MENGAPA SAYA MENGAKUI MUHAMMAD SEBAGAI RASUL DAN NABI ALLAH Tidak dapat disangkal lagi, bahwa Yesus disamping mengajarkan tentang keesaan Tuhan, Hukum Taurat, Cinta kasih dan Kebenaran, maka jangan lupa pula bahwa Yesus juga mengajarkan tentang "Akan datangnya Dia, sesudah aku." Didalam Perjanjian Baru pemberitaan ini sangat jelas kalimat-kalimatnya dan bahkan didalam Perjanjian Lamapun tiada ketinggalan. Baiklah, kita baca sekarang didalam Perjanjian Baru dahulu, yaitu dalam Injil Yahya 14: 16-17: "Aku, Yesus akan memintakan kepada Allah, supaya kamu diberinya Paraclet yang lain, supaya tinggal diantara kamu selama-lamanya. Yaitu Rokh Kebenaran, maka isi dunia ini tiada mengenalnya, adapun kamu ini kenal akan dia, karena dia ada tinggal bersama-sama dengan kamu selamanya." Jelas saya kira, bahwa nabi Isa akan mengirimkan Dia, Rokh Kebenaran, yang akan dikenal oleh murid-muridnya. Didalam kata-katanya yang asli, maka yang dipakai Isa bukannya Rokh Kebenaran ataupun Rokhulkudus, tetapi ia menggunakan istilah Paraclet. Paraclet atau Para-Cletos artinya ialah Yang Ikhlas atau Yang Terpuji. Kata-kata atau ayat inilah yang kemudian ditafsirkan oleh orang-orang Kristen dengan istilah Rokhulkudus, sebagai penggenap bagi oknum Allah yang ketiga. Benarkah Paraclet berarti Rokhulkudus? Untuk mengkaji persoalan tersebut, baiklah kita lanjutkan pembacaan kita pada Injil Yahya 16:5-14 yang bunyinya: 5. Tetapi sekarang itu Aku pergi kepada Dia yang menyuruh Aku. Tiada seorangpun diantara kamu yang bertanya kepadaku: Hendak kemana? 6. Oleh sebab Aku mengatakan kepadamu perkara itu, penuhilah hatimu dengan duka-cita. 7. Tetapi Aku ini mengatakan yang sebenarnya kepadamu, bahwa berfaedahlah bagi kamu jika Aku undur daripadamu, karena jika Aku tiada undur, tiada juga penghibur itu akan datang kepadamu, tetapi jikaIau aku pergi kelak, Aku akan menyuruhkan Dia kepadamu. 8. Setelah Dia datang akan menerangkan isi dunia ini dari hal dosa, dan kebenaran dan hukuman. 9. Dari hal dosa, sebab tiada orang percaya akan Daku. 10. Dari hal keadilan, sebab Aku pergi kepada Bapa dan tiada kamu melihat Aku lagi. 11. Dan dari hal hukuman, sebab penghulu dunia ini sudah dihukumkan. 12. Maka banyak perkara bagi yang hendak kukatakan kepadamu, tetapi sekarang tiada kamu boleh menanggung akan dia. 13. Melainkan apabila ia datang, yaitu Rokh Kebenaran, maka ia akan membawa kepada segala jalan kebenaran, karena tiadalah Dia berkata-kata daripadaku atas dari Yesus ini sehingga olehnya bolehlah kami mengetahui rahasia-rahasia yang sebenarnya. Dengan perkataan lain yang susunannya lebih sederhana tetapi tidak pula menyimpang dari isinya maka dapatlah disusun sebagai berikut: a. Kalau Isa tidak pergi maka dia tidak datang (ayat 5) b. Nabi itu amat penting, sehingga olehnya Isa akan pergi (ayat 7) c. Nabi itu datang membersihkan dunia ini dari dosa (ayat 8) d. Nabi itu datang menempelak dunia sebab manusia tidak percaya Isa lagi (ayat 9) e. Nabi itu menghukumkan seluruh dunia (ayat 11) f. Nabi itu berkata-kata karena diperintah (ayat 12) g. Ia mengabarkan perkara-perkara yang akan datang dan kebenaran kebenaran (ayat 13) h. Ia memuliakan Yesus (ayat 14) i. Dia mengambil apa yang dipunyai Isa yaitu kerasulan dan kenabiannya (ayat 14)
Friday, July 11, 2014
Mengapa saya masuk agama Islam?
Saturday, May 24, 2014
Kathy, memeluk Islam setelah membaca Al-qur'an kumal
Ketika aku masih di sekolah dasar, Ibu sering membawa dan menemaniku ke perpustakaan terdekat.
Dan, sudah menjadi tradisi perpustakaan-perpustakaan umum, ditempat itu kulihat ada berbagai buku lama yang dijual obral dan sangat murah.
Suatu ketika, ketika perpustakaan menawarkan buku-buku seperti ini, aku membeli salah satunya dengan harga 5 atau 10 cent yang aku ambil dari tabunganku. Ini aku lakukan karena keingin tahuan memiliki buku dan mendapatkan sesuatu yang spesial. Aku lalu meletakkan buku tersebut di perpustakaan pribadiku di kamar untuk kemudian dimasukkan ke dalam salah satu kardus dengan buku lainnya yang sudah jelek dan terlupakan sebagai bagian dari koleksi buku.
Hari
demi hari pun berlalu dan tak terasa aku sudah menamatkan SD, SLTP, dan
SLTA. Aku beruntung di terima kuliah di salah satu fakultas. Dan,
adalah sebuah hikmah dan rahasia dari Allah bahwa aku memasuki fakultas
Sastra dan memilih spesialisasi di bidang ilmu perbandingan agama di
mana lebih memfokuskan pada tiga agama besar, yaitu Yahudi, Nashrani,
dan Islam.
Manakala
di jurusan itu tidak terdapat seorang Dosen yang beragama Islam, maka
yang kentara dibicarakan adalah gambaran Islam yang sudah tercoreng.
karena itu, aku tidak begitu interes dengannya. Selanjutnya, aku tidak
menemui kendala apapun untuk melewati kurikulum-kurikulum studi sehingga
berhasil lulus dan memperoleh gelar sarjana.
Buku yang amat Terkesan !!
Setelah
lulus Kuliah, mulailah tahap mencari pekerjaan. Berhubung
spesialisasiku termasuk spesialisasi yang sedikit mendapat tawaran
kerja, ditambah secara umum memang lowongan kerja juga tidak banyak di
kawasan yang aku tinggali, maka dengan cepat aku di cekam rasa kecewa
dan bosan dalam mencari lowongan kerja tersebut. Akhirnya, sebagian
besar waktu, aku habiskan di rumah menjadi pengangguran !!
Aku mengisi waktu luangku dengan membongkar dan membuka kembali
buku-buku yang dulu pernah aku beli secara pintas kubaca. Pada saat itulah, aku secara tidak sengaja aku memegang buku
yang telah aku beli sejak kecil dari kocek pribadi.
Aku
ambil buku itu, lalu aku bersihkan. selanjutnya, aku mulai
membacanya………Ternyata ia adalah kitab al-Qur’an terjemahan dalam bahasa
Inggris. Mulailah aku membacanya dengan penuh perasaan dan keseriusan.
Aku betul-betul tertarik dengan kandungan surat-surat yang ada di dalam Al-Qur'an.
Setelah berulang-ulang membacanya, apa yang selama ini kukuteahui tentang Islam ternyata sama sekali berbeda dengan opini atau pendapat orang yang selama ini aku dengar di kampus mengenai Islam. Gambaran
Islam amat berbeda dari gambaran yang di
katakan para dosen di fakultas mengenai agama ini dan al-Qur’an.
Aku
mulai bertanya-tanya: Benarkah apa yang dikuliahkan para dosenku di kampus?
Ataukah mereka sengaja berbohong ketika menyinggung tentang Islam dan
al-Qur’an?
Sejak itu Aku
terus mengulangi dan membacanya dengan rasa penasaran untuk mencari tahu segala kandungan yang ada di dalam al-Qur'an hingga aku meyakini dan memutuskan; Aku harus segera memeluk agama Islam dan menjadi seorang
Muslimah.!
Aku menghubungi salah seorang Muslim yang mengerti betul tentang islam dan banyak bertanya kepadanya
tentang islam dan bagaiman cara masuk Islam. Setelah mendengar penjelasannya, aku kembali
tercengang karena islam ternyata agama yang begitu damai dan tidak rumit untuk memeluk agama Islam.
Alhamdulillah, aku pun masuk Islam dan menikah dengan seorang pemuda Muslim.
Sekarang
kami sudah menjadi salah satu keluarga di kota Washington. Kami memohon
kepada Allah agar menerima amal kami dan memantapkan kami dalam menjalankan perintah-Nya.
***
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى
اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (٣٢)
artinya:
“Mereka
hendak memadamkan cahaya Allah (agama Islam) dengan mulut mereka,
sedangkan Allah tidak menghendaki melainkan menyempurnakan cahayaNya,
sekalipun orang-orang kafir tidak suka (akan yang demikian).” (Q.S At-Taubah. ayat:32)
sumber: majalah mutiara amaly; vol.84; edisi Iman Cahaya dan Kekuatan
sumber: majalah mutiara amaly; vol.84; edisi Iman Cahaya dan Kekuatan
Friday, May 16, 2014
Maria Gaetana Agnesi Anniversary
She is credited with writing the first book discussing both differential and integral calculus and was an honorary member of the faculty at the University of Bologna.
She devoted the last four decades of her life to studying theology (especially patristics)
and to charitable work and serving the poor. This extended to helping
the sick by allowing them entrance into her home where she set up a
hospital.
Maria Teresa Agnesi Pinottini, clavicembalist and composer, was her sister.
Maria was recognized early on as a child prodigy; she could speak both Italian and French at five years of age. By her eleventh birthday she had also learned Greek, Hebrew, Spanish, German, and Latin, and was referred to as the "Seven-Tongued Orator".[5]
She even educated her younger brothers. When she was nine years old she
composed and delivered an hour-long speech in Latin to some of the most
distinguished intellectuals of the day. The subject was women's right
to be educated.
Agnesi suffered a mysterious illness at the age of 12 that was
attributed to her excessive studying and was prescribed vigorous dancing
and horseback riding. This treatment did not work - she began to
experience extreme convulsions, after which she was encouraged to pursue
moderation. By age fourteen she was studying ballistics and geometry.[5] When she was fifteen her father began to regularly gather in his house a circle of the most learned men in Bologna,[citation needed]
before whom she read and maintained a series of theses on the most
abstruse philosophical questions. Records of these meetings are given in
Charles de Brosses' Lettres sur l'Italie and in the Propositiones Philosophicae, which her father had published in 1738 as an account of her final performance, where she defended 190 theses.[5] Maria was very shy in nature and did not like these meetings.[citation needed]
Her father remarried twice after Maria's mother died, and Maria
Agnesi ended up the eldest of 23 children, including her half-siblings.
In addition to her performances and lessons, her responsibility was to
teach her siblings. This task kept her from her own goal of entering a
convent, as she had become strongly religious. Although her father
refused to grant this wish, he agreed to let her live from that time on
in an almost conventual semi-retirement, avoiding all interactions with
society and devoting herself entirely to the study of mathematics.[5] During that time, Maria studied both differential and integral
calculus. Fellow philosophers thought she was extremely beautiful and
her family was recognized as one of the wealthiest in Milan. Maria
became a professor at the University of Bologna.
nstituzioni analitiche
According to Dirk Jan Struik, Agnesi is "the first important woman mathematician since Hypatia (fifth century A.D.)". The most valuable result of her labours was the Instituzioni analitiche ad uso della gioventù italiana,
(Analytical Institutions for the Use of Italian Youth) which was
published in Milan in 1748 and "was regarded as the best introduction
extant to the works of Euler." [6] In the work, she worked on integrating mathematical analysis with algebra.[5] The first volume treats of the analysis of finite quantities and the second of the analysis of infinitesimals. A French translation of the second volume by P. T. d'Antelmy, with additions by Charles Bossut (1730–1814), was published in Paris in 1775; and Analytical Institutions, an English translation of the whole work by John Colson (1680–1760), the Lucasian Professor of Mathematics at Cambridge, "inspected" by John Hellins, was published in 1801 at the expense of Baron Maseres.[7] The work was dedicated to Empress Maria Theresa,
who thanked Agnesi with the gift of a diamond ring, a personal letter,
and a diamond and crystal case. Many others praised her work, including Pope Benedict XIV, who wrote her a complimentary letter and sent her a gold wreath and a gold medal.[5]
Witch of Agnesi
Main article: Witch of Agnesi
The Instituzioni analitiche..., among other things, discussed a curve earlier studied and constructed by Pierre de Fermat and Guido Grandi. Grandi called the curve versoria in Latin and suggested the term versiera for Italian,[8] possibly as a pun:[9] 'versoria' is a nautical term, "sheet", while versiera/aversiera is "she-devil", "witch", from Latin Adversarius, an alias for "devil" (Adversary of God). For whatever reasons, after translations and publications of the Instituzioni analitiche... the curve has become known as the "Witch of Agnesi".
In 1750, on the illness of her father, she was appointed by Pope Benedict XIV to the chair of mathematics and natural philosophy and physics at Bologna, though she never served.[5] She was the second woman ever to be granted professorship at a university, Laura Bassi being the first.[11]
In 1751, she became ill again and was told not to study by her doctors.
After the death of her father in 1752 she carried out a long-cherished
purpose by giving herself to the study of theology, and especially of the Fathers
and devoted herself to the poor, homeless, and sick, giving away the
gifts she had received and begging for money to continue her work with
the poor. In 1783, she founded and became the director of the Opera Pia Trivulzio, a home for Milan's elderly, where she lived as the nuns of the institution did (wikipedia)
Monday, May 12, 2014
Kisah Inspiratip: Alison Botha Wanita Luar Biasa
Pada Desember 1994, Alison Botha diculik di luar rumah
oleh dua orang yang tak dikenal yang lalu memperkosa, menusuk dan akhirnya menggorok
tenggorokannya 16 kali untuk memastikan bahwa ia telah tewas. Keajaiban pun datang! Walau pun ia luka parah namun ia masih tetap bertahan untuk hidup.
Bagaimana ia dapat selamat, Alison menceritakan bahwa dengan kekuatan batin dan tekad untuk tetap hidup dan banyaknya kepahitan hidup yang dialaminya yang membuat ia tetap bertahan hidup. Kisahnya menjadi bahan pembicaraan dan menarik perhatian dunia.
Pada tahun 1995, dia dianugerahi penghargaan bergengsi
Rotarian Paul Harris Award untuk ‘Keberanian di atas normal’. Pada tahun
yang sama ia menjadi penerima pertama penghargaan ‘Perempuan Pemberani’
dari majalah Femina. Dia juga terpilih sebagai Port Elizabeth’s Citizen
of the Year pada upacara yang berkilauan.
Alison telah berbicara menceritakan kisahnya selama beberapa
tahun untuk memotivasi banyak orang tentang kehidupan. Tujuannya adalah untuk ‘membuat perubahan’ secara dramatis baik untuk kehidupan, dunia usaha, perempuan dan kelompok sosial serta beberapa
sekolah. Dia telah ditulis dan dibicarakan banyak orang di dunia internasional di lebih dari 20
negara termasuk Amerika Serikat, Australia, Eropa, Asia dan Afrika.
(sumber: http://www.alison.co.za).
Bertemu Alison Botha. Pertama kali membaca
tentang dia di buku Andrew Matthews : Kebahagiaan dalam Masa Sulit.
Hati saya sakit ketika saya membaca pengalamannya. Benar-benar buruk.
Hal terburuk yang pernah bisa dibayangkan terjadi padanya. Ketika dia
berumur 27, dua pria menculiknya, diperkosa, dan brutal menyakitinya.
Dia hampir mati. Tetapi Tuhan punya rencana lain untuknya. Ia masih
hidup. Dia bertemu dengan seorang mahasiswa dokter hewan yang
menyelamatkan hidupnya. Dan yang membuatnya terjadi dalam kehidupan ini.
Dia menemukan pasangan jiwa, menikah pada tahun 1997 (3 tahun setelah
peristiwa tragis). Dan sekarang dia bepergian di seluruh dunia,
memberikan kesaksian perjalanan dalam menghadapi penderitaan. I Have
Life: Alison’s Journey seperti diceritakan kepada Marianne Thamm adalah
judul bukunya. Buku yang mengilhami dunia. Mengilhami semua orang yang
membaca kisahnya.
Yah, hidup ini benar-benar tidak terduga. Anda tidak mungkin bisa
membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Satu saat Alison adalah
seorang broker asuransi dengan bisnis Port Elizabeth di Afrika Selatan,
kemudian beberapa menit setelah itu, semuanya telah berubah secara
drastis. Mimpi buruk yang terburuk yang pernah terjadi pada hidupnya.
Tapi kemudian ia bisa berdiri sekali lagi dan membuat perbedaan.
Salut kepada Alison! Hidup tidak selalu mudah. Tapi pemenangnya akan
berjuang sampai akhir. Tidak peduli betapa buruknya keadaan. Dan entah
bagaimana, aku menemukan bahwa aku malu dengan keluhanku. Setelah
membaca perjuangannya dalam hidup ini, sungguh, keluhan saya bukan
apa-apa dibandingkan dengan miliknya. Dan saya ingin memiliki sikap
seperti itu dalam hidup ini. Aku dapat melihat kasih karunia Tuhan dalam
kehidupan Alison. TanganNya itu yang memungkinkan dia untuk
melakukannya. Tanpa Dia, saya pikir tidak mungkin untuk menikmati apa
yang dia sekarang alami. Tuhan telah begitu baik kepadanya.
Terima kasih kepada Alison atas cerita inspirasionalnya. Dan untuk
semua orang di luar sana, Anda dapat membuat perbedaan. Seperti apa yang
dikatakannya di situs web: “Tidak peduli situasi, Anda selalu
mengontrol sikap, keyakinan Anda dan pilihan-pilihan yang Anda buat ..”
Hari ini adalah Hari Perempuan. Saya tidak menyadari hal itu sampai
kasir supermarket di apartemen kami bilang begitu. Meskipun bunga,
hadiah, hadiah romantis yang telah mengalir di sini di Ho Chi Minh City,
saya telah belajar pelajaran lain dari Alison. Seorang wanita yang
sangat berani menginspirasi kehidupan banyak orang. Bukan saja ia dapat
berdiri di kakinya, ia juga melawan para pemerkosa-membawa mereka ke
pengadilan dan menang. Mereka akhirnya penjara seumur hidup. Dan untuk
Alison? Dia telah memenangkan pertempuran hidupnya. Dia seorang wanita
luar biasa. Terima kasih untuk berbagi hidup Anda dan kisah
inspirasional dunia, Alison!
Yang terakhir, dia memeberikan kutipan indah : Hidup adalah indah.
Hidup ini patut diperjuangkan. Bukan apa yang terjadi pada Anda,
melainkan apa yang Anda lakukan dengan itu.
Jadi, sudahkan kau temukan keindahan di matamu? Masih bisakah melihat
keindahan di tengah-tengah badai kehidupan? Mudah-mudahan, hari ini
kita dapat belajar sesuatu dari Alison. (source: Alison Botha)
Saturday, May 3, 2014
Fientje de Feniks, Pelacur Yang Dibunuh
Nama seorang wanita pelacur Indo
yang menjadi korban pembunuhan tuan besar Belanda bernama Gemser
Brinkman. Peristiwa pembunuhan tersebut sangat menghebohkan Batavia di
awal abad ke-20, karena Brinkman adalah seorang tuan besar Belanda.
Peristiwa itu terjadi pada hari Jum'at 17 Mei 1912, dengan ditemukannya
mayat seorang wanita Indo masih muda, terapung, tersangkut pintu air,
terbungkus dalam karung di Kali Baru Batavia. Wanita itu seorang
pelacur, menghuni rumah pelacuran milik Umar, seorang germo.
Masyarakat makin heboh saat mengetahui siapa yang tewas. Namanya Fientje
de Feniks, seorang pelacur yang kerap dikunjungi para pembesar dan
orang kaya. Untuk ukuran saat itu, Fientje jadi idola. Wajahnya campuran
Indonesia dan Eropa. Matanya besar dengan hidung mancung dan bibir
sensual. Rambutnya panjang, hitam dan berombak. Saat tewas usianya belum
lagi 20 tahun.Berdasarkan
hasil pemeriksaan Komisaris Reumpol beserta stafnya diketahui bahwa
Fientje menjadi langganan Meneer Brinkman.
Tuan besar itu cukup terkenal di kalangan sositet Belanda dan merupakan anggota Societeit
Concordia. Berdasarkan kesaksian dari Raonah (pelacur pribumi teman
Fientje) yang mengetahui kejadian pembunuhan itu, akhirnya Brinkman
dijebloskan ke penjara dengan tuntutan hukuman mati. Namun karena tidak
bisa mengendalikan diri, akhirnya ia bunuh diri dalam penjara. Kejadian
tersebut semakin menghebohkan Batavia, tetapi bagi Pak Silun dan dua
anak buahnya sangat mengejutkan. Mereka bertiga adalah algojo-algojo
suruhan Tuan Brinkman agar membunuh Fientje, namun belum dibayar
sepenuhnya dan baru persekotnya saja.
Fientje tinggal di rumah pelacuran
milik Umar. Demikian ditulis dalam Ensiklopedi Jakarta yang diterbitkan
Pemprov DKI Jakarta tahun 2005.
Tewasnya Fientje menjadi fokus pemberitaan koran-koran saat itu. Masyarakat penasaran dengan setiap perkembangan terbaru kasus Fientje.
Komandan Polisi Batavia, Komisaris Reumpol yang menangani kasus ini. memeriksa setiap saksi dengan teliti. Akhirnya dia menemukan titik terang ketika seorang pelacur teman Fientje bersaksi. Pelacur itu bernama Raonah, dia melihat langsung seorang pria bernama Gemser Brinkman mencekik Fientje dari sela-sela bilik bambu.
Wartawan Senior Rosihan Anwar menulis soal sidang Brinkman ini. Raonah sempat dituding berbohong dan memberikan keterangan palsu oleh pengacara Brinkman. Pengadilan bahkan sempat mengirim tim untuk mengecek tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan di lokalisasi milik Umar.
Raonah bersikeras pada pendapatnya. Dengan yakin dia berkata pada ketua majelis hakim.
"Tuan, saya seorang perempuan, jadi saya penakut. Tapi saya katakan sekali lagi, laki-laki itu yang melakukan pembunuhan," ujar Raonah.
Pengadilan akhirnya mengganjar Brinkman dengan hukuman mati. Awalnya Brinkman yakin eksekusi tidak akan jadi dilakukan. Dia berfikir tidak mungkin seorang kulit putih terhormat seperti dirinya dihukum mati hanya karena membunuh pelacur indo. Dia juga percaya pengaruh teman-temannya di Societeit Concordia akan membantu memperingan hukumannya.
Tapi Brinkman salah, pengadilan tetap berniat mengeksekusinya. Dia pun stres, dan berteriak-teriak terus dalam selnya. Akhirnya Brinkman bunuh diri dalam sel.
Ada beberapa versi soal pembunuhan ini. Ada yang mengatakan Brinkman sebenarnya tidak membunuh Fientje saat itu juga. Tetapi dia menyuruh algojo bernama Silun bersama dua anak buahnya. Silun yang akhirnya mencekik Fientje hingga tewas. Sial bagi Silun, Brinkman belum membayarnya lunas. Dia baru dibayar persekot atau uang mukanya saja. Brinkman keburu tewas saat Silun ditangkap.
Mengenai motif pun berbeda-beda. Sebagian pihak meyakini Brinkman membunuh Fientje karena cemburu. Dia sebenarnya sudah ingin menjadikan Fientje sebagai gundik, namun ternyata Fientje masih juga melayani laki-laki lain.
Kisah soal Fientje ini juga ditulis dalam Novel karangan Pramoedya Ananta Toer. Di buku 'Rumah kaca', Pram juga memasukan kisah soal pembunuhan ini. Namun Pram mengganti nama Fientje de Feniks menjadi Rientje de Roo.
Tewasnya Fientje menjadi fokus pemberitaan koran-koran saat itu. Masyarakat penasaran dengan setiap perkembangan terbaru kasus Fientje.
Komandan Polisi Batavia, Komisaris Reumpol yang menangani kasus ini. memeriksa setiap saksi dengan teliti. Akhirnya dia menemukan titik terang ketika seorang pelacur teman Fientje bersaksi. Pelacur itu bernama Raonah, dia melihat langsung seorang pria bernama Gemser Brinkman mencekik Fientje dari sela-sela bilik bambu.
Wartawan Senior Rosihan Anwar menulis soal sidang Brinkman ini. Raonah sempat dituding berbohong dan memberikan keterangan palsu oleh pengacara Brinkman. Pengadilan bahkan sempat mengirim tim untuk mengecek tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan di lokalisasi milik Umar.
Raonah bersikeras pada pendapatnya. Dengan yakin dia berkata pada ketua majelis hakim.
"Tuan, saya seorang perempuan, jadi saya penakut. Tapi saya katakan sekali lagi, laki-laki itu yang melakukan pembunuhan," ujar Raonah.
Pengadilan akhirnya mengganjar Brinkman dengan hukuman mati. Awalnya Brinkman yakin eksekusi tidak akan jadi dilakukan. Dia berfikir tidak mungkin seorang kulit putih terhormat seperti dirinya dihukum mati hanya karena membunuh pelacur indo. Dia juga percaya pengaruh teman-temannya di Societeit Concordia akan membantu memperingan hukumannya.
Tapi Brinkman salah, pengadilan tetap berniat mengeksekusinya. Dia pun stres, dan berteriak-teriak terus dalam selnya. Akhirnya Brinkman bunuh diri dalam sel.
Ada beberapa versi soal pembunuhan ini. Ada yang mengatakan Brinkman sebenarnya tidak membunuh Fientje saat itu juga. Tetapi dia menyuruh algojo bernama Silun bersama dua anak buahnya. Silun yang akhirnya mencekik Fientje hingga tewas. Sial bagi Silun, Brinkman belum membayarnya lunas. Dia baru dibayar persekot atau uang mukanya saja. Brinkman keburu tewas saat Silun ditangkap.
Mengenai motif pun berbeda-beda. Sebagian pihak meyakini Brinkman membunuh Fientje karena cemburu. Dia sebenarnya sudah ingin menjadikan Fientje sebagai gundik, namun ternyata Fientje masih juga melayani laki-laki lain.
Kisah soal Fientje ini juga ditulis dalam Novel karangan Pramoedya Ananta Toer. Di buku 'Rumah kaca', Pram juga memasukan kisah soal pembunuhan ini. Namun Pram mengganti nama Fientje de Feniks menjadi Rientje de Roo.
Monday, April 28, 2014
Accross 2 countries and one ocean for a love
Sometimes when I’m watching old movies, I can’t help dwelling on the
crucial plot devices that have been lost to, well, devices. The missed
call, which today rings in our pockets. The long-lost love, who now
lives forever in our Twitter feed.
Consider Doctor Zhivago: A chance sighting of Lara on a city
street leads Yuri’s heart to rupture as she disappears before Yuri can
reach her. Had the Internet been around during the Bolshevik Revolution,
Yuri and Lara never would have lost each other. They would have been
Facebook “comrades.”
Consider the plot twists in our own lives, moments that hinged on
uncertainty, when all information was not laid out before us. Modern
technology has made our world smaller and our lives easier, but
perhaps
it has also diminished life’s mysteries, and with them, some sense of
romance.
In the summer of 1991, without social networks to tether us, I felt
such heart-bursting longing for a woman I loved that I traveled across
two countries and an ocean to make sure she would not wander out of my
life. It was only in her absence that I was able to appreciate the depth
of love I felt.
I met Joelle in March while I was still in college. She had recently
graduated and was knocking around Peoria, Illinois, her hometown,
figuring out her next step. After two chance meetings, we began going out. Before long, we were rarely apart.
figuring out her next step. After two chance meetings, we began going out. Before long, we were rarely apart.
We spent less time with our friends, who could not track the
electronic footprints of our relationship. The outside world fell away,
and it became just us, slowly unlocking each other’s secrets, which in
those days were not posted on “walls” for anybody to scroll through.
But our time together was coming to an end. Before we met, I had
planned a summer backpacking adventure across Europe, and Joelle had
been talking about a move to Chicago. I told her I would write, and I
gave her the address of a friend in Wales, where I would be with my
parents at the midpoint of my trip.
After landing in Frankfurt, Germany, I visited the Roman ruins in
Trier, spent the summer solstice in Strasbourg, and saw a rock concert
in a soccer stadium packed with 50,000 Germanic-looking bikers in Basel.
In Budapest, my ancestral home, I heard church choirs and stood before
masterworks of art. It was beautiful.
And I was miserable. I could not have been lonelier. All I could think about was Joelle.
Sitting alone on a bench outside St. Stephen’s Cathedral in Vienna,
eating street schnitzel, I wished I were in Peoria, sitting across from
her. I wrote her letters as if I could will her into my trip—long,
heartfelt missives.
By the time I reached London to rendezvous with my parents, I was
inconsolable. The distance between us had become unfathomable, and my
spirits sank to a depth I had never known. I sobbed and pouted and slunk
around London for three days.
Finally, my father suggested (insisted, really) that I just call her.
So from our hotel room in London, I called Peoria. Except that Joelle
wasn’t in Peoria. Her mother told me that she had packed up and moved
to Chicago. My letters, she said, were sitting there on the table,
unopened.
I called Chicago next but was unable to reach her. There was no
answer, no machine, no voice mail, no caller ID to show the missed call.
Just a landline ringing in an empty apartment. There was no way of
knowing where she was or when she would be back. I became gripped by
jealousy, panicked by the idea of her settling into a new life.
Here I was in Europe, weeping in front of relics for all the wrong
reasons, and she was gallivanting around Chicago meeting people? It
seemed ludicrous to admit I somehow thought she might hang around
Peoria, waiting for me, but that was, it occurred to me, exactly what I
had expected.
My parents and I drove to Wales the next day, and when there was no
letter from Joelle waiting, I broke down into a blubbering mess. My body
was in Wales, surrounded by craggy green hills and bleating sheep, but
my heart was in Chicago.
My parents put me on a train back to London to catch the next flight
home. At Heathrow, however, I was told that the round-trip airline
ticket my parents had bought me could be used only out of Paris. So it
was off to Dover, where I caught a ferry across the channel.
The boat was filled with fellow students, and as we staggered off in
Calais and rode the night train to Paris, I regaled them with my tale of
woe.
Forget it, they said. One guy said that he was meeting buddies in
Pamplona to run with the bulls and that I should join. A girl was headed
to France to wait on tables and lie on the beach. “Come with,” she
offered.
“No, no,” I said. “If I don’t get back, I’m going to lose her.”
I was roundly ridiculed, and they said I would forever regret cutting short this once-in-a-lifetime trip.
In Paris, I headed straight for Charles de Gaulle Airport. I’d be in Chicago soon. All I had to do was get on a plane.
But I couldn’t get on a plane. Inside the United terminal, it was
utter chaos, with people 40 deep at the ticket counter. I would not be
getting on the next plane—or any other.
Exhausted, I lugged my backpack toward the trains, tears in my eyes.
What a disaster. Stuck in Paris for three weeks! Could things be worse?
But as I left the United terminal, I found myself in the British Airways wing. I was facing three smiling ticket agents.
“You don’t happen to have any seats today?” I asked.
“We have seats,” one said, “but the plane leaves in 20 minutes.”
The one-way ticket cost twice what my parents paid for my round-trip
fare. I glanced at my credit card: “For emergency use only.”
I bought the ticket. This was the part I didn’t tell my parents.
At least not until four years later, on the night before Joelle and I
married. I confessed it after my father told a roomful of friends and
family the tale of the despondent boy who chose love over bleating
sheep, Roman ruins, and all the wine in Paris.
Read more: Inspiration's love
Sunday, April 27, 2014
True Story: The Boy Who Saved The Senator
I was once a pessimist. I’m not that man anymore. And that change
started with a bout of misfortune and the sudden appearance of a little
boy.
On a Saturday morning, January 21, 2012, my left arm went numb, and I
started to feel dizzy. After I called my doctor, an ambulance arrived
in front of my home, in Highland Park, Illinois. An MRI quickly revealed
that the lining of my carotid artery had peeled off, preventing blood
from flowing to my brain. The doctor said I had a stroke on the way and
that we would just have to let it come. There was no stopping it. I
stayed at Northwestern Memorial Hospital in Chicago for a few days,
waiting for the stroke to hit as waves of paralysis came over me. As I
slowly lost control of my body, I thought about how unbelievable it was.
I was 52. I didn’t even know anyone who’d had this happen to him.
After the stroke (and the two operations that relieved the swelling
in my brain), I was transferred to the Rehabilitation Institute of
Chicago (RIC) on February 10. Though I had lost the use of my left arm
and leg and couldn’t see out of my left eye, the only thought on my mind
was that I needed to leave the hospital and return to my job serving
the citizens of Illinois. But the reality was that I needed to relearn
how to stand and see first. So there I was, with blood clots forming in
my legs, held upright by a track and a harness, trying with all my
strength to take one tiny step forward. I had always been a
glass-half-empty kind of guy, and this just made me feel like recovery
was impossible, like I would never again return to the Senate.
A few days after my first discouraging physical therapy session, my
stepmother, Bev, came into my room with a letter. She had the job of
poring over countless cards and notes from fellow politicians and
strangers alike and was struck by one. It was a neatly typed letter, and
the author was a nine-year-old boy named Jackson Cunningham from the
central Illinois town of Champaign, my hometown. In the note, Jackson
told me about the stroke he’d had only a year earlier. He, too, had been
paralyzed on his left side and had made great strides at RIC. But,
beyond telling me what he had lost, Jackson shared what I would gain.
“Here’s some advice,” Jackson wrote. “Do not give up on yourself. All
the hard work is worth it.”
And the advice kept on coming. He told me to attend therapy on the
hospital’s “grown-up” floor, where “they make you work hard and you get
lots of things back fast.” He even had recommendations for his favorite
local pizza places, just in case I had a craving. Here I was, a grown
man and a senator of Illinois, getting advice from a young boy I had
never met. But his words were exactly what I needed. He gave me such
strength. I used my dwindling energy to write him back by pen.
After a few weeks of correspondence, I arranged for
us to meet in the RIC cafeteria. He seemed nervous at first as he sat
across from me with his parents, Craig and Judy, but all the awkwardness
quickly melted away. Jackson showed me how he could run, and I
immediately felt inspired. It made me believe that one day, I would run
again too. I felt so emotional seeing him face-to-face, this kindred
spirit of mine. I thought back to when I was his age, and I could see a
lot of myself in him. One thing I immediately admired was the energy and
dignity radiating from him. Looking at Jackson for the first time, I
saw a young boy who could have been my son.
As for my recovery, it came just as Jackson said it would. After a
year of intense physical therapy, I climbed to the top of the Capitol
and returned to work on January 3, 2013. With every step I took, I
thought of Jackson and his strength. He helped me climb those steps that
day.
Back in Washington, DC, I could feel Jackson affecting my every day.
Whenever I was tired or discouraged, I thought of him, the world’s
strongest boy. I had always been proud to represent the state of
Illinois, but I felt even more passionate knowing that I was
representing him. When Jackson visited the Capitol a few months after my
return, we climbed those big steps together. It felt so special to see
DC through his eyes. Here he was, my battle buddy, and we had fought our
strokes together. As I showed him around, we made a pact that there
would be a footrace between us in the tunnel that connects my office to
the Capitol. The next thing I’ll really have to think about is how I’m
going to beat him.
It might sound strange, but I’m almost grateful for my stroke because
it gave me the opportunity to meet Jackson and to count him as a
friend. He is my hero, and I am so excited to see what becomes of him.
When we talk today, Jackson, now 11, tells me about his highest video
game scores—he is obsessed with “slaying zombies”—and how he has been
moving his left arm (I’m quite jealous). The one topic we can’t discuss:
girls, though I think that might change someday. I tell him that I can
read and walk again, that I’m coming back to life. I also tell him that
if he doesn’t listen to his physical therapist, he’ll have to testify
before Congress.
When I think of his future, which I do often, I hope that he has a
life of advocacy on behalf of disabled individuals. And I hope that he
finds strength in knowing that there’s a guy in Washington who will
always be in his corner. After visiting me in DC, he expressed some
interest in politics. I asked him if he’d like to be the president of
the United States someday. He just shrugged and said, “Eh. More like a
senator.”
Read more: True story
Subscribe to:
Posts (Atom)