Saturday, May 24, 2014

Kathy, memeluk Islam setelah membaca Al-qur'an kumal

Ketika aku masih di sekolah dasar, Ibu sering membawa dan menemaniku ke perpustakaan terdekat. Dan, sudah menjadi tradisi perpustakaan-perpustakaan umum, ditempat itu kulihat ada berbagai buku lama yang dijual obral dan sangat murah.
 


Suatu ketika, ketika perpustakaan menawarkan buku-buku seperti ini, aku membeli salah satunya dengan harga 5 atau 10 cent yang aku ambil dari tabunganku. Ini aku lakukan karena keingin tahuan  memiliki buku dan mendapatkan sesuatu yang spesial. Aku lalu meletakkan buku tersebut di perpustakaan pribadiku di kamar untuk kemudian dimasukkan ke dalam salah satu kardus dengan buku lainnya yang sudah jelek dan terlupakan sebagai bagian dari koleksi buku.
Hari demi hari pun berlalu dan tak terasa aku sudah menamatkan SD, SLTP, dan SLTA. Aku beruntung di terima kuliah di salah satu fakultas. Dan, adalah sebuah hikmah dan rahasia dari Allah bahwa aku memasuki fakultas Sastra dan memilih spesialisasi di bidang ilmu perbandingan agama di mana lebih memfokuskan pada tiga agama besar, yaitu Yahudi, Nashrani, dan Islam.
Manakala di jurusan itu tidak terdapat seorang Dosen yang beragama Islam, maka yang kentara dibicarakan adalah gambaran Islam yang sudah tercoreng. karena itu, aku tidak begitu interes dengannya. Selanjutnya, aku tidak menemui kendala apapun untuk melewati kurikulum-kurikulum studi sehingga berhasil lulus dan memperoleh gelar sarjana.
Buku yang amat Terkesan !!
Setelah lulus Kuliah, mulailah tahap mencari pekerjaan. Berhubung spesialisasiku termasuk spesialisasi yang sedikit mendapat tawaran kerja, ditambah secara umum memang lowongan kerja juga tidak banyak di kawasan yang aku tinggali, maka dengan cepat aku di cekam rasa kecewa dan bosan dalam mencari lowongan kerja tersebut. Akhirnya, sebagian besar waktu, aku habiskan di rumah menjadi pengangguran !!
Aku mengisi waktu luangku dengan membongkar dan membuka kembali buku-buku yang dulu pernah aku beli secara pintas kubaca. Pada saat itulah, aku secara tidak sengaja aku memegang buku yang telah aku beli sejak kecil dari kocek pribadi.
Aku ambil buku itu, lalu aku bersihkan. selanjutnya, aku mulai membacanya………Ternyata ia adalah kitab al-Qur’an terjemahan dalam bahasa Inggris. Mulailah aku membacanya dengan penuh perasaan dan keseriusan. Aku betul-betul tertarik dengan kandungan surat-surat yang ada di dalam Al-Qur'an.
Setelah berulang-ulang membacanya, apa yang selama ini kukuteahui tentang Islam ternyata sama sekali berbeda dengan opini atau pendapat orang yang selama ini aku dengar di kampus mengenai Islam. Gambaran Islam amat berbeda dari gambaran yang di katakan para dosen di fakultas mengenai agama ini dan al-Qur’an.
Aku mulai bertanya-tanya: Benarkah apa yang dikuliahkan para dosenku di kampus? Ataukah mereka sengaja berbohong ketika menyinggung tentang Islam dan al-Qur’an?
Sejak itu Aku terus mengulangi dan membacanya dengan rasa penasaran untuk mencari tahu segala kandungan yang ada di dalam al-Qur'an hingga aku meyakini dan memutuskan; Aku harus segera memeluk agama Islam dan menjadi seorang Muslimah.!
Aku menghubungi salah seorang Muslim yang mengerti betul tentang islam dan banyak bertanya kepadanya tentang islam dan bagaiman cara masuk Islam. Setelah mendengar penjelasannya, aku kembali tercengang karena islam ternyata agama yang begitu damai dan tidak rumit untuk memeluk agama Islam.
Alhamdulillah, aku pun masuk Islam dan menikah dengan seorang pemuda Muslim.
Sekarang kami sudah menjadi salah satu keluarga di kota Washington. Kami memohon kepada Allah agar menerima amal kami dan memantapkan kami dalam menjalankan perintah-Nya.
***


يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (٣٢)

artinya:
Mereka hendak memadamkan cahaya Allah (agama Islam) dengan mulut mereka, sedangkan Allah tidak menghendaki melainkan menyempurnakan cahayaNya, sekalipun orang-orang kafir tidak suka (akan yang demikian).” (Q.S At-Taubah. ayat:32)

sumber: majalah mutiara amaly; vol.84; edisi Iman Cahaya dan Kekuatan

Friday, May 16, 2014

Maria Gaetana Agnesi Anniversary

Maria Gaetana Agnesi.jpgMaria Gaetana Agnesi (16 May 1718 – 9 January 1799) was an Italian mathematician and philosopher.
She is credited with writing the first book discussing both differential and integral calculus and was an honorary member of the faculty at the University of Bologna.
She devoted the last four decades of her life to studying theology (especially patristics) and to charitable work and serving the poor. This extended to helping the sick by allowing them entrance into her home where she set up a hospital.
Maria Teresa Agnesi Pinottini, clavicembalist and composer, was her sister.

Maria Gaetana Agnesi was born in Milan, to a wealthy and literate family. Her father Pietro Agnesi, a University of Bologna mathematics professor, wanted to elevate his family into the Milanese nobility. In order to achieve his goal he had married Anna Fortunata Brivio in 1717. Her mother's death provided her the excuse to retire from public life. She took over management of the household.
 
Maria was recognized early on as a child prodigy; she could speak both Italian and French at five years of age. By her eleventh birthday she had also learned Greek, Hebrew, Spanish, German, and Latin, and was referred to as the "Seven-Tongued Orator".[5] She even educated her younger brothers. When she was nine years old she composed and delivered an hour-long speech in Latin to some of the most distinguished intellectuals of the day. The subject was women's right to be educated.
Agnesi suffered a mysterious illness at the age of 12 that was attributed to her excessive studying and was prescribed vigorous dancing and horseback riding. This treatment did not work - she began to experience extreme convulsions, after which she was encouraged to pursue moderation. By age fourteen she was studying ballistics and geometry.[5] When she was fifteen her father began to regularly gather in his house a circle of the most learned men in Bologna,[citation needed] before whom she read and maintained a series of theses on the most abstruse philosophical questions. Records of these meetings are given in Charles de Brosses' Lettres sur l'Italie and in the Propositiones Philosophicae, which her father had published in 1738 as an account of her final performance, where she defended 190 theses.[5] Maria was very shy in nature and did not like these meetings.[citation needed]
Her father remarried twice after Maria's mother died, and Maria Agnesi ended up the eldest of 23 children, including her half-siblings. In addition to her performances and lessons, her responsibility was to teach her siblings. This task kept her from her own goal of entering a convent, as she had become strongly religious. Although her father refused to grant this wish, he agreed to let her live from that time on in an almost conventual semi-retirement, avoiding all interactions with society and devoting herself entirely to the study of mathematics.[5] During that time, Maria studied both differential and integral calculus. Fellow philosophers thought she was extremely beautiful and her family was recognized as one of the wealthiest in Milan. Maria became a professor at the University of Bologna.

nstituzioni analitiche

First page of Instituzioni analitiche (1748)
According to Dirk Jan Struik, Agnesi is "the first important woman mathematician since Hypatia (fifth century A.D.)". The most valuable result of her labours was the Instituzioni analitiche ad uso della gioventù italiana, (Analytical Institutions for the Use of Italian Youth) which was published in Milan in 1748 and "was regarded as the best introduction extant to the works of Euler." [6] In the work, she worked on integrating mathematical analysis with algebra.[5] The first volume treats of the analysis of finite quantities and the second of the analysis of infinitesimals. A French translation of the second volume by P. T. d'Antelmy, with additions by Charles Bossut (1730–1814), was published in Paris in 1775; and Analytical Institutions, an English translation of the whole work by John Colson (1680–1760), the Lucasian Professor of Mathematics at Cambridge, "inspected" by John Hellins, was published in 1801 at the expense of Baron Maseres.[7] The work was dedicated to Empress Maria Theresa, who thanked Agnesi with the gift of a diamond ring, a personal letter, and a diamond and crystal case. Many others praised her work, including Pope Benedict XIV, who wrote her a complimentary letter and sent her a gold wreath and a gold medal.[5]

Witch of Agnesi

Main article: Witch of Agnesi
The Instituzioni analitiche..., among other things, discussed a curve earlier studied and constructed by Pierre de Fermat and Guido Grandi. Grandi called the curve versoria in Latin and suggested the term versiera for Italian,[8] possibly as a pun:[9] 'versoria' is a nautical term, "sheet", while versiera/aversiera is "she-devil", "witch", from Latin Adversarius, an alias for "devil" (Adversary of God). For whatever reasons, after translations and publications of the Instituzioni analitiche... the curve has become known as the "Witch of Agnesi".

In 1750, on the illness of her father, she was appointed by Pope Benedict XIV to the chair of mathematics and natural philosophy and physics at Bologna, though she never served.[5] She was the second woman ever to be granted professorship at a university, Laura Bassi being the first.[11] In 1751, she became ill again and was told not to study by her doctors. After the death of her father in 1752 she carried out a long-cherished purpose by giving herself to the study of theology, and especially of the Fathers and devoted herself to the poor, homeless, and sick, giving away the gifts she had received and begging for money to continue her work with the poor. In 1783, she founded and became the director of the Opera Pia Trivulzio, a home for Milan's elderly, where she lived as the nuns of the institution did  (wikipedia)



Monday, May 12, 2014

Kisah Inspiratip: Alison Botha Wanita Luar Biasa

Pada Desember 1994, Alison Botha diculik di luar rumah oleh dua orang yang tak dikenal yang lalu memperkosa, menusuk dan akhirnya menggorok tenggorokannya 16 kali untuk memastikan bahwa ia telah tewas. Keajaiban pun datang! Walau pun ia luka parah namun ia masih tetap bertahan untuk hidup. 


Bagaimana ia dapat selamat, Alison menceritakan bahwa dengan kekuatan batin dan tekad untuk tetap hidup dan banyaknya kepahitan hidup yang dialaminya yang membuat ia tetap bertahan hidup. Kisahnya menjadi bahan pembicaraan dan menarik perhatian dunia. 

Pada tahun 1995, dia dianugerahi penghargaan bergengsi Rotarian Paul Harris Award untuk ‘Keberanian di atas normal’. Pada tahun yang sama ia menjadi penerima pertama penghargaan ‘Perempuan Pemberani’ dari majalah Femina. Dia juga terpilih sebagai Port Elizabeth’s Citizen of the Year pada upacara yang berkilauan.

Alison telah berbicara menceritakan kisahnya selama beberapa tahun untuk memotivasi banyak orang tentang kehidupan. Tujuannya adalah untuk ‘membuat perubahan’ secara dramatis baik untuk kehidupan, dunia usaha, perempuan dan kelompok sosial serta beberapa sekolah. Dia telah ditulis dan dibicarakan banyak orang di dunia internasional di lebih dari 20 negara termasuk Amerika Serikat, Australia, Eropa, Asia dan Afrika. (sumber: http://www.alison.co.za).

Bertemu Alison Botha. Pertama kali membaca tentang dia di buku Andrew Matthews : Kebahagiaan dalam Masa Sulit. Hati saya sakit ketika saya membaca pengalamannya. Benar-benar buruk. Hal terburuk yang pernah bisa dibayangkan terjadi padanya. Ketika dia berumur 27, dua pria menculiknya, diperkosa, dan brutal menyakitinya. Dia hampir mati. Tetapi Tuhan punya rencana lain untuknya. Ia masih hidup. Dia bertemu dengan seorang mahasiswa dokter hewan yang menyelamatkan hidupnya. Dan yang membuatnya terjadi dalam kehidupan ini. Dia menemukan pasangan jiwa, menikah pada tahun 1997 (3 tahun setelah peristiwa tragis). Dan sekarang dia bepergian di seluruh dunia, memberikan kesaksian perjalanan dalam menghadapi penderitaan. I Have Life: Alison’s Journey seperti diceritakan kepada Marianne Thamm adalah judul bukunya. Buku yang mengilhami dunia. Mengilhami semua orang yang membaca kisahnya.

Yah, hidup ini benar-benar tidak terduga. Anda tidak mungkin bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Satu saat Alison adalah seorang broker asuransi dengan bisnis Port Elizabeth di Afrika Selatan, kemudian beberapa menit setelah itu, semuanya telah berubah secara drastis. Mimpi buruk yang terburuk yang pernah terjadi pada hidupnya. Tapi kemudian ia bisa berdiri sekali lagi dan membuat perbedaan.

Salut kepada Alison! Hidup tidak selalu mudah. Tapi pemenangnya akan berjuang sampai akhir. Tidak peduli betapa buruknya keadaan. Dan entah bagaimana, aku menemukan bahwa aku malu dengan keluhanku. Setelah membaca perjuangannya dalam hidup ini, sungguh, keluhan saya bukan apa-apa dibandingkan dengan miliknya. Dan saya ingin memiliki sikap seperti itu dalam hidup ini. Aku dapat melihat kasih karunia Tuhan dalam kehidupan Alison. TanganNya itu yang memungkinkan dia untuk melakukannya. Tanpa Dia, saya pikir tidak mungkin untuk menikmati apa yang dia sekarang alami. Tuhan telah begitu baik kepadanya.

Terima kasih kepada Alison atas cerita inspirasionalnya. Dan untuk semua orang di luar sana, Anda dapat membuat perbedaan. Seperti apa yang dikatakannya di situs web: “Tidak peduli situasi, Anda selalu mengontrol sikap, keyakinan Anda dan pilihan-pilihan yang Anda buat ..”
Hari ini adalah Hari Perempuan. Saya tidak menyadari hal itu sampai kasir supermarket di apartemen kami bilang begitu. Meskipun bunga, hadiah, hadiah romantis yang telah mengalir di sini di Ho Chi Minh City, saya telah belajar pelajaran lain dari Alison. Seorang wanita yang sangat berani menginspirasi kehidupan banyak orang. Bukan saja ia dapat berdiri di kakinya, ia juga melawan para pemerkosa-membawa mereka ke pengadilan dan menang. Mereka akhirnya penjara seumur hidup. Dan untuk Alison? Dia telah memenangkan pertempuran hidupnya. Dia seorang wanita luar biasa. Terima kasih untuk berbagi hidup Anda dan kisah inspirasional dunia, Alison!

Yang terakhir, dia memeberikan kutipan indah : Hidup adalah indah. Hidup ini patut diperjuangkan. Bukan apa yang terjadi pada Anda, melainkan apa yang Anda lakukan dengan itu.

Jadi, sudahkan kau temukan keindahan di matamu? Masih bisakah melihat keindahan di tengah-tengah badai kehidupan? Mudah-mudahan, hari ini kita dapat belajar sesuatu dari Alison. (source: Alison Botha)

Saturday, May 3, 2014

Fientje de Feniks, Pelacur Yang Dibunuh

Nama seorang wanita pelacur Indo yang menjadi korban pembunuhan tuan besar Belanda bernama Gemser Brinkman. Peristiwa pembunuhan tersebut sangat menghebohkan Batavia di awal abad ke-20, karena Brinkman adalah seorang tuan besar Belanda. Peristiwa itu terjadi pada hari Jum'at 17 Mei 1912, dengan ditemukannya mayat seorang wanita Indo masih muda, terapung, tersangkut pintu air, terbungkus dalam karung di Kali Baru Batavia. Wanita itu seorang pelacur, menghuni rumah pelacuran milik Umar, seorang germo.  

Masyarakat makin heboh saat mengetahui siapa yang tewas. Namanya Fientje de Feniks, seorang pelacur yang kerap dikunjungi para pembesar dan orang kaya. Untuk ukuran saat itu, Fientje jadi idola. Wajahnya campuran Indonesia dan Eropa. Matanya besar dengan hidung mancung dan bibir sensual. Rambutnya panjang, hitam dan berombak. Saat tewas usianya belum lagi 20 tahun.Berdasarkan hasil pemeriksaan Komisaris Reumpol beserta stafnya diketahui bahwa Fientje menjadi langganan Meneer Brinkman.

Tuan besar itu cukup terkenal di kalangan sositet Belanda dan merupakan anggota Societeit Concordia. Berdasarkan kesaksian dari Raonah (pelacur pribumi teman Fientje) yang mengetahui kejadian pembunuhan itu, akhirnya Brinkman dijebloskan ke penjara dengan tuntutan hukuman mati. Namun karena tidak bisa mengendalikan diri, akhirnya ia bunuh diri dalam penjara. Kejadian tersebut semakin menghebohkan Batavia, tetapi bagi Pak Silun dan dua anak buahnya sangat mengejutkan. Mereka bertiga adalah algojo-algojo suruhan Tuan Brinkman agar membunuh Fientje, namun belum dibayar sepenuhnya dan baru persekotnya saja.

Fientje tinggal di rumah pelacuran milik Umar. Demikian ditulis dalam Ensiklopedi Jakarta yang diterbitkan Pemprov DKI Jakarta tahun 2005.

Tewasnya Fientje menjadi fokus pemberitaan koran-koran saat itu. Masyarakat penasaran dengan setiap perkembangan terbaru kasus Fientje.

Komandan Polisi Batavia, Komisaris Reumpol yang menangani kasus ini.  memeriksa setiap saksi dengan teliti. Akhirnya dia menemukan titik terang ketika seorang pelacur teman Fientje bersaksi. Pelacur itu bernama Raonah, dia melihat langsung seorang pria bernama Gemser Brinkman mencekik Fientje dari sela-sela bilik bambu.

Wartawan Senior Rosihan Anwar menulis soal sidang Brinkman ini. Raonah sempat dituding berbohong dan memberikan keterangan palsu oleh pengacara Brinkman. Pengadilan bahkan sempat mengirim tim untuk mengecek tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan di lokalisasi milik Umar.

Raonah bersikeras pada pendapatnya. Dengan yakin dia berkata pada ketua majelis hakim.

"Tuan, saya seorang perempuan, jadi saya penakut. Tapi saya katakan sekali lagi, laki-laki itu yang melakukan pembunuhan," ujar Raonah.

Pengadilan akhirnya mengganjar Brinkman dengan hukuman mati. Awalnya Brinkman yakin eksekusi tidak akan jadi dilakukan. Dia berfikir tidak mungkin seorang kulit putih terhormat seperti dirinya dihukum mati hanya karena membunuh pelacur indo. Dia juga percaya pengaruh teman-temannya di Societeit Concordia akan membantu memperingan hukumannya.

Tapi Brinkman salah, pengadilan tetap berniat mengeksekusinya. Dia pun stres, dan berteriak-teriak terus dalam selnya. Akhirnya Brinkman bunuh diri dalam sel.

Ada beberapa versi soal pembunuhan ini. Ada yang mengatakan Brinkman sebenarnya tidak membunuh Fientje saat itu juga. Tetapi dia menyuruh algojo bernama Silun bersama dua anak buahnya. Silun yang akhirnya mencekik Fientje hingga tewas. Sial bagi Silun, Brinkman belum membayarnya lunas. Dia baru dibayar persekot atau uang mukanya saja. Brinkman keburu tewas saat Silun ditangkap.

Mengenai motif pun berbeda-beda. Sebagian pihak meyakini Brinkman membunuh Fientje karena cemburu. Dia sebenarnya sudah ingin menjadikan Fientje sebagai gundik, namun ternyata Fientje masih juga melayani laki-laki lain.

Kisah soal Fientje ini juga ditulis dalam Novel karangan Pramoedya Ananta Toer. Di buku 'Rumah kaca', Pram juga memasukan kisah soal pembunuhan ini. Namun Pram mengganti nama Fientje de Feniks menjadi Rientje de Roo.