Saturday, March 14, 2015

Heng Ngantung: Gubernur DKI yang hidup dalam kemiskinan

Sebelum menjadi Gubernur Jakarta, Henk dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal. Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia ikut medirikan "Gelanggang". Henk juga pernah menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok 1955-1958. 

Sebelum diangkat menjadi gubernur, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai deputi gubernur di bawah Soemarno. Saat itu banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung. Soekarno ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dan, Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik. Salah satu pengalaman yang barangkali menarik adalah tatkala presiden memanggilnya ke istana untuk mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati perlu dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas dari perhatian Ngantung. Tapi semuanya tidak berhasil.
 
Pelukis, dan gubernur DKI Jakarta ini , bernama lengkap Hendrick Joel Hermanus Ngantung. Lahir di Bogor, 1 Maret 1921 dan meninggal 12 Desember 1990. Ayah bundanya berasal dari Tomohon (Minahasa). Ia hanya menamatkan SD Belanda, seterusnya tidak bercita-cita meneruskan sekolah karena orangtuanya bukan berada. Yang dicita-citakannya hanya menjadi pelukis, sesuai dengan bakatnya sejak SD dan mendapat dorongan dari E. Katoppo, kepala SD itu. Gurunya itu pula yang menganjurkannya membuat pameran gambar dan cat air saat usianya 15 tahun di Tomohon. Tahun 1937 pindah ke Jawa dan menetap di Bandung dan belajar secara serius dan akademis dari Prof. Rudolf Wenghart, seorang pelukis potret terkenal asal Wina (Austria).

Sejak itu ia berkenalan dengan Affandi dan tokoh seni lukis Indonesia lainnya yang tergabung dalam PERSAGI dan Keimin Bunka Shidoso. Di awal tahun 1940-an, ia berkesempatan ikut pameran bersama di Bataviasche Bond von Kunstkring, yang mendapat ulasan baik dari pers Belanda. Dan semenjak itu, selalu menjadi peserta aktif dalam berbagai pameran baik di masa pendudukan Jepang maupun masa Agresi Belanda. Baru pada bulan Agustus 1948, di Hotel Des Indes, Jakarta, ia berkesempatan mengadakan pameran tunggal. Setelah itu sejak Oktober 1948, mengembara ke seluruh Indonesia untuk menyaksikan sendiri kehidupan bangsanya yang sedang berevolusi. Dokumentasi sketsa-sketsa hitam putih yang dibuatnya, kemudian dirangkum dalam buku Sketsa-Sketsa Henk Ngantung(Sinar Harapan, 1981).

Sejak 1957 ia duduk dalam berbagai Panitia maupun Lembaga Negara dan juga mendapat kesempatan melawat ke berbagai negara di Eropa Barat maupun Timur, lalu Asia, Afrika, Amerika Serikat maupun Amerika Selatan. Sudah tentu juga pulau-pulau lain di luar Jawa. Di luar dugaan dia diangkat menjadi Wakil Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1960-1964) dan kemudian menjadi Gubernur DKI (1964-1965). Setelah menduduki berbagai jabatan tersebut, ia kembali menjadi pelukis dan tinggal Cawang, hingga akhir hayatnya.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung tidak sekadar tinggal dalam kemiskinan hingga harus menjual rumah di pusat kota untuk pindah ke perkampungan. Derita Henk Ngantung terus menerpa karena nyaris buta oleh serangan penyakit mata dan dicap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia tanpa pernah disidang, dipenjara, apalagi diadili hingga akhir hayatnya bulan Desember 1991. Henk Ngantung hingga akhir hayatnya tinggal di rumah kecil di gang sempit Cawang, Jakarta Timur.

Kesetiaan Henk melukis terus berlanjut meski dia digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfungsi 30 persen. Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Sebulan sebelum wafat, saat ia dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha Ciputra memberanikan diri mensponsori pameran pertama dan terakhir Henk.


No comments:

Post a Comment