Friday, August 19, 2016

Misteri Kematian Van Gogh

Pada 27 Juli 1890, Vincent Van Gogh berjalan ke ladang gandum dekat sebuah kastil di Desa Auvers-sur-Oise di Prancis, beberapa kilometer sebelah utara Paris, dan menembak dadanya sendiri.

Selama 18 bulan dia menderita kelainan jiwa, sejak dia memotong telinga kirinya sendiri dengan silet pada suatu  malam di bulan Desember 1888, saat tinggal di Arles di Provence.
Setelah insiden melukai diri sendiri yang dikenal luas tersebut, Van Gogh terus mengalami serangan kejiwaan secara sporadis dan melumpuhkan yang membuatnya kebingungan atau tak bisa berbicara selama berhari-hari atau berminggu-minggu.
Di sela-sela serangan kejiwaan ini, Van Gogh merasakan ketenangan dan kejelasan pikiran yang memungkinkannya melukis.
Malah, waktu dia tinggal di Auvers sejak Mei 1890, setelah keluar dari rumah sakit jiwa di luar Saint-Remy-de-Provence, timur laut Arles, adalah masa-masa paling produktif dalam kariernya. Hanya dalam 70 hari, dia menyelesaikan 75 lukisan dan lebih dari 100 gambar serta sketsa.
Meskipun demikian dia terus merasa kesepian dan cemas, dan yakin bahwa hidupnya adalah suatu kegagalan. Akhirnya dia memperoleh pistol kecil milik pemilik rumah yang ia tempati di Auvers.
Senjata inilah yang  mengakhiri hidupnya  suatu tempat  terbuka pada Minggu sore pada akhir Juli.
Namun, senjata tersebut hanya pistol saku, dengan daya tembak yang terbatas, maka ketika dia melepas pemicu, peluru memantul dari tulang rusuknya dan gagal menembus jantungnya. Van Gogh hilang kesadaran dan jatuh.
Saat malam tiba, dia sadar dan mencari pistol itu lagi untuk menuntaskan misinya. Karena tak bisa menemukan pistol itu, Van Gogh pun terhuyung-huyung berjalan kembali ke penginapan, dan dokter pun dipanggil.
Saudara laki-laki Van Gogh yang setia, Theo, datang keesokan harinya. Untuk sementara, Theo percaya bahwa Vincent akan selamat.
Tapi pada akhirnya tak ada yang bisa dilakukan - dan malam itu, Van Gogh meninggal pada usia 37.
“Aku tak meninggalkannya sampai dia pergi,” tulis Theo pada istrinya, Jo. “Salah satu kalimat terakhirnya adalah, ‘aku ingin mati seperti ini’ dan butuh beberapa saat lalu dia pergi dan menemukan kedamaian yang tak pernah bisa ditemukannya di Bumi.”
On the Verge of Insanity atau Di Ambang Kegilaan adalah pameran baru di Museum Van Gogh di Amsterdam, yang menampilkan kisah detil dan berimbang tentang 1,5 tahun terakhir dalam kehidupan Van Gogh.
Meski pameran tersebut tak menampilkan diagnosis jelas tentang sakit yang dialami Van Gogh – selama beberapa dekade, sejumlah analisis muncul, dari epilepsi dan skizofrenia sampai penyalahgunaan alkohol, psikopat dan gangguan kepribadian – pameran tersebut menampilkan senjata api yang mengalami korosi berat yang ditemukan di lapangan di belakang kastil di Auvers pada 1960.
Analisis menyimpulkan bahwa pistol tersebut, yang sudah ditembakkan, ada di tanah selama 50 sampai 80 tahun. Dengan kata lain, kemungkinan ini adalah senjata yang digunakan Van Gogh.
Akar masalah
Pameran tersebut juga menampilkan sebuah surat yang baru ditemukan, yang sudah dilaporkan secara luas oleh media. Surat yang ditulis oleh Felix Rey, dokter yang merawat Van Gogh di Arles, menunjukkan diagram yang menggambarkan secara jelas bagian telinga yang dipotong oleh Van Gogh.
Selama bertahun-tahun, penulis biografi Van Gogh memperdebatkan apakah dia memotong keseluruhan telinga kirinya atau hanya cupingnya.
Surat tersebut, yang ditemukan oleh peneliti independen, Bernadette Murphy, yang menuliskan tentang temuannya dalam buku baru, Van Gogh’s Ear: The True Story, membuktikan secara jelas bahwa Van Gogh memotong keseluruhan telinganya.
Surat tersebut, tentu saja, adalah pengungkapan besar dalam pameran di Museum Van Gogh. Saat saya berkunjung ke sana baru-baru ini, ada sesuatu yang lain yang menarik perhatian saya: sebuah lukisan yang belum selesai, hanya satu meter di seberang surat, yang disebut Tree Roots (1890) atau ‘Akar Pohon’.
Van Gogh tengah mengerjakan lukisan itu pada pagi hari 27 Juli, beberapa jam sebelum bunuh diri. Ini adalah lukisan terakhir yang dibuatnya.
Sekilas, lukisan padat ini tampil seperti abstrak. Bagaimana kita bisa ‘membaca’ sapuan kuas tebal akan warna biru, hijau dan kuning, semuanya ditampilkan secara mencolok di kanvas, dan sapuannya terlihat jelas di beberapa tempat?
Pelan-pelan, gambar itu menampilkan lansekap yang memunculkan akar yang menonjol serta bagian bawah pohon yang terlihat di tanah warna pasir cerah di lembah curam batuan kapur. Langit kecil terlihat di kiri atas lukisan.
Selain pemandangan itu, seluruh kanvas hanya berfokus pada kelindan akar, pohon, cabang dan vegetasi yang padat.
Martin Bailey, sejarawan seni dan penulis buku Studio of the South: Van Gogh in Provence yang akan terbit, mengatakan, “Bagian atas pohon dipotong dengan komposisi yang tidak biasa – seperti yang biasa ditemukan di lukisan Jepang, yang sangat dikagumi Van Gogh.”
Dari berbagai sudut pandang, Tree Roots adalah gambar yang luar biasa: komposisi yang inovatif dan ‘menyebar’, tanpa satu titik fokus.
Lukisan tersebut mengantisipasi perkembangan terbaru dalam seni modern, seperti gaya abstrak. Namun di saat bersamaan, sulit untuk tak melihat lukisan tersebut secara retrospektif – lewat sudut pandang pengetahuan bahwa sesaat setelah lukisan itu dibuat, Van Gogh berusaha bunuh diri.
Apa yang disampaikan lukisan ini tentang kondisi kejiwaan Van Gogh?
Selamat tinggal semuanya?
Tentu saja, lukisan tersebut tampak terganggu, seperti penuh dengan naik-turun kondisi emosional. “Ini adalah salah satu lukisan di mana Anda bisa merasakan kondisi kejiwaan Van Gogh yang kadang tersiksa,” kata Bailey.
Terlebih lagi, subjek lukisannya terasa penting. Beberapa tahun sebelumnya, Van Gogh mempelajari akar-akar pohon yang, menurut Van Gogh dalam suratnya buat Theo, mewakili pergulatan kehidupan.
Beberapa saat sebelum kematiannya, dalam suratnya buat Theo, Van Gogh menulis bahwa hidupnya “diserang pada akarnya”.
Lalu mungkinkah Van Gogh melukis Tree Roots sebagai perpisahan?
Saat saya menyampaikan ini pada kurator Nienke Bakker, yang bertanggungjawab untuk koleksi lukisan di Museum Van Gogh, dia menyarankan untuk hati-hati.

“Ada banyak kemarahan emosional dalam karya-karya di beberapa minggu terakhir kehidupan Van Gogh, seperti di Wheatfield with Crows atau Ladang Gandum dengan Gagak dan Wheatfield under Thunderclouds atau Ladang Gandum di bawah Awan Badai,” katanya.
“Jelas bahwa Van Gogh berusaha menyampaikan kondisi emosional pikirannya. Namun Tree Roots juga sangat hidup dan penuh semangat. Karya ini penuh petualangan. Sulit dipercaya jika seseorang yang melukiskan ini pada pagi hari akan bunuh diri pada sore harinya. Buat saya, sulit untuk mengatakan bahwa Van Gogh meniatkan ini sebagai sebuah salam perpisahan – ini terlalu rasional.”
Pada akhirnya, Bakker lebih memilih untuk membantah teori bahwa penyakit Van Gogh adalah yang membuatnya menjadi seorang seniman hebat.
“Semua akar yang tersiksa dan berkelindan ini membuat Tree Roots sebagai lukisan yang sangat kacau dan emosional,” katanya.
“Namun ini bukan lukisan yang diciptakan oleh pikiran yang gila. Dia tahu sekali apa yang dia lakukan. Sampai akhir hidupnya, Van Gogh terus melukis terlepas dari sakitnya, bukan karena sakitnya. Maka sangat penting untuk mengingat itu.”

Versi bahasa Inggris tulisan ini bisa Anda baca di The mystery of Van Gogh's madness di laman BBC Culture

Sunday, August 14, 2016

Melindungi Guru Lewat Cara Gubernur Ali Sadikin

KEMEJA putih Dasrul bernoda ceceran darah. Guru SMKN 2 Makassar itu lunglai setelah mendapat bogem mentah dari orangtua muridnya. Peristiwa ini menjadi viral di lini massa. Sebelumnya, Mei lalu, guru asal Sidoarjo terancam pidana penjara karena mencubit muridnya yang melalaikan salat.
Kasus kekerasan terhadap guru juga pernah bikin Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) geram bukan main. Dari surakabar, Ali mendapati seorang guru SMA Filial di Rawasari, Jakarta Pusat, mengalami pemukulan dan pengeroyokan.
Berita Kompas, 5 November 1971, mewartakan seorang siswa yang tidak lulus, bersama beberapa tukang pukul berambut gondrong, memukuli gurunya sampai cidera. “Guru berinisial RSP itu tidak dapat melarikan diri karena diancam dengan golok,” tulis Kompas.
“Maka, tentu saja saya turun tangan langsung. Tidak bisa keadaan begitu dibiarkan berkepanjangan,” ujar Ali dalam otobiobiografi Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan KH.
Ali segera memerintahkan kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengusut tuntas kasus tersebut. Untuk penanganan lebih lanjut, Ali berkoordinasi dengan kepolisian. Dia juga mengimbau para guru untuk mengadukan setiap penganiayaan yang dialami mereka.
“Telepon gubernur, jika ada guru dipukuli murid,” tulis Kompas.
Di beberapa tempat, Ali berseru, dirinya akan menjadi backing para guru. Menurut Letjen (Purn.) KKO (Korps Komando) Angkatan Laut itu, tidak bisa dibayangkan apabila guru takut pada murid. Bagi Ali, guru harus dihormati oleh murid-muridnya, orangtua murid, dan masyarakat.
“Laporkan saja kepada saya jika ada yang menghalang-halangi tindakan para guru. Saya akan bereskan! Ini sudah merupakan konsensus saya dengan Kapolda Metro Jaya Brigjen Widodo,” seru Ali.

Ali menuturkan, “Tak ada pilihan lain selain daripada menegakkan kembali wibawa guru. Hanya orang tua yang bodoh, yang tak tahu diri yang selalu membela anak-anaknya yang jelas tidak benar.”
“Saya tak ada kompromi lagi. Setiap anak yang melanggar hukum akan ditindak,” tegas Ali.
Dalam Kompas, 6 November 1971, Kapolda Metro Jaya Brigjen Widodo menyatakan siswa SMA Filial di Rawasari berinisial T yang memukul gurunya telah ditahan dan akan diproses secara hukum. Setelah kejadian itu, dibentuklah POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) di Jakarta.
“Setelah saya menunjukkan sikap tegas begitu, meredalah dan turun jumlah kejadian kenakalan anak-anak sekolah itu,” pungkas Ali.
Dalam Menguak Tabir Kusam: Kumpulan Essey Permasalahan Pendidikan, M.S Abbas mencatat pada dekade 1970-an, banyak guru mengalami tekanan di sekolah. Hal ini terjadi terutama menjelang masa kenaikan kelas.
“Pemukulan atau penusukan tetap saja menjadi kekuatiran para guru di sekolah, karena bila saat yang menegangkan itu datang, yaitu saat kenaikan kelas, tak sedikit pula sekolah yang meminta polisi untuk berjaga-jaga,” tulis Abbas.

Thursday, August 4, 2016

Kisah Kejujuran Jendral Polisi Hoegeng Yang Mengharukan

Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 – meninggal 14 Juli 2004 pada umur 82 tahun) adalah salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5 yang bertugas dari tahun 1968 - 1971. Hoegeng juga merupakan salah satu penandatangan Petisi 50.

Mantan Presiden Gus Dur punya anekdot, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Ketiganya adalah patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng Iman Santosa. Ini semacam sindiran bahwa sulit mencari polisi jujur di negeri ini. Kalaupun ada, langka dicari.
Polisi Hoegeng adalah satu teladan polisi jujur yang kisah dan kiprah selalu layak diceritakan turun-temurun. 14 Oktober 1921, tepat 91 tahun lalu, Hoegeng lahir di Pekalongan. Inilah beberapa cerita dan kiprah polisi Hoegeng sejak merintis karir sebagai polisi, sebagai dirjen imigrasi hingga berpuncak pada karir sebagai Kapolri.
Kisah-kisah yang menyentuh dan menggetarkan hati ini beberapa dikutip dari memoar Hoegeng, Polisi antara Idaman dan Kenyataan, karangan Ramadhan KH.
1. Larang istri buka toko bunga
Sebagai perwira, Hoegeng hidup pas-pasan. Untuk itulah istri Hoegeng, Merry Roeslani membuka toko bunga. Toko bunga itu cukup laris dan terus berkembang.
Tapi sehari sebelum Hoegeng akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini jabatan ini disebut dirjen imigrasi) tahun 1960, Hoegeng meminta Merry menutup toko bunga tersebut. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik menjadi kepala jawatan imigrasi dengan menutup toko bunga.
“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng.
Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu.
“Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak,” kata Merry.
2. Tolak rayuan pengusaha cantik
Kapolri Hoegeng Imam Santosa pun pernah merasakan godaan suap. Dia pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan.
Seperti diketahui, Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan. Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya.
Wanita ini pun berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi si wanita tak putus asa. Dia terus mendekati Hoegeng.
Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di kepolisian dan kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran, kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita tersebut. Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya.
Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.
3. Mengatur lalu lintas di perempatan
Teladan Jenderal Hoegeng bukan hanya soal kejujuran dan antikorupsi. Hoegeng juga sangat peduli pada masyarakat dan anak buahnya. Saat sudah menjadi Kapolri dengan pangkat jenderal berbintang empat, Hoegeng masih turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan.
Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari mulai pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, maka seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal.
“Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat.
Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi.”
Demikian ditulis dalam buku Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa- terbitan Bentang.
Hoegeng selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB. Sebelum sampai di kantor, dia memilih rute yang berbeda dan berputar dahulu dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat. Maksudnya untuk memantau situasi lalu lintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.
Saat suasana ramai, seperti malam tahun baru, Natal atau Lebaran, Hoegeng juga selalu terjun langsung mengecek kesiapan aparat di lapangan. Dia memastikan kehadiran para petugas polisi adalah untuk memberi rasa aman, bukan menimbulkan rasa takut. Polisi jangan sampai jadi momok untuk masyarakat.
4. Berantas semua beking kejahatan
Banyak aparat hukum malah menjadi beking tempat maksiat, perjudian hingga menjadi bodyguard. Hanya sedikit yang berani mengobrak-abrik praktik beking ini. Polisi super Hoegeng Imam Santosa mungkin yang paling berani.
Ceritanya tahun 1955, Kompol Hoegeng mendapat perintah pindah ke Medan. Tugas berat sudah menantinya. Penyelundupan dan perjudian sudah merajalela di kota itu.
Para bandar judi telah menyuap para polisi, tentara dan jaksa di Medan. Mereka yang sebenarnya menguasai hukum. Aparat tidak bisa berbuat apa-apa disogok uang, mobil, perabot mewah dan wanita. Mereka tak ubahnya kacung-kacung para bandar judi.
Bukan tanpa alasan kepolisian mengutus Hoegeng ke Medan. Sejak muda dia dikenal jujur, berani dan antikorupsi. Hoegeng juga haram menerima suap maupun pemberian apapun.
Maka tahun 1956, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut. Hoegeng pun pindah dari Surabaya ke Medan. Belum ada rumah dinas untuk Hoegeng dan keluarganya karena rumah dinas di Medan masih ditempati pejabat lama.
Cerita soal keuletan para pengusaha judi benar-benar terbukti. Baru saja Hoegeng mendarat di Pelabuhan Belawan, utusan seorang bandar judi sudah mendekatinya. Utusan itu menyampaikan selamat datang untuk Hoegeng. Tak lupa, dia juga mengatakan sudah ada mobil dan rumah untuk Hoegeng hadiah dari para pengusaha.
Hoegeng menolak dengan halus. Dia memilih tinggal di Hotel De Boer menunggu sampai rumah dinasnya tersedia.
Kira-kira dua bulan kemudian, saat rumah dinas di Jl Rivai siap ditinggali, bukan main terkejutnya Hoegeng. Rumah dinasnya sudah penuh barang-barang mewah. Mulai dari kulkas, piano, tape hingga sofa mahal. Hal yang sangat luar biasa. Tahun 1956, kulkas dan piano belum tentu ada di rumah pejabat sekelas menteri sekalipun.
Ternyata barang itu lagi-lagi hadiah dari para bandar judi. Utusan yang menemui Hoegeng di Pelabuhan Belawan datang lagi. Tapi Hoegeng malah meminta agar barang-barang mewah itu dikeluarkan dari rumahnya. Hingga waktu yang ditentukan, utusan itu juga tidak memindahkan barang-barang mewah tersebut.
Apa tindakan Hoegeng?
Dia memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan barang-barang itu dari rumahnya. Diletakkan begitu saja di depan rumah. Bagi Hoegeng itu lebih baik daripada melanggar sumpah jabatan dan sumpah sebagai polisi Republik Indonesia.
Hoegeng geram mendapati para polisi, jaksa dan tentara disuap dan hanya menjadi kacung para bandar judi. “Sebuah kenyataan yang amat memalukan,” ujarnya geram.
5. Hoegeng dan pemerkosaan Sum Kuning
Sumarijem adalah seorang wanita penjual telur ayam berusia 18 tahun. Tanggal 21 September 1970, Sumarijem yang sedang menunggu bus di pinggir jalan, tiba-tiba diseret masuk ke dalam mobil oleh beberapa orang pria. Di dalam mobil, Sum diberi eter hingga tak sadarkan diri. Dia dibawa ke sebuah rumah di Klaten dan diperkosa bergiliran oleh para penculiknya.
Setelah puas menjalankan aksi biadab mereka, Sum ditinggal begitu saja di pinggir jalan. Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu.
Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.
Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.
Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah.
Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.
Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.
“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak,” tegas Hoegeng.
Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya Tim Pemeriksa Sum Kuning, dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.

Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib?
Dalam kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
6. Selalu berpesan polisi jangan sampai dibeli
Mantan Kapolri Jenderal Polisi Widodo Budidarmo punya kenangan soal Hoegeng. Widodo ingat betul pesan Hoegeng padanya.
“Mas Widodo jangan sampai kendor memberantas perjudian dan penyelundupan karena mereka ini orang-orang yang berbahaya. Suka menyuap. Jangan sampai polisi bisa dibeli,” tutur Widodo menirukan pesan Hoegeng semasa itu.
Widodo tahu Hoegeng tidak asal memberikan perintah. Hoegeng telah membuktikan dirinya memang tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di Medan, Hoegeng terkenal karena keberanian dan kejujurannya. Dia tak sudi menerima suap sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi dilemparkannya keluar rumah.
“Kata-kata mutiara yang masih saya ingat dari Pak Hoegeng adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,” kenang Widodo.
Widodo bahkan menyamakan mantan atasannya dengan Elliot Ness, penegak hukum legendaris yang memerangi gembong mafia Al Capone di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mafia menyuap hampir seluruh polisi, jaksa dan hakim di Chicago. Karena itu mereka bebas menjalankan aksi-aksi kriminal.
Tapi saat itu Elliot Ness dan kelompoknya yang dikenal sebagai The Untouchables atau mereka yang tak tersentuh suap, berhasil mengobrak-abrik kelompok gengster itu.
“Pak Hoegeng itu tak kenal kompromi dan selalu bekerja keras memberantas kejahatan,” jelas Widodo.
Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci.



Monday, August 1, 2016

Ritual Darah Raja-raja Nusantara

Sosoknya menyeramkan, dengan tinggi 4.14 meter. Berdiri diatas mayat seorang guru yang bertubuh kecil dengan kaki terlipat di bawah badan, yang berbaring tanpa pakaian di atas sekumpulan tengkorak manusia.  

Sosok itu memegang sebilah pisau dan mangkuk. Dua ekor ular melingkari kakinya. Ia seperti mengenakan sarung kotak-kotak dengan hiasan tengkorak di tengahnya. Ikat pinggangnya berhias kepala kala. Kedua pergelangan tangan dan lengannya memakai gelang ular. 

Arca itu dikenal sebagai Bhairawa dari Padang Roco, Sumatra Barat. Ia disimpan di ruang pamer Museum Nasional, Jakarta, dengan nama Bhairawa Buddha. “Semua ini (kesan menyeramkan, red) tidak mengherankan, sebab hal ini memang sesuai dengan sifat dan bentuk arca ini sebagai Bhairawa,” tulis Pitono Hardjowardojo dalam Adityawarman. Menurut Pitono, banyak ahli menghubungkan arca Bhairawa itu dengan Adityawarman, bangsawan yang hidup pada abad ke-14. Dia memiliki hubungan darah dengan raja-raja Singhasari dan Majapahit. Adityawarman memimpin kerajaan yang kemungkinan berpusat di sekitar Pagaruyung, Sumatra Barat. Sebagai peninggalan sang raja, arca Bhairawa menunjukkan bukti adanya sekte Bhairawa yang berkembang di wilayah itu. Sekte ini merupakan salah satu aliran dari ajaran Budha Tantrayana. Sekte Bhairawa muncul pada abad ke-6 di Benggala sebelah timur, menyebar ke utara melalui Tibet, Mongolia, lalu masuk ke Tiongkok dan Jepang. Persebaran ke timur masuk ke Asia Tenggara, termasuk ke Nusantara. Sekte ini tampak di Sumatra pada abad ke-11, kemudian menyebar ke timur sampai ke Jawa. Pada masa Singhasari sekte ini semakin berkembang dan kemudian muncul kembali di Sumatra pada masa Adityawarman. 

Dalam menjalankan kepercayaannya, penganut sekte Bhairawa memilih cara pelepasan yang lebih cepat daripada cara biasa, yaitu menyatukan diri secara mistik dengan dewa tertinggi. “Untuk mencapai ini mereka melakukan upacara tertentu yang menurut penyelidikan para ahli sangat menyeramkan,” tulis Pitono. 

Upacara sekte Bhairawa di antaranya minum darah manusia. Tak hanya itu, mereka akan menari dan tertawa diiringi bunyi-bunyian dari pukulan tulang manusia. 

Ritual ini dijelaskan pula dalam Prasasti Suroaso yang berangka tahun 1297 saka. Prasasti ini menjelaskan dengan cukup rinci pentahbisan Raja Adityawarman sebagai Ksetrajnya, yang berarti dia menerima pentahbisan tertinggi, yaitu pembebasan bagi Bhairawa. 

“Prasasti ini adalah bukti kuat yang tidak tertumbangkan bahwa ada pemujaan Bhairawa di Sumatra tiada berapa lama menjelang masuknya agama Islam di Nusantara,” tulis J.L. Moens dalam Buddhisme di Jawa dan Sumatera dalam Masa Kejayaannya Terakhir. 

Moens menafsirkan Prasasti Suroaso bahwa di sebuah lapangan mayat Raja Adityawarman ditahbiskan sebagai Ksetrajnya dengan nama Wicesadharani, artinya seorang yang memiliki konsentrasi tinggi. Adityawarman ditahbiskan sambil bersemayam dengan sunyi senyap di sebuah tempat duduk berupa tumpukan mayat. Dia digambarkan sambil tertawa-tawa sebagai setan dan minum darah. 

“Sementara, korban manusianya yang besar, bernyala-nyala menebarkan bau busuk yang tak tertahankan, tetapi bagi orang yang sudah ditahbiskan berkesan sebagai harumnya berpuluh-puluh ribu juta bunga,” papar Moens menjelaskan isi prasasti. 

Pada keterangan lain, ritual semacam ini bukan hanya dilakukan Adityawarman. Raja Singhasari, Kertanegara, pun menganut ajaran serupa, yaitu Tantrayana aliran Kalacakra. Ini dapat disimpulkan melalui kenyataan dia ditahbiskan sebagai Jina di Kuburan Wurara. Hal ini tertera dalam Prasasti Wurare yang berangka tahun 1211 saka atau 1289 M. Arca pentahbisannya, di mana pada lapiknya tertera berita soal Wurara, merupakan wujud Aksobhya yang kini dikenal dengan nama Joko Dolog. 

Ritual di kuburan selalu identik dengan laku Tantrayana. Soal ini, Moens menjelaskan, kuburan atau lapangan mayat menurut penganut ajaran ini dianggap sebagai tempat ikatan Samsara dilepaskan. Tempat di mana kehidupan duniawi berakhir. 

“Lapangan mayat adalah tanah suci yang paling tepat untuk melakukan di atasnya tindakan upacara bernilai tinggi, khususnya upacara pembebasan,” lanjut Moens.