Pada tahun 1865, R.A. Sastrodarmo menulis buku yang berjudul "Kawontenan Ing Nagari Betawi". Dalam buku itu ditulis tentang kehidupan kota betawi pada masa itu. Sastrodarmo menulis, orang-orang laki di Betawi kurang senang berambut
gondrong, namun menyukai rambut gundul, barangkali menyesuaikan iklim
yang panas. Peraturan Polisi dilakukan dengan ketat, bila ada persoalan
diselesaikan cepat tanpa memungut biaya sedikitpun, dan berlaku tanpa
pandang bulu bangsa.
Bagi pembuang sampah yang sembrono kena denda. Setiap penduduk yang
sudah mencapai umur 15 tahun harus punya KTP dan dikeluarkan oleh Lurah
(BEK) masing-masing dengan membayar 25 sen. Siapa yang ketangkap tanpa
KTP kena denda kurungan 5 hari. Selewat jam 19.00 malam dilarang bawa
senjata tajam misalnya golok dan sebagainya. Bagi pedagang yang menetap
maupun keliling harus punya Surat Pas yang menerangkan jenis dagangannya. Setiap jalan besar dijaga
petugas yang kerjanya keliling kampung juga, mereka inilah mata-mata Polisi yang sering menangkap penjahat atau pelanggar peraturan lainnya. Gardu penjagaan selalu ada penjaga 2 orang waktu siang, kalau malam 5 orang, bersenjata tombak berujung dua.
Bila ada kebakaran, kentongan dibunyikan bertalu-talu. Demikian juga bila ada orang mengamuk. Di Jakarta waktu itu baru ada 4 rumah gadai yaitu didekat pasar: Tanah Abang, Senen, Pasar Baru, dan Glodog. Kepala penduduk Betawi disebut komendan. Semuanya ada 4 orang, ditambah seorang jaksa, 4 ajun jaksa dan 12 orang ajudan. Dibawah ajudan ada para lurah kampung atau yang di sebut BEK, mambawahi Tueidhe dan 2 orang Sarean.
Pada umumnya menurut buku yang ditulis oleh Soedarmo, lelaki di Betawi kurang senang berambut
gondrong, dan lebih menyukai rambut gundul, mungkin untuk diri dari menyesuaikan iklim
di Betawi yang panas.
Peraturan yang dibuat Polisi kolonial dilakukan dengan ketat, bila ada persoalan
diselesaikan cepat tanpa memungut biaya sedikitpun, dan berlaku tanpa
pandang suku bangsa. Bagi pembuang sampah yang sembarang bisa dikenakan denda.
Setiap penduduk yang
sudah berumur 15 tahun harus punya tanda pengenal atau KTP dan KTP itu dikeluarkan oleh Lurah
(BEK) masing-masing dengan membayar 25 sen. Bagi yang telah wajib memiliki KTP tetapi belum memiliki KTP akan dikenai denda kurungan 5 hari.
Pada malam hari setelah pukul 19.00 malam warga Betawi dilarang bawa
senjata tajam semisal golok, pisau dan sejenisnya. Para pedagang yang menetap
maupun keliling harus punya Surat Pas yang menerangkan jenis dagangannya. Setiap jalan besar dijaga petugas yang kerjanya keliling kampung, mereka
inilah mata-mata Polisi yang sering menangkap penjahat atau pelanggar
peraturan lainnya.
Gardu penjagaan selalu dijaga siang dan malam dan dijaga oleh centeng sebanyak 2-5 orang dengan , bersenjatakan tombak berujung dua.
Bila ada kebakaran, kentongan dibunyikan bertalu-talu. Demikian juga bila ada orang mengamuk. Di Jakarta waktu itu baru ada 4 rumah gadai yaitu didekat pasar: Tanah Abang, Senen, Pasar Baru, dan Glodog. Kepala penduduk Betawi disebut komendan. Semuanya ada 4 orang, ditambah seorang jaksa, 4 ajun jaksa dan 12 orang ajudan. Dibawah ajudan ada para lurah kampung atau yang di sebut BEK, mambawahi Tueidhe dan 2 orang Sarean.