam wilayah Kecamatan Senen dan wilayahnya meliputi lima kelurahan, yaitu Gunung Sahari Selatan, Kemayoran, Kebon Kosong, Serdang dan Harapan Mulia.

Pada mulanya penduduk Kampung Kemayoran adalah orang Betawi. Setelah dikuasai Belanda mulai muneul para pendatang dari Cina, India, Sumatera, dan Indonesia bagian timur yang dijadikan pekerja dalam pembuatan jalan, parit-parit, atau ikut dalam wajib militer untuk menghadapi Sultan Hasanuddin dan Sultan Agung dari Mataram. Ada juga orang Indo (eampuran Belanda dan Indonesia) yang tinggal di komplek tentara di Jl. Garuda. Bahkan setelah PD II banyak bekas tentara Belanda yang menetap di Kemayoran. Sekitar tahun 1930-an, Kemayoran pun terkenal sebagai pemukiman kaum Indo-Belanda, sehingga muncul sebutan Belanda Kemayoran. Selain itu juga ada pendatang dari Jawa, kaum priyayi rendah yang bekerja sebagai pangreh praja. Semula para pendatang dipandang negatif karena dianggap berasal dari golongan orang susah, namun dengan adanya komunikasi diantara mereka anggapan tersebut mulai berubah bahkan penduduk asli mulai terpengaruh untuk bekerja keras demi kesejahteraan keluarganya. Dengan dibukanya lapangan terbang Kemayoran tahun 1935, mereka mulai merambah bidang kerja selain petani, sebgai pedagang keliling, perbengkelan, atau berjualan alat-alat rumah tangga.
Di Kampung Kemayoran banyak berkembang berbagai seni budaya daerah, diantaranya keroncong. Contohnya sebagai berikut:
Ani-ani bukannya waja
Memotong padi di gunung
Saya menyanyi bukan sengaja
Menghibur hati nan bingung
Reff: Olele di Kotaraja
Bole enggak boleh
Dibawa saja
Sepenggal lagu keroncong itu menjadi simbol kebanggaan penduduk Kemayoran, kampungnya musik keroncong, yang terkenal pada masa Hindia Belanda. Syairnya tidak terikat kepada suatu cerita bersambung, melainkan pantun-pantun lepas yang diingat secara improvisasi tatkala bernyanyi dan kadang-kadang tidak ada kaitan dialog satu sama lainnya, asalkan efek pantun mengenai sasaran dengan sindiran lueu, gembira dan tidak menyinggung perasaan lawan bernyanyi. Irama Keroncong Kemayoran bukanlah irama "kendangan" yang kemudian dinamakan "keroncong beat", melainkan irama "kocokan" (Belanda: roffelen) menurut pembawaan keroncong masa-masa permulaan.

Tidak hanya keroncong yang digemari masyarakat saat itu tetapi juga Robana Gembrung, Wayang Kulit, Tanjidor, Cokek (Cokek Ken Bun), orkes Gambus, Gambang Kromong, dan Dermuluk masih mendapat tempat di hati mereka. Keroneong Tugu banyak mendapat pengaruh dari Portugis dan berkembang menjadi keroneong yang sampai kini dan merupakan lanjutan dari keroncong Oud Batavia (lief de Java) dan keroncong asli Kemayoran. Kelompok-kelompok orkes keroncong yang ada di daerah Kemayoran selain orkes Keroncong Kemayoran sendiri adalah kelompok Lief de Java yang disponsori orang Belanda dengan para pemain campuran orang Belanda dan Indonesia, orkes Keroncong Fajar (1929), orkes Keroncong Sinar Betawi, dan orkes Keroncong Suara Kemayoran (1957). Mereka tampil dengan memakai pakaian seragam khas Betawi, yaitu jas tutup dan kain batik. Sedang bentuk rumah tradisional di daerah Kemayoran banyak menggunakan rumah  model joglo dan bapang. Ada juga rumah koko yang bentuk dan teknik pembuatannya tidak jauh berbeda dengan rumah joglo Betawi. Untuk adat perkawinan di Kemayoran hampir sama dengan masyarakat di Jakarta.