Aku
sedang duduk dikantin sekolah, makan siang bersama dua orang temanku, Amanda
dan Rachel, saat seorang pemuda yang sangat imut, yang belum pernah kulihat,
lewat. “Amanda!” panggilnya, hanya untuk mendapat perhatiannya. Kami semua
menoleh dan Amanda melambai, lalu, seolah pemuda itu orang biasa, Amanda
mengalihkan kembali perhatiannya pada obrolan kami bertiga, “Wah!” bisikku
supaya hanya Amanda dan Rachel yang mendengar. “Dia imut sekali. Siapa dia?”
“Paul
Turkell”, kata Amanda, menambahkan, “anak kelas Sembilan”.
Sekolah
kami berbentuk huruf H, seperti Herbert Hoover, presiden ke-34. Kelas enam
sampai Sembilan bertempat di sekolah kami dan setiap kelas memiliki ruang di
bagian H yang berbeda. Jadi, kamu jarang beremu anak dari kelas lain. Meskipun
kantin terletak di tengah gedung dan semua anak makan di tempat yang sama,
sebagian besar makan siang pada waktu yang berbeda-beda, jadi kami juga
biasanya tidak bertemu anak-anak dari kelas lain. Mungkin karena itulah aku
belum pernah melihat Paul Turkell. Dia anak kelas Sembilan, sedangkan aku baru
kelas tujuh.
Saat
itu sudah tanggal 15 April, dan selama sisa tahun ajaran, aku melihat Paul
Turkell yang kelas Sembilan itu hanya enam kali lagi: Tanggal 24, 26 April,
tanggal 7, 16, 26 Mei, dan tanggal 2 Juni (hari terakhir sekolah). Pada
waktu-waktu itu, aku dan Paul saling melambaikan tangan. Sejauh itulah
pertemanan kami sampai liburan musim panas. Lalu, kami kebetulan bertemu empat
kali di Walgreen’s. setiap kali bertemu, kamu berdua sedang bersama ibu
masing-masing. Saat bertemu, kami berdiri bersama dan membicarakan masalah
sekolah dan teman-teman sampai ibu kami siap meninggalkan toko. Pada akhir
musim panas, kami bertukar nomor telepon. Pada saat itulah kami mulai saling
menelepon hanya untuk mengobrol, bercerita dan melewatkan waktu liburan musim
panas. Aku belum pernah punya teman lelaki, dan sungguh menyenangkan rasanya
ada lelaki menjadi teman sebaik ini.
Saat
tahun ajaran berikutnya dimulai, Paul James Turkell kini duduk di kelas
sophomore dan bersekolah di SMU, yang berada di bagian kota lain. Jadi, selama
tiga bulan pertama sekolah, aku tak pernah bertemu dengannya. Akan tetapi,
hampir setiap malam Paul meneleponku atau aku menelepon dia. Kami mengobrolkan
hari kami dan hal-hal umum lainnya---seperti saat anjingnya harus menginap di
rumah sakit hewan karena memakan kabel listrik saat menggali di pekarangan,
atau kejadian heboh di rumahku saat kakakku yang berusia 19 tahun menindik
hidungnya.
Tak
lama kemudian, aku dan Paul tak hanya membicarakan apa yang terjadi di sekolah,
tetapi apa yang terjadi dalam kehidupan keluarga. Lalu, kami mulai berbagi
sebagian rahasia kami yang paling dijaga---misalnya betapa dia menyukai gadis
tertentu di sekolah (meskipun gadis itu tidak menyukainya) dan betapa aku tak
sabar ingin punya pacar.
Kami
bahkan membicarakan berapa banyak anak yang ingin kami punya masing-masing saat
kami sudah dewasa dan menikah. Lalu, tepat pada awal semester Sembilan minggu
kedua, aku dan Paul mendapati bahwa minat kami banyak yang sama. Kami berdua
suka menyanyi, dan kami berdua pernah les dansa dua tahun, jadi kami tahu
langkah-langkah untuk hampir setiap
jenis dansa. Jadi, kami memutuskan mengikuti edisi teater masyarakat setempat
untuk Frease, produksi yang beriklan membutuhkan remaja yang dapat bernyanyi
dan berdansa untuk membintangi musim drama yang akan datang. Tentu saja, ini
berarti aku dan Paul harus mempraktikan langkah-langkah dansa---bersama. Jadi,
selama dua minggu kami beremu di teater setempat. Di sana staf produksi
menyisihkan satu ruang latihan untuk orang-orang yang berniat mencoba ikut
drama.
Semakin
sering aku dan Paul berlatih, semakin aku mulai punya perasaan
untuknya---sebagai pacar. Akan tetapi, aku tak yakin apakah aku harus
mengatakan hal ini kepadanya. Dari sebagian obrolan kami, aku punya perasaan
bahwa, selain Natali Parker (gadis sekelas yang dia sukai), dia juga menyukai
sahabatku, Amanda---meskipun aku tidak tahu persis sesuka apa. Dan meskipun Amanda
berperilaku seolah dia tak punya waktu untuk Paul, aku tahu dia menyukai karena
dia selalu saja membicarakannya. Lalu, pada suatu sore, saat aku dan Paul
sedang latihan, dia berkata: “Aku suka padamu”.
Aku
sungguh terkejut. Sekaran aku benar-benar ingin dia jadi pacarku. Jadi, aku
berkata aku juga menyukainya. “Aku tahu”, katanya. Hanya itu yang dia katakana.
Tetapi perkataannya mengubah segalanya!
Jadi,
teman cowokku yang pertama menjadi pacarku yang pertama. Rasanya seperti berada
di puncak dunia. Aku bersekolah keesokan harinya dalam suasana hati terbaik
dalam hidupku. Keadaan lebih membaik lagi saat, dua hari kemudian, Paul
meneleponku dan mengajakku ke pesta dansa kelas sophomore. Dia berkata aku
harus berdansa hanya dengannya, tak boleh dengan orang lain. Aku begitu yakin
dia akan menjadi satu-satunya pemuda yang ingin kuajak berdansa. Selama sisa
hdiupku. Selama sepanjang sejarah manusia. Selamanya. Dan selamanya.
Dan
memang aku berdansa hanya dengannya. Dan rasanya luar biasa, “sesuatu” lagi
yang belum pernah kualami. Lalu, pada dansa ketiga, Paul mendekapku dan
menyanyikan seluruh lagi itu untukku. Luar biasa. Pada saat itu juga aku tahu
pasti aku sangat mencintainya. Dan aku yakin dia merasakan hal yang sama,
karena dia dan aku berdansa pada setiap lagu di acara itu, dan pada setiap lagu
lambat, dia mendekapku semakin erat. Pada akhirnya, tak ada jarak antara kami
sama seklai. Pada lagu terakhir, “End of the Road”. Aku memandang matanya dan
mengatakan aku akan mencintainya selamanya. Pada perjalanan pulang, Paul
merangkulku dan menggenggam tanganku. Selagi kami mengucapkan selamat malam
dengan sedih, dia mencium pipiku dan memelukku.
Enam
hari kemudian, Paul memintaku menemaninya sekolah, sambil upah di tempat dia
bekerja paro-waktu. Sepanjang jalan ke sana dan kembali, kami bergandengan
tangan. Pada perjalanan kembali, dia merangkulku sepanjang waktu. Dan saat
mengantarku ke rumah, dia menggosokkan pipinya pada dahiku, lalu mencium dahiku
Sembilan kali. Sembilan kali! Teman-temanku, Amanda dan Rachel, dua-duanya
pernah dicium. Rachel dua kali oleh Ben Henry. Amanda juga sudah sering
dicium---enam kali---sekali oleh Raymond Lux, sekali oleh Clay Lloyd, dan empat
kali oleh Joey Edwards. Tetapi, aku sudah dicium Sembilan kali. Sembilan! Dan
Sembilan-sembilannya oleh Paul james Turkell, cinta sejatiku!
Lalu,
baru saja dua minggu, hari setelah ulang tahunku tepatnya. Paul berkata dia
pikir kami sebaiknya “berteman saja’. Itulah. Hanya begitu. Bukan pacarku,
hanya kembali menjadi “temanku”.
Aku
menangis sampai tertidur malam itu. dan setiap malam selama dua minggu. Akan
tetapi, kemudian rasanya tak begitu buruk, jadi kurasa aku sudah berhasil
berhenti mencintainya. Lalu, dua minggu dan satu hari kemudian, aku sedang
menghadiri pesta di tempat temannya. Paul ada di sana bersama seorang gadis
dari sekolahku, Krissy. Mereka berdua mulai berciuman dan aku mulai menangis,
karena aku tahu aku tak akan pernah melakukan itu lagi bersama Paul. Saat
melihatku menangis, Paul menghampiri dan bertanya ada apa. Meskipun aku tidak
mengungkapkan perasaanku, senang rasanya dia peduli. Pada saat itu, aku tidak
tahu mana yang lebih kurindukan, persahabatan sebelum kami mulai pacaran, atau
pacaran dengannya. Aku akhirnya tau apa rasanya punya pacar. “Kita dansa yuk”.
Katanya, lalu kami berdansa selama dua lagu lambat---dengan cara yang sama
seperti di pesta dansa kelas sophomore. Aku jatuh cinta sekali lagi dan
kuberitahukan. “ Kau teman yang baik” katanya menjawab.Selagi
di pesta, dia bertemu seorang gadis bernama Liz, dan mereka berdua jatuh cinta.
dan sebelum pesta itu usai, gadis itu sudah mengenakan gelang Paul. Itu berarti
mereka benar-benar jatuh cinta. jadi, sekarang aku harus memulai lagi seluru
proses merasa sakti hati, supaya bisa kembali berteman saja.
Setelah
pesta itu, aku dan Paul tidak bertegus sapa selama hampir dua minggu. Akan
tetapi, dia lalu menelepon dan berkata, “ Kita berteman lagi yuk, supaya kita
bisa mengobrol lagi”. Aku memikirkan betapa enak rasanya mengobrol dengannya.
Kuputuskan, berteman dengan Paul itu lebih baik daripada tak bisa mengobrol
dengan seseorang tentang segala hal yang bisa kami obrolkan. Jadi, sekarang aku
dan Paul kembali saling menelepon setiap malam.
Aku
tahu dia tak akan pernah menjadi pacarku lagi, karena dia bilang sebaiknya
pacaran dengan gadis yang setidaknya seusia dengannya. Jadi, begitulah. Akan
tetapi. Kuputuskan itu tak apa-apa. Ini mirip dengan tidak terpilih memerankan
Grease---mengecewakan, akan tetapi latihan dan antisipasinya sangat
menyenangkan. Lagi pula, Paul memang teman yang baik, teman yang bisa kuajak
bicara tentang hampir segala hal. Dan aku benar-benar mencintainya sebagai
teman. Akan tetapi, aku akan selalu ingat bahwa dia adalah pacar pertamaku, dan
segala hal yang kurasakan berkat dia. Terutama kesembilan ciuman itu. sebagai
pacar pertama, kurasa itu rekor yang
baik!