Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1959 adalah
sebuah peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1959 dan ditanda tangani
oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero yang berisi tentang larangan
orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten
ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka
kepada warga negara Indonesia [1]
Peraturan ini menjadi kontroversial karena pada penerapannya memakan korban jiwa (dikenal sebagai kerusuhan rasial Cibadak), dan mengakibatkan eksodus besar-besaran orang Cina (belum warganegara Indonesia) dan keturunan Tionghoa kembali ke Cina.
Latar belakang dan dampak
- Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, rakyat Indonesia mengalami euforia kemerdekaan dan merebut banyak perusahaan-perusahaan milik asing dan dinamakan "sentimen anti Belanda". Di antara perusahaan-perusahaan yang direbut termasuk Koninklijke Pakketvaart Maatschappij (KPM), sebuah perusahaan pelayaran milik Belanda yang melayani jalur transportasi dagang dari Belanda menuju Indonesia oleh kelompok buruh Marhaen, dan perebutan-perebutan lapangan-lapangan minyak oleh kelompok pekerja lapangan dan pengilangan minyak zaman kolonial yang bersenjata dan menamakan diri "Laskar Minyak"[2].
- Namun setelah beberapa waktu pemerintah Indonesia menyadari bahwa orang Indonesia yang terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit. Kaum pribumi pun tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin bersaing dengan perusahaan asing dan Tionghoa [3]. Perusahaan-perusahaan ini mengalami kemunduran setelah diambil alih. Sebagai jalan keluar ditanda tangani persetujuan di Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda yang isinya Pemerintah akan mengembalikan semua perusahaan asing yang telah diambil alih kepada pemiliknya. Sebagai gantinya untuk memperkuat ekonomi pribumi berdasarkan persetujuan Konferensi Meja Bundar maka pemerintah Indonesia diberikan hak untuk mengeluarkan peraturan yang melindungi kepentingan nasional dan "golongan ekonomi lemah".
- Pada awal 1950 dikeluarkanlah Program Benteng importir oleh Menteri Kesejahteraan Djuanda, yang mengumumkan bahwa hanya pengusaha pribumi saja yang diberi izin mengimpor barang tertentu yang dikenal sebagai sebutan barang benteng. Dalam penerapannya hal ini menelurkan istilah "Ali Baba" yang berarti kongsi antara kaum pribumi yang memiliki akses birokrasi dengan pengusaha Cina.
- Pada tanggal 19 Maret 1956 pada Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, Asaat Datuk Mudo, Mantan Pejabat Presiden Republik Indonesia berorasi bahwa orang-orang Cina telah bersikap monopolistis dalam perdagangannya dengan tidak membuka jalan bagi penduduk pribumi untuk ikut berdagang.
“ | Orang-orang Cina sebagai satu golongan yang eksklusif menolak masuknya orang-orang lain, terutama dalam bidang ekonomi. Mereka begitu ekslusif sehingga dalam praktiknya bersikap monopolistis... | ” |
. Sebagai penutup Asaat berkata bahwa ia percaya bahwa pada masa itu
diperlukan perlindungan khusus di bidang ekonomi kepada warga negara
Indonesia asli.
- Dilihat dari fakta yang terjadi dilapangan pada era 1950an hampir semua toko di Indonesia dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa. Mulai dari toko kelontong, toko bangunan, hingga toko makanan. Hal ini dibenarkan oleh pengamat budaya Betawi, Alwi Shahab yang menyatakan bahwa pada masa mudanya di daerah Kwitang, Jakarta Pusat, pusat perekonomian di Jakarta betul-betul bergantung pada pengusaha keturunan Tionghoa.
“ | Jangan bayangkan ada warung Padang atau yang lain seperti sekarang. Semua dikuasai orang Cina | ” |
- Pidato ini menjadi awal "gerakan Asaat" atau "pribumisasi" yang dinilai berpengaruh besar pada gerakan anti-Cina selanjutnya. Pada bulan November 1959 dikeluarkan PP Nomor 10 tahun 1959 yang berisi larangan untuk orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bahwa dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari 1960. PP No.10 ini dimaksudkan untuk menyehatkan perekonomian nasional, namun menimbulkan ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Subandrio dengan Duta Besar Cina untuk Indonesia (Huang Chen) di Jakarta, pemerintah Peking mendesak peninjauan kembali PP No. 10 dan permintaan itu ditolak [4]. Selanjutnya di depan sidang parlemen, Menteri Subandrio menegaskan, sama sekali tidak diperdapat anasir-anasir anti Cina dalam hubungan pelaksanaan PP No. 10. Pelaksanaan PP No. 10 tersebut, selain merupakan dimulainya nasioanalisasi dan sosialisasi di bidang ekonomi, juga merupakan bagian pelaksanaan dalam revolusi Indonesia, katanya. Dalam nasionalisasi tersebut, PP No.10 memerintahkan agar usaha-usaha pedagang eceran bangsa asing di luar ibukota kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh berdomisili di tempat tinggalnya. Sedangkan tempatnya berjualan selama ini tidak dibenarkan digunakan untuk usaha dan semua barang-barangnya yang berada di dalam tempatnya berjualan harus diserahkan kepada koperasi[5]. Pemerintah Cina pun berang, pada tanggal 10 Desember 1959 radio Peking mengumumkan ajakan warga Cina perantauan untuk kembali ke "kehangatan Ibu Pertiwi". Kedubes RRT di Jakarta segera mendaftar Cina perantau yang tertarik oleh ajakan itu.
- Pada praktiknya "orang asing" pada pasal ini terbatas hanya pada orang Tionghoa karena dari 86.690 pedagang kecil asing yang terdaftar, 90 persennya adalah orang Tionghoa. Saat peraturan ini diterapkan, sekitar 500 ribu pengusaha keturunan Tionghoa terimbas (Majalah Tempo) sedangkan Harian Waspada memiliki perhitungan lain, yaitu terdapat sekitar 25.000 warung/kios milik pedagang asing yang umumnya orang Cina yang terkena PP No. 10 (harian Waspada 1960) [6]. Tercatatat bahwa di beberapa tempat penerapannya juga dipaksakan dengan kekuatan militer; tidak hanya tidak diperbolehkan berdagang, namun orang Tionghoa dilarang tinggal di tempat tersebut. Di Curut, Cibadak, dan Cimahi hal ini memakan korban. Di Cimahi, Jawa Barat, terjadi pengusiran orang Tionghoa dan tentara menembak mati dua perempuan Tionghoa (Majalah Tempo). Namun harian Waspada yang terbit pada tahun 1960 menilai lain, secara umum pelaksanaan PP 10 berjalan lancar, namun di beberapa daerah wilayah Indonesia, seperti Bandung dan Medan, ada pedagang-pedangan asing (Cina) yang menyulitkan pelaksanaan PP 10 sehingga sempat menimbulkan gejolak. Banyak pedagang yang mencoba melakukan praktik spekulasi dengan menutupi/ mengosongkan tokonya dan menimbun barang dagangannya di gudang serta menaikkan harga bahan pokok. Apalagi setelah keluarnya peraturan pemerintah mengenai penyesuaian harga barang-barang. Sesuai instruksi khusus Kejaksaan Agung, di beberapa daerah termasuk di Sumut dibentuk Tim Pengawasan Ekonomi yang bertugas untuk mengadakan pengawasan di bidang ekonomi, menstabilkan harga, mengadakan tindakan drastis kepada siapapun juga yang menghalangi program sandang pangan yang dilakukan pemerintah. Tim Operasi Pengawasan Ekonomi yang dibentuk di Sumut berhasil menemukan 200 gudang di Medan yang menimbun bahan-bahan sandang pangan. Dan kepada pedagang bersangkutan dikenakan hukuman badan[7].
- Menanggapi himbauan Pemerintah Peking, sekitar 199 ribu yang mendaftar, namun hanya 102 ribu yang terangkut ke Cina menggunakan kapal yang dikirim oleh pemerintah RRT.[8] [9]. Ketegangan berkurang setelah Perdana Mentri RRT Zhou Enlai menemui Presiden Soekarno.
Pro dan Kontra
Menurut sejarawan Mestika Zed dari Universitas Andalas,
Padang, Sumatera Barat; Asaat Datuk Mudo merupakan nasionalis sejati
yang selalu berpijak pada fakta di lapangan. Ekonomi pribumi pada waktu
itu (setelah kemerdekaan) lemah, terkatung-katung, dan tidak ada yang
membela. Sementara sejak masa kolonial kedudukan ekonomi orang Cina
selalu di atas pribumi. Setelah Indonesia merdeka, mereka menguasai
perekonomian mulai dari skala kecil, menengah, hingga yang besar.
Gagasan Assaat belakangan diterapkan oleh Tunku Abdul Rahman dan
Mahathir Mohammad sebagai kebijakan ekonomi untuk melindungi mayoritas
melayu di Malaysia.
Menilik dari sejarahnya, pada awal kemerdekaan keturunan Cina selalu
dicurigai karena mereka terbagi dalam tiga kelompok yaitu; "pro
Belanda", "pro pemerintah Cina", dan "pro pergerakan nasionalisme
Indonesia". Ada juga kelompok warga Tionghoa yang menyetujui "pembauran"
atau "pribumisasi" warga Tionghoa melalui Islam dan PITI sebagai organisasi Islam. Buya Hamka
termasuk dalam kelompok ini. Mereka telah memberikan kesempatan dan
dukungan pada warga Tionghoa untuk membuktikan bahwa mereka ingin dan
mau berusaha menjadi warga negara Indonesia yang "baik". Sebaliknya
warga pribumi juga banyak yang bersahabat dan pernah bekerja sama dengan
warga Tionghoa dalam pergerakan nasionalisme Indonesia. Beberapa tokoh
Tionghoa pun berusaha keras mendorong "kembalinya" warga Tionghoa ke
pangkuan Republik Indonesia. Yap Thiam Hien, pengacara yang terkenal berjiwa nasionalis Indonesia mendirikan Baperki
(Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) pada 1954. Organisasi
yang bertujuan untuk "mewarganegarakan warga Tionghoa" khususnya mereka
yang berorientasi kepada pemerintah Belanda dan kepada Pemerintah Cina.
Lembaga ini juga berjasa menyusun Undang-Undang kewarganegaraan Tahun 1958 yang diimplementasikan pada awal 1960 [10]
Namun Leo Suryadinata, pengajar di Universitas Nasional Singapura
berpendapat bahwa baik peraturan benteng maupun PP 10 tahun 1959 adalah
awal perlakuan anti-Tionghoa di Indonesia. Menurutnya pada zaman
kolonial orang Cina umumnya hanya pedagang kecil, namun setelah
Indonesia merdeka kedudukan bisnis mereka lebih kuat, karena itu
pengusaha dan pedagang "pribumi" merasa tidak bisa bersaing dan ingin
mengambil alih bisnis orang Tionghoa dengan kekuatan pemerintah. Aturan diskriminatif ini juga dilansir sebagai upaya melestarikan politik pecah belah.
(sumber: wikipedia.org)
No comments:
Post a Comment