Monday, February 23, 2015

Bunglon dan Kelelawar



Suatu kali pernah timbul pertentangan  antara  beberapa ekor kelelawar dan seekor bunglon. Perkelahian antara mereka sudah sedemikian sengitnya, sehingga pertentangan itu  sudah melampaui  batas.  Para  kelelawar  setuju  bahwa  jika saat petang  menjelang  malam  telah   menyebar   melalui   ceruk lingkaran  langit,  dan  matahari  telah  turun  di  hadapan bintang-bintang menuju lingkup terbenamnya matahari,  mereka akan   bersama-sama   menyerang   si  bunglon  dan,  setelah menjadikannya tawanan mereka, menghukumnya sesuka  hati  dan melampiaskan  dendam.  Ketika  saat  yang  dinantikan  tiba, mereka menyerang dengan tiba-tiba, dan semuanya bersama-sama menyeret  bunglon  yang  malang dan tak berdaya itu ke dalam sarang mereka. Dan malam itu mereka memenjarakannya.

Ketika fajar tiba, mereka  bertanya-tanya  apakah  sebaiknya bunglon  itu  disiksa  saja.  Mereka  semua setuju bahwa dia harus dibunuh, tetapi mereka  masih  merencanakan  bagaimana cara  terbaik  untuk  melaksanakan pembunuhan  itu. Akhirnya mereka memutuskan  bahwa  siksaan  yang  paling  menyakitkan adalah  dihadapkan pada matahari. Tentu saja, mereka sendiri tahu bahwa tidak ada siksaan yang lebih menyakitkan,  selain berada  dekat  dengan  matahari; dan, dengan membuat analogi dengan keadaan mereka sendiri, mereka mengancam  supaya  dia memandang   matahari.   Bunglon   itu,  sudah  pasti,  tidak mengharapkan yang lebih baik lagi. 'Penghukuman' semacam itu persis  seperti  yang  diinginkannya,  sebagaimana dikatakan oleh Husayn Manshur,

Bunuhlah aku, kawan-kawanku, sebab dengan
terbunuhnya diriku, aku akan hidup. Hidupku ada
dalam  kematianku, dan kematianku ada dalam
hidupku. (keterangan: baris-baris ini terdapat
dalam Al-Hallaj, 14.1)

Maka  ketika  matahari terbit, mereka membawanya keluar dari
rumah mereka yang menyedihkan agar dia tersiksa oleh  cahaya
matahari,   siksaan   yang   sesungguhnya   merupakan  jalan
keselamatan baginya.

Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur dalam peperangan di jalan Allah itu mati. Tidak!
Bahkan mereka hidup. Mereka  mendapat rizki dan
Tuhannya. (QS 3:169)

Kalau  saja  para  kelelawar  itu  tahu  betapa  murah  hati
tindakan  mereka  terhadap  bunglon  itu,  dan betapa mereka
telah  berbuat  keliru,  karena  mereka  justru   memberinya
kesenangan, mereka pasti akan mati sedih. Bu-Sulayman Darani
berkata, "Jika orang-orang yang lalai itu tahu betapa mereka
telah  mengabaikan kesenangan orang-orang yang sadar, mereka
pasti akan mati karena kecewa." (dikutip dalam bahasa Persia
'Aththar, Tadzkirah, hal. 282)

dalam peperangan di jalan Allah itu mati. Tidak!
Bahkan mereka hidup. Mereka  mendapat rizki dan
Tuhannya. (QS 3:169)

Kalau  saja  para  kelelawar  itu  tahu  betapa  murah  hati tindakan  mereka  terhadap  bunglon  itu,  dan betapa mereka telah  berbuat  keliru,  karena  mereka  justru   memberinya kesenangan, mereka pasti akan mati sedih.
Bu-Sulayman Daran I berkata, "Jika orang-orang yang lalai itu tahu betapa mereka telah  mengabaikan kesenangan orang-orang yang sadar, mereka pasti akan mati karena kecewa." (dikutip dalam bahasa Persia
'Aththar, Tadzkirah, hal. 282)

Menguak jalan kebenaran



Suatu hari aku duduk di halaqah seorang guru di India Utara. Ketika itu seorang pemuda asing dibawa masuk. Ia mencium tangan Syekh tersebut dan mulai berbicara. Selama tiga setengah tahun, katanya, ia telah mengkaji berbagai agama, mistisisme dan okultisme dari buku-buku di Jerman, Perancis dan Inggris. Ia telah pindah dari satu kelompok (keagamaan) ke kelompok lainnya, untuk mencari sesuatu yang bisa membawanya ke jalan yang benar. Agama formal tidak menarik hatinya. Dengan mengumpulkan semua uang yang bisa ia dapatkan, ia telah mengembara ke Timur, dan telah bolak-balik dari Iskandariah ke Kairo, dari Damaskus ke Teheran, melalui Afghanistan, India dan Pakistan. Ia pernah tinggal di Burma [Myanmar] dan Bangladesh, begitu juga di Malaysia. Di semua tempat ini ia telah berbicara dan mengambil catatan-catatan salinan dari guru-guru spiritual dan keagamaan.

Tentu saja, secara fisik maupun batin, ia telah menempuh jarak yang jauh. Ia ingin bergabung dengan Syekh ini, sebab ia ingin melakukan sesuatu yang praktis, memusatkan perhatian pada gagasan-gagasan untuk mengembangkan diri. Ia memperlihatkan semua tanda bahwa ia lebih dari siap untuk menyerahkan dirinya kepada disiplin dari sebuah tarekat darwis.
Syekh tersebut bertanya kepadanya, mengapa ia menolak semua ajaran lainnya. Ada berbagai alasan, katanya, berbeda-beda dalam hampir setiap kasus. "Ceritakan kepadaku sebagian!" ucap sang guru.

Agama-agama besar, katanya, tampaknya tidak melangkah cukup mendalam. Mereka memusatkan diri pada dogma-dogma. Dogma-dogma tersebut harus diterima apa adanya. Zen (salah satu pecahan Budha) sebagaimana telah ia temukan di Barat, sama sekali tidak menyentuh realitas. Yoga menuntut disiplin keras jika hal itu tidak ingin menjadi "sekadar suatu mode sambilan". Kultus-kultus yang terpusat pada kepribadian seseorang didasarkan pada pemusatan terhadap orang tersebut. Ia tidak bisa menerima dasar pemikiran bahwa seremoni, simbolisme dan apa yang disebut sebagai peniruan kebenaran-kebenaran spiritual itu memiliki suatu kebenaran sejati.

Di antara para Sufi yang bisa dihubunginya, tampak baginya hanya berusaha mencapai pola yang serupa. Sebagian memiliki sifat pengajaran yang tulus, sebagian menggunakan gerakan-gerakan ritmis yang tampak sebagai peniruan dari sesuatu. Yang lain mengajarkan melalui bacaan-bacaan (wirid) yang tidak bisa dibedakan dari ucapan-ucapan (khotbah). Sebagian Sufi disibukkan dengan memusatkan perhatian pada tema-tema teologis.
Maukah Syekh membantunya?
"Lebih dari yang engkau ketahui," ucap Syekh. "Manusia itu sedang berkembang, apakah ia mengetahuinya atau tidak. Kehidupan itu satu, meskipun dalam bentuk-bentuk tertentu ia tampak bermacam-macam. Selama engkau hidup, engkau sebenarnya sedang belajar. Mereka yang belajar melalui upaya sengaja sebenarnya merusak pengajaran yang diproyeksikan bagi mereka pada keadaan normal. Orang-orang yang tak terdidik sampai pada tingkatan tertentu mempunyai hikmah, sebab mereka menerima akses dari dampak-dampak kehidupan itu sendiri. Ketika engkau berjalan dan melihat benda-benda atau orang, kesan-kesan ini sebenarnya mengajarimu. jika engkau secara aktif berusaha belajar dari mereka, engkau mengetahui hal-hal tertentu, tetapi semua itu merupakan hal-hal yang telah ditentukan sebelumnya. Engkau melihat wajah seseorang. Di saat engkau melihatnya, pertanyaan-pertanyaan muncul di benakmu, dan pertanyaan itu dijawab oleh pikiranmu sendiri. Apakah ia hitam? Apakah ia jujur? Manusia seperti apakah dia? Juga ada pertukaran konstan antara orang lain dan dirimu sendiri."
"Pertukaran ini didominasi oleh pandangan subyektifmu. Maksudku adalah bahwa engkau melihat apa yang engkau lihat. Ini telah menjadi suatu tindakan otomatis; engkau seperti mesin, tetapijuga seorang manusia yang hanya terlatih secara superfisial. Engkau melihat sebuah rumah. Ciri-ciri umum dan khusus dari rumah tersebut terpilah-pilah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan tersimpan dalam akalmu. Tetapi (semua itu) tidak secara obyektif --hanya sesuai dengan pengalaman-pengalamanmu sebelumnya. Pengalaman-pengalaman manusia modern mencakup ini, apa yang telah disampaikan kepadanya. Dengan demikian rumah itu akan tampak besar atau kecil, baik atau jelek, seperti milikmu atau tidak. Dengan rincian yang lebih luas, ia memiliki atap seperti rumah lainnya, memilikijendela-jendela yang aneh. Mesin (pikiran) tersebut berputar dalam lingkaran-lingkaran, sebab ia semata-mata menambah pengetahuan formalnya."
Pendatang baru tersebut tampak kebingungan.
"Apa yang ingin kusampaikan," ucap Syekh, "adalah bahwa engkau memahami semua hal itu sesuai dengan gagasan-gagasan yang telah ada. Hal ini hampir tidak bisa dihindari kalangan intelektual. Engkau telah memutuskan bahwa engkau tidak menyukai simbolisme." Ia berhenti sejenak. "Apa yang engkau maksud?"
"Aku pikir apa yang kumaksudkan adalah bahwa penggunaan simbolisme oleh berbagai lembaga (keagamaan) tersebut tidak bisa memuaskanku sebagai sesuatu yang murni atau perlu," ucap anak muda tersebut.
"Apakah itu berarti bahwa engkau ingin menemukan suatu bentuk penggunaan simbol-simbol yang benar?" sergah si guru.
"Bagiku, simbolisme dan ritual tidaklah penting,"jawab calon murid tersebut, "dan hal-hal fundamental itulah yang aku cari."
"Apakah engkau bisa mengenali sesuatu yang fundamental jika engkau memang (pernah) melihatnya?"
"Aku pikir begitu."
"Maka hal-hal yang kami katakan dan lakukan akan tampak bagimu semata-mata sebagai persoalan-persoalan pendapat, tradisi, keanehan, sebab kami benar-benar menggunakan simbol-simbol. Yang lain menggunakan mantera-mantera, gerakan, pemikiran dan keheningan, konsentrasi dan perenungan --dan puluhan hal-hal lainnya," Syekh tersebut berhenti sejenak.
Pendatang tersebut berbicara.

"Apakah Anda berpikir secara eksklusif tentang Yudaisme, ritual-ritual Kristiani, puasa dalam Islam, kepala gundul (para Biksu) Budha, sebagai hal-hal yang fundamental?" Sekarang tamu tersebut tengah memanaskan suasana dengan merambah pada suatu tema intelektual yang karakteristik.
"Diktum Sufi mcnyatakan bahwa apa yang tampak itu merupakan jembatan menuju yang 'Sejati'," ucap Syekh itu. "Dalam kasus yang kita bahas, ini berarti bahwa semua itu mempunyai makna. Makna tersebut bisa hilang, hanya menampilkan sebuah ejekan, suatu tindakan sentimental atau kesalahpahaman terhadap sebuah peran. Tetapi jika dipergunakan dengan tepat, hal-hal tersebut secara sinambung terkait dengan realitas yang sebenarnya.
"Jadi, pada mulanya semua ritual itu bermakna dan niscaya mempunyai pengaruh penting?"
"Secara esensial semua ritual, simbolisme dan lainnya merupakan refleksi dari suatu kebenaran. Ia mungkin telah dicampur, disesuaikan, diselewengkan dengan tujuan-tujuan lain, tetapi ia menggambarkan suatu kebenaran-kebenaran batin dari apa yang kita sebut jalan Sufi."
"Tetapi para pelaku tersebut tidakkah mengetahui maknanya?"
"Mereka mungkin mengetahuinya dalam satu pengertian, pada satu tataran, suatu tataran yang cukup mendalam untuk mendukung sistem tcrsebut. Tetapi sejauh menyentuh realitas dan pengembangan-diri, penggunaan teknik-teknik ini adalah kosong."
"Lantas," ucap murid tersebut, "bagaimana kita bisa mengetahui siapa yang menggunakan tanda-tanda lahir tersebut dengan cara yang benar, yaitu cara pengembangan, dan siapa yang tidak mengetahuinya? Aku bisa menerima bahwa indikasi-indikasi superfisial itu memiliki nilai potensial, sebab indikasi-indikasi tersebut bisa membawa kepada sesuatu yang lain, dan kita memulainya di mana saja. Tetapi aku tidak bisa mengatakan kepada Anda, sistem apa yang harus kuikuti?"
"Tadi engkau mengajukan permintaan agar diijinkan memasuki lingkaran kami," ucap Syekh, "dan sekarang aku telah berhasil membuatmu kebingungan sampai pada satu tingkatan dimana engkau mengakui bahwa dirimu tidak bisa menilai. Baiklah, itulah esensinya. Engkau tidak bisa memutuskan. Engkau tidak bisa menggunakan instrumen untuk menilai. Engkau melakukan sebuah tugas sendirian: mencari kebenaran spiritual. Engkau melihat kebenaran ini dengan arah yang keliru dan menafsirkan manifestasi-manifestasinya dengan cara yang salah. Apakah mengejutkan jika engkau akan tetap dalam keadaan ini? Ada satu alternatif lain untukmu dalam keadaanmu saat ini. Pemusatan yang berlebihan terhadap tema tersebut, kecemasan dan emosi yang lahir dari dirimu, pada akhirnya akan bertumpuk sedemikian rupa sehingga engkau akan berusaha menjauhinya. Lalu apa yang akan terjadi? Emosi akan menguasai akal, dan engkau bisa jadi akan membenci agama atau --lebih mungkin-- beralih pada cara pemujaan tertentu yang mengambil tanggung jawab tersebut. Engkau akan menetap dengan anggapan bahwa dirimu telah menemukan apa yang engkau cari."

"Apakah tidak ada alternatif lain, meskipun dengan anggapan bahwa aku menerima keyakinan Anda, bahwa emosiku bisa menguasai akalku?" Pelatihan intelektual tidak (bisa) menerima secara ramah terhadap setiap anjuran yang tidak komprehensif, ia juga tidak bisa dikuasai oleh emosi. Kekakuan berpikir dengan nada yang samar ini membuktikan bahwa pemikir tersebut berusaha menegaskan sesuatu. Hal ini tidak lolos dari pengamatan Syekh tersebut.
"Pilihan, yang tidak akan engkau ambil ini, adalah pelepasan. Engkau lihat, ketika kami melepaskan, kami tidak melakukannya seperti cara yang engkau lakukan. Akal mengajarmu untuk melepaskan pikiran dari sesuatu dan memandangnya secara intelektual. Apa yang harus kami lakukan adalah untuk melepaskan diri dari akal dan (sekaligus) dari emosi. Bagaimana engkau bisa mencapai sesuatu jika menggunakan akal untuk menilainya? Masalahmu adalah bahwa apa yang engkau sebut akal (intelek) sebenarnya merupakan serangkaian gagasan yang secara bergantian menguasai kesadaranmu. Engkau tidak memandang akal secara memadai. Bagi kami, intelek merupakan suatu kumpulan sikap yang relatif harmonis yang telah melatihmu untuk memandang sesuatu dengan cara tunggal. Menurut pemikiran Sufi, ada suatu tingkatan di bawah akal yang tunggal dan kecil, tetapi vital. Ia adalah akal sejati. Akal sejati ini merupakan alat pemahaman yang ada pada setiap manusia. Dari waktu ke waktu dalam kehidupan manusia biasa, ia menyeruak, yang menghasilkan fenomena aneh yang tidak bisa dipahami melalui cara-cara biasa. Kadang-kadang fenomena ini disebut fenomena supranatural (occult phenomena), kadangkala hal ini dianggap sebagai suatu yang melampaui hubungan ruang atau waktu. Ini merupakan unsur dalam diri manusia yang bertanggung jawab atas perkembangannya menuju suatu bentuk yang lebih tinggi."
"Jadi aku harus menerimanya berdasar kepercayaan?"
"Tidak, engkau tidak bisa menerimanya berdasar kepercayaan; meskipun engkau menginginkannya. Jika engkau menerimanya berdasar kepercayaan, engkau akan segera mengabaikannya. Meskipun secara intelektual engkau (bisa) diyakinkan bahwa ia perlu diambil sebagai hipotesa, tetapi engkau akan segera kehilangan dia. Tidak, engkau harus mengalaminya. Tentu saja hal ini berarti bahwa engkau harus merasakannya dengan suatu cara dimana engkau tidak merasakan yang lain. Ia akan masuk ke dalam kesadaranmu sebagai suatu kebenaran dengan kualitas yang berbeda dari hal-hal lain yang telah terbiasa engkau pandang sebagai kebenaran. Karena sangat berbeda, maka engkau mengenali bahwa ia berasal dari kawasan yang kami sebut 'kawasan lain'."
Pengunjung tersebut kesulitan untuk mencerna hal ini dan kembali pada cara berpikirnya yang sudah mapan. "Apakah Anda mencoba menekankan suatu kepercayaan dalam diriku bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dan bahwa aku (bisa) merasakannya? Sebab jika tidak, aku tidak melihat begitu banyak waktu yang dihabiskan untuk diskusi ini?"
"Aku yakin, engkau akan mengira bahwa aku telah berkata kasar," ucap Syekh tersebut dengan ramah, "tetapi aku harus mengatakan bahwa semua hal itu tidak seperti yang engkau lihat. Engkau tahu, engkau datang ke sini untuk berbicara. Aku telah berbicara kepadamu. Sebagai akibat dari pembicaraan dan pemikiran kita, banyak hal telah terjadi. Sejauh menyangkut perhatianmu, selama ini kita memang hanya berbicara. Engkau mungkin merasa bahwa dirimu bisa diyakinkan atau tidak. Bagi kami makna dari keseluruhan peristiwa tersebut jauh lebih besar. Sebuah tenaga timbul sebagai akibat dari pembicaraan ini. Ia tengah terjadi, sebagaimana engkau bisa membayangkannya dengan baik pada pemikiran-pemikiran dari semua yang hadir di sini. Tetapi sesuatu yang lain juga tengah terjadi --kepadamu, kepadaku, dan di mana saja. Sesuatu yang engkau pahami ketika engkau memahaminya. Ambillah contoh pada tingkat yang sangat sederhana tentang sebab dan akibat sebagaimana yang biasa dipahami. Seseorang pergi ke sebuah toko dan membeli sebuah sabun. Sebagai akibat dari pembelian ini, banyak hal bisa terjadi --si pemilik toko memiliki uang lebih banyak, mungkin lebih banyak sabun yang akan dipesan dan seterusnya. Kata-kata yang diucapkan dalam transaksi ini mempunyai suatu akibat, bergantung pada kondisi jiwa dari kedua belah pihak. Ketika orang tersebut meninggalkan toko, ada satu faktor tambahan dalam kehidupannya yang tidak ada sebelumnya --yakni sabun. Banyak hal bisa terjadi sebagai akibat dari transaksi ini. Tetapi bagi dua karakter utama tersebut, kejadian penting sebenarnya adalah bahwa sebatang sabun telah dibeli dan dibayar. Mereka tidak mempunyai kesadaran tentang percabangan transaksi itu dan tidak tertarik kepadanya. Hanya ketika sesuatu yang berarti --dari sudut pandang mereka-- terjadi, barulah mereka berpikir lagi tentang hal ini. Kemudian mereka akan mengatakan, 'Lucunya, orang yang membeli sabunku adalah seorang pembunuh atau mungkin ia seorang raja. Atau ia meninggalkan sebuah uang palsu.' Seperti setiap kata, setiap tindakan mempunyai satu akibat dan satu tempat. Ini merupakan dasar sistem-tanpa-sistem dari Sufi. Sebagaimana tentu saja telah engkau baca dalam berbagai cerita, Sufi bergerak dengan tindakan-tindakan yang sangat kompleks dan terjadi dalam kesadaran batin terhadap makna tindakannya."
"Aku mengerti apa yang Anda maksudkan," ucap pengunjung itu, "tetapi aku tidak bisa mengalaminya. Jika ini benar, tentu saja hal ini sangat bergantung pada banyak hal. Cara pemujaan tertentu berlaku, pengalaman-pengalaman profetik; kegagalan dari semua orang, kecuali segelintir saja yang berhasil, dalam memecahkan teka-teki kehidupan hanya dengan memikirkannya. Hal ini juga bisa berarti bahwa seseorang yang menyadari perkembangan-perkembangan kompleks di sekitarnya bisa menyelaraskan dirinya dengan perkembangan-perkembangan tersebut sampai pada satu tingkatan yang mustahil bagi orang lain. Tetapi harga percobaan ini dibayar dengan membuang pengetahuan seseorang yang berharga. Aku tidak bisa melakukan itu."
Syekh tersebut tidak menginginkan suatu kemenangan verbal dan tidak menutup pembicaraan. "Sahabatku, suatu ketika seseorang pernah cidera kakinya. Ia harus berjalan dengan sebuah tongkat. Tongkat ini sangat berguna baginya, untuk membantunya berjalan maupun untuk tujuan-tujuan lain. Ia mengajarkan semua keluarganya untuk menggunakan tongkat padahal mereka hidup dengan kaki normal. Akan tetapi, setiap orang berambisi untuk memilikinya. Sebagian tongkat terbuat dari gading, yang lain dihiasi dengan emas. Sekolah-sekolah dibuka untuk melatih orang menggunakannya, kursi-kursi universitas dimasuki untuk mengkaji aspek-aspek yang lebih tinggi dari ilmu ini. Ada segelintir orang memulai berjalan dengan tongkat. Hal ini dianggap memalukan dan tidak masuk akal. Disamping (memang) ada banyak kegunaan tongkat. Sebagian dari mereka (yang berjalan tanpa tongkat) dicaci dan sebagian dihukum. Mereka berusaha memperlihatkan bahwa sebuah tongkat kadang-kadang bisa digunakan, ketika diperlukan. Atau banyak kegunaan tongkat tersebut yang bisa dipenuhi dengan cara-cara lainnya. Sedikit orang yang mau mendengar. Untuk mengatasi prasangka, sebagian orang-orang yang bisa berjalan tanpa dukungan (tongkat) tersebut mulai berperilaku yang sama sekali berbeda dari masyarakat yang mapan. Tetap saja jumlah mereka sedikit.
Meskipun ternyata tongkat digunakan selama beberapa generasi, sebagian kecil orang sebenarnya bisa berjalan tanpa tongkat, sebagian besar masyarakat 'membuktikan' bahwa tongkat itu merupakan keharusan. Mereka berkata, 'Lihat orang ini. Ia berjalan tanpa tongkat. Lihat! Ia tidak bisa.' 'Tetapi kami memang berjalan tanpa tongkat,' ucap pejalan-pejalan biasa (yang tidak menggunakan tongkat) mengingatkan mereka. 'Itu tidak benar, itu hanyalah khayalanmu sendiri,' ucap orang-orang yang pincang tersebut --sebab pada waktu itu mereka juga menjadi buta, sebab mereka tidak mau melihat."
"Analogi tidak sepenuhnya sesuai untuk hal ini," ucap anak muda tersebut.
"Apakah analogi (bisa) sepenuhnya diterima?" tanya Syekh tersebut. "Tidakkah engkau pahami bahwa jika aku bisa menjelaskan segala sesuatu dengan mudah dan sempurna melalui satu cerita tunggal, maka pembicaraan ini tidak perlu? Hanya kebenaran-kebenaran parsial yang bisa diungkapkan secara tepat melalui analogi. Sebagai contoh, aku bisa memberikan suatu bentuk sempurna dari suatu lempengan yang berbentuk bundar dan engkau bisa memotongnya menjadi ribuan kepingan. Masing-masing potongan bisa jadi suatu duplikat dari potongan-potongan lainnya. Tetapi, sebagaimana kita semua tahu, sebuah lingkaran tentu saja relatif berbentuk bundar. Tambahkan dimensinya secara proporsional ratusan kali, maka engkau akan menemukan bahwa ia bukan lagi suatu lingkaran yang sesungguhnya."
"Ini merupakan fakta dari ilmu kebendaan, aku tahu bahwa kebenaran teori-teori ilmiah hanyalah bersifat relatif. Ini adalah klaim dari semua ilmu."
"Tetapi engkau tetap mencari kebenaran utuh melalui cara-cara relatif."
"Ya dan demikian pula Anda, sebab Anda mengatakan bahwa simbol-simbol dan yang lainnya merupakan 'Jembatan menuju hakikat,' meskipun semua itu tidak sempurna."
"Perbedaannya adalah bahwa engkau telah memilih satu metode tunggal dalam mendekati kebenaran. Ini tidak cukup. Kami menggunakan banyak cara yang berbeda dan mengetahui bahwa ada suatu kebenaran yang bisa dipahami oleh suatu organ batin. Engkau mencoba mendidihkan air, tetapi tidak tahu caranya. Kami mendidihkan air dengan membawa semua unsur-unsur tertentu --api, wadah, air."
"Tetapi bagaimana dengan akalku?"
"Ia harus menempati perspektifnya yang benar, menemukan tingkatannya sendiri, bila ketimpangan kepribadian tersebut ingin diperbaiki."
Ketika pengunjung itu telah pergi, seseorang bertanya kepada orang alim tersebut, "Maukah Anda mengomentari tanya jawab ini.
"Jika aku mengomentarinya," ucapnya, "Ia akan kehilangan kesempurnaannya."

Kita semua telah belajar sesuai dengan status kita.
Doktrin Sufi tentang keseimbangan antara titik-titik ekstrim itu mempunyai beberapa makna. Ketika diterapkan pada pengajaran, yaitu kemampuan untuk belajar dari yang lain, itu berarti bahwa seseorang harus terbebas dari pemikiran yang salah sebelum ia mulai belajar. Calon murid Barat itu harus mempelajari bahwa dirinya tidak bisa membawa asumsi-asumsi tentang kemampuannya sendiri untuk mempelajari suatu bidang dimana dalam kenyataannya ia tidak tahu apa sebenarnya yang dicobanya untuk dipelajari. Sebenarnya ia tahu bahwa dalam cara tertentu ia tidak puas. Sisanya adalah kumpulan gagasan-gagasannya sendiri menyangkut alasan apa yang membuatnya tidak puas dan suatu upaya untuk menentukan obat bagi penyakit yang telah ia diagnosa tanpa sebelumnya menanyakan kepada dirinya sendiri tentang kemampuan-kemampuan diagnostiknya.
Kita telah memilih sebuah insiden aktual yang melibatkan seorang Barat; tetapi bentuk pemikiran ini tidak terbatas pada Barat. Demikian juga, sikap kebalikannya yang ekstrim --yaitu orang yang ingin menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak seorang guru-- dan dikatakan sebagai ciri khas pikiran Timur, hampir-hampir tidak berguna. Pencari (ilmu) tersebut pertama kali harus mencapai tataran keseimbangan tertentu antar dua pikiran ekstrim ini sebelum bisa dianggap mempunyai kapasitas untuk belajar.

Kedua tipe (pikiran) ini belajar tentang kapasitas untuk belajar terutama dengan mengamati guru Sufi dan pola perilakunya. Sebagai teladan manusia, tindakan dan ucapan guru Sufi merupakan jembatan antara ketidakmampuan relatif dari seorang murid dan posisi menjadi seorang Sufi. Kurang dari satu dalam seratus orang biasanya mempunyai salah satu konsepsi dari dua syarat ini. Jika melalui kajian yang seksama terhadap literatur Sufi, seorang murid telah benar-benar melihat prinsip pengajaran tersebut, maka ia sungguh sangat beruntung.
Ia bisa menemukannya dalam bahan-bahan Sufistik, dengan syarat harus bersedia membaca dan menelaahnya kembali, untuk mengajari dirinya menghindari asosiasi-asosiasi otomatis dari pemikiran yang mengendap atau label Sufi (dan semua julukan lainnya) yang ada pada dirinya. Singkat kata, ia lebih tertarik secara temporer pada sekolah tertentu yang lebih masuk akal, yang meletakkan prinsip-prinsip kaku dan bisa ia jadikan sandaran.

-------------***---------------

Sunday, February 22, 2015

Kabinet Gembel

Ketika saya sedang berpikir keras dibawah pohon nangka dibelakang rumah pada suatu malam, mengapa Partai Ningrat (kepala peNing hidup melaRat) yang saya dirikan tidak mendapat dukungan suara baik dari lingkungan RT, RW apalagi tingkat Kelurahan, tiba-tiba datang sosok tubuh berpakaian serba putih dengan wajah serius (tidak cengar-cengir atau cengengesan) dan menyapa saya:
"Anda siapa" Kata saya. "Saya adalah Malaikat. Orang menyebut saya MALUNGOMPOL singkatan dari Malaikat Urusan Ngomongin Masalah Politik. Tugas saya adalah memberi inspirasi pada siapa saja yang menghadapi masalah-masalah politik.". "Lalu apa urusannya dengan saya...?" kata saya. "Saya datang kesini untuk membantu anda. Saya melihat anda selama beberapa hari ini uring-uringan terus, jadi apa salahnya kalau saya membantu anda memberi inspirasi dan saran-saran." "Apa yang dapat anda bantu buat saya....???". "Saya hanya bisa menyarankan pada anda agar anda mau  mengganti nama Partai yang anda buat dari partai Ningrat menjadi Partai RIBET...." "Pak Malaikat. Saya pake nama Partai Ningrat saja nyari suara susahnya minta ampun apalagi namanya diganti dengan nama Partai RIBET.....?" "Bung Tony jangan salah paham dulu. Nama ini sangat berpengaruh dan bisa mengambil simpati rakyat banyak. Percayalah!" "Nama itu kehebatannya dimana....?" "Bung Tony, Partai RIBET itu adalah singkatan dari Rakyat Indonesia Butuh Ekonominya Tercukupi. Itu adalah nama yang pas untuk partai anda. Anda tahu selama ini kebutuhan hidup semakin meningkat sementara pendapatan semakin menciut. Perubahan taraf hidup meningkat sulit untuk diharapkan kepastiannya."

Saya pikir betul juga. Saya membayangkan jika memakai nama Partai Ribet sebagian rakyat pasti akan mendukung dan menyukainya. Saya juga membayangkan bila nanti saya berpidato dihadapan ratusan ribu orang gema suara partai Ribet pasti akan terdengar kemana-mana, jadi saya tidak perlu lagi selama kampanye nanti saya berjanji ini dan itu, bikin ini dan itu cukup dengan pidato yang menceritakan kesulitan hidup sambil sedikit menangis dalam pidato saya. Saya yakin bila saya banyak menangis pada saat berpidato dihadapan ribuan orang maka akan banyak orang yang bersimpati pada saya.
"Jadi bagaimana dengan nama itu bung Tony?" "Hah...!apa?" saya terkaget dengan pertanyaan malaikat itu. "Iya soal nama itu. Bung Tony jangan banyak ngelamun kenapa?" tegur sang Malaikat. "Iya...iya saya setuju dengan nama pemberian nama itu. Saya sangat berterima kasih anda datang jauh-jauh hanya untuk membantu saya. Saya berjanji saya akan berjuang keras untuk mempopulerkan nama yang anda berikan.". "Baiklah. Tugas saya selesai. Saya yakin anda akan memenangkan pertarungan pada Pemilu nanti. Oh iya jika nanti bung Tony terpilih jadi presiden apa nama kabinet anda nanti....???" sambung sang Malaikat. "Saya akan mencari orang professional yang bersemangat, berani, loyal, elegan. Saya akan memberi nama kabinet itu dengan nama kabinet GEMBEL, singkatan dari Giat Energik Mumpuni Berani Elegan dan Loyal." jawab saya. "Saya setuju dengan nama itu" jawab sang Malaikat. "Baiklah, pertemuan sudah selesai dan saya harus kembali ketempat dimana saya harus memantau dan mencari orang-orang yang mengalami kesulitan dalam urusan politik." setelah berkata demikian Malaikat itu tiba menghilang dan saya pun tergagap-gagap karena wajah saya terkena guyuran hujan. Ternyata yang saya alami itu hanya mimpi. Saya ketiduran dibale dibawah pohon nangka itu diwaktu hujan hendak turun.

Saturday, February 14, 2015

Pertengkaran kecil tak akan merugikan

Ketika aku dan Joel memutuskan untuk mulai pacaran, aku langsung tahu aku ingin jatuh cinta padanya. Kami sudah pacaran selama seminggu ketika kami pertama kali bertengkar. Aku tak tahu apa yang kami pertengkarkan, tetapi aku ingat segalanya tentang pertengkaran itu. terjadinya saat kami duduk berdua di pertandingan basket di sekolah. Dia berdiri dan bergegas keluar gedung olahraga. Seperti kubilang, aku tak ingat apa yang diutarakan atau mengapa dia pergi, tetapi dia betul-betul pergi.
Setelah dia pergi, aku duduk saja, tak tahu harus berbuat apa. Paa mulanya aku hanya bingung mengenai apa yang terjadi, tetapi pada saat berikutnya, hatiku sakit memikirkan bahwa aku bertengkar dengannya. Aku ingin minta maaf, bahwa aku menyesali apa pun perbuatanku, perkataanku. Aku mengejarnya untuk mengatakan hal itu kepadanya. Dia terus berjalan menjauh. Kulingkarkan lenganku diperutnya dan minta maaf. Tapi, dia pura-pura seolah aku tak ada di situ, sikapnya terlalu dingin seolah dia tak tahu bahwa aku hidup di planet yang sama---apalagi lenganku merangkulnya.
Akhirnya aku menyerah juga, melepaskannya, danmembiarkan dia pergi. Lagipula, aku tak tahu harus berbuat atau berkata apa untuk membuatnya memaafkanku. Aku berjalan perlaahankembali masuk ke gedung olahraga, tak ingin bicara dengan siapa pun. Sambilmenatap lantai supaya rambutku bisa menyembunyikan air mata yang mengalir di pipiku, aku kembali ke tempat duduk kami tepat sebelum kami bertengkar. Beberapa menit kemudian, dia pun kembali, masuk, berdiri tak jauh, bersama teman-temannya. Aku ingins ekali berlari ke sana dan memeluknya erat untuk memberitahukan bahwa aku mencintainya dan aku sangat menyesal. Tapi, aku hanya duduk di tempat segalanya terjadi, menyela air mataku, dan mengintip ke arahnya. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa lagi.
Dia menghampiri dan duduk di sebelahku, lalu meraih tanganku dan hanya menggenggamnya. Kami tak berkata apa-apa beberapa lama, lalu dia berkata, “Aku minta maaf. Ini salahku”. Dia begitu manis. Aku tak bisa membiarkan dia menanggung semua kesalahan. Aku pun berkata, “Tidak, aku yang minta maaf. Itu salahku---kesalahpahaman”.
Itulah pertengkaran pertama kami, perkelahian pertama kami. Itu juga malam ciuman pertama kami. Ciuman yang akan selalu kukenang dan kuhargai.
Aku dan Joel sudah pacaran lebih dari empat bulan sekarang, dan kami sudah sering bertengkar. Semakin aku mengenal Joel, rasanya aku juga semakin mengenal diriku. Aku juga belajar apa yang harus diucapkan saat bertengkar---kebenaran. Terkadang kebenaran memerlukan permintaan maaf, tetapi terkadang juga kebenaran berarti tidak menanggung kesalahan yang bukan salahku. Kurasa sekarang hubungan kami sudah tidak gres. Aku sudah cukup merasa aman, tak lagi merasa aku harus berbuat itu lagi. Baru beberapa hari yang lalu Joel berkata kepadaku, “Kita mungkin sering bertengkar, tetapi kita baikan dengan indah”. Aku setuju dengannya pada dua hal itu.

Efek samping Cinta

Aku sedang jatuh cinta, dan hal ini benar-benar memunculkan sisi-sisi baik diriku! Tanya saja semua orang yang mengenalku! Karena sekarang aku punya pacar, aku jauh lebih stabil. Rasa cinta sangatlah memotivasi.“Apakah kau akan masuk daftar murid teladan kuartal ini?” tanyaku kepada Kyle Wilson suatu haru di kantin, hanya untuk memulai obrolan.
“Tentu, kalau kamu gimana?” jawabnya dan sekaligus balik bertanya.
“Mudah-mudahan”, kataku, padahal mungkin peluangku menang lotere lebih baik daripada jadi murid teladan---dan aku terlalu kecil untuk main lotere. Akan tetapi, mendengar pengharapan dalam suaranya bahwa aku akan masuk daftar bersamanya, aku bertekad bahwa “Ya” aku akan masuk deretan murid teladan---meskipun aku baru masuk satu kali dalam dua tahun ini.
Lalu, dalam tarikan napas berikutnya, Kyle bertanya bolehkah dia “mampir ke rumahku” lalu menemaninya ke perpustakaan sore itu. sejak “kencan pertama” itu, aku membawa pulang semua bukuku, karena kau memutuskan pada saat itu juga, aku akan belajar lebih giat daripada sebelumnya! Maksudku, karena Kyle sangat memedulikan nilai, dan tujuannya adalah masuk deretan murid teladan (dan pacar terakhirnya adalah Debbie Corso, gadis terpintar di kelas kami), aku jadi memikirkan nilaiku sendiri. Saat aku mulai pacaran dengannya, nilaiku hanya rata-rata. Aku melakukan yang sekadar perlu kulakukan agar bisa lulus. Akan tetapi, karena tahu bahwa nilai bagus itu penting baginya, kini aku belajar lebih giat untuk mempertahankan nilai.
Aku bahkan meminta bantuan sahabatku, Melinda dan Morgan. Kami biasanya berkumpul seusai sekolah, main bersama. Kami mendengarkan musik, mengobrol, tertawa, dan bermain---tetapi kami tidak mengerjakan PR. Hingga sekarang! Sekarang, terkadang kami berkumpul dan benar-benar belajar, terutama jika salah satu dari kami kesulitan dalam salah satu mata pelajaran yang dikuasai yang lain. Ini membaut nilai kami membaik---dan juga persahabatan kami. 
“Kantong penyedot debu disimpan di mana, Bu?” tanyaku pada suatu hari Sabtu bulan lalu.
“Kenapa kau menanyakannya?” ibuku bertanya, tampaknya benar-benar bingung. Wah, dia hampir terjungkal saat kubilan aku ingin membersihkan karpet.
“Kyle mau menjemputku, dan aku sudah pernah ke rumahnya---rumahnya benar-benar bersih, jadi kupikir aku akan membersihkan karpet, terutama di ruang TV tempat kami makan berondong jagung kemarin malam”. Setelah selesai kagetnya, ibuku tampak seolah baru menang lotere. Membuat dia sebahagia itu benar-benar menyenangkan rasanya. Sekarang aku terbiasa ikut membantu menjaga kerapian dan kebersihan rumah.
Dengan adanya Kyle dalam hidupku, aku benar-benar menjadi teratur. Dan ternyata ini menimbulkan “efek samping” yang bagus. Misalnya, karena sekarang aku merampungkan PR setiap hari---daripada menunda dan membiarkannya sampai akhir pecan---aku bisa melewatkan waktu bersama Kyle pada akhir pekan. Karena PR-ku diselesaikan pada waktunya, orangtuaku tak harus selalu mengingatkanku mengerjakannya, jadi kamu lebih banyak mengobrol dan lebih sedikit bertengkar. Benar-benar asyik, bahwa begitu aku mulai bersikap lebih bertanggung jawab, orangtuaku mulai lebih menghargaiku. Semua hal yang dulu biasanya harus mereka omeli, sekarang kudapati aku melakukannya karena Kyle. Dia memang memunculkan sisi-sisi terbaik diriku. Tak hanya ini membuat semua hubunganku dengan orang lain membaik, tetapi aku yakin aku akan masuk deretan murid teladan kuartal depan. Pada saat itum aku mungkin akan mengenakan cincin kelas Kyle sebagai bandul kalungku! Seperti yang kubilang, cinta itu sangat memotivasi!




















Anatomi Cinta Pertama: Sembilan Ciuman

Aku sedang duduk dikantin sekolah, makan siang bersama dua orang temanku, Amanda dan Rachel, saat seorang pemuda yang sangat imut, yang belum pernah kulihat, lewat. “Amanda!” panggilnya, hanya untuk mendapat perhatiannya. Kami semua menoleh dan Amanda melambai, lalu, seolah pemuda itu orang biasa, Amanda mengalihkan kembali perhatiannya pada obrolan kami bertiga, “Wah!” bisikku supaya hanya Amanda dan Rachel yang mendengar. “Dia imut sekali. Siapa dia?”
“Paul Turkell”, kata Amanda, menambahkan, “anak kelas Sembilan”.
Sekolah kami berbentuk huruf H, seperti Herbert Hoover, presiden ke-34. Kelas enam sampai Sembilan bertempat di sekolah kami dan setiap kelas memiliki ruang di bagian H yang berbeda. Jadi, kamu jarang beremu anak dari kelas lain. Meskipun kantin terletak di tengah gedung dan semua anak makan di tempat yang sama, sebagian besar makan siang pada waktu yang berbeda-beda, jadi kami juga biasanya tidak bertemu anak-anak dari kelas lain. Mungkin karena itulah aku belum pernah melihat Paul Turkell. Dia anak kelas Sembilan, sedangkan aku baru kelas tujuh.
Saat itu sudah tanggal 15 April, dan selama sisa tahun ajaran, aku melihat Paul Turkell yang kelas Sembilan itu hanya enam kali lagi: Tanggal 24, 26 April, tanggal 7, 16, 26 Mei, dan tanggal 2 Juni (hari terakhir sekolah). Pada waktu-waktu itu, aku dan Paul saling melambaikan tangan. Sejauh itulah pertemanan kami sampai liburan musim panas. Lalu, kami kebetulan bertemu empat kali di Walgreen’s. setiap kali bertemu, kamu berdua sedang bersama ibu masing-masing. Saat bertemu, kami berdiri bersama dan membicarakan masalah sekolah dan teman-teman sampai ibu kami siap meninggalkan toko. Pada akhir musim panas, kami bertukar nomor telepon. Pada saat itulah kami mulai saling menelepon hanya untuk mengobrol, bercerita dan melewatkan waktu liburan musim panas. Aku belum pernah punya teman lelaki, dan sungguh menyenangkan rasanya ada lelaki menjadi teman sebaik ini.
Saat tahun ajaran berikutnya dimulai, Paul James Turkell kini duduk di kelas sophomore dan bersekolah di SMU, yang berada di bagian kota lain. Jadi, selama tiga bulan pertama sekolah, aku tak pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, hampir setiap malam Paul meneleponku atau aku menelepon dia. Kami mengobrolkan hari kami dan hal-hal umum lainnya---seperti saat anjingnya harus menginap di rumah sakit hewan karena memakan kabel listrik saat menggali di pekarangan, atau kejadian heboh di rumahku saat kakakku yang berusia 19 tahun menindik hidungnya.
Tak lama kemudian, aku dan Paul tak hanya membicarakan apa yang terjadi di sekolah, tetapi apa yang terjadi dalam kehidupan keluarga. Lalu, kami mulai berbagi sebagian rahasia kami yang paling dijaga---misalnya betapa dia menyukai gadis tertentu di sekolah (meskipun gadis itu tidak menyukainya) dan betapa aku tak sabar ingin punya pacar.
Kami bahkan membicarakan berapa banyak anak yang ingin kami punya masing-masing saat kami sudah dewasa dan menikah. Lalu, tepat pada awal semester Sembilan minggu kedua, aku dan Paul mendapati bahwa minat kami banyak yang sama. Kami berdua suka menyanyi, dan kami berdua pernah les dansa dua tahun, jadi kami tahu langkah-langkah  untuk hampir setiap jenis dansa. Jadi, kami memutuskan mengikuti edisi teater masyarakat setempat untuk Frease, produksi yang beriklan membutuhkan remaja yang dapat bernyanyi dan berdansa untuk membintangi musim drama yang akan datang. Tentu saja, ini berarti aku dan Paul harus mempraktikan langkah-langkah dansa---bersama. Jadi, selama dua minggu kami beremu di teater setempat. Di sana staf produksi menyisihkan satu ruang latihan untuk orang-orang yang berniat mencoba ikut drama.
Semakin sering aku dan Paul berlatih, semakin aku mulai punya perasaan untuknya---sebagai pacar. Akan tetapi, aku tak yakin apakah aku harus mengatakan hal ini kepadanya. Dari sebagian obrolan kami, aku punya perasaan bahwa, selain Natali Parker (gadis sekelas yang dia sukai), dia juga menyukai sahabatku, Amanda---meskipun aku tidak tahu persis sesuka apa. Dan meskipun Amanda berperilaku seolah dia tak punya waktu untuk Paul, aku tahu dia menyukai karena dia selalu saja membicarakannya. Lalu, pada suatu sore, saat aku dan Paul sedang latihan, dia berkata: “Aku suka padamu”.
Aku sungguh terkejut. Sekaran aku benar-benar ingin dia jadi pacarku. Jadi, aku berkata aku juga menyukainya. “Aku tahu”, katanya. Hanya itu yang dia katakana. Tetapi perkataannya mengubah segalanya!
Jadi, teman cowokku yang pertama menjadi pacarku yang pertama. Rasanya seperti berada di puncak dunia. Aku bersekolah keesokan harinya dalam suasana hati terbaik dalam hidupku. Keadaan lebih membaik lagi saat, dua hari kemudian, Paul meneleponku dan mengajakku ke pesta dansa kelas sophomore. Dia berkata aku harus berdansa hanya dengannya, tak boleh dengan orang lain. Aku begitu yakin dia akan menjadi satu-satunya pemuda yang ingin kuajak berdansa. Selama sisa hdiupku. Selama sepanjang sejarah manusia. Selamanya. Dan selamanya.
Dan memang aku berdansa hanya dengannya. Dan rasanya luar biasa, “sesuatu” lagi yang belum pernah kualami. Lalu, pada dansa ketiga, Paul mendekapku dan menyanyikan seluruh lagi itu untukku. Luar biasa. Pada saat itu juga aku tahu pasti aku sangat mencintainya. Dan aku yakin dia merasakan hal yang sama, karena dia dan aku berdansa pada setiap lagu di acara itu, dan pada setiap lagu lambat, dia mendekapku semakin erat. Pada akhirnya, tak ada jarak antara kami sama seklai. Pada lagu terakhir, “End of the Road”. Aku memandang matanya dan mengatakan aku akan mencintainya selamanya. Pada perjalanan pulang, Paul merangkulku dan menggenggam tanganku. Selagi kami mengucapkan selamat malam dengan sedih, dia mencium pipiku dan memelukku.
Enam hari kemudian, Paul memintaku menemaninya sekolah, sambil upah di tempat dia bekerja paro-waktu. Sepanjang jalan ke sana dan kembali, kami bergandengan tangan. Pada perjalanan kembali, dia merangkulku sepanjang waktu. Dan saat mengantarku ke rumah, dia menggosokkan pipinya pada dahiku, lalu mencium dahiku Sembilan kali. Sembilan kali! Teman-temanku, Amanda dan Rachel, dua-duanya pernah dicium. Rachel dua kali oleh Ben Henry. Amanda juga sudah sering dicium---enam kali---sekali oleh Raymond Lux, sekali oleh Clay Lloyd, dan empat kali oleh Joey Edwards. Tetapi, aku sudah dicium Sembilan kali. Sembilan! Dan Sembilan-sembilannya oleh Paul james Turkell, cinta sejatiku!
Lalu, baru saja dua minggu, hari setelah ulang tahunku tepatnya. Paul berkata dia pikir kami sebaiknya “berteman saja’. Itulah. Hanya begitu. Bukan pacarku, hanya kembali menjadi “temanku”.
Aku menangis sampai tertidur malam itu. dan setiap malam selama dua minggu. Akan tetapi, kemudian rasanya tak begitu buruk, jadi kurasa aku sudah berhasil berhenti mencintainya. Lalu, dua minggu dan satu hari kemudian, aku sedang menghadiri pesta di tempat temannya. Paul ada di sana bersama seorang gadis dari sekolahku, Krissy. Mereka berdua mulai berciuman dan aku mulai menangis, karena aku tahu aku tak akan pernah melakukan itu lagi bersama Paul. Saat melihatku menangis, Paul menghampiri dan bertanya ada apa. Meskipun aku tidak mengungkapkan perasaanku, senang rasanya dia peduli. Pada saat itu, aku tidak tahu mana yang lebih kurindukan, persahabatan sebelum kami mulai pacaran, atau pacaran dengannya. Aku akhirnya tau apa rasanya punya pacar. “Kita dansa yuk”. Katanya, lalu kami berdansa selama dua lagu lambat---dengan cara yang sama seperti di pesta dansa kelas sophomore. Aku jatuh cinta sekali lagi dan kuberitahukan. “ Kau teman yang baik” katanya menjawab.Selagi di pesta, dia bertemu seorang gadis bernama Liz, dan mereka berdua jatuh cinta. dan sebelum pesta itu usai, gadis itu sudah mengenakan gelang Paul. Itu berarti mereka benar-benar jatuh cinta. jadi, sekarang aku harus memulai lagi seluru proses merasa sakti hati, supaya bisa kembali berteman saja.
Setelah pesta itu, aku dan Paul tidak bertegus sapa selama hampir dua minggu. Akan tetapi, dia lalu menelepon dan berkata, “ Kita berteman lagi yuk, supaya kita bisa mengobrol lagi”. Aku memikirkan betapa enak rasanya mengobrol dengannya. Kuputuskan, berteman dengan Paul itu lebih baik daripada tak bisa mengobrol dengan seseorang tentang segala hal yang bisa kami obrolkan. Jadi, sekarang aku dan Paul kembali saling menelepon setiap malam.
Aku tahu dia tak akan pernah menjadi pacarku lagi, karena dia bilang sebaiknya pacaran dengan gadis yang setidaknya seusia dengannya. Jadi, begitulah. Akan tetapi. Kuputuskan itu tak apa-apa. Ini mirip dengan tidak terpilih memerankan Grease---mengecewakan, akan tetapi latihan dan antisipasinya sangat menyenangkan. Lagi pula, Paul memang teman yang baik, teman yang bisa kuajak bicara tentang hampir segala hal. Dan aku benar-benar mencintainya sebagai teman. Akan tetapi, aku akan selalu ingat bahwa dia adalah pacar pertamaku, dan segala hal yang kurasakan berkat dia. Terutama kesembilan ciuman itu. sebagai pacar pertama, kurasa itu rekor yang  baik!