Wednesday, March 25, 2015

Jakarta tempo dulu

Pada tahun 1865, R.A. Sastrodarmo menulis buku yang berjudul "Kawontenan Ing Nagari Betawi". Dalam buku itu ditulis tentang kehidupan kota betawi pada masa itu. Sastrodarmo menulis, orang-orang laki di Betawi kurang senang berambut gondrong, namun menyukai rambut gundul, barangkali menyesuaikan iklim yang panas.  Peraturan Polisi dilakukan dengan ketat, bila ada persoalan diselesaikan cepat tanpa memungut biaya sedikitpun, dan berlaku tanpa pandang bulu bangsa.

Bagi pembuang sampah yang sembrono kena denda.  Setiap penduduk yang sudah mencapai umur 15 tahun harus punya KTP dan dikeluarkan oleh Lurah (BEK) masing-masing dengan membayar 25 sen.  Siapa yang ketangkap tanpa KTP kena denda kurungan 5 hari.  Selewat jam 19.00 malam dilarang bawa senjata tajam misalnya golok dan sebagainya.  Bagi pedagang yang menetap maupun keliling harus punya Surat Pas yang menerangkan jenis dagangannya.  Setiap jalan besar dijaga

petugas yang kerjanya keliling kampung juga, mereka inilah mata-mata Polisi yang sering menangkap penjahat atau pelanggar peraturan lainnya.  Gardu penjagaan  selalu ada penjaga 2 orang waktu siang, kalau malam 5 orang, bersenjata tombak berujung dua.

Bila ada kebakaran, kentongan dibunyikan bertalu-talu.  Demikian juga bila ada orang mengamuk.  Di Jakarta waktu itu baru ada 4 rumah gadai yaitu didekat pasar: Tanah Abang, Senen, Pasar Baru, dan Glodog.  Kepala penduduk Betawi disebut komendan.  Semuanya ada 4 orang, ditambah seorang jaksa, 4 ajun jaksa dan 12 orang ajudan.  Dibawah ajudan ada para lurah kampung atau yang di sebut BEK, mambawahi Tueidhe dan 2 orang Sarean. 

Pada umumnya menurut buku yang ditulis oleh Soedarmo, lelaki di Betawi kurang senang berambut gondrong, dan lebih  menyukai rambut gundul, mungkin untuk diri dari  menyesuaikan iklim di Betawi yang panas.  
Peraturan yang dibuat Polisi kolonial dilakukan dengan ketat, bila ada persoalan diselesaikan cepat tanpa memungut biaya sedikitpun, dan berlaku tanpa pandang suku bangsa. Bagi pembuang sampah yang sembarang bisa dikenakan denda.  
Setiap penduduk yang sudah berumur 15 tahun harus punya tanda pengenal atau KTP dan KTP itu dikeluarkan oleh Lurah (BEK) masing-masing dengan membayar 25 sen.  Bagi yang telah wajib memiliki KTP tetapi belum memiliki KTP akan dikenai denda kurungan 5 hari.  
Pada malam hari setelah pukul  19.00 malam warga Betawi dilarang bawa senjata tajam semisal golok, pisau dan sejenisnya. Para pedagang yang menetap maupun keliling harus punya Surat Pas yang menerangkan jenis dagangannya.  Setiap jalan besar dijaga  petugas yang kerjanya keliling kampung, mereka inilah mata-mata Polisi yang sering menangkap penjahat atau pelanggar peraturan lainnya.  
Gardu penjagaan  selalu dijaga siang dan malam dan dijaga oleh centeng sebanyak 2-5 orang dengan , bersenjatakan tombak berujung dua.

Bila ada kebakaran, kentongan dibunyikan bertalu-talu.  Demikian juga bila ada orang mengamuk.  Di Jakarta waktu itu baru ada 4 rumah gadai yaitu didekat pasar: Tanah Abang, Senen, Pasar Baru, dan Glodog.  Kepala penduduk Betawi disebut komendan.  Semuanya ada 4 orang, ditambah seorang jaksa, 4 ajun jaksa dan 12 orang ajudan.  Dibawah ajudan ada para lurah kampung atau yang di sebut BEK, mambawahi Tueidhe dan 2 orang Sarean. 

Friday, March 20, 2015

Batavia tempo doloe: Gang Madat

Pada zaman Hindia Belanda merupakan tempat lokalisasi para pemadat (pecandu madat) yang terdapat di sekitar Pasar Tanah Abang. Orang yang kemadatan (ketagihan) madat, dapat melepaskan nafsunya di situ tanpa perlu takut ditangkap oleh pihak yang berwajib. Pada masa  itu, candu di Batavia sangatlah terkenal, sehingga akhirnya sampai-sampai para pedagang mendirikan Perkumpulan Masyarakat Candu di Batavia pada tahun 1745. Lembaga ini adalah sebuah perusahaan swasta yang bermaksud mengontrol perdagangan candu agar mudah diawasi jalur peredarannya. Namun dalam kenyataannya, VOC-Iah yang memonopoli pembelian candu dari Bengal, India dan kemudian membawanya ke Batavia dan menerima 450 rijksdaalders per krat.

Masyarakat Candu ini mendapat hak lelang candu di Batavia, sehingga VOC mendapat beberapa keuntungan: Pertama, dengan memberi hak istimewa kepada perusahaan swasta membeli semua candu dari Bengal, VOC terbebas dari kewajiban mengontrol perdagangan candu di sepanjang pantai utara Jawa. Kedua, VOC merasa aman karena Masyarakat Candu harus membeli semua candu yang dipasok oleh VOC dengan harga tertentu. Dan ketiga, Pembentukan Masyarakat Candu berpengaruh positif bagi perekonomian di Batavia.

Saturday, March 14, 2015

Heng Ngantung: Gubernur DKI yang hidup dalam kemiskinan

Sebelum menjadi Gubernur Jakarta, Henk dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal. Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia ikut medirikan "Gelanggang". Henk juga pernah menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok 1955-1958. 

Sebelum diangkat menjadi gubernur, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai deputi gubernur di bawah Soemarno. Saat itu banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung. Soekarno ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dan, Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik. Salah satu pengalaman yang barangkali menarik adalah tatkala presiden memanggilnya ke istana untuk mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati perlu dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas dari perhatian Ngantung. Tapi semuanya tidak berhasil.
 
Pelukis, dan gubernur DKI Jakarta ini , bernama lengkap Hendrick Joel Hermanus Ngantung. Lahir di Bogor, 1 Maret 1921 dan meninggal 12 Desember 1990. Ayah bundanya berasal dari Tomohon (Minahasa). Ia hanya menamatkan SD Belanda, seterusnya tidak bercita-cita meneruskan sekolah karena orangtuanya bukan berada. Yang dicita-citakannya hanya menjadi pelukis, sesuai dengan bakatnya sejak SD dan mendapat dorongan dari E. Katoppo, kepala SD itu. Gurunya itu pula yang menganjurkannya membuat pameran gambar dan cat air saat usianya 15 tahun di Tomohon. Tahun 1937 pindah ke Jawa dan menetap di Bandung dan belajar secara serius dan akademis dari Prof. Rudolf Wenghart, seorang pelukis potret terkenal asal Wina (Austria).

Sejak itu ia berkenalan dengan Affandi dan tokoh seni lukis Indonesia lainnya yang tergabung dalam PERSAGI dan Keimin Bunka Shidoso. Di awal tahun 1940-an, ia berkesempatan ikut pameran bersama di Bataviasche Bond von Kunstkring, yang mendapat ulasan baik dari pers Belanda. Dan semenjak itu, selalu menjadi peserta aktif dalam berbagai pameran baik di masa pendudukan Jepang maupun masa Agresi Belanda. Baru pada bulan Agustus 1948, di Hotel Des Indes, Jakarta, ia berkesempatan mengadakan pameran tunggal. Setelah itu sejak Oktober 1948, mengembara ke seluruh Indonesia untuk menyaksikan sendiri kehidupan bangsanya yang sedang berevolusi. Dokumentasi sketsa-sketsa hitam putih yang dibuatnya, kemudian dirangkum dalam buku Sketsa-Sketsa Henk Ngantung(Sinar Harapan, 1981).

Sejak 1957 ia duduk dalam berbagai Panitia maupun Lembaga Negara dan juga mendapat kesempatan melawat ke berbagai negara di Eropa Barat maupun Timur, lalu Asia, Afrika, Amerika Serikat maupun Amerika Selatan. Sudah tentu juga pulau-pulau lain di luar Jawa. Di luar dugaan dia diangkat menjadi Wakil Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1960-1964) dan kemudian menjadi Gubernur DKI (1964-1965). Setelah menduduki berbagai jabatan tersebut, ia kembali menjadi pelukis dan tinggal Cawang, hingga akhir hayatnya.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung tidak sekadar tinggal dalam kemiskinan hingga harus menjual rumah di pusat kota untuk pindah ke perkampungan. Derita Henk Ngantung terus menerpa karena nyaris buta oleh serangan penyakit mata dan dicap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia tanpa pernah disidang, dipenjara, apalagi diadili hingga akhir hayatnya bulan Desember 1991. Henk Ngantung hingga akhir hayatnya tinggal di rumah kecil di gang sempit Cawang, Jakarta Timur.

Kesetiaan Henk melukis terus berlanjut meski dia digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfungsi 30 persen. Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Sebulan sebelum wafat, saat ia dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha Ciputra memberanikan diri mensponsori pameran pertama dan terakhir Henk.


Tuesday, March 3, 2015

Main Dampu

Suatu permainan yang dimainkan anak laki-aki maupun perempuan di Betawi pada tempo dulu. Diagram dampu digambar di atas tanah dengan torehan batu runcing. Diagram dampu terdiri dari 5 blok, dimana masing-masing blok mengandung makna tertentu yaitu gunung, rumah, dan tangga. Dampu dibuat dengan tinggi sekitar 3 meter, dan sisi yang paling lebar sekitar 1,20 meter. 

 Kata Dampu boleh jadi berasal dari kata Melayu dampu, yaitu panggilan kehormatan pada seseorang. Istilah dampu dipopulerkan oleh primbon Cina Peranakan bernama Dampoo Awang yang berisi tanya jawab masalah peruntungan. Tetapi besar kemungkinan kata dampu berasal dari di + ampu, diampu dampu. Ampu dapat berarti angkat. Dalam bermain dampu para pemain mengangkat sebelah kakinya me-Ioncat dari satu block ke block lain. Diagram dampu secara berurutan menempatkan gunung (A) pada strata tertinggi yang mensimbolkan gunung sebagai preferensi pada sistem nilai Betawi. Dalam mitos Betawi ada gunung yang dianggap punya nilai magis yaitu: Gunung Puteri, Gunung Sindur, Gunung Kreneng, dan Gunung Sembung. Setelah gunung, kita dapatkan rumah (B), yang menyimbolkan kemapanan hidup duniawiah. Untuk mencapai A dan B orang harus melalui leher (C) yang menggambarkan sasaran antara, dan sebelumnya harus ditempuh dulu sayap (D) dan tangga (E). Ini yang disebut dampu gunung.

Jenis lain dari permainan dampu disebut dampu kapal. Prinsipnya dampu kapal sama saja dengan dampu gunung, hanya saja dampu kapal lebih sederhana. Blok-bloknya ialah gunung (A), sayap (B), dan tangga  (A). Permainan dampu terkenal di seluruh dunia, hanya saja tingkat kerumitannya berbeda, tetapi prinsip permainannya sama. Dan latar belakang philosofinya juga berbeda.

Menurut buku Games of The World, Frederic V. Grunfeld (ed), New York, 1975, permainan yang dinamakan dampu disebut hopscotch. Meski nama permainan ini berbau Scotlandia, tetapi permainan ini tidak berasal dari sana. Kapan permainan ini dimulai tak seorangpun tahu. Permainan ini dikenal baik di Inggris, Rusia, India, maupun Cina. Masuk ke Jakarta (Indonesia) dibawa bangsa Barat, boleh jadi pada abad ke-18. Latar belakang filosofi permainan ini sangat dekat dengan kepercayaan agama. Block-block hopscotch terdiri atas bumi, neraka, syurga, dan pos-pos. Surga merupakan block puncak, di dalam permainan dampu disebut gunung.