Friday, May 20, 2016

Ritual-ritual aneh dari Barat

Sabtu malam secara khusus disucikan sebagai suatu ritual yang mempesonakan dan secara khusus pula diikuti oleh sejumlah pengikut dari suatu kelompok. Dua kelompok terdiri dari dua belas orang. Mereka berpakaian warna-warna dan melakukan gerakan-gerakan rumit di dalam ruang tertutup. Sekali waktu mereka merespon dorongan musikal dari instrumen primitif yang ditabuh oleh seorang yang tampak berwibawa beserta beberapa pembantunya dan mengawasi kegiatan mereka. Dengan mengitari tempat ritual itu, seluruh jamaah memberikan respon. Sekali waktu mereka bernyanyi, kadangkala berteriak dan kadangkala membisu. Sementara beberapa orang menabuh instrumen (musik) yang mengeluarkan bunyi aneh.

Tempat ritual itu dibangun secara geometris dengan perencanaan yang matang. Di sekelilingnya terdapat lencana, bendera, umbul-umbul dan dekorasi berwarna-warni yang mungkin dimaksudkan untuk membangkitkan puncak emosi individu dan kelompok. Suasana terasa menyeramkan karena beberapa perubahan mendadak dari emosi mereka. Reaksi mereka terhadap proses-proses ekstatogenik terbentuk ketika mereka begitu eksplosif sehingga seseorang akan merasa penasaran mengapa mereka tidak ikut dalam arena tertutup yang disucikan itu. Sementara kebahagiaan dan kesedihan akan muncul dalam diri para pengikutnya.

Kita adalah pengamat pertandingan asosiasi sepak bola di stadion dengan lampu sorot yang terang. Apa yang luput dari perhatian pengamat adalah pengetahuan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Jika kita memiliki pengetahuan ini, kita bisa mengenali pemain, penonton, wasit dan garis putih. Jika tidak, kita akan mengatakan: disini ada seseorang yang bergulingan di tanah, yang lain meringis kesakitan dan keringat menetes dari wajahnya. Salah seorang penonton memukul dirinya sendiri, yang lain memukul orang di dekatnya. Totem itu (baca: bola) melambung ke udara dan disambut dengan teriakan membahana dari kerumunan itu. Kemudian kita melihat darah tertumpah.
Bentuk-bentuk ritual lainnya adalah subyek pendekatan serupa bagi mereka yang tidak merasakan pengalaman yang mendahului pementasannya. Bahkan yang lebih penting, banyak sekali ritual serupa atau lainnya telah mengalami perubahan sepanjang zaman, sehingga semangat aslinya hilang. Bila hal ini terjadi, maka muncul suatu perubahan mekanis atau asosiatif dari faktor-faktor lain. Ritual itu diselewengkan, meskipun mungkin ada alasan-alasan yang jelas dari setiap aspeknya. Perkembangan ini adalah apa yang kita sebut sebagai kelalaian dalam praktek sistem keagamaan/peribadatan.
Berikut ini sebuah catatan orang luar tentang ritual darwis yang menggambarkan berbagai peristiwa dari sudut pandang pengamat sendiri. Dia adalah Pendeta John Subhan dari Gereja Episkopal Methodis yang menghadiri peristiwa itu di India:
Malam ini adalah malam Kamis, malam yang disucikan oleh para Sufi. Marilah kita mengunjungi beberapa kuil dan melihat betapa anehnya ritus-ritus keagamaan yang
dilaksanakan di depan mata kita. Kami memasuki sebuah ruangan dengan cahaya remang-remang tempat sejumlah orang berkumpul. Sebuah tanda diberikan oleh seseorang yang tampaknya sebagai pemimpin perkumpulan itu. Pintu-pintu pun ditutup. Ketika dua belas orang membentuk dua garis sejajar, suasana menjadi hening. Cahaya lampu menerpa wajah-wajah mereka di kegelapan dan hanya mata mereka yang tampak hidup. Kami semua mundur ke sudut ruangan dan dzikir segera dimulai.
Diiringi tepukan tangan, sang pemimpin mulai berayun ke kanan-ke kiri. Ia memulainya dengan sangat lambat dan orang-orang itu mengikuti irama ayunannya. Setiap kali berayun ke kiri, mereka mengucapkan kata, "Hu," secara serentak, "Hu ... Hu ... Hu ..."1
Ritual darwis sama sekali berbeda dengan pertandingan sepak bola itu, karena ia tidak bersifat simbolis tetapi berkaitan dengan aktivitas batin. Jadi penggambaran di luar konteks yang biasa itu sangat sedikit manfaatnya.
Suasana kegiatan Sufistik itu menghasilkan suatu persepsi bagi Sufi sendiri dan meninggalkan jejak yang bisa dikenalinya. Meskipun demikian, tidak ada gunanya untuk menyatakan bahwa seseorang bisa mengenali wujud yang sama dari peribadatan tertentu yang dipisahkan dari asal-usulnya, yaitu suatu sensasi yang dulunya adalah sensasi Sufistik. Bahan pengetahuan harus tersedia dalam bentuk yang bisa dipahami oleh pembaca, paling tidak sampai tingkatan tertentu.Karena itulah kita perlu memulai dengan persepsi batin bahwa fenomena Barat tertentu mempunyai asal-usul yang sama. Kemudian kita perlu melihat apakah bahan formal itu relatif bisa diterima sehingga seseorang bisa menggambarkan fakta itu? Untuk itu ada dua metode penting. Pertama, dengan merujuk pada fenomena serupa di Timur, jika memang ada. Kedua, dengan mencari jejak-jejak, seperti istilah-istilah dan makna-makna tersembunyi. Namun kita seharusnya menggunakan keduanya, setidaknya untuk mencermati salah satu aspek dari apa yang disebut sebagai sistem pemujaan tukang sihir perempuan di Eropa Barat.


Kata witch sebagaimana kita ketahui secara luas sebenarnya bermakna wise (bijaksana). Kata ini bisa ada di mana saja dan tidak harus berupa terjemahan dari bahasa Arab atau lainnya. Sementara wise adalah nama yang digunakan dalam sistem peribadatan darwis dan para penganut tradisi lainnya yang relatif masih bertahan.
Kata witch (penyihir perempuan) dalam bahasa Spanyol adalah bruja. Di Spanyol lah kita menemukan berbagai catatan awal dan relatif lengkap tentang berbagai ritual dan kepercayaan orang-orang Eropa Barat. Namun gereja memandang mereka sebagai penganut Ilmu Hitam.
Kita bisa menindaklanjuti kata kunci itu karena ternyata maskhara kaum darwis, meski mereka saat ini kebanyakan didapati di kantong-kantong Asia Tengah dan kadangkala di India, mempergunakan akar kata Arab BRSY
Kelompok maskhara (orang-orang yang bersuka cita) juga disebut mabrusy (orang-orang yang ditandai kulitnya), atau mungkin bermakna "mabuk kepayang". Dalam bahasa Spanyol, kata maja berasal dari bahasa Latin, sementara kata bruja (dilafalkan brusya) adalah kata yang muncul pada masa Spanyol Islam untuk menggambarkan keberadaan orang-orang ini. Jika kita menduga untuk sementara bahwa brusya mungkin sebuah istilah deskriptif yang diambil oleh kelompok Maskhara, kita bisa mencoba menguraikan penggunaan deskriptif gabungan dengan menggunakan metode syair Arab. Apa sebenarnya makna kata brusya itu, baik dalam bentuk akar kata maupun kata turunan (musytaq)? Menurut metode syair Arab, sejumlah kata dari kelompok bunyi yang sama diambil untuk melengkapi penggambaran suatu sistem peribadatan -- sebagaimana telah kita lihat dalam kata "Sufi".
Kata-kata dalam kamus adalah suatu seleksi dari suatu substansi khayali, suatu simbol dan tanda ritual. Semuanya berada dalam pengelompokan bunyi (konsonan) umum berikut ini
BRSY = Datura Stramonium (Duri Apel), dilafalkan BaRSY Alternatifnya dengan suara yang mirip: YBRUH = akar mandrake (tumbuhan beracun yang digunakan untuk persiapan pengobatan dan bisa menyebabkan kantuk), dilafalkan YaBRUUHH. Keduanya mengandung alkaline dan biasanya digunakan oleh para penyihir perempuan untuk mendapatkan wangsit, perasaan melayang dan digunakan pula dalam ritual.
Apakah simbol yang berhubungan dengan para penyihir perempuan itu?
M-BRSYa = sikat, sapu, pengikis (dialek Syria2) dilafalkan MIBRSYA.
Dengan menterjemahkan kelompok kata itu, kita bisa menggambarkan suatu komunitas yang menghubungkan diri mereka sendiri dengan pengaturan kalimat sebagai berikut: "Berkenaan dengan mandrake (atau apel duri), mereka menggunakan simbol sapu, ditandai dengan sebuah lambang di kulit, memakai jubah berwarna-warni atau campuran". Orang-orang ini digambarkan dengan akurat dalam bahasa Arab dan di Spanyol pada Abad Pertengahan sebagai brujo (untuk laki-laki) atau bruja (untuk perempuan) yang pada saat itu dilafalkan brusyo, brusya. Jika kita menerima hubungannya dengan Maskhara, maka kita bisa menghubungkannya lebih jauh. Penggunaan mandrake oleh mereka menunjukkan homonim yang lebih lanjut -- perkataan sehari-hari mabrusy, mabrusya (hingar-bingar) adalah merujuk pada tarian mereka. Tarian penyihir perempuan tradisional telah dicirikan atau paling tidak dibandingkan dengan dua bentuk tarian yang dikenal di Eropa -- tarian orang-orang Saracen (Muslim-Spanyol), waltz (yang diduga berasal dari Asia melalui negeri-negeri Balkan) dan dibka: tarian cincin Timur Tengah yang dikenal sejak dari Mediteranian sampai Teluk Persia.
Lebih dari itu, ada berbagai fakta tentang penyihir perempuan lain. Sumber-sumber Arab yang dikutip oleh Arkon Daraul berbicara tentang "Tarian Bertanduk Dua" dan mengungkapkan kunci rahasia tentang makna dari kata-kata "barbar" yang digunakan oleh para penyihir perempuan. Namun sampai saat ini, anggota persaudaraan (keagamaan) itu tidak bisa memahaminya. Berikut ini beberapa istilahnya dengan padanannya dalam bahasa Arab:
Pisau ritual yang secara rahasia disebut Athame berasal dari kata adhdhame, suatu huruf darah. Athame adalah upaya menjelaskan lafal adh-dhame. Kata Sab(b)at(h) adalah kata rancu karena pertemuan dengan kata Ibrani, maka maknanya berubah dalam bahasa Spanyol menjadi orang bertanduk dua, padahal sebenarnya berasal dari az-Zabat (yang kuat). Etimologi yang lucu ini selanjutnya berkembang dalam bahasa Perancis menjadi kata s'ebattre (bersenang-senang). Asosiasi suara yang sama dan diubah menjadi kata Robin dan Robinet serta lawan kata yang sebenarnya dari bahasa Semit adalah Rabba (Tuhan), tuhan yang pelik dan misterius atau pejabat (keagamaan) dari sekte Sabat. Kata Rabbana (wahai Tuhan kami) adalah bagian dari doa Muslim yang diucapkan lima kali sehari dengan khusyu'. 
Akhirnya kata coven mempunyai identifikasi yang jelas dengan pengertian panyatuan atau berkumpul bersama. Bahkan dalam pembacaan ritual oleh seorang mantan anggota sistem peribadatan Spanyol-Semit kuno, kata kafan merujuk pada kain penutup kepala para anggota Maskhara ketika mereka menari. Menurut riwayat ada dalam bahan penyihir perempuan yang berasal dari Skandinavia. Melalui asosiasi pada masa berikutnya, kata ini mungkin bermakna pertemuan atau anggota, namun jelasnya kafan digunakan sesuai dengan bentuk awal, artinya kain pembungkus.
Sekarang kita bisa melanjutkan pada tahapan lebih jauh -- salep (ramuan) penyihir perempuan dan apa bahan ramuannya. Pada mulanya mengapa salep itu digunakan? Dalam bahasa Arab, "salep" berasal dari kata RHM, kata yang digunakan juga untuk menunjukkan hubungan darah. Salep itu diberikan kepada penyihir baik laki-laki atau perempuan setelah upacara pembaiatan dan setelah ditandai (ditato). Marham (salep) dioleskan ke kulit dengan tujuan menetapkan suatu bentuk simbolis dari hubungan darah. Dengan "pemberian salep" itu, jika kita bisa berbicara dalam akar-akar bahasa Semit, salep (RHM) digunakan untuk membantu menciptakan kondisi hubungan darah (RHM). Salep ini digunakan di masa depan, untuk membawa penyihir perempuan itu kepada keluarganya, RHM. jadi, RHM itu membentuk hubungan mental dan farmalogikal dengan RHM.
Tetapi apakah tidak terdapat alkaline atau prinsip aktif lainnya dalam salep penyihir itu? Tentu saja hampir semuanya ada. Harus diingat, bahwa penyihir membuat suatu cairan dari tubuh atau potongan tubuh bayi-bayi yang tidak dibaptis. Akar pohon mandrake berbentuk "manusia". Secara tradisional ia dianggap sebagai tiruan manusia. Manusia kecil adalah seorang anak. Seperti tanaman, kita tidak bisa mengharapkan bahwa ia telah dibaptis. Sementara ramuan dari salep itu tampaknya berbentuk "bayi yang belum dibaptis".
Terlalu banyak analogi yang telah diupayakan untuk praktek-praktek sihir dalam agama Kristiani dan sistem peribadatan kafir dari jenis pra-Kristen. Jika Anda membaca karya-karya tentang ilmu sihir di Eropa, Anda akan menemukan bahwa sejauh menyangkut semua penulisnya, tidak terdapat hal serupa pada abad-abad kekuasaan Muslim di Spanyol atau berbagai generasi penyerapan kebudayaan Timur di setiap tahapnya. Bahkan nama "Yang Bijak" bisa jadi merupakan terjemahan langsung dari kata arifin, gelas yang diberikan kepada orang-orang di Timur yang mempercayai kemungkinan terjadinya komunikasi langsung dengan dunia supranatural.
Para penyihir modern tampaknya tidak mengetahui arti penting ukuran lingkaran mereka (diameternya sembilan kaki) dan hanya sedikit mengetahui tentang ilmu angka kuno mereka. Tetapi bahan ini tersedia di mana saja, bahkan untuk pengukuran. Secara insidentil, tradisi mereka sendiri berasal dari "Negeri Musim Panas" dan para anggotanya sendiri saat ini menganggapnya sebagai dunia Timur. Orang hitam (Moor) dan jimat mereka yang bertanduk (setan, dirancukan dengan bulan) berasal dari dunia "amal" mutakhir, karena akhir-akhir ini terdapat suatu upaya rasionalisasi sistem pemujaan mereka, dengan menelusuri berbagai festival musiman dan lain-lain. Demikian pula karena suatu perrggabungan dengan sistem peribadatan ekstatik dengan menggunakan sistem kode Arab dalam membentuk berbagai ritusnya.
Siapakah yang membawa penyihir itu ke Barat? Ketika Abad Pertengahan sebagai asal dari hampir semua informasi yang kita miliki, niscaya suku Aniza yang membawanya. Kita harus kembali menelusuri gurun-gurun Arab.
Klan Badui Aniza yang perkasa dan banyak melahirkan pejuang serta terkaya dalam kepemilikan unta, sangat terkenal dalam kepustakaan Arab karena kebengisannya dalam perang gurun. Perang-perang Badui adalah bahan bagi perkembangan dasar dari keksatriaan (chivalric) dan bagi epik cinta serta peperangan. Belum lagi untuk tarian dibka dan pisau penggores. Bentuk-bentuk syair yang dikembangkan oleh para penyair kesukuan itu telah mempengaruhi kesusastraan dari sejumlah bangsa setelah perluasan Islam ke Utara, Timur dan Barat.
Asal-usul kehidupan Badui bisa ditemukan pada masa-masa pra-Islam. Dalam buku Days of the Arabs, setiap Hari merupakan suatu epik dari beberapa peperangan yang asal-usulnya mungkin telah dilupakan orang. Namun budaya sampingannya berupa sajak, kemuliaan atau taktik-taktik militer tetap menjadi bagian dari warisan suku.
Inilah gambaran Badui dalam buku-buku cerita -- pejuang tangguh dengan kelembutannya kepada perempuan dan anak-anak menjadi kiasan serta diimbangi dengan keberaniannya berjuang sampai mati untuk mempertahankan sumber air atau sebatang pohon kurma, tetapi semua itu adalah tindakan yang mulia atau suatu kehormatan.Salah satu perang tertua dan paling berdarah pada masa itu selama empat puluh tahun dan berakhir pada abad kelima, adalah peperangan antara dua kelompok dari suku Aniza. Dimulai dengan pencurian seekor unta betina yang sakit milik seorang perempuan tua, peristiwa ini berakhir -- sebagaimana sering terjadi di masa itu -- dengan suatu mediasi. Hasil akhirnya -- sebagai ciri roman Spanyol-Islam dan mempengaruhi semua kepustakaan Barat -- adalah roman kepahlawanan Arab, yaitu The Story of el-Zir (Cerita tentang az-Zir).


Sejarah membawa orang-orang ini ke Eropa sekaligus membawa sebagian besar kebudayaannya. Salah satunya adalah seorang guru darwis yang secara mendalam terlibat dengan tradisi musik, roman dan kesukuan dari kabilahnya.
Suku orang tua dari Aniza itu diyakini oleh semua penyair Badui sebagai Klan al-Fakir ("yang sederhana"). Gelar ini diadopsi oleh para darwis, sementara salah satu istilah turunannya ditujukan kepada para guru yoga palsu yang berkeliling India yang mematikan rasa mereka sendiri dan berbaring di atas paku-paku, untuk tujuan yang tidak bisa diketahui dengan jelas; kecuali bahwa salah satu pandangan orang-orang yang melihatnya mungkin berharap bisa mengungguli mereka.

Suku al-Fakir masih hidup di Arab Barat Laut dekat pemukiman nenek moyangnya di Khaibar, kota kuno untuk benteng kuat pada masa Muhammad. Suku Aniza mempunyai banyak legenda, salah satunya terkait dengan keharusan perkembangbiakan lahiriah mereka. Menurut cerita ini, Wail al-Fakir dan semua nenek moyang suku Aniza pada suatu "Malam Kekuatan" (kemungkinan malam kedua puluh tujuh dari bulan Ramadhan) melakukan suatu permohonan. Ia meletakkan salah satu tangannya ke tubuhnya sendin dan tangan satunya ke unta betinanya yang agung, lalu berdoa agar benih keduanya bisa berlipat ganda. Akibatnya seperti yang diceritakan kepada kita, suku Aniza itu sekarang ini menjadi subur dalam kedua bidang itu, dengan kekuatan sekitar 37.000 orang dan sekitar satu juta ekor unta. Mereka juga mempunyai kesuburan yang semakin kuat. Tradisi mereka juga telah berubah ke dalam berbagai kepercayaan dari sistem peribadatan ini yang bergantung pada keanggotaan suku Aniza.

Saat ini mereka banyak tinggal di gurun Syria, karena mereka telah berjuang memperoleh pemukiman di sana lebih dari dua abad dan berakhir sekitar tahun 1600 M. Sistem peribadatan kelompok Maskhara yang terkait dengan nama mereka, paling tidak kembali kepada nama Abu al-Athahiyyah (748-kira-kira 828). Sebagai seorang pengrajin tembikar dan pemikir, ia merindukan kesembangan yang lebih sempurna antara kejayaan Baghdad pada masa Harun ar-Rasyid dengan perkembangan kemampuan batin manusia. Ia menyatakan hal itu kepada khalifah yang kemudian memberikan tunjangan hidup sebanyak 50.000 keping perak kepadanya.
Ia menjadi seorang penulis dan meninggalkan sebuah kumpulan sajak mistik yang "mengangkatnya pada posisi sebagan bapak syair Arab suci".
Setelah kematiannya, kelompok murid-muridnya, al-Arifin, memperingatinya dengan sejumlah cara. Untuk menandai sukunya, mereka mengadopsi kambing gunungyang asal-usulnya sama dengan nama kesukuan (Anz, Aniza). Obor di antara tanduk kambing ("setan" di Spanyol, sebagaimana hal itu terjadi pada masa berikutnya) menyimbolkan cahaya iluminasi intelek (kepala) "kambing", guru Aniza. Tanda kesukuannya (wasm) sangat mirip dengan sebuah anak panah lebar yang juga disebut kaki elang. Nama alternatif bagi Aniza adalah sejenis burung. Tanda ini -- dikenal oleh para pemikir sebagai kaki angsa -- menjadi tanda bagi tempat pertemuan mereka. Sebagian pengikutnya, terutama para gadis, ditandai dengan sebuah tato kecil atau tanda lain sesuai dengan tradisi Badui. Setelah kematian Athahiyyah, sebelum pertengahan abad kesembilan, riwayat menyatakan bahwa sekelompok sektenya pindah ke Spanyol yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Arab lebih dari satu abad.
Simbol-simbol dan berbagai kebiasaan yang terkait dengan afiliasi kesukuan itu tetap digunakan. Hal ini sesuai dengan praktek darwvis. Setiap guru mengajarkan suatu kebiasaan khas bagi sektenya dan berubah ketika sekte itu diambil-alih oleh guru lainnya. Tujuannya adalah memelihara perasaan kesukuan.3
Semua ini bukan berarti tidak ada sistem pemujaan yang lebih tua di Eropa dengan tipe serupa. Namun hal ini mungkin untuk memperlihatkan
peniadaan bunyi silabel dari dua kata itu yang pada akhirnya menakutkan gereja Abad Pertengahan. Sejak saat itu ia tetap menjadi misteri menarik bagi setiap kalangan. Bahkan beberapa bagian ajaran para penyihir perempuan itu sangat dekat dengan syair Sufi Abad Pertengahan, terutama ajaran Sufi Ibnu Arabi, yang sedikit banyak perlu disampankan dalam bahasan ini.
Sementara suku Quraisy adalah suku Arab paling mulia, dan klan tertinggi derajatnya adalah Bani Hasyim. Mereka dipandang berbeda, karena mereka adalah (asal) darah kenabian dan kebangsawanan. Meskipun demikian, suku yang hampir menyamai mereka adalah suku Aniza yang perkasa. Tiga penguasa pada saat ini (di jazirah Arab) berasal dari keluarga ini -- Raja Saudi Arabia, Syekh Kuwait dan penguasa Bahrain.
Bahan ini menunjukkan tiga kemungkinan penting atau cara-cara dalam menilai dan menggambarkan berbagai pertemuan para penyihir Barat. Pertama, kita bisa menyebutnya sebagai keberlangsungan agama kuno (pra-Kristiani); kedua, pemasukan suatu pemujaan Spanyol Islam; ketiga, suatu perkembangan anti-Kristen: salah satu atau semuanya tentu saja bisa mengandung unsur-unsur luar.
Para pendukung teori "agama kuno" telah menekankan segala sesuatu yang digunakan mereka. Bagi mereka, simbol tanduk berarti keberlangsungan suatu ritus perburuan atau kesuburan, di satu sisi berupa tarian, di sisi lain sebagai isyarat binatang. Para pengamat kependetaan menandaskan bahwa pesta itu adalah suatu sakramen terkutuk dan pemberian tanda itu (tato, dan lain-lain) adalah suatu pelecehan terhadap ajaran baptis, dan seterusnya.
Seperti pemahaman kita yang berbeda-beda tentang permainan sepak bola, penafsiran itu bergantung kepada pengetahuan tentang apa yang sesungguhnya terjadi, bukan bergantung pada dugaan-dugaan kita bahwa karena sesuatu ditemukan di tempat tertentu pada waktu tertentu, maka Ia pasti sesuai dengan teori atau dugaan kita tentang apa yang sesungguhnya terjadi. "Setan, tanduk, bayi-bayi yang direbus" adalah sebuah versi. "Tuhan/dewa-dewi, tarian kesuburan, kerahasiaan untuk mempertahankan agama kuno" adalah versi lain. Versi ketiga adalah "simbol dari suku Aniza, gurunya dan berbagai halusinasi".
Istilah "agama kuno" -- dua penyihir lainnya menerimanya sebagai suatu indikasi tentang asal-usul pra-sejarah dari sistem pemujaan itu -- adalah suatu ungkapan standar Sufi yang sering digunakan sebagai "kepercayaan antik", "agama kuno", "tradisi kuno". Hal ini ditekankan oleh Sufi Spanyol, Ibnu Arabi, dalam puisi-puisi cintanya.
Jika tradisi kuno itu benar-benar ada di Eropa sebelum abad kedelapan, ketika orang-orang Saracen (Spanyol Islam) menduduki kawasan tengahnya, maka tak ayal lagi bahwa ia telah berpenetrasi secara menyeluruh dalam aturan sistem politik, terminologi Sufi dan simbolisme kesukuan Arab dimana tingkat pengaruhnya berbeda-beda.
Apa yang bisa kita temukan dengan ungkapan "kepercayaan antik", atau "tradisi kuno"? Terjemahkan kata "antik", "kuno" ke dalam akar tiga huruf QDM,4 maka kita akan mendapatkan makna puitik:
QDM = konsep preseden (keutamaan).
Beberapa kata turunan (musytaq) dari akar kata ini bisa kita temukan dalam setiap kamus Arab sebagai berikut:
Qidam (QiDM) = keutamaan, keberadaan awal.
Qidman (QiDMan) = tua, masa yang lama.
Qadam (QaDaM) = tingkatan tinggi, keberanian.
Qadam (QaDaM) = kaki manusia, langkah, tahapan gerak.
Qadum (QaDUM) = kapak.
Qadim (QADiM) = masa depan.
Al-Qadim (AL-QaDiM) = Yang Maha Terdahulu (sifat Tuhan).
Qaddam (QaDDAM) = ketua, pemimpin.
Kata aneh ini mempunyai makna keabadian dengan pengertian bahwa ia memperlihatkan keabadian waktu. Padanannya dalam bahasa Inggris bisa jadi adalah kata precedence, yang mengandung makna "mendahului" (sehingga mengacu pada masa lalu) dan "bergerak ke depan". Kapak yang dibawa para pengembara darwis disebut qadum. Ada dua kata al-Qadim -- al-Qadim (Syekh, Pir) dari para Sufi dan al-Qadim (Tuhan). Dua kemungkinan ini, yang bermakna keabadian, di satu sisi manusia (pemimpin tarekat) dan di sisi lain sesuatu yang lebih tinggi (Tuhan), dimaksudkan untuk menyampaikan suatu konsep yang sangat pelik. Oleh karena itu, para Sufi sering dituduh meyakini bahwa para pemimpin mereka adalah Tuhan. Dengan menggunakan kata ini secara khusus dan puitis, mereka sebenarnya memperlihatkan bahwa ada dua versi yang mungkin diambil alih oleh istilah al-Qadim.5 Yang satu adalah guru yang memiliki berbagai kualitas tertentu dengan suatu sifat yang agung dan dekat dengan sifat ketuhanan yang mungkin bisa dilihat pada diri seorang manusia. Para Sufi maupun para penyihir menggunakan langkah pincang yang bersifat seremonial untuk mengungkapkan pengertian kata Arab qadam, maknanya langkah. Ada satu perbedaan penting dari versi Timur dan Barat. Di Timur, kata qadam (langkah, tahapan) diulang-ulang untuk tujuan penyampaian sandi-sandi rahasia. Sufi melangkah ke samping untuk mengingat-ingat akar kata yang sesungguhnya. Ketika ia melakukan suatu langkah pasti, baik sebagai suatu tanda pengenalan atau selama upacara, ia melakukannya untuk menegaskan penyampaian terus-menerus dari kata QDM. Dengan menerapkan kata ini dalam cara kerjanya, maka pembentuk ritual atau sistem password telah menjamin keberlangsungannya -- paling tidak di kalangan yang bisa memahami kata-kata Arab sampai pada tingkatan tertentu.
Dalam pengalaman saya sendiri, ketika diajari metode membuat tanda langkah tertentu, saya diutus untuk mempelajari semua unsur kata dari pengertian "langkah". Dari kajian ini muncul kesadaran bahwa ia maju setapak demi setapak, bahwa ia bergerak maju ketika ia juga berasal dari corak kuno yang terbesar.
Sangatlah jelas bahwa dalam penyampaian bentuk-bentuk lahiriah di negara-negara yang tidak berbahasa Arab, suatu penyesuaian kata-kata serupa tidak terjadi. Secara ideal, jika idea dari suatu agama kuno dengan suatu tujuan progresif diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh para penyihir atau apa pun namanya, mereka seharusnya memiliki kata semacam kata succeed. Kata sucession berarti "menyusul/datang kemudian", tetapi ia juga mengandung makna sesuatu di masa depan, sesuatu yang bisa diraih. Maka berbicara dari sudut pandang proses yang sedang digambarkan, pengertian kuno itu pastilah sudah dikenal dalam transisi Barat sebagai "penggantian".6
Perubahan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya dimana isyarat kuno tetap ada, bertentangan dengan gagasan evolusioner dari para Sufi. Sifat metamorfosis inilah yang menyebabkan perkembangan Sufi sangat sulit dipelajari secara akademik. Singkat kata, hanya versi-versi hampir punah yang telah kehilangan mobilitasnya.

Catatan kaki:
1 John A. Subhan, Sufism, Its Saints and Shrine, Lucknow, 1938, hlm. 1.
2 Di bawah kekuasaan Muslim Spanyol, ada sejumlah besar orang Syria di Spanyol. Hubungan Normandia-Syria niscaya telah berlangsung sejak tahun 844 M. ketika Sevilla dijarah.
3 Di antara para penyihir perempuan, ritual suku yang primitif diturunkan dari Aniza yang diliputi elemen Sufi. Induksi beruntun dari kaum Badui ke dalam kultus peribadatan hampir dipastikan bertanggungjawab atas pembalikan kultus demi tribalisme (rasa kesukuan).
4 Bandingkan dengan Asrar al-Qadim wa al-Qadam (Rahasia-rahasia Sufi tentang Masa Lalu dan Masa Depan).
5 Ada keanehan lain dari kosa-kata ini, yaitu sifat sugestif dan penuh makna dari kata-katanya. Kata-kata dalam bahasa Arab bagi seorang Sufi mempunyai kefasihan hebat. Kata-kata (Arab) itu sebenarnya mengandung makna yang memerlukan banyak penjelasan dalam bahasa lain. Oleh karena itu, kata-kata ini paling sesuai untuk menyampaikan berbagai konsepsi ghaib. (Syekh al-Musyaikh, Tasawwuf al-Islami, London, 1933 [Islamic Sufism, oleh I.A. Shah], hlm. 39).
6 Para penyihir Swedia dari Mohra menyesuaikan konsep ini secara cepat ketika mereka menyebut pemimpin mereka sebagai "Pendahulu" (Antecessor).

Friday, May 6, 2016

Pembantaian di Indonesia 1965-1966

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia.[6] Kadernya berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak dua juta orang.[7] Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.
Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom" antara militer, kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta dukungan Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok Muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1960-an.[8] Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan mengancam posisi sosial para kyai.[9]
Pada tanggal 01 Oktober 1965, enam Jendral (tiga diantaranya dalam proses penjemputan paksa pada pagi hari, sedangkan tiga sisanya dan satu orang perwira menengah pada sore hari) dibunuh oleh kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi --- namun Soeharto menamai gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September, walau fakta sejarahnya aksi penjemputan paksa dilakukan pada jam empat pagi tanggal 01 Oktober 1965, untuk mendekatkan penyebutan GESTAPU dengan sebutan GESTAPO (Polisi Rahasia Nazi Jerman yang dikenal bengis dan kejam). Maka pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata (yang dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa berkoordinasi dengan Presiden Soekarno selaku pemangku jabatan Panglima Tertinggi menurut Undang-Undang dalam struktur komando di tubuh APRI). Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut.[10] Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI.[10] Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh.[11] Maka ketegangan dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak.[12]


Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya.[3] Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Kabinet 100 Menteri dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno. Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa dibunuh pada saat penangkapan, sisanya dihukum mati melalui proses persidangan pura-pura untuk konsumsi HAM Internasional.[10] Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta.[10] Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar.[13][14] Kelompok pemuda anti-komunis dibentuk, contohnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI).[11] Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000 aktivis dan petinggi PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer.[11]

Pembantaian

Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya,[15] terutama Sumatera. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Timur.[12][14] Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatera utara dan Bali.[12] Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera sesudahnya.[13][16]
Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini.[17] Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas.[18] Di beberapa tempat, angkatan bersenjata melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal.[15] Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan.[19][20]
Di beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya komunis dan simpatisannya, sementara di tempat lain tentara meminta daftar tokoh komunis dari kepala desa.[21] Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam masyarakat.[22] Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar 5.000 orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia.[23][24]
Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan.[25][26] Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI" diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri.[27] Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis.[11]
Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah.[27] Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai.[18]
Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai.[18][27] Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata.[27]
Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969.[16][28][29] Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian.[29]
Ketika dua pria sedang menanti kematiannya, seroang tentara di belakang mereka menusukkan bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya.

Jawa

Di Jawa, banyak pembunuhan dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa.[2] Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh[29] atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik.[2][29] Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando kepercayaannya ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi dari sana.[11] Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para pemuda, dengan dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis.[30]
Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 antara partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober.[11] Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965 bahwa pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan suatu Perang Suci. Pandangan tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatera. Bagi banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan suatu tugas keagamaan.[16][18] Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan. Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948.[27] Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap.[29]
Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berlangsung sampai bertahun-tahun. Di Blitar, ada aksi gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Aksi tersebut berhasil diberantas pada 1967 dan 1968.[31] Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok komunis yang bercampur mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan menghadapi angkatan bersenjata Indonesia.[31]

Bali

Penangkapan salah seorang simpatisan PKI.
Bercermin dari melebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an, di pulau Bali meletus konflik antara para pendukung sistem kasta tradisional Bali melawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu. Jabatan pemerintahan, uang dan keuntungan bisnis beralih pada orang-orang komunis pada tahun-tahun akhir masa kepresidenan Soekarno.[32] Sengketa atas tanah dan hak-hak penyewa berujung pada pengambilan lahan dan pembantaian, ketika PKI mempromosikan "aksi unilateral". Setelah Soeharto berkuasa di Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot dari jabatannya. Orang-orang komunis kemudian dituduh atas penghancuran budaya, agama, serta karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya rakyat Jawa, didorong untuk menghancurkan PKI.[33]
Sebagai satu-satunya pulau yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak memiliki kekuatan Islam yang terlibat di Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut pembasmian anggota PKI.[2] Pendeta tinggi Hindu melakukan ritual persembahan untuk menenangkan para roh yang marah akibat pelanggaran yang kelewatan dan gangguan sosial.[29] Pemimpin Hindu Bali, Ida Bagus Oka, memberitahu umat Hindu: "Tidak ada keraguan [bahwa] musuh revolusi kita juga merupakan musuh terkejam dari agama, dan harus dimusnahkan dan dihancurkan sampai akar-akarnya."[34]
Seperti halnya sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan nyaris terjadi perang saudara ketika orang-orang komunis berkumpul kembali.[27] Keseimbangan kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada Desember 1965, ketika Angkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit Brawijaya tiba di Bali setelah melakukan pembantaian di Jawa. Komandan militer Jawa mengizinkan skuat Bali untuk membantai sampai dihentikan.[35][36] Berkebalikan dengan Jawa Tengah tempat angkatan bersenjata mendorong orang-orang untuk membantai "Gestapu", di Bali, keinginan untuk membantai justru sangat besar dan spontan setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer harus ikut campur untuk mencegah anarki.[37] Serangkaian pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh para pemuda PNI berkaus hitam. Selama beberapa bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa dan menangkap orang-orang yang diduga PKI.[27] Antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000 orang Bali dibantai, sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih banyak dari daerah manapun di Indonesia.[38][39][40][41]

Sumatera

Tindakan PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di perkebunan-perkebunan di Sumatera memicu aksi balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh Sumatera.[10] Pemberontakan kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatera karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia. Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatera dipandang sebagai "pendudukan suku Jawa".[10] Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu tampaknya adalah transmigrasi penduduk dari Jawa.[18]

Jumlah korban

Meskipun garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya,[15] dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui.[42] Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa.[43] Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober 1966.[44] Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".[45]
Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban.[37] Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal[46] sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa.[37] Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang.[31] Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.[37] Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai,[2][40][47][48] lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia.[2] Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.[29]
Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka", tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.[49]

Penahanan

Para anggota Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) dijaga oleh para tentara dalam perjalanan mereka dengan truk bak terbuka ke penjara pada tanggal 30 Oktober 1965.
Penangkapan dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian.[2] Pada 1977, laporan Amnesty International menyatakan "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.[50] Antara 1981 dan 1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1.6 sampai 1.8 juta mantan tahanan ada di masyarakat.[51] Ada kemungkinan bahwa pada pertengahan tahun 1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa adanya proses peradilan.[16][31] Diperkirakan sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau lainnya.[37][52][53] Orang-orang PKI yang tidak dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi sedangkan yang lainnya mencoba menyembunyikan masa lalu mereka.[2] Mereka yang ditahan termasuk pula politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta Toer , serta petani dan tentara. Banyak yang tidak mampu bertahan pada periode pertama masa penahanan dan akhirnya meninggal akibat kekurangan gizi dan penganiayaan.[31] Ketika orang-orang mulai mengungkapkan nama-nama orang komunis bawah tanah, kadang kala di bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan semakin meninggi pada 1966–68. Mereka yang dibebaskan seringkali masih harus menjalani tahanan rumah dan secara rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka.[31]

Dampak

Tindakan Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melalui Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dimusnahkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis; dan militer berada pada jalan menuju kekuasaan.[1][2] Banyak Muslim yang tak lagi memercayai Soekarno, dan pada awal 1966, Soeharto secara terbuka mulai menentang Soekarno, sebuah tindakan yang sebelumnya berusaha dihindari oleh para pemimpin militer. Soekarno berusaha untuk berpegang kepada kekuasaan dan mengurangi pengaruh baru dari angkatan bersenjata, namun dia tidak dapat membuat dirinya menyalahkan PKI atas usaha kudeta sesuai permintaan Soeharto.[54] Pada 1 Februari 1966, Soekarno menaikkan pangkat Soeharto menjadi Letnan Jenderal.[55] Dekrit Supersemar pada 11 Maret 1966 mengalihkan sebagian besar kekuasaan Soekarno atas parlemen dan angkatan bersenjata kepada Soeharto,[56] memungkinkan Soeharto untuk melakukan apa saja untuk memulihkan ketertiban. Pada 12 Maret 1967 Soekarno dicopot dari sisa-sisa kekuasaannya oleh Parlemen sementara, dan Soeharto menjabat sebagai Presiden Sementara.[57] Pada 21 Maret 1968, Majelis Permusyawaratan Rakyat secara resmi memilih Soeharto sebagai presiden.[58]
The Year of Living Dangerously (1982), salah satu film asing yang dicekal di Indonesia pada era Orde Baru.
Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari rakyat Indonesia maupun warga internasional.[3][4][5] Akan tetapi, setelah Soeharto mundur pada 1998, dan meninggal pada tahun 2008, fakta-fakta mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam pembantaian ini mulai terbuka kepada masyarakat dalam tahun-tahun berikutnya.[26][59][60] Pencarian makam para korban oleh orang-orang yang selamat serta anggoa keluarga mulai dilakukan setelah tahun 1998, meskipun hanya sedikit yang berhasil ditemukan. Lebih dari tiga dekade kemudian, rasa kebencian tetap ada dalam masyarakat Indonesia atas peristiwa tersebut.[26] Film Australia The Year of Living Dangerously, yang ceritanya diadaptasi secara mirip dari novel berjudul sama yang didasarkan pada peristiwa berujung pada pembantaian ini, dilarang diputar di Indonesia sampai tahun 1999, pasca jatuhnya rezim Orde Baru.
Penjelasan memuaskan untuk skala dan kekejaman dari pembantaian ini telah menarik minat para ahli dari berbagai perspektif ideologis. Salah satu pendapat memandang kebencian komunal di balik pembantaian sampai pemaksaan demokrasi parlementer ke dalam masyarakat Indonesia, mengklaim bahwa perubahan semacam itu secara budaya tidak sesuai dan sangat mengganggu pada masa 1950-an pasca-kemerekaan. Pendapat yang berlawanan adalah ketika Soekarno dan angkatan bersenjata menggantikan proses demokrasi dengan otoriterianisme, persaingan kepentingan-yaitu antara militer, Islam politis, dan komunisme-tidak dapat secara terbuka diperdebatkan, melainkan lebih ditekan dan hanya dapat ditunjukkan dengan cara-cara kekerasan.[54] Metode penyelesaian konflik telah gagal, dan kelompok-kelompok Muslim dan angkatan bersenjata menganut prinsip "kita atau mereka", dan bahwa ketika pembantaian sudah berakhir, banyak orang Indonesia menganggap bahwa orang-orang komunis layak menerimanya.[54] Kemungkinan adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem politik.[18] Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto.[61] Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
Pemerintah dan media-media Barat lebih menyukai Soeharto dan Orde baru daripada PKI dan Orde Lama.[54][62] Pembantaian itu oleh Time digambarkan sebagai "Berita Barat Terbaik di Asia".[63] Kepala berita di US News and World Report tertulis: "Indonesia: Harapan... di mana dahulu pernah tidak ada".[64] Kolomnis New York Times, James Reston menyebutnya sebagai "Secercah cahaya di Asia".[65] Perdana Menteri Australia Harold Holt, yang sedang mengunjungi Amerika Serikat, berkomentar di The New York Times, "Dengan 500.000 sampai satu juta simpatisan komunis telah disingkirkan... Saya kira sudah aman untuk menganggap bahwa re-orientasi telah terjadi."[66]

Keterlibatan Amerika Serikat

Dokumen rahasia yang membeberkan pembantaian tahun 1965.
Joseph Lazarsky, wakil kepala CIA di Jakarta, mengatakan bahwa konfirmasi pembantaian datang langsung dari markas Soeharto. "Kami memperoleh laporan yang jelas di Jakarta mengenai siapa-siapa saja yang harus ditangkap," kata Lazarsky. "Angkatan bersenjata memiliki 'daftar tembak' yang berisi sekitar 4,000 sampai 5,000 orang. Mereka tidak memiliki cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang cukup berharga untuk diinterogasi. Infrastruktur milik PKI dengan cepat dilumpuhkan. Kami tahu apa yang mereka lakukan... Soeharto dan para penasehatnya mengatakan, jika kamu membiarkan mereka hidup, kamu harus memberi mereka makan."[67][68]
Duta Besar Amerika di Jakarta adalah Marshall Green, yang dikenal di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sebagai "ahli kudeta". Green telah tiba di Jakarta hanya beberapa bulan sebelumnya, membawa serta reputasi karena telah mendukung penggulingan diktator Korea Syngman Rhee, yang telah keluar bersama Amerika. Ketika pembantaian berlangsung di Indonesia, manual mengenai pengorganisasian pelajar, yang ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Korea, disebarkan oleh kedutaan Amerika Serikat ke Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).[69] Amerika Serikat juga secara langsung mendanai mereka yang berpartisipasi dalam penindasan terhadap orang-orang komunis. Pada tanggal 2 Desember 1965, Green mendukung rencana untuk menyediakan lima puluh juta rupiah untuk apa yang disebutnya sebagai "gerakan Kap-Gestapu," yang dia gambarkan sebagai "kelompok aksi sipil tapi terilhami tentara" yang "membawa beban upaya represif yang ditujukan kepada PKI, terutama di Jawa Tengah." [70] Green tidak menyebutkan fakta bahwa "upaya represif saat ini" terhadap PKI di Jawa Tengah meliputi, menurut Konsulat Amerika Serikat di Medan, usaha untuk "membasmi semua orang PKI". Apakah dia menyadari fakta ini atau tidak, agak diragukan, karena ia sendiri mencatat bahwa Kedutaan Besar Amerika Serikat memiliki akses ke "laporan intelijen substansial" mengenai kegiatan Kap-Gestapu, kegiatan yang ia yakinkan pada Departemen Luar Negeri sebagai kegiatan yang "sepenuhnya sejalan dengan dan dikoordinasikan oleh tentara" dan yang ia puji sebagai kegiatan yang "sangat sukses".[71]
Selain itu, Amerika Serikat memasok peralatan logistik penting pada jenderal-jenderal Indonesia. Para jenderal memintanya melalui penghubung yang ditunjuk di Bangkok, Thailand.[72] Dukungan itu datang terutama dalam bentuk alat komunikasi taktis dengan tujuan menghubungkan Jakarta dengan pasukan militer yang melaksanakan penindasan terhadap PKI di Sumatera, Jawa dan Sulawesi.[72] Amerika Serikat juga menyediakan "senjata" yang berasal dari Amerika Serikat maupun yang bukan dari Amerika Serikat, yang secara khusus merupakan permintaan untuk "mempersenjatai pemuda Muslim dan Nasionalis di Jawa Tengah untuk digunakan melawan PKI".[73][74] Kawat diplomatik menunjukkan bahwa senjata-senjata ini adalah senjata ringan, digunakan untuk membunuh dari jarak dekat.[75][76] Brad Simpson, Asisten Profesor Sejarah dan Studi Internasional di Princeton University dan direktur Proyek Dokumentasi Indonesia/Timor Timur di George Washington University, menyatakan bahwa "Amerika Serikat terlibat langsung sejauh bahwa mereka menyediakan bantuan kepada Angkatan Bersenjata Indonesia yang mereka berikan untuk membantu memfasilitasi pembunuhan massal."[77]
Pada tanggal 5 Oktober 1965, Green mengirim telegram ke Washington mengenai bagaimana Amerika Serikat dapat "membentuk perkembangan untuk keuntungan kita". Rencananya adalah untuk memperburuk nama PKI dan "pelindung"-nya, Soekarno. Propaganda ini harus didasarkan pada "(penyebaran) kisah pengkhianatan, kesalahan, dan kebrutalan PKI". Pada puncak pertumpahan darah, Green meyakinkan Jenderal Soeharto: "Amerika Serikat umumnya bersimpati dan mengagumi apa yang sedang dilakukan oleh angkatan bersenjata."[78] Adapun mengenai jumlah korban, Howard Federspiel, ahli Indonesia di Biro Intelijen dan Penelitian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun tahun 1965, mengatakan, "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, mereka harus dibantai. Tidak ada yang merasa perlu melakukan sesuatu mengenai hal itu."[67]

Perkembangan kontemporer

Setelah Soeharto mundur bekat adanya reformasi 1998, Parlemen membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menganalisis pembunuhan massal, tapi itu ditangguhkan oleh Pengadilan Tinggi. Sebuah konferensi akademis mengenai pembantaian diadakan di Singapura pada tahun 2009.[49]
Pada bulan Mei 2009, pada waktu yang berdekatan dengan Konferensi Singapura, penerbit di Britania Raya, Spokesman Books, menerbitkan buku yang ditulis oleh Nathaniel Mehr, berjudul Pertumpahan Darah Konstruktif di Indonesia: Amerika Serikat, Britania Raya dan Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, sebuah survei tingkat-pengantar mengenai pembantaian dan dukungan Barat untuk Soeharto.
Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM yang berat. Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menunjukkan adanya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Hasil penyelidikan Komnas HAM ini diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan untuk membuka pengadilan adhoc untuk pelanggaran HAM berat pada masa lalu ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.[79]
Pada tahun 2012 dan 2014, dua film yang mengungkap bagaimana pembantaian massal dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, Sumatera Utara, diluncurkan. Film tersebut berjudul Jagal (judul versi Inggris: The Act of Killing) dan Senyap (judul versi Inggris: The Look of Silence) masing-masing dengan fokus yang berbeda, Jagal menelusuri bayangan, pandangan, dan pendapat para pelaku pembantaian massal mengenai diri dan sejarah, sementara Senyap memotret pandangan keluarga korban mengenai beban sejarah yang mereka tanggung, serta bagaimana satu orang dari mereka meminta pertanggungjawaban para pelaku.[80][81]
Pembantaian ini telah banyak dihilangkan dari buku pelajaran sejarah Indonesia. Dalam buku pelajaran sejarah, disebutkan bahwa pembantaian ini adalah "kampanye patriotik" yang menghasilkan kurang dari 80.000 korban jiwa. Pada tahun 2004, buku-buku pelajaran diubah dan mencantumkan kejadian tersebut, tapi kurikulum baru ini ditinggalkan pada tahun 2006 karena adanya protes dari kelompok militer dan Islam.[49] Buku-buku pelajaran yang menyebutkan pembunuhan massal itu kemudian dibakar,[49] atas perintah Jaksa Agung.

Thursday, May 5, 2016

Si Bener

Tersebutlah seorang laki-iaki, si Bener namanya. Tiada lain kerja si Bener hanyalah mengail. Setiap hari ia mengail dilaut. Mata kailnya jarum sedang, umpannya bekatul. Karena itu ia tak pernah berhasil mendapatkan ikan. Malah ikan-ikan di laut menjadi kian banyak, sebab setiap hari memakan bekatul umpan kail Si Bener. Raja ikan di dasar lautan mengetahui hal itu. Maka sang raja mengumpulkan seluruh rakyatnya. Kepada para ikan raja itu berkata,"Hai rakyatku, kita harus menyayangi Si Bener, sebab setiap hari kita diberinya makan". "Akur-akuur". Seru ikan-ikan itu senang. "Hai raja" , ujar cucu! "Umurku sudah amat tua. Tak guna lagi hidup. Aku ingin membuktikan nyawaku kepada Si Bener". "Na baguslah jika demikian", sahut Raja ikan, "Ini telanlah"' Raja ikan membeiikan intan sebesar kepala.
Cucut menelan intan itu. Lalu ikan itu berenang ke pantai. Kail si Bener yang terapung-apung digigit oleh cucut itu. Tentu saja si Bener terkejut. Bertahun-tahun baru kali itu kailnya mengena.
Segera si Bener menarik pancingnya. Makin terkejut laki-laki itu. Baru pertama seumur hidupnya ia melihat cucut sebesar itu. Senang bukan main hati pengail itu.
Dari kejauhan tampak sebuah kapal. Segera si Bener berseru-seru. Seruannya terdengar oleh Matros. Lalu disampaikan kepada nakhoda. Nakhoda kemudian memerintahkan juru mudi menghentikan kapal.
Nakhoda turun dengan sekoci. Ia menanyai si Bener, "Hai nelayan, apa hajatmu hingga menghentikan kami?"
"Wahai tuan nakhoda", sahut Si Bener, "Sudilah tuan menyampaikan ikan ini sebagai persembahan hamba kepada raja negeri seberang".
"Baiklah akan aku sampaikan persembahan ini" .
Nakhoda pun meneruskan perjalanannya. Saat singgah di negeri seberang, ia pun menghadap baginda. Ikan cucut dari Si Bener dipersembahkannya.
"Hmm, hanya seekor ikan" , Sabda Baginda setelah nakhoda pergi, "Sudah bau pula". Baginda menekan perut ikan itu dengan tongkatnya. Keluarlah sebutir intan sebesar kepala. Sungguh terkejut baginda. Lekas intan itu diambilnya.
"Intan sebesar ini kubeli dengan negaraku pun tak akan terbeli", pikir sang raja, "Jika demikian layaknya kuberi sedikit imbalan pada pemilik ikan bau itu".
Nakhoda yang baru saja akan bertolak segera dipanggil. Kepadanya baginda menitipkan sepeti uang emas untuk diserahkan kepada Si Bener.
Nakhoda pun kembali berlayar. Saat itu singgah di dusun Si Bener diserahkannya peti uang itu. Bukan main suka citanya Si Bener.
Dengan uang yang dimilikinya, Si Bener membeli sebuah rumah besar, ternak, sawah dan kebun. Kini hidup Si Bener menjadi senang.
Perihal kekayaan Si Bener terdengar oleh raja. Timbul rasa dengkinya. Baginda pun memanggil laki-laki itu. Ia ingin merebut harta kekayaan pengail itu.
Saat Si Bener berdatang sembah, bersabdalah sang raja "Hai Bener, karena kau hidup di atas tanahku, kau harus patuh pada perintahku".
"Ampun beribu ampun wahai paduka", sembah Si Bener, "Segala titah duli sah alam akan hamba junjung tinggi".
"Bagus jika demikian", baginda meneruskan, "Salah satu kapalku yang mengangkut selaksa jarum telah tenggelam, kini ambilkanlah jarum-jarum di dasar lautan itu. Jika ada yang kurang, kupancung kepalamu".
"Daulat wahai paduka", sembah Si Bener, "Titah paduka akan hamba laksanakan".
Selesai berucap demikian, pergilah Si Bener ke pantai. Hatinya kecut. Samudera demikian luas dan dalam. Bagaimana mungkin ia menemukan selaksa jarum di dalamnya.
Tiba-tiba muncul Si raja ikan. "Hai pengail", ujar raja ikan", "Mengapa kau tampak murung?"
"Hamba dititahkan baginda mencari selaksa jarum di laut", sahut Si Bener. "Bagaimana mungkin hamba dapat melakukannya?"
"Sudahlah laki-laki pengail. Serahkan saja perihal itu padaku".
Raja ikan memanggil seluruh rakyatnya. Ia memerintahkan para ikan untuk memunguti selaksa jarum di lautan. Hanya separuh ikan telah kembali. Semuanya membawa jarum.
Telah terkumpul selaksa jarum milik raja. Si Bener pun mempersembahkan jarum-jarum itu. Bukan main tercengangnya baginda
raja.
"Hai Bener", sabda Baginda, "Aku lupa satu hal. Kapalku yang tenggelam itu juga membawa pedang wulung. Kini ambillah pedang itu. Jika kau gagal, kepalamu sebagai gantinya".
Kembali Si Bener ke pantai. Ia berpikir, raja tentu memiliki niat buruk. Jika tidak tentu ia tak akan menitahkan hal-hal yang mustahil kepadanya.
Selagi Si Bener berpikir, kembali muncul raja ikan. "Hai pengail", tegur si raja ikan, "Mengapa lagi kau murung?"
"Baginda menitahkan hamba mengambil pedang wulung", jawab Si Bener.
"Pedang wulung itu milik raja buaya", ujar Raja ikan "Jahat bener rajamu, ia menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Tapi baiklah, akan kupanggil raja buaya".
Tak berapa lama raja buaya pun muncul, "Hai raja ikan, aku sudah mendengar percakapan kalian. Jika raja manusia itu menginginkan pedangku, datanglah ke muara esok hari".
Perkataan raja buaya disampaikan kepada baginda raja. Esoknya baginda pergi ke muara. Duduklah ia menunggu kedatangan raja buaya.
Raja buaya pun muncul. Ia tak membawa pedang yang dijanjikannya. Ia memakan raja lalim itu. Ikan-ikan dan para penghuni air bersorak-sorai.
Raja telah tiada. Kini tinggalah patih. Patih memutuskan untuk mengangkat Si Bener menjadi raja. Rakyat pun senang. Si Bener memerintah dengan adil dan bijaksana.