Sunday, June 23, 2013

Telepon di Tengah Malam

Salah satu kebutuhan paling tua manusia adalah mempunyai seseorang yang bertanya-tanya di mana kau berada ketika kau tidak pulang pada malam hari


Kita semua tahu bagaimana rasanya ditelepon pada tengah malam. Telepon malam ini pun tak berbeda. Kaget terjaga oleh panggilan dering telepon, aku memusatkan pandangan pada angka-angka di jam mejaku yang menyala merah. Astaga!Tengah malam. Pikiran panik memenuhi benakku yang masih diselubungi kantuk ketika aku meraih gagang telepon.
"Halo...?"
Jantungku berdetak keras, tanganku semakin kuat menggenggam gagang telepon.
"Ibu?" Aku hampir tak bisa mendengar bisikan yang tertutup gemeresak nada statik. Tapi pikiranku langsung tertuju kepada anak perempuanku. Ketika isak putus asa tangis seorang gadis remaja jadi lebih jelas terdengar di telingaku, aku meraih tangan suamiku dan meremas pergelangannya.
"Ibu, aku tahu ini sudah malam. Tapi jangan...jangan katakan apa-apa, sebelum aku selesai bicara. Dan sebelum kau bertanya, ya, aku habis minum-minum. aku hampir terpelanting ke luar jalan beberapa kilometer lalu dan...."
   Aku mendesah kaget, melepaskan tangan suamiku dan menempelkan tanganku di dahi. Kantuk masih menyelimuti benakku, dan aku berusaha melawan rasa panikku. Ada yang tidak beres.
    "Dan aku jadi takut. Yang terpikir olehku hanya betapa terlukanya ibu jika seorang polisi datang dan mengatakan bahwa aku tewas dalam kecelakaan. Aku ingin..pulang. Aku tahu melarikan diri memang salah. Aku tahu Ibu sangat khawatir. Seharusnya aku menelepon Ibu beberapa hari lalu, tapi aku sangat takut...aku takut bu!"
   Isak tangis emosi yang menyayat mengalir dari gagang telepon dan memenuhi hatiku. Aku langsung membayangkan wajah anak perempuanku dan perasaanku yang berkabut menjadi jelas. "Nak! Menurutku...."
    "Jangan! Biarkan aku selesai bicara!Kumohon!" Ia memohon, tidak dengan rasa marah, tapi dengan rasa putus asa.
   Aku berhenti dan mencoba berpikir harus berkata apa. Sebelum aku bisa melanjutkan, ia meneruskan. "Aku hamil, Bu. Aku tahu seharusnya sekarang aku tidak boleh minum-minum...apalagi sekarang, tapi aku takut, Bu. Sangat takut!"
   Suara itu kembali pecah menjadi tangisan,dan aku menggigit bibirku, merasakan mataku sendiri berkaca-kaca. Aku menatap suamiku yang duduk diam sambil menggerakkan mulutnya bertanya, "Siapa?"
    Aku menggelengkan kepala dan ketika aku tidak menjawab, ia melompat berdiri dan meninggalkan kamar tidur, kembali beberapa detik kemudian dengan telepon portabel menempel di telinganya.
    Gadis itu pasti mendengar bunyi klik di saluran telepon karena ia meneruskan, "Apa Ibu masih ada di sana? Kumohon jangan matikan sambungan! Aku memerlukan Ibu. Aku merasa sendirian."
    Aku mencengkeram gagang telepon dan menatap suamiku, minta petunjuk. "Aku di sini, aku takkan mungkin mematikan sambungan telpon darimu nak....," kataku.
    "Seharusnya aku memberitahu ibu. Aku tahu seharusnya aku memberi tahu ibu. Tapi ketika kita bicara, Ibu hanya memberitahukan apa yang harus kulakukan. Ibu membaca semua selebaran mengenai cara berbicara tentang seks dan sebagainya, tapi yang Ibu lakukan hanya bicara. Ibu tidak mendengarkanku. Ibu tak pernah membiarkanku memberitahu Ibu bagaimana perasaanku. Seolah perasaanku tidak penting. Sebagai ibuku, seharusnya Ibu merasa mempunyai jawabannya. Tapi kadang aku tidak membutuhkan jawaban. "Aku hanya membutuhkan seseorang untuk mendengarkan."
    Aku menelan gumpalan yang menyumbat tenggorokanku dan menatap selebaran cara berbicara kepada anak-Anda yang bertebaran di atas meja di sebelah tempat tidur. "Aku mendengarkan," bisikku.
   "Ibu tahu, tadi di jalan, setelah berhasil mengendalikan mobilku, aku mulai memikirkan bayi ini dan cara merawatnya. Lalu aku melihat kotak telepon ini, dan seolah aku bisa mendengar Ibu bercerita tentang betapa orang tidak boleh mengemudikan kendaraan dalam keadaan mabuk. Jadi, aku menelepon taksi. Aku ingin pulang."
   "Itu bagus, Saya," kataku, perasaan lega memenuhi dadaku. Suamiku mendekat, duduk di sebelahku, dan menggenggam tanganku. Aku tahu dari sentuhannya bahwa menurutnya aku melakukan dan mengatakan hal yang tepat.
   "Tapi menurutku aku sekarang sudah bisa mengemudi."
   "Jangan!" Sergahku. Otgot-ototku menegang, dan aku mengencangkan peganganku di tangan suamiku. "Kumohon sebaiknya tunggu taksi. Jangan matikan sambungan sampai taksi ini datang."
"Aku hanya ingin pulang, Bu."
"Iya....iya ibu tahu nak. Tapi lakukan ini demi ibumu. Kumohon, tunggu taksi itu datang."
    Aku mendengar keheningan di ujung sana dengan penuh. Ketika tidak mendengar jawabannya, aku menggigit bibir dan memejamkan mata. Entah bagaimana, aku harus menghalanginya supaya tidak mengemudikan mobil.
   "Itu taksinya datang."
   Baru ketgika mendengar suara seseorang menanyakan taksi, aku merasa keteganganku mereda.
   "Aku pulang, Bu." Terdengar suara klik, dan sambungan telepon mati.
   Setelah berdiri meninggalkan tempat tidur, dengan mata berkaca-kaca, aku berjalan menuju koridor dan masuk kedalam kamar anak perempuanku yang berusia enam belas tahun, berdiri di sana. Keheningan ruang yang gelap terasa menghimpit. Suamiku menghampiri dari belakang, memeluk pinggangku, dan menumpu dagunya di atas kepalaku.
    Kuseka airmata di pipiku. "Kita harus belajar mendengarkan," kataku kepadanya.
Ia memutar tubuhku sampai berhadapan dengannya. "Kita akan belajar. Lihat saja." Lalu ia memelukku, dan aku membenamkan kepala di bahunya.
   Kubiarkan ia memelukku beberapa saat, lalu aku melepaskan diri dan kembali menatap ke arah tempat tidur. Suamiku mengamatiku beberapa detik, lalu bertanya. "Apa menurutmu gadis itu akan pernah tahu bahwa dia menelepon nomor yang salah?"
    Aku menatap anak perempuanku yang sedang tidur, lalu kembali memandang suamiku. "Mungkin ia tidak terlalu salah menekan nomor."
   "Ibu, Ayah, apa yang kalian lakukan?" Suara remaja yang sarat kantuk itu datang dari balik selimut.
   Aku berjalan menghampiri anak perempuanku, yang sekarang duduk menatap ke tengah kegelapan. "Kami sedang berlatih," jawabku.
   "Berlatih mendengarkan?" gumamnya dan kembali membaringkan tubuh  di atas kasur, matanya sudah kembali terpejam tidur.
   "Iya benar! Mendengarkan," bisikku sambil membelai pipinya.

-----------------000---------------





No comments:

Post a Comment