Saturday, November 8, 2014

Legenda Si Jampang




Anak laki-laki itu dinamakan Jampang. la lahir di desa Jampang Sukabumi Selatan. Bapaknya berasal dari Banten dan ibunya berasal dari desa ]ampang. Anak laki-laki itu tinggal di rumah pamannya di Grogol Depok. Pamannya sangat sayang kepadanya, selain keponakan, anak laki-laki itu juga yatim piatu yang memerlukan perlindungan. Sang paman membawa Jampang dari desa Jampang ke Grogol Depok. Dirumah pamannya, Jampang dibesarkan. Jampang diperlakukan sebagai anak sendiri. Agar ]ampang memiliki ilmu, bekal hidupnya, oleh pamannya ia disuruh mengaji pada seorang guru ngaji di Grogol Depok. Jampang juga disuruh belajar ilmu bela diri oleh pamannya. Pamannya berkata,
"Pang, Lu mesti punya kepandaian silat, karena menegakkan kebenaran tanpa kekuatan adalah sia-sia."
" Aye mang ! " jawab Jampang penuh rasa hormat.
" Lu ikut mamang ke Cianjur, lu belajar silat disane ama temen mamang."
" Aye sih pegimane mamang."
Oleh pamannya, Jampang diantarkan ke Cianjur untuk belajar sekaligus menetap dirumah guru silat.
Selain belajar silat, ]ampang membantu guru silatnya, Jampang membantu menanem padi, merapikan rumah. Ditempat guru silatnya, Jampang memperlakukan diri sebagai anak, tidak berpangku tangan. Guru silatnya menjadi sayang, dan dengan rela hati mengajarkan semua kepandaian yang dimiliki termasuk ilmu kebatinan.
Setelah Jampang menyelesaikan menuntut ilmu silat, ia kembali ke Grogol Depok. Guru silatnya berpesan kepadanya agar ilmu yang didapatnya jangan digunakan untuk berbuat kejahatan. Jampang mengangguk setuju, kemudian mencium tangan guru silatnya mohon izin meninggalkan Cianjur kembali ke Grogol Depok "Pang! Salam aye buat mamang lu," ujar Guru silatnya. " Aye, Guru !"
Jampang kembali ke rumah Mamang di Grogol Depok. Dari Cianjur Jampang berjalan kaki melewati jalan setapak naik turun perbukitan menuju Bogor. Dari Bogor Jarnpang menumpang kereta api Buitenzorg-Batavia turun di Depok. Pamannya sangat gembira menyambut kedatangan Jampang yang telah berbulan lamanya meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu silat. Oleh pamannya, Jampang diminta meneruskan menuntut ilmu mengaji. Jampang dengan patuh memenuhi permintaan mamangnya. Berkat ketekunan dan kepatuhan untuk menuntut ilmu mengaji, Jampang dengan mudah menyerap ilmu mengaji yang diajarkan gurunya. Gurunya menjadi sayang kepadanya, selama menuntut ilmu mengaji, Jampang juga membantu mamangnya dan guru ngajinya mengerjakan sawah.
Setelah merasa cukup memiliki bekal ilmu dan usianya telah menanjak dewasa menjadi seorang pemuda, Jampang merasa sudah saatnya tidak bergantung lagi dengan mamangnya. Jampang menyampaikan keinginannya untuk merantau ke Betawi.
" Kalo emang lu pengen merantau, lu mesti bawa diri, biar orang laen seneng ame lu." mamangnya menasehati " Aye mang." jawab Jampang.
Jampang berangkat ke Betawi, memulai kehidupan mandiri. Di Betawi Jarnpang menuju salah seorang ternan mamangnya di Kebayoran Lama. la diterima menetap dirumah tersebut. Sebagai penumpang, Jampang membantu si empunya rumah berkebun serta berdagang buah di pasar Tanah Abang.
Suasana Kebayoran Lama tempat Jampang menetap di bawah kekuasaan tuan tanah dengan centeng centengnya yang setiap bulan datang menagih pajak kepada penduduk. Bila penduduk tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng tak segan-segan mengambil harta milik yang ada di rumah penduduk. Ada kambing yang terlihat di kandang akan diambil. Keadaan bisa lebih buruk lagi, para centeng akan memukuli orang yang tidak bisa membayar pajak.
Jampang menyaksikan perilaku para centeng yang tidak punya perikemanusiaan kepada penduduk. Timbul keinginan untuk menantang para centeng, tapi Jarnpang masih berpikir akan nasib orang yang ditumpanginya. Jampang mengamati dengan cermat wajah para centeng dan bertekad akan membalas perbuatan mereka dikemudian hari.
Selama menumpang dirumah itu, Jampang berkenalan dengan gadis kampung tersebut. Jampang menjalin tali kasih dengan wanita di kampung itu, kemudian berniat membina rumah tangga. Jampang menyampaikan isi hatinya wanita tersebut setuju, kemudian si empunya rumah diminta untuk melamar orangtua wanita tersebut.
Jampang menikah dengan gadis Kebayoran Lama dan pindah menetap dirumah mertuanya. Oleh mertuanya, Jampang diberi sebidang tanah untuk digarap. Bersama isterinya, Jampang menggarap tanah, menanami lahan dengan bibit padi, kacang dan kelapa. Selain menggarap tanah, Jampang juga menjual hasil kebun mertuanya ke pasar Tanah Abang. Isterinya hamil kemudian melahirkan seorang anak laki-laki diberi nama Jampang muda. Wajah anaknya sangat mirip dengan dirinya, ibarat pinang dibelah dua. Jampang sangat gembira, kegembiraan yang tidak terkatakan. Setiap selesai bekerja di kebun atau menjual hasil kebun di pasar, Jampang selalu bercanda dengan anaknya.
Sekalipun Jampang memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi ia pun terkena tagihan dari centeng tuan tanah Kebayoran. Sebenarnya Jampang ingin melawan, tetapi memikirkan anaknya yang masih disusui isterinya
Jampang mengalah, membiarkan para centeng beraksi didepan matanya.
" Mane pajak lu, cepat ! " hardik centeng padanya.
" Ini bang! Jampang menyerahkan uang beberapa sen pada centeng tersebut.
"Lu memang penduduk yang taat.
" Aye bang" Jampang berpura-pura seperti orang bodoh
Ketika anaknya berusia 4 tahun, isterinya meninggal dunia. Jampang sangat sedih dengan kepergian isterinya. Ditatapnya mata anaknya yang kini tidak beribu lagi. mertuanya datang menggendong anaknya sarnbil berkata.
" Biarlah dia ame kami disini Pang."
"Aye nyak."
" Lu mau kemane Pang ?"
" Mau ke Tanah Abang nyak."
Jampang menitipkan anaknya kepada mertuanya, ia pergi ke Tanah Abang. Jampang memutuskan untuk mengambil kembali hak miliknya dan hak milik mertuanya serta penduduk yang diambil oleh para tuan tanah dan centeng secara sewenang-wenang. Jampang pergi ke Tanah Abang sambil melewati rumah para tuan tanah dan orang-orang kaya serta rumah para centeng. Sungguh sangat berbeda, rumah mereka penuh dengan perabotan mahal. Dari mana lagi kalau bukan dari hasil memeras penduduk.
Jampang di pasar Tanah Abang sampai menjelang Ashar. Kemudian pergi ke rumah seorang tuan tanah, mengamati dengan cermat keadaan rumah, berapa centeng yang menjaga, bagaimana jalan masuk yang tepat. Setelah itu Jampang pergi ke langgar, menunggu sambil sholat Maghrib dan Isya.
"Anak siape ? " tanya imam sekaligus ustadz langgar menyapanya
"Aye Jampang pak imam" jawab Jampang
" Anak dari mane? "
" Aye dari Kebayoran Lama"
" Ada keperluan apa singgah di kampung ini ?"
" Aye pengen ngambil milik aye yang dirampok tuan tanah", "Hati-hati nak, banyak jagoannya." .
" Pan aye punya penolong " " Siape ?"
" Nyang diatas, Allah "
Imam langgar geleng kepala. Jampang segera mengambil wudhu dan azan Maghrib. Kemudian shalat Maghrib berjamaah.
Selesai sholat, imam langgar mengajak Jampang makan di rumahnya. Jampang tidak menolak, mengikuti imam langgar menuju rumah imam langgar. Sambil jalan imam langgar berkata, "Malam ini ada pertunjukan di kampung sebelah, biasanye lewat Isya para centeng dan tuan tanah pergi".
"Terima kasih pak ustadz."
Setelah sholat Isya, Jampang bergerak perlahan mendekati rumah tuan tanah. Dari kejauhan terlihat kerumunan orang. Para centeng dengan golok di pinggang sambil menyulut rokok sebagian duduk, sebagian berdiri. Kemudian keluar seorang yang barangkali tuan tanah. Kemudian kerumunan itu pergi dari rumah itu menuju ke kampung sebelah menonton pertunjukan Gambang Kromong.
Jampang dengan cermat mengawasi kepergian tuan tanah dan para centengnya. Setelah mereka berlalu beberapa saat, Jampang masih tetap di tempatnya untuk mengawasi keadaan rumah. kemudian keluar seorang lelaki, menutup pintu pagar lalu masuk kembali ke dalam rumah. Jampang bergerak perlahan-lahan sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Suasana sepi, gemerisik angin dan suara jangkrik memecah kesunyian malam. Jampang melompati pagar rumah tuan tanah, kemudian merangsek maju mendekati jendela, menempelkan telinga pada kayu dan jendela. Terdengar suara perempuan sedang berbincangbincang didalam rumah.
" Nyak, kalung aye belon juge dibeliin kapan nyak ? "terdengar suara perempuan muda, mungkin anak tuan tanah.
" Entar kalo si Rochim ame babe lu, pasti lu punya kalung juga" ujar perempuan tua, mungkin isteri tuan tanah.
" Babe sih seneng ingkar janji, bukannya beliin untuk aye, tapi buat gendak-gendaknya. "
" Kagak bener lu omongin babe lu, durhaka nak."
" Biarin, abisnye aye kagak dibeliin gelang " " Sono tidur, pan udah malem "
Jampang bergeser ke jendela lainnya, memasangkan telinga untuk mendengar, tak ada suara apa-apa, mungkin sudah tidur. Dengan perlahan-lahan menggunakan tenaga dalam, Jarnpang membuka jendela lalu melompat masuk. Seorang lelaki yang sedang tidur ayarn tersentak bangun, Jampang dengan sigap membekuk laki-laki itu untuk tidur kembali, sebuah pukulannya membuat lelaki itu terkulai layu tak
berdaya. Jampang kemudian bergerak kekamar tidur tuan tanah. Tangannya mengetuk pintu perlahan-lahan, terdengar suara panggilan dari dalarn karnar.
" Siape, elu Min ?" tanya isteri tuan tanah.
"Aye nyah" ujar Jarnpang memalsukan suara" Ada ape sih? Lu mau nonton ?" " lye nyah "
Terdengar langkah menuju pintu, pintu terbuka, dalam waktu tak lebih dari dua detik, Jampang berhasil membekuk isteri tuan tanah. Goloknya ditodong ke Ieher isteri tuan tanah.
"Tunjukan mane lemari lu "Jampang mengarah isteri tuan tanah ke lemari di dalam kamar.
"Jangan !" ujar isteri tuan tanah.
" Lu teriak gue sabet leher lu."
Jampang membuka pintu lemari, ternyata terkunci. Jampang menekan ujung goloknya ke leher isteri tuan tanah.
" Ampun, " ujar isteri tuan tanah minta belas kasihan " Ambilin kuncinya, cepat!"
" Lepasin aye"
" Tidak, mana kuncinya ?"
lsteri tuan tanah menunjuk kearah kasur. Jarnpang mengarah isteri tuan tanah ke sisi kasur, kemudian mengangkat kasurnya, mengambil kunci. Kemudian Jampang mengikat isteri tuan tanah dan menyumpal mulutnya dengan kain.
Jampang membuka lemari, mengarnbil uang dan emas yang ada dalam lemari, kemudian uang emas dan beberapa potong kain sarung dikumpulkan dalam sebuah kain sarung. Lalu Jampang mendekati isteri tuan tanah, melucuti kalung, gelang serta cincin yang dipakai isteri tuan tanah.
"Hei perempuan, lu pikir semua bande ini milik lu?" ujar Jampang seraya menengadahkan kepala isteri tuan tanah dengan tangannya.
"Bande ini laki lu rarnpas dari rakyat, ini semua keringat penduduk, yang kerjanya setengah mati, lu enak-enak main rampas," ujar Jampang menatap tajam ke muka isteri tuan tanah.
Jarnpang kemudian keluar dari kamar tersebut, menutup pintunya perlahan-lahan, berjingkat ke arah kamar yang tempat ia masuk, melompat lewat jendeia kemudian mendekati pagar, lalu melompat keluar. Jampang melangkah waspada, tidak melalui jalan yang biasa dilalui orang. Ia mengambil jalan lewat tegalan sawah menuju ke Kebayoran. Jampang tiba di rumahnya saat hampir subuh. Selama perjalanan, Jampang membagi-bagikan sebagian rampasannya ke rumah-rumah penduduk miskin. Sampai di rumah, Jampang segera menyimpan sisa rampasan, lalu mengambil air wudhu, melaksanakan sholat subuh. Memohon ampun kepada Allah tindakan yang terpaksa dilakukan, kemudian tidur lelap. Setelah peristiwa tersebut, Jampang mencari tahu tentang tuan tanah tersebut semakin bengis dalam menagih pajak, tidak perduli keluhan penduduk mengapa tagihan pajak begitu
cepat dari waktunya.
"Pan pajeknye udah aye bed kemarin" ujar penduduk pada centeng.
"Diam lu, ngebacot gua golok " hardik centeng.
Jampang yang menyaksikan keadaan tersebut, tidak bisa menahan diri. Jampang menghadang beberapa orang centeng yang baru saja merampas dari sebuah rumah penduduk.
"Minggir lu bangsat ! " hardik centeng pada Jampang.
" Serahin semua bawaan lu " pinta Jampang.
" Lu mau ngerampok ?"
" Emang kenape, lu juga ngerampok," ujar Jampang tenang.
Centeng-centeng segera mengayunkan goloknya ke arah Jampang. Dengan sigap Jampang melayani perkelahian dengan para centeng. Seorang centeng yang mencoba melarikan barang, segera dijegal Jampang. Perkelahian menjadi seru. Satu persatu centeng berhasil dilumpuhkan, kemudian Jampang melemparkan golok mereka ke rumput ilalang, lalu menghardik mereka.
" Bangun ! pergi atau gue cabut nyawa elu-elu"
Para centeng dengan susah payah bangun, kemudian terbirit-birit menjauh dari Jampang, kemudian hilang dari pandangan.
Penduduk segera berdatangan, Jampang melemparkan barang-barang rampasan dari centeng kepada penduduk. " Ambil yang kalian punya" ujar Jampang.
Para penduduk memilih barang mereka kemudian mendekati Jampang, sebagian berlutut ingin mencium kakinya.
" Jangan ! gue bukan Belande, bangun ! pulang kerumah masing-masing " seru Jampang.
" Terima kasih, Bang " penduduk memberi hormat. Kemudian Jampang berlalu dari tempat itu.
Jampang terus melakukan aksinya setiap malam ke rumah tuan tanah, rumah para centeng dan rumah orang kaya. Jampang terus berpindah tempat diantaranya Grogol, Pasar Ikan, Tanjung Priok dan Tambun Bekasi. Selain melakukan aksi perampasan malam hari, Jampang juga selalu menghadang para centeng yang menagih pajak atas penduduk. Karena aksinya, namanya dikenalluas oleh penduduk si Jampang dihormati dan dielu-elukan kehadirannya, sedangkan bagi para centeng, tuan tanah, demang dan Belanda, si Jampang sangat dibenci dan diburu.
Penguasa penjajah mengerahkan polisi untuk mengintai si Jampang, tetapi karena ia selalu berpindah-pindah tempat operasinya, sulit bagi polisi Belanda menangkapnya, sementara jagoan centeng para tuan tanah tidak mampu membunuh Jampang dalam setiap perkelahian. Akibat keberhasilan yang selalu memihaknya Jampang digelari penduduk sebagai Si Jampang Jago Betawi.
Sehari harinya Jampang sangat memperhatikan anaknya. Anaknya dititipkan di rumah mertuanya. Setiap ada kesempatan Jampang mendatangi rumah mertuanya menemui anaknya. Baru setelah anaknya berusia diatas sepuluh tahun. Jampang mengajak tidur dirumah mereka, jika kebetulan menginap di rumah, jika Jampang beroperasi, anaknya dititipkan dirumah mertua. Jampang tak ingin mertuanya dan anaknya susah, karenanya Jampang tidak beroperasi dikampungnya.
Jampang juga mengajarkan anaknya ilmu serta ilmu agama seadanya jika kebetulan di rumah. Anaknya tumbuh menjadi dewasa dan kekar. Mencapai usia 15 tahun, Jampang berkata pada anaknya.
"Eh lu tong, gua mau nanya ame lu. lu mau sekolah apa lu mau ngaji?" Tanya Jampang.
"Ngaji aye nggak mau, sekolah juga aye ogah. Aye kepengen belajar main pukul kaye babe".
"Lu jangan main pukul kaya bapak lu, kalau lu ogah semua, baekan lu kawin aje dah".
"Aye kagak mau kawin be, kalau gitu aye mendingan sekolah aje, kalau babe mau kawin, babe aja dah yang kawin". Jampang tertawa mendengarkan jawaban dan usulan anaknya.
"Kalo lu punya nyak lagi, gua punya kawan yang bernama Sarba di tanah perkembangan Tambun" kata Jampang. Jampang kemudian menyerahkan anaknya pada seorang guru ngaji. Setelah itu Jampang pergi ke tanah perkembangan menemui Sarba temannya.
Di tanah perkembangan Jampang di sambut oleh Si Ciput pembantu rumah tangga Sarba. Jampang gembira sekali karena akan bertemu temannya yang sudah lama berpisah.
"Eh Put kemana Sarba?" tanya Jampang antusias.
"Sarba pan udah meninggaI" ujar Ciput tenang menjawab pertanyaan Jampang. Jampang kaget bukan kepalang, Jampang bagaikan tak percaya pada pertanyaan Ciput.
"Hah! Masa iye Put, Sarba udah meninggal ??? kalo gitu istri Sarba si Mayangsari menjande ye Put?" Jampang berkelakar.
"Betul" jawab Ciput tersenyum.
"Wah, kebetulan sekali Put, gua sedang kagak punya bini, bini gua udah meninggal Put. Coba lu omongin ame Si Mayangsari. Put, ape mau die kawin arne gua?" Jampang minta Ciput untuk memberitahukan keinginannya pada Mayangsari.
Ciput masuk ke dalam rumah, sementara Jampang duduk di serambi rumah. Beberapa waktu kemudian Ciput dan Mayangsari menemui Jampang, Jampang tersentak bangun dan menyalami Mayangsari.
"Mayangsari ... Abang Sarba pergi kemane?" Jampang berpura-pura tidak tahu.
"Abang lu jangan ditanya, Sarba telah lama meninggal dunia" Mayangsari menjawab dalam nada sedih.
"Sakit apa abang Sarba kok aye nggak dikabarin" Mayangsari kemudian menjelaskan.
"Begini Jampang, ketika gua ama abang lu belum punya anak, dulunye kite bedua pegi ke gunung Kepuk Batu. Maksudnya kita mau ziarah di makam keramat sembari mohon supaya dikasih anak. Disana kita diterima juru kunci yang bernama Pak Samat. Kemudian pak Samat membakar kemenyan sambil membuka mantera-mantera, dan tak lama keluarlah setan dari tempat keramat itu. Abang lu Sarba bertanye kepada to setan, "Apakah gua bakal punya anak?" Tuh setan manggut-manggut. Anak perempuan atau anak laki-laki? Setannye diem aja. Anakku perempuan? Setannye geleng kepala. Anak laki-laki. Setannye manggut-manggut. Abang lu bilang kalau saye dapat anak laki-laki, saya berjanji akan membawa sepasang Bekakak Kebo yang ditusuk dari pantat sampai kepala katanye. Setelah itu gue ame abang lu pulang lagi kerumah dan beberapa bulan kemudian gue ngandung sesudah genap usia kandungan gue, lahirlah seorang bayi laki-laki, anak itu gue kasih nama Abdih. Lima belas taon udehnye tentunya si Abdih udeh gede, gue arne abang lu tuh jadi bingung abis gimane, keadaan sulit mane si Abdih pengen disekolahin, maka untuk menentramkan hati gue, Bang Sarba lu tuh ngajakin gue jalan-jalan dan plesiran sambil ngajakin si Abdih ke Betawi. Tapi malang nasib Abang lu si Sarba dadakan aja tuh jatuh sakit dan lantas kontan meninggal di tempat plesiran itu juga. Hal ini menurut dukun, Bang Sarba tidak menepati janjinya waktu memuja-muja di gunung Kepuk Batu. Kalo dapet anak laki-laki akan
bawain sepasang Bekakak Kebo." Demikian Mayangsari menjelaskan panjang lebar tentang kematian Sarba. Jampang dengan serius mendengar penjelasan Mayangsari.
"Kemane anak Mpok si Abdih itu?" tanya Jampang.
"Die sedang sekolah di Bandung" jawab Mayangsari. Jampang memanfaatkan kesempatan, dialog tersebut untuk menyampaikan maksudnya. Dalam kesempatan yang tepat Jampang melontarkan niatnya.
"Mpok jande, aye dude, nah baeknya kita kawin aje kan klop" ujar Jampang serius dan mengharapkan jawaban.
"He Jampang, kalo lu pengen kawin, lu urusin sendiri diri lu, ape lu mau cari jande kek, perawan kek itu urusan lu asal jangan lu mau kawin ame gue, itukan nggak pantes" Mayangsari sangat berang, kemudian bangkit meninggalkan Jampang duduk sendiri.
Jampang belum menyerah. Ia meminta Ciput memberitahu kepada Mayangsari bahwa niatnya bukanlah main-main. Jampang juga menjanjikan hadiah bila Ciput bisa meluluhkan hati Mayangsari. Ciput masuk ke rumah untuk melunakan hati Mayangsari. Ternyata Mayangsari marah besar, Ciput mendapat sumpah serapah. Mayangsari kemudian keluar menemui Jampang sambil berujar.
"Lu jangan ngerecokin gue Jampang, gue lagi bingung nih" seraya meludahi muka Jampang kemudian masuk ke rumah.
Jampang merasa malu dengan perlakuan Mayangsari. Jampang beranjak meninggalkan rumah temannya almarhum Sarba. Jampang bertekad untuk menutupi malunya dengan menikahi Mayangsaridengan jalan apapun. Jampang pergi kerumah keponakannya. Sarpin keponakan Jampang juga seorang jagoan. Sarpin kaget melihat kedatangan Jampang, pamannya yang sudah lama tak bertemu. Kepada Sarpin Jampang menceritakan pengalamannya dengan Mayangsari, dan meminta Sarpin membantu. Sarpin dengan senang hati bersediamembantu pamannya. Mereka menemui seorang dukun manjur untuk mendapatkan ilmu pelet agar Mayangsari tergila-gila padanya. Pak Dul dukun manjur dari kampung Gabus memberikan ilmu pelet kepada Jampang.
Berbekal ilmu pelet tersebut, Jampang menemui Mayangsari kontan saja Mayangsari menjadi gila. Jampang menjadi kuatir dan pergi. Beberapa hari kemudian Abdih anak Mayangsari pulang dari Bandung, menemukan ibunya gila, lalu Abdih berupaya menyembuhkan. Abdih mengetahui sebab ibunya menjadi gila. Setelah ibunya. sembuh. Abdih menemui Jampang dan menceritakan bahwa ibunya bisa menikah dengan Jampang asalkan dipenuhi syarat.
"Apa syaratnye?" tanya Jampang.
"Syaratnya Bapak Jampang harus memberi mas kawinnya kebo sepasang."
Mengetahui syarat yang diajukan, Jampang kemudian mengajak Sarpin untuk merampas kerbau milik Haji Saud di Tambun. Dalam aksi perampasan mereka dengan mudah membawa kerbau tersebut. Dalam perjalanan pulang, Jampang dan Sarpin temyata telah dikepung berpuluh serdadu Belanda bersenjata lengkap. Jampang dan Sarpin tertangkap dan dipenjarakan.
Jampang kemudian diadili, segala aksinya sejak dulu diungkapkan di persidangan dan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Jampang dengan tabah menuju tiang gantungan sambil berdoa memohon ampunan kepada Allah bahwa apa yang dilakukan olehnya tak lebih dari reaksi orang-orang tertindas oleh kejaliman penjajah beserta kaki tangannya. Regu tembak menarik pelatuk dan ajalnya memang tiba, tamatlah riwayat Si Jampang. Jago betawi yang dibenci penjajah beserta kaki tangannya tetapi dicintai oleh penduduk.
 
Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004

Legenda Si Jampang




Anak laki-laki itu dinamakan Jampang. la lahir di desa Jampang Sukabumi Selatan. Bapaknya berasal dari Banten dan ibunya berasal dari desa ]ampang. Anak laki-laki itu tinggal di rumah pamannya di Grogol Depok. Pamannya sangat sayang kepadanya, selain keponakan, anak laki-laki itu juga yatim piatu yang memerlukan perlindungan. Sang paman membawa Jampang dari desa Jampang ke Grogol Depok. Dirumah pamannya, Jampang dibesarkan. Jampang diperlakukan sebagai anak sendiri. Agar ]ampang memiliki ilmu, bekal hidupnya, oleh pamannya ia disuruh mengaji pada seorang guru ngaji di Grogol Depok. Jampang juga disuruh belajar ilmu bela diri oleh pamannya. Pamannya berkata,
"Pang, Lu mesti punya kepandaian silat, karena menegakkan kebenaran tanpa kekuatan adalah sia-sia."
" Aye mang ! " jawab Jampang penuh rasa hormat.
" Lu ikut mamang ke Cianjur, lu belajar silat disana ama kenalan mamang."
" Aye sih pegimane mamang."
Oleh pamannya, Jampang diantarkan ke Cianjur untuk belajar sekaligus menetap dirumah guru silat.
Selain belajar silat, ]ampang membantu guru silatnya, Jampang membantu menanem padi, merapikan rumah. Ditempat guru silatnya, Jampang memperlakukan diri sebagai anak, tidak berpangku tangan. Guru silatnya menjadi sayang, dan dengan rela hati mengajarkan semua kepandaian yang dimiliki termasuk ilmu kebatinan.
Setelah Jampang menyelesaikan menuntut ilmu silat, ia kembali ke Grogol Depok. Guru silatnya berpesan kepadanya agar ilmu yang didapatnya jangan digunakan untuk berbuat kejahatan. Jampang mengangguk setuju, kemudian mencium tangan guru silatnya mohon izin meninggalkan Cianjur kembali ke Grogol Depok "Pang! Salam aye buat mamang lu," ujar Guru silatnya. " Aye, Guru !"
Jampang kembali ke rumah Mamang di Grogol Depok. Dari Cianjur Jampang berjalan kaki melewati jalan setapak naik turun perbukitan menuju Bogor. Dari Bogor Jarnpang menumpang kereta api Buitenzorg-Batavia turun di Depok. Pamannya sangat gembira menyambut kedatangan Jampang yang telah berbulan lamanya meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu silat. Oleh pamannya, Jampang diminta meneruskan menuntut ilmu mengaji. Jampang dengan patuh memenuhi permintaan mamangnya. Berkat ketekunan dan kepatuhan untuk menuntut ilmu mengaji, Jampang dengan mudah menyerap ilmu mengaji yang diajarkan gurunya. Gurunya menjadi sayang kepadanya, selama menuntut ilmu mengaji, Jampang juga membantu mamangnya dan guru ngajinya mengerjakan sawah.
Setelah merasa cukup memiliki bekal ilmu dan usianya telah menanjak dewasa menjadi seorang pemuda, Jampang merasa sudah saatnya tidak bergantung lagi dengan mamangnya. Jampang menyampaikan keinginannya untuk merantau ke Betawi.
" Kalo emang lu pengen merantau, lu mesti bawa diri, biar orang laen seneng ame lu." mamangnya menasehati " Aye mang." jawab Jampang.
Jampang berangkat ke Betawi, memulai kehidupan mandiri. Di Betawi Jarnpang menuju salah seorang ternan mamangnya di Kebayoran Lama. la diterima menetap dirumah tersebut. Sebagai penumpang, Jampang membantu si empunya rumah berkebun serta berdagang buah di pasar Tanah Abang.
Suasana Kebayoran Lama tempat Jampang menetap di bawah kekuasaan tuan tanah dengan centeng centengnya yang setiap bulan datang menagih pajak kepada penduduk. Bila penduduk tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng tak segan-segan mengambil harta milik yang ada di rumah penduduk. Ada kambing yang terlihat di kandang akan diambil. Keadaan bisa lebih buruk lagi, para centeng akan memukuli orang yang tidak bisa membayar pajak.
Jampang menyaksikan perilaku para centeng yang tidak punya perikemanusiaan kepada penduduk. Timbul keinginan untuk menantang para centeng, tapi Jarnpang masih berpikir akan nasib orang yang ditumpanginya. Jampang mengamati dengan cermat wajah para centeng dan bertekad akan membalas perbuatan mereka dikemudian hari.
Selama menumpang dirumah itu, Jampang berkenalan dengan gadis kampung tersebut. Jampang menjalin tali kasih dengan wanita di kampung itu, kemudian berniat membina rumah tangga. Jampang menyampaikan isi hatinya wanita tersebut setuju, kemudian si empunya rumah diminta untuk melamar orangtua wanita tersebut.
Jampang menikah dengan gadis Kebayoran Lama dan pindah menetap dirumah mertuanya. Oleh mertuanya, Jampang diberi sebidang tanah untuk digarap. Bersama isterinya, Jampang menggarap tanah, menanami lahan dengan bibit padi, kacang dan kelapa. Selain menggarap tanah, Jampang juga menjual hasil kebun mertuanya ke pasar Tanah Abang. Isterinya hamil kemudian melahirkan seorang anak laki-laki diberi nama Jampang muda. Wajah anaknya sangat mirip dengan dirinya, ibarat pinang dibelah dua. Jampang sangat gembira, kegembiraan yang tidak terkatakan. Setiap selesai bekerja di kebun atau menjual hasil kebun di pasar, Jampang selalu bercanda dengan anaknya.
Sekalipun Jampang memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi ia pun terkena tagihan dari centeng tuan tanah Kebayoran. Sebenarnya Jampang ingin melawan, tetapi memikirkan anaknya yang masih disusui isterinya
Jampang mengalah, membiarkan para centeng beraksi didepan matanya.
" Mane pajak lu, cepat ! " hardik centeng padanya.
" Ini bang! Jampang menyerahkan uang beberapa sen pada centeng tersebut.
"Lu memang penduduk yang taat.
" Aye bang" Jampang berpura-pura seperti orang bodoh
Ketika anaknya berusia 4 tahun, isterinya meninggal dunia. Jampang sangat sedih dengan kepergian isterinya. Ditatapnya mata anaknya yang kini tidak beribu lagi. mertuanya datang menggendong anaknya sarnbil berkata.
" Biarlah dia ame kami disini Pang."
"Aye nyak."
" Lu mau kemane Pang ?"
" Mau ke Tanah Abang nyak."
Jampang menitipkan anaknya kepada mertuanya, ia pergi ke Tanah Abang. Jampang memutuskan untuk mengambil kembali hak miliknya dan hak milik mertuanya serta penduduk yang diambil oleh para tuan tanah dan centeng secara sewenang-wenang. Jampang pergi ke Tanah Abang sambil melewati rumah para tuan tanah dan orang-orang kaya serta rumah para centeng. Sungguh sangat berbeda, rumah mereka penuh dengan perabotan mahal. Dari mana lagi kalau bukan dari hasil memeras penduduk.
Jampang di pasar Tanah Abang sampai menjelang Ashar. Kemudian pergi ke rumah seorang tuan tanah, mengamati dengan cermat keadaan rumah, berapa centeng yang menjaga, bagaimana jalan masuk yang tepat. Setelah itu Jampang pergi ke langgar, menunggu sambil sholat Maghrib dan Isya.
"Anak siape ? " tanya imam sekaligus ustadz langgar menyapanya
"Aye Jampang pak imam" jawab Jampang
" Anak dari mane? "
" Aye dari Kebayoran Lama"
" Ada keperluan apa singgah di kampung ini ?"
" Aye pengen ngambil milik aye yang dirampok tuan tanah", "Hati-hati nak, banyak jagoannya." .
" Pan aye punya penolong " " Siape ?"
" Nyang diatas, Allah "
Imam langgar geleng kepala. Jampang segera mengambil wudhu dan azan Maghrib. Kemudian shalat Maghrib berjamaah.
Selesai sholat, imam langgar mengajak Jampang makan di rumahnya. Jampang tidak menolak, mengikuti imam langgar menuju rumah imam langgar. Sambil jalan imam langgar berkata, "Malam ini ada pertunjukan di kampung sebelah, biasanye lewat Isya para centeng dan tuan tanah pergi".
"Terima kasih pak ustadz."
Setelah sholat Isya, Jampang bergerak perlahan mendekati rumah tuan tanah. Dari kejauhan terlihat kerumunan orang. Para centeng dengan golok di pinggang sambil menyulut rokok sebagian duduk, sebagian berdiri. Kemudian keluar seorang yang barangkali tuan tanah. Kemudian kerumunan itu pergi dari rumah itu menuju ke kampung sebelah menonton pertunjukan Gambang Kromong.
Jampang dengan cermat mengawasi kepergian tuan tanah dan para centengnya. Setelah mereka berlalu beberapa saat, Jampang masih tetap di tempatnya untuk mengawasi keadaan rumah. kemudian keluar seorang lelaki, menutup pintu pagar lalu masuk kembali ke dalam rumah. Jampang bergerak perlahan-lahan sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Suasana sepi, gemerisik angin dan suara jangkrik memecah kesunyian malam. Jampang melompati pagar rumah tuan tanah, kemudian merangsek maju mendekati jendela, menempelkan telinga pada kayu dan jendela. Terdengar suara perempuan sedang berbincangbincang didalam rumah.
" Nyak, kalung aye belon juge dibeliin kapan nyak ? "terdengar suara perempuan muda, mungkin anak tuan tanah.
" Entar kalo si Rochim ame babe lu, pasti lu punya kalung juga" ujar perempuan tua, mungkin isteri tuan tanah.
" Babe sih seneng ingkar janji, bukannya beliin untuk aye, tapi buat gendak-gendaknya. "
" Kagak bener lu omongin babe lu, durhaka nak."
" Biarin, abisnye aye kagak dibeliin gelang " " Sono tidur, pan udah malem "
Jampang bergeser ke jendela lainnya, memasangkan telinga untuk mendengar, tak ada suara apa-apa, mungkin sudah tidur. Dengan perlahan-lahan menggunakan tenaga dalam, Jarnpang membuka jendela lalu melompat masuk. Seorang lelaki yang sedang tidur ayarn tersentak bangun, Jampang dengan sigap membekuk laki-laki itu untuk tidur kembali, sebuah pukulannya membuat lelaki itu terkulai layu tak
berdaya. Jampang kemudian bergerak kekamar tidur tuan tanah. Tangannya mengetuk pintu perlahan-lahan, terdengar suara panggilan dari dalarn karnar.
" Siape, elu Min ?" tanya isteri tuan tanah.
"Aye nyah" ujar Jarnpang memalsukan suara" Ada ape sih? Lu mau nonton ?" " lye nyah "
Terdengar langkah menuju pintu, pintu terbuka, dalam waktu tak lebih dari dua detik, Jampang berhasil membekuk isteri tuan tanah. Goloknya ditodong ke Ieher isteri tuan tanah.
"Tunjukan mane lemari lu "Jampang mengarah isteri tuan tanah ke lemari di dalam kamar.
"Jangan !" ujar isteri tuan tanah.
" Lu teriak gue sabet leher lu."
Jampang membuka pintu lemari, ternyata terkunci. Jampang menekan ujung goloknya ke leher isteri tuan tanah.
" Ampun, " ujar isteri tuan tanah minta belas kasihan " Ambilin kuncinya, cepat!"
" Lepasin aye"
" Tidak, mana kuncinya ?"
lsteri tuan tanah menunjuk kearah kasur. Jarnpang mengarah isteri tuan tanah ke sisi kasur, kemudian mengangkat kasurnya, mengambil kunci. Kemudian Jampang mengikat isteri tuan tanah dan menyumpal mulutnya dengan kain.
Jampang membuka lemari, mengarnbil uang dan emas yang ada dalam lemari, kemudian uang emas dan beberapa potong kain sarung dikumpulkan dalam sebuah kain sarung. Lalu Jampang mendekati isteri tuan tanah, melucuti kalung, gelang serta cincin yang dipakai isteri tuan tanah.
"Hei perempuan, lu pikir semua bande ini milik lu?" ujar Jampang seraya menengadahkan kepala isteri tuan tanah dengan tangannya.
"Bande ini laki lu rarnpas dari rakyat, ini semua keringat penduduk, yang kerjanya setengah mati, lu enak-enak main rampas," ujar Jampang menatap tajam ke muka isteri tuan tanah.
Jarnpang kemudian keluar dari kamar tersebut, menutup pintunya perlahan-lahan, berjingkat ke arah kamar yang tempat ia masuk, melompat lewat jendeia kemudian mendekati pagar, lalu melompat keluar. Jampang melangkah waspada, tidak melalui jalan yang biasa dilalui orang. Ia mengambil jalan lewat tegalan sawah menuju ke Kebayoran. Jampang tiba di rumahnya saat hampir subuh. Selama perjalanan, Jampang membagi-bagikan sebagian rampasannya ke rumah-rumah penduduk miskin. Sampai di rumah, Jampang segera menyimpan sisa rampasan, lalu mengambil air wudhu, melaksanakan sholat subuh. Memohon ampun kepada Allah tindakan yang terpaksa dilakukan, kemudian tidur lelap. Setelah peristiwa tersebut, Jampang mencari tahu tentang tuan tanah tersebut semakin bengis dalam menagih pajak, tidak perduli keluhan penduduk mengapa tagihan pajak begitu
cepat dari waktunya.
"Pan pajeknye udah aye bed kemarin" ujar penduduk pada centeng.
"Diam lu, ngebacot gua golok " hardik centeng.
Jampang yang menyaksikan keadaan tersebut, tidak bisa menahan diri. Jampang menghadang beberapa orang centeng yang baru saja merampas dari sebuah rumah penduduk.
"Minggir lu bangsat ! " hardik centeng pada Jampang.
" Serahin semua bawaan lu " pinta Jampang.
" Lu mau ngerampok ?"
" Emang kenape, lu juga ngerampok," ujar Jampang tenang.
Centeng-centeng segera mengayunkan goloknya ke arah Jampang. Dengan sigap Jampang melayani perkelahian dengan para centeng. Seorang centeng yang mencoba melarikan barang, segera dijegal Jampang. Perkelahian menjadi seru. Satu persatu centeng berhasil dilumpuhkan, kemudian Jampang melemparkan golok mereka ke rumput ilalang, lalu menghardik mereka.
" Bangun ! pergi atau gue cabut nyawa elu-elu"
Para centeng dengan susah payah bangun, kemudian terbirit-birit menjauh dari Jampang, kemudian hilang dari pandangan.
Penduduk segera berdatangan, Jampang melemparkan barang-barang rampasan dari centeng kepada penduduk. " Ambil yang kalian punya" ujar Jampang.
Para penduduk memilih barang mereka kemudian mendekati Jampang, sebagian berlutut ingin mencium kakinya.
" Jangan ! gue bukan Belande, bangun ! pulang kerumah masing-masing " seru Jampang.
" Terima kasih, Bang " penduduk memberi hormat. Kemudian Jampang berlalu dari tempat itu.
Jampang terus melakukan aksinya setiap malam ke rumah tuan tanah, rumah para centeng dan rumah orang kaya. Jampang terus berpindah tempat diantaranya Grogol, Pasar Ikan, Tanjung Priok dan Tambun Bekasi. Selain melakukan aksi perampasan malam hari, Jampang juga selalu menghadang para centeng yang menagih pajak atas penduduk. Karena aksinya, namanya dikenalluas oleh penduduk si Jampang dihormati dan dielu-elukan kehadirannya, sedangkan bagi para centeng, tuan tanah, demang dan Belanda, si Jampang sangat dibenci dan diburu.
Penguasa penjajah mengerahkan polisi untuk mengintai si Jampang, tetapi karena ia selalu berpindah-pindah tempat operasinya, sulit bagi polisi Belanda menangkapnya, sementara jagoan centeng para tuan tanah tidak mampu membunuh Jampang dalam setiap perkelahian. Akibat keberhasilan yang selalu memihaknya Jampang digelari penduduk sebagai Si Jampang Jago Betawi.
Sehari harinya Jampang sangat memperhatikan anaknya. Anaknya dititipkan di rumah mertuanya. Setiap ada kesempatan Jampang mendatangi rumah mertuanya menemui anaknya. Baru setelah anaknya berusia diatas sepuluh tahun. Jampang mengajak tidur dirumah mereka, jika kebetulan menginap di rumah, jika Jampang beroperasi, anaknya dititipkan dirumah mertua. Jampang tak ingin mertuanya dan anaknya susah, karenanya Jampang tidak beroperasi dikampungnya.
Jampang juga mengajarkan anaknya ilmu serta ilmu agama seadanya jika kebetulan di rumah. Anaknya tumbuh menjadi dewasa dan kekar. Mencapai usia 15 tahun, Jampang berkata pada anaknya.
"Eh lu tong, gua mau nanya ame lu. lu mau sekolah apa lu mau ngaji?" Tanya Jampang.
"Ngaji aye nggak mau, sekolah juga aye ogah. Aye kepengen belajar main pukul kaye babe".
"Lu jangan main pukul kaya bapak lu, kalau lu ogah semua, baekan lu kawin aje dah".
"Aye kagak mau kawin be, kalau gitu aye mendingan sekolah aje, kalau babe mau kawin, babe aja dah yang kawin". Jampang tertawa mendengarkan jawaban dan usulan anaknya.
"Kalo lu punya nyak lagi, gua punya kawan yang bernama Sarba di tanah perkembangan Tambun" kata Jampang. Jampang kemudian menyerahkan anaknya pada seorang guru ngaji. Setelah itu Jampang pergi ke tanah perkembangan menemui Sarba temannya.
Di tanah perkembangan Jampang di sambut oleh Si Ciput pembantu rumah tangga Sarba. Jampang gembira sekali karena akan bertemu temannya yang sudah lama berpisah.
"Eh Put kemana Sarba?" tanya Jampang antusias.
"Sarba pan udah meninggaI" ujar Ciput tenang menjawab pertanyaan Jampang. Jampang kaget bukan kepalang, Jampang bagaikan tak percaya pada pertanyaan Ciput.
"Hah! Masa iye Put, Sarba udah meninggal ??? kalo gitu istri Sarba si Mayangsari menjande ye Put?" Jampang berkelakar.
"Betul" jawab Ciput tersenyum.
"Wah, kebetulan sekali Put, gua sedang kagak punya bini, bini gua udah meninggal Put. Coba lu omongin ame Si Mayangsari. Put, ape mau die kawin arne gua?" Jampang minta Ciput untuk memberitahukan keinginannya pada Mayangsari.
Ciput masuk ke dalam rumah, sementara Jampang duduk di serambi rumah. Beberapa waktu kemudian Ciput dan Mayangsari menemui Jampang, Jampang tersentak bangun dan menyalami Mayangsari.
"Mayangsari ... Abang Sarba pergi kemane?" Jampang berpura-pura tidak tahu.
"Abang lu jangan ditanya, Sarba telah lama meninggal dunia" Mayangsari menjawab dalam nada sedih.
"Sakit apa abang Sarba kok aye nggak dikabarin" Mayangsari kemudian menjelaskan.
"Begini Jampang, ketika gua ama abang lu belum punya anak, dulunye kite bedua pegi ke gunung Kepuk Batu. Maksudnya kita mau ziarah di makam keramat sembari mohon supaya dikasih anak. Disana kita diterima juru kunci yang bernama Pak Samat. Kemudian pak Samat membakar kemenyan sambil membuka mantera-mantera, dan tak lama keluarlah setan dari tempat keramat itu. Abang lu Sarba bertanye kepada to setan, "Apakah gua bakal punya anak?" Tuh setan manggut-manggut. Anak perempuan atau anak laki-laki? Setannye diem aja. Anakku perempuan? Setannye geleng kepala. Anak laki-laki. Setannye manggut-manggut. Abang lu bilang kalau saye dapat anak laki-laki, saya berjanji akan membawa sepasang Bekakak Kebo yang ditusuk dari pantat sampai kepala katanye. Setelah itu gue ame abang lu pulang lagi kerumah dan beberapa bulan kemudian gue ngandung sesudah genap usia kandungan gue, lahirlah seorang bayi laki-laki, anak itu gue kasih nama Abdih. Lima belas taon udehnye tentunya si Abdih udeh gede, gue arne abang lu tuh jadi bingung abis gimane, keadaan sulit mane si Abdih pengen disekolahin, maka untuk menentramkan hati gue, Bang Sarba lu tuh ngajakin gue jalan-jalan dan plesiran sambil ngajakin si Abdih ke Betawi. Tapi malang nasib Abang lu si Sarba dadakan aja tuh jatuh sakit dan lantas kontan meninggal di tempat plesiran itu juga. Hal ini menurut dukun, Bang Sarba tidak menepati janjinya waktu memuja-muja di gunung Kepuk Batu. Kalo dapet anak laki-laki akan
bawain sepasang Bekakak Kebo." Demikian Mayangsari menjelaskan panjang lebar tentang kematian Sarba. Jampang dengan serius mendengar penjelasan Mayangsari.
"Kemane anak Mpok si Abdih itu?" tanya Jampang.
"Die sedang sekolah di Bandung" jawab Mayangsari. Jampang memanfaatkan kesempatan, dialog tersebut untuk menyampaikan maksudnya. Dalam kesempatan yang tepat Jampang melontarkan niatnya.
"Mpok jande, aye dude, nah baeknya kita kawin aje kan klop" ujar Jampang serius dan mengharapkan jawaban.
"He Jampang, kalo lu pengen kawin, lu urusin sendiri diri lu, ape lu mau cari jande kek, perawan kek itu urusan lu asal jangan lu mau kawin ame gue, itukan nggak pantes" Mayangsari sangat berang, kemudian bangkit meninggalkan Jampang duduk sendiri.
Jampang belum menyerah. Ia meminta Ciput memberitahu kepada Mayangsari bahwa niatnya bukanlah main-main. Jampang juga menjanjikan hadiah bila Ciput bisa meluluhkan hati Mayangsari. Ciput masuk ke rumah untuk melunakan hati Mayangsari. Ternyata Mayangsari marah besar, Ciput mendapat sumpah serapah. Mayangsari kemudian keluar menemui Jampang sambil berujar.
"Lu jangan ngerecokin gue Jampang, gue lagi bingung nih" seraya meludahi muka Jampang kemudian masuk ke rumah.
Jampang merasa malu dengan perlakuan Mayangsari. Jampang beranjak meninggalkan rumah temannya almarhum Sarba. Jampang bertekad untuk menutupi malunya dengan menikahi Mayangsaridengan jalan apapun. Jampang pergi kerumah keponakannya. Sarpin keponakan Jampang juga seorang jagoan. Sarpin kaget melihat kedatangan Jampang, pamannya yang sudah lama tak bertemu. Kepada Sarpin Jampang menceritakan pengalamannya dengan Mayangsari, dan meminta Sarpin membantu. Sarpin dengan senang hati bersediamembantu pamannya. Mereka menemui seorang dukun manjur untuk mendapatkan ilmu pelet agar Mayangsari tergila-gila padanya. Pak Dul dukun manjur dari kampung Gabus memberikan ilmu pelet kepada Jampang.
Berbekal ilmu pelet tersebut, Jampang menemui Mayangsari kontan saja Mayangsari menjadi gila. Jampang menjadi kuatir dan pergi. Beberapa hari kemudian Abdih anak Mayangsari pulang dari Bandung, menemukan ibunya gila, lalu Abdih berupaya menyembuhkan. Abdih mengetahui sebab ibunya menjadi gila. Setelah ibunya. sembuh. Abdih menemui Jampang dan menceritakan bahwa ibunya bisa menikah dengan Jampang asalkan dipenuhi syarat.
"Apa syaratnye?" tanya Jampang.
"Syaratnya Bapak Jampang harus memberi mas kawinnya kebo sepasang."
Mengetahui syarat yang diajukan, Jampang kemudian mengajak Sarpin untuk merampas kerbau milik Haji Saud di Tambun. Dalam aksi perampasan mereka dengan mudah membawa kerbau tersebut. Dalam perjalanan pulang, Jampang dan Sarpin temyata telah dikepung berpuluh serdadu Belanda bersenjata lengkap. Jampang dan Sarpin tertangkap dan dipenjarakan.
Jampang kemudian diadili, segala aksinya sejak dulu diungkapkan di persidangan dan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Jampang dengan tabah menuju tiang gantungan sambil berdoa memohon ampunan kepada Allah bahwa apa yang dilakukan olehnya tak lebih dari reaksi orang-orang tertindas oleh kejaliman penjajah beserta kaki tangannya. Regu tembak menarik pelatuk dan ajalnya memang tiba, tamatlah riwayat Si Jampang. Jago betawi yang dibenci penjajah beserta kaki tangannya tetapi dicintai oleh penduduk.
 
Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004

Murtado, Macan Kemayoran

Duet Macan Kemayoran dan Singa KarawangFoto itu menempel sendirian di dinding bercat kuning. Lusuh sudah kecoklatan. Bergambar lelaki kurus keriput, berpeci hitam dengan mata melotot. Seolah menatap saban tamu berkunjung ke rumahnya.

Dia mengenakan jas putih membungkus kemeja hitam, serupa pakaian khas suku Betawi. Tidak banyak yang mengenal siapa lelaki dalam foto itu. Namun empunya rumah mengaku pria dalam bingkai berukuran 30R ini ialah Murtado bergelar Macan Kemayoran. Seorang jawara kisahnya melegenda hingga saat ini.

"Itu ayah saya, Murtado Macan Kemayoran," kata Muhammad Ikhwan, putra dari Siti, istri ke-15 Macan Kemayoran, saat ditemui Jumat pekan lalu di kediamannya, Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat. Ikhwan lebih tersohor dengan sebutan Iwan Cepi Murtado. Dia mantan prajurit dari kesatuan Banteng Raiders.

Jejak Macan Kemayoran selama ini memang menjadi legenda rakyat. Kisah heroiknya di zaman penjajahan Belanda membuat nama Murtado mencorong. Bahkan saking terkenalnya, nama Macan Kemayoran digunakan untuk julukan Persatuan Sepak Bola Jakarta (Persija).

Murtado lahir di Kemayoran pada 1869 dan meninggal saat ulang tahun kemerdekaan ke-14 di Kebon Sirih, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ayahnya, mantan lurah bernama Murtado Sanim, dan ibunya adalah Aminah.

Umumnya anak Betawi zaman dulu, sejak kecil Murtado dikenal rajin mengaji dan belajar ilmu agama. Dia berani dan jago bela diri. Murtado dikenal jago toya, senjata biasa dipakai dalam kungfu china.

Gurunya banyak. Namun Iwan Cepi Murtado cuma ingat dua nama guru ayahnya: Kong Bek Guru di Sandang, Kemayoran, Jakarta Pusat, dan Guru Sandang asal Condet, Jakarta Timur. "Saya sempat menemui Guru Sandang sebelum ayah saya meninggal," ujar Iwan Cepi Murtado.

Guru Sandang hidup hingga lebih dari seabad. Dia sempat menemani Murtado dua pekan sebelum Macan Kemayoran dipanggil Sang Khalik. "Ada ilmu harus diambil, saya nggak tahu ilmu apa," tuturnya.

Cerita legendaris tentang Murtado memang betul adanya. Namun ada sedikit kisah berbeda dari Iwan Cepi Murtado. Saat Murtado berusia 20 tahun, dia berkelahi dengan Bek Lihun, orang kepercayaan Belanda untuk menagih pajak di Kemayoran. Dulu pajak dikenal sebagai upeti, sedangkan Bek adalah kepala kampung. Nama asli Bek Lihun ialah Solihun.

Bek Lihun terkenal kejam. Meski orang asli Betawi Kemayoran, namanya kesohor sebagai jawara paling ditakuti saat itu. Jawara se-Jakarta kala itu tidak bisa menumbangkan dia. Bek Lihun makin liar, dia dikenal tukang peras di tanah kelahirannya. Jika penduduk menolak kasih upeti, Bek Lihun tak segan menguras harta mereka. Bahkan, anak gadis juga bakal disita demi menakuti warga.

Nasib berkata lain ketika Bek Lihun menggoda dan hendak memerkosa kembang desa. Murtado turun tangan, dia berkelahi dengan Bek Lihun. Sejurus dua jurus, Bek Lihun jatuh, dia terbirit-birit meninggalkan Murtado.

Sejak saat itu Belanda mengganti Bek Lihun ke Murtado. Dia dipercaya menagih pajak hasil bumi di Kemayoran. Murtado malah berkhianat. Dia mengambil upeti itu untuk dibagikan kepada warga Kemayoran.

Murtado dikenal jago main pukul. Perawakannya jauh dari kesan jawara. Badannya kecil dan wajahnya mirip orang Tionghoa. Bermata sipit dan kerap berpeci hitam saban berpergian. Karena dekat dengan jago kungfu China, dia diwarisi seni beladiri. Murtado lihai menggunakan toya.

Toya merupakan senjata dalam seni bela diri berupa tongkat panjang. Murtado sering menggunakan toya dalam berkelahi. Toya ini pula mengantarkan Murtado mengalahkan Mandor Bacan dan Bek Lihun. Kisah ini diceritakan ulang oleh sepupu Macan Kemayoran, Ainan alias Mandor Tinggal, kepada Iwan Cepi Murtado.

Begini jalan ceritanya. Murtado ketika itu baru berumur seperempat abad geram atas kelakuan Mandor Bacan, tangan kanan Bek Lihun. Sebab, kerjanya memeras warga Kemayoran saat meminta upeti. Orang susah pun hartanya disikat.

"Bang inikan orang susah, kalo nggak ada jangan dipaksain," kata Iwan Cepi Murtado menirukan omongan Mandor Tinggal. Bacan tidak terima. Dia lantas menggertak Macan Kemayoran.
"Lu anak-anak mau macem-macem."

Murtado tidak takut. Dia membalas ancaman Mandor Bacan dengan nasihat agar tidak mengambil barang tetangganya. Karena sudah kesal, Mandor Bacan kalap dan mencoba memukul. Murtado berhasil menghindar dan langsung menyerang balik. Pukulannya membuat Mandor Bacan terjengkang. Dia lari terbirit-birit meninggalkan Murtado dan melapor ke Bek Lihun.

Mendengar anak buahnya diusik, Bek Lihun datang dengan para jago silat mencari Murtado. Orang-orang suruhan itu juga takluk. Murtado akhirnya berduel dengan Bek Lihun buat menolong kembang desa ingin dinikahi paksa oleh Bek Lihun.

Bek Lihun kalah dan kabur. Sejak saat itu Bek Lihun tidak berani datang ke Kemayoran. Belanda mendengar kabar mengejutkan itu. Mereka lantas mengangkat Murtado sebagai penagih upeti menggantikan Bek Lihun.

Belanda memberi dia tempat tinggal di tengah Kampung Kemayoran. Letaknya kini di samping Markas Kepolisian Sektor Kemayoran. Di sana sekarang berdiri rumah makan.

Berbeda dengan Bek Lihun, sejak menjadi mandor, Murtado justru membantu warga Kemayoran. Saban hari Murtado ditunggu warga untuk meminta bahan makanan. Dia mencuri isi gudang beras dia jaga untu dibagikan kepada orang miskin.

Saban berpatroli keliling kampung, warga selalu menunggu Murtado untuk meminta bantuan. Kemayoran dulunya penghasil beras, kelapa, dan pisang. Wilayahnya membentang hingga Senen. Karena ringan tangan, para jawara pernah kalah melawan Bek Lihun menobatkan Murtado menjadi Macan Kemayoran.

"Nah cuma pemuda Murtado mampu jatuhin sang jawara Bek lihun," ujar Iwan Cepi Murtado. Tiga orang tewas dalam perkelahian ditonton warga Kemayoran itu.

Sebagai mandor, Murtado diberi tempat tinggal oleh Belanda di tengah Kampung Kemayoran. Letaknya kini di samping Markas Kepolisian Sektor Kemayoran. Di sana sekarang berdiri rumah makan.

Sehabis mengalahkan Bek Lihun, Murtado diangkat sebagai mandor oleh Belanda. Namun, sikapnya tak pernah mencerminkan bagian dari penjajah. Selain tidak pernah kejam menarik pajak dari warga Kemayoran kala itu, Macan Kemayoran, julukannya, malah mendukung para pejuang kemerdekaan dalam mendistribusikan senjata.

Muhamad Ikhwani biasa dikenal Iwan Cepi Murtado mengatakan bapaknya sering mencuri gudang padi dan kelapa untuk dibagikan percuma kepada masyarakat di Kemayoran. Para mandor biasa bengis saat menagih upeti, Murtado sebaliknya. Dia melonggarkan pungutan buat pedagang dan petani.

Setiap pagi sama sore warga selalu menunggu babeh lewat karena biasanya pasti bagi-bagi apa saja, Kata Iwan saat ditemui merdeka.com Jumat pekan lalu di rumahnya, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Menurut Iwan sekitar akhir 1800 hingga 1900-an, Kemayoran masih banyak tumbuh kebun kelapa, sawah, hutan belantara dan sisanya rawa hingga ke laut Ancol sekarang ini. Hasil tanaman dan padi ikut melimpah. Semua diwajibkan memberikan pajak kepada Belanda, ujar Iwan.

Murtado memang tak pernah bertempur dengan penjajah secara langsung. Mendiang bapaknya mempunyai jaringan pengiriman senjata api hingga Bekasi. Macan Kemayoran memegang kunci gudang senjata dan makanan di Kemayoran itu sering mencuri untuk dikirim kepada para pejuang hingga Bekasi.

Dari penuturan mendiang Muhamad Sidiq, kakak kandung Iwan, bapaknya pernah mengirim beras dan senjata kepada pemimpin pejuang wilayah Bekasi, Kiai Haji Noer Alie. Dulu Sidiq pernah ikut membawa karung beras berisi senjata api bersama ayahnya menyusuri sungai sampai Bekasi.

Dari Kemayoran menyusuri sungai dua hari dua malam. Puluhan pasukan Belanda menghadang di sekitar Pulogadung. Murtado nekat menerobos dengan mengaku sebagai suruhan pihak penjajah untuk mengirim beras. Jadi Babeh bawa surat sambil ngomong spereken (Bahasa Belanda) ke pasukan Belanda dan lolos juga, tutur Iwan.

Murtado disebut dekat dengan Singa Kerawang, sebutan bagi Kiai Haji Noer Alie, pejuang asal Bekasi, Jawa Barat. Macan Kemayoran menganggap Singa Karawang sebagai sahabat sekaligus guru.

Jago Silat Rajin Sholat
Namanya kini menjadi ikon Kemayoran, Jakarta Pusat. Bahkan, sebuah organisasi kemasyarakatan di daerah itu menggunakan namanya, yakni Lembaga Macan Kemayoran (LMK). Letaknya di perempatan menuju Sunter dari arah Jalan Haji Ung, nama kakeknya mendiang Benyamin Sueb.

Putra Macan Kemayoran, Iwan Cepi Murtado, menjadi penasihat di LMK. Lembaga ini berupaya melestarikan budaya Kemayoran agar tidak hilang ditelan zaman. Murtado si Macan Kemayoran memang tersohor, namun tak banyak orang mengenal siapa dia sejatinya.

Murtado kian tersohor sehabis menaklukkan jawara paling ditakuti, Mandor Bacan dan Bek Lihun. Meski begitu, dia tidak pernah menantang orang berkelahi. Ibarat pepatah Betawi: elu jual gue beli. Dia enggan memamerkan kelihaiannya bermain silat. Seni bela diri dari beberapa guru itu dia simpan untuk menjaga diri. Agama menjadi penyeimbang agar dia tetap pada jalan lurus memanfaatkan ilmunya.

"Murtado sebenarnya bukan jawara, dia bukan simbol jagoan. Ayah saya orang tekun agama," kata Iwan Cepi Murtado anak dari Siti, istri ke-15 Macan Kemayoran, saat ditemui Jumat pekan lalu di kediamannya, Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Murtado diketahui memiliki 15 istri. Keturunannya ada banyak tapi jumlahnya simpang siur. Saat ini hanya Iwan Cepi Murtado tersisa. Catatan istri pertama hingga sebelas tak tertulis dan diingat jelas. Istri ke-12 bernama Mak Na asal Rawamangun, Jakarta Timur. Berikutnya Mak Sarah dari Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat. Lalu Mak Nok, orang Gagang Keran, Kemayoran.

"Ibu saya istri terakhir, dia ke-15," ujarnya. Dari Siti, Macan Kemayoran memiliki tiga putra: Muhammad Zakaria, Sidiq, dan Muhammad Ikhwani. Ikhwani dikenal dengan nama Iwan Cepi Murtado.

Sedangkan dari Mak Sarah, Macan Kemayoran mempunyai satu putri diberi nama Indun. Kabarnya Indun tinggal di Petamburan, Jakarta Pusat. "Hanya tinggal saya aja keturunannya. Kakak saya juga tidak diketahui keberadaannya, kabarnya ada di Petamburan," tutur Iwan Cepi Murtado.

Ada kisah unik dibalik banyaknya istri Murtado. Istri pertama diketahui berasal dari Kampung Pitung di Marunda. Ceritanya begini, gebetan Murtado merupakan anak dari seorang jawara di Marunda.

Murtado harus bisa mengalahkan putrinya jago silat untuk meminang. Dia menyanggupi syarat itu dan berkelahi dengan calon istrinya. Dia menang. Jawara Marunda itu akhirnya menyerahkan putrinya buat dinikahi Macan Kemayoran. "Bapak saya semua istrinya cantik, kalau sekarang disebut playboy. Dia itu haus nikah," kata Iwan Cepi Murtado.

Ada sebab kenapa tidak semua nama istri Macan Kemayoran tidak tercatat. Sebuah cacatan sepanjang 300 halaman hilang dari genggaman istri termudanya, Siti. Tidak jelas ke mana catatan itu hilang. Bahkan foto-foto Murtado berikut keluarganya juga raib. Hanya satu foto tertinggal dan kini terpasang di rumah Iwan Cepi Murtado.
(sumber: Merdeka.com)

Tuesday, August 12, 2014

Cinta dan pengorbanan seorang ibu

Ibu dikenal sebagai wanita mau melakukan apa pun untuk anak-anaknya. Cerita Jamila Abdulle adalah sebuah contoh bagaimana ia benar-benar rela berkorban demi anak-anaknya di dalam pengungsian. 
 
Pada tahun 2009, Jamila harus berjalan 1.200 kilometer ke negara lain, sambil membawa anak yang sakit dalam pelukannya dengan harapan mencari perhatian medis. Dia melakukan perjalanan dari Mogadishu, Somalia ke Kampala, Uganda untuk menyelamatkannya putrinya yang berusia 5 tahun, Sagal. Sagal lahir dengan lubang di jantunginya dan ia sangat membutuhkan pertolongan medis yang tak mungkin bisa ditemukan di daerah yang dilanda perang saudara, apalagi untuk menelepon ke rumah.


Jamila membuat keputusan sulit untuk meninggalkan suaminya dan tujuh anak-anak lain untuk mencari bantuan. Dia bergabung dengan kelompok pengungsi pria, wanita lanjut usia dan anak-anak, melakukan perjalanan selama 21 hari. Jamila bahkan ikut pula membantu wanita hamil disamping ia harus merawat anaknya. Sayangnya kondisi Sagal semakin memburuk sepanjang jalan pengungsian.


Untungnya Jamila bertemu keluarga Somalia yang lain di sebuah kamp pengungsi di Kampala, Sagal kemudian dirujuk ke rumah sakit yang milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dari sana, persiapan telah dilakukan untuk mengirim Jamila dan Sagal ke Phoenix melalui Komite Penyelamatan Internasional di September 2011 Setelah tiba, Sagal menerima operasi jantung terbuka dan jauh lebih sehat sekarang. Sagal sekarang dapat berlari dan bermain dengan anak-anak lain di lingkungannya.

Tantangan masih terbentang di depan untuk Jamila di rumah barunya. Dia telah mendapat sejumlah bantuan dari  IRC dan dua orang temannya dari Somalia. IRC memberikan pendidikan pada tentang ketenagakerjaan keadaan kritis termasuk pelatihan dan pekerjaan aplikasi kejuruan. Meskipun banyak rintangan, Jamila berharap bisa menjadi relawan di Phoenix. Dia senang putrinya telah sembuh dan mengatakan bagian favorit dari menjadi seorang ibu adalah "keindahan berada bersama anak-anak saya."


Jamila telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam merawat tidak hanya dirinya sendiri, putrinya tetapi pengungsi lain yang juga menderita. Jamila dan Sagal sangat cerdas, mandiri, dan individu yang positif. Mereka sangat penuh kasih dan sangat ramah. Jamila juga sangat bersemangat untuk belajar hal-hal baru, terutama menguasai bahasa Inggris. 


Jamila berharap seluruh keluarganya akan bergabung dengannya di Phoenix sesegera mungkin. Dengan bantuan dari IRC Jamila ingin belajar bahasa Inggris, mencari pekerjaan dan akhirnya membeli rumah sendiri. Apa yang memberinya kekuatan katanya adalah keinginannya untuk menyelesaikan pelatihan keperawatan sehingga dia dapat memiliki lebih banyak kesempatan untuk menolong banyak orang. Tidak peduli apa siapa pun orang yang ditolongnya. Untuk itu Jamila bersedia untuk perjalanan jauh dan meninggalkan keluarganya demi menolong orang yang membutuhkan bantuannya.

What women really want

Young King Arthur was ambushed and imprisoned by the monarch of a neighboring kingdom. The monarch could have killed him, but was moved by Arthur's youth and ideals. So the monarch offered him freedom, as long as he could answer a very difficult question. Arthur would have a year to figure out the answer; if, after a year, he still had no answer, he would be put to death.
The question: What do women really want? Such a question would perplex even the most knowledgeable man, and, to young Arthur, it seemed an impossible query. But, since it was better than death, he accepted the monarch's proposition to have an answer by year's end.
He returned to his kingdom and began to poll everybody: the princess, the prostitutes, the priests, the wise men, the court jester. He spoke with everyone, but no one could give him a satisfactory answer. Many people advised him to consult the old witch--only she would know the answer. The price would be high; the witch was famous throughout the kingdom for the exorbitant prices she charged. The last day of the year arrived and Arthur had no alternative but to talk to the witch. She agreed to answer his question, but he'd have to accept her price first: The old witch wanted to marry Gawain, the most noble of the Knights of the Round Table and Arthur's closest friend! Young Arthur was horrified: She was hunchbacked and hideous, had only one tooth, smelled like sewage, made obscene noises... etc. He had never encountered such a repugnant creature. He refused to force his friend to marry her and have to endure such a burden. Gawain, upon learning of the proposal, spoke with Arthur. He told him that nothing was too big a sacrifice compared to Arthur's life and the preservation of the Round Table. Hence, their wedding was proclaimed, and the witch answered Arthur's question thus: What a woman really wants is to be in charge of her own life. Everyone instantly knew that the witch had uttered a great truth and that Arthur's life would be spared. And so it was. The neighboring monarch granted Arthur total freedom.
What a wedding Gawain and the witch had! Arthur was torn between relief and anguish. Gawain was proper as always, gentle and courteous. The old witch put her worst manners on display, and generally made everyone very uncomfortable.
The honeymoon hour approached. Gawain, steeling himself for a horrific experience, entered the bedroom. But what a sight awaited him! The most beautiful woman he'd ever seen lay before him! The astounded Gawain asked what had happened. The beauty replied that since he had been so kind to her when she'd appeared as a witch, she would henceforth be her horrible, deformed self half the time, and the other half, she would be her beautiful maiden self. Which would he want her to be during the day, and which during the night? What a cruel question! Gawain pondered his predicament. During the day, a beautiful woman to show off to his friends, but at night, in the privacy of his home, an old witch? Or would he prefer having by day a hideous witch, but by night a beautiful woman with whom to enjoy many intimate moments? What would you do? What Gawain chose follows below, but don't read until you've made your own choice.

*
*
*
*
*
*
*
*

Noble Gawain replied . . . . . that he would let her choose for herself. Upon hearing this, she announced that she would be beautiful all the time, because he had respected her enough to let her be in charge of her own life.
Is there a moral here? . . . . . . . . . Certainly:
Treat your woman (guys) with total respect (and love) and like the queen she is or should be, and watch how beautiful she will be.
Or, (on the other hand):
If your woman doesn't get her own way, . . . . things are going to get ugly! : )

Monday, August 11, 2014

Kisah nyata: Pengorbanan Seorang Ibu Bermata Satu

Ibuku hanya memiliki satu mata. Aku benci dia. Bagiku dia sangat memalukanku. Ibuku mengelola sebuah toko kecil di pasar loak. Dia mengumpulkan gulma kecil dan semacamnya untuk dijual. Berapa pun untuk uang yang kami butuhkan dia tak akan malu untuk melakukan hal seperti itu. Ini terjadi semasa aku masih duduk disekolah dasar. Aku ingat dalam suatu perayaan di sekolah, dan ketika itu ibuku datang. Aku sangat malu. Bagaimana dia bisa melakukan ini padaku? Aku melemparkan tatapan penuh kebencian dan berlari keluar. Keesokan harinya di sekolah teman-temanku mengejek "Ibumu hanya memiliki satu mata ?!" dan begitulah setiap teman yang berpapasan dengan denganku selalu mengejekku dengan sebutan dengan anak yang memiliki ibu satu mata. Saya berharap bahwa ibu saya akan tenggelam kedalam perut bumi. 

Pada suatu hari aku berkata pada ibuku , "Bu, kenapa ibu tidak memiliki mata lainnya ?! Ibu hanya membuat saya jadi bahan tertawaan. Kenapa ibu tidak mati saja?" Ibuku tidak menanggapi. Saya kira saya merasa sedikit berlaku buruk pada ibu, tetapi pada saat yang sama, sebaliknya saya merasa saya telah mengatakan secara jujur pada ibu apa yang saya rasakan dan ungkapkan selama ini. Mungkin karena itu ibu tidak memarahi dan menghukum saya, tapi saya tidak berpikir bahwa saya telah menyakiti perasaannya. 

Malam itu ... aku bangun, dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ibuku menangis di sana, secara diam-diam, seolah-olah dia takut tangisannya  mungkin membangunkan saya. Aku melihat dia, dan kemudian berbalik. Ada sesuatu mencubit di dalam sudut hatiku. Meskipun demikian, aku benci ibuku yang menangis dari satu matanya itu. Jadi saya berkata pada diriku sendiri bila aku akan tumbuh dewasa dan menjadi sukses, aku akan ibuku yang bermata satu dan hidup penuh kemiskinan. 

Kemudian saya belajar sangat keras. Aku meninggalkan ibu saya untuk datang menuju Seoul dan belajar, dan  akhirnya diterima di Universitas Seoul dengan segala prestasi yang aku miliki. Setelah itu, saya menikah. Saya membeli rumah sendiri lalu aku punya anak juga. Sekarang aku hidup bahagia sebagai seorang pria yang sukses. Aku suka di sini karena itu adalah tempat yang tidak mengingatkan saya tentang ibuku. Kebahagiaan ini semakin besar dan besar, namun tanpa terduga kebahagiaan saya terusik, seseorang datang menemui saya "Apa ?! Siapa ini ?! "Itu ibuku ... Masih dengan satu matanya. Rasanya seolah-olah seluruh isi langit runtuh menimpa diri saya. Gadis kecilku lari ketakutan melihat mata ibuku. Dan saya bertanya kepada perempuan itu, "Siapa kau? Aku tidak kenal kamu ini siapa!! " Seolah-olah aku sama sekali tidak ingin mengenalnya. Aku berteriak padanya "Beraninya kamu datang ke rumahku dan menakut-nakuti anak saya! Keluar kamu dari rumah ini sekarang !! "

Dan untuk ini, ibu saya terdiam lalu setelah itu menjawab," Oh, Maaf. Mungkin saya salah alamat, saya sangat menyesal " dan kemudian ia pergi lalu menghilang. Syukurlah ... Ibu tidak mengenali saya. Saya pun merasa lega. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan peduli, atau berpikir tentang hal ini selama sisa hidup saya. Kemudian gelombang lega datang kepada saya ... suatu hari, sebuah undangan reuni sekolah datang ke rumah saya. Aku berbohong kepada istri saya dengan mengatakan bahwa saya akan perjalanan bisnis. Setelah reuni, aku pergi ke gubuk tua, yang saya gunakan untuk menelepon rumah ... hanya karena ingin tahu apakah ibuku ada dirumah itu. Saya menemukan ibuku terjatuh terlentang di tanah yang dingin. Tapi aku tidak sempat meneteskan air mata. Di dalam baringnya di menggenggam sepotong kertas di tangannya, surat yang ditujukan kepada saya:

" Anakku, Ibu pikir hidup ibu sudah cukup lama.. Dan...dan ibu tidak akan mengunjungi Seoul lagi ... Sebaliknya ibu bertanya akankah kamu datang untuk menemui ibu walau hanya sesaat? Ibu sangat merindukanmu ... dan Ibu sangat senang ketika  mendengar kau akan datang untuk reuni sekolah. Tapi ibu memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah untuk menjaga nama baikmu, anakku. Ibu minta maaf bahwa ibu hanya memiliki satu mata, dan itu akan membuat kamu malu anakku."

Lihatlah nak, ketika sewaktu kamu masih kecil, ketika kamu tertimpa kecelakaan, dan kamu kehilangan mata, sebagai seorang ibu, ibu tidak tahan melihat engkau akan tumbuh dengan hanya satu mata ... jadi aku memdonorkan mata ibu untukmu. Namun demikian ibu sangat bangga dengan memiliki satu mata karena ibu dapat melihat dunia baru tempat di mana ibu hidup.

Ibu tidak pernah marah padamu anakku untuk apa pun yang lakukan lakukan pada ibumu. Seberapa banyak kamu marah dengan ibu, ibu selalu berpikir, ' Itu karena kamu mencintai ibu ...' Anakku. Oh, anakku ... Ibu tidak ingin kau menangisi kematian ibu. Anakku, ibu sangat mencintaimu, aku sangat mencintaimu.

Baca lebih lanjut 

Sunday, August 10, 2014

Cinta sejati seorang ibu yang tertimpa puing akibat gempa

Ini adalah kisah nyata tentang pengorbanan seorang Ibu pada waktu terjadi  Gempa dahsyat di China.
Setelah Gempa telah mereda, ketika para tim penyelamat mencapai reruntuhan rumah seorang wanita muda, mereka melihat mayat-mayat melalui celah-celah reruntuhan. Tim penyelamat meras heran melihat sosok seorang wanita dalam keadaan berlutut seperti orang yang menyembah; tubuhnya condong ke depan, dan dua tangannya didukung oleh suatu benda, reruntuhan rumah  telah jatuh menimpa punggung dan kepalanya.
 
Walau terkendala oleh sulit medan di reruntuhan rumah, pemimpin tim penyelamat mencoba menjulurkan  tangannya melalui celah sempit di dinding untuk mencapai tubuh wanita. Tim penyelamat  berharap bahwa wanita ini bisa masih hidup. Namun, tubuh itu telah dingin dan kaku, dipastikan bahwa wanita itu telah meninggal. 

Tim penyelamat dan seluruh tim meninggalkan rumah tersebut dan  mencari gedung yang runtuh berikutnya. Untuk beberapa alasan, entah mengapa pemimpin tim terdorong oleh suatu kekuatan yang menariknya untuk kembali ke reruntuhan rumah  wanita yang sudah meninggal itu. Sekali lagi, dia berlutut dan digunakan nya telah melalui celah-celah sempit untuk mencari ruang kecil di bawah mayat. Tiba-tiba, ia berteriak kegirangan, "Seorang anak! Ada seorang anak! "

Seluruh tim bekerja bersama-sama; hati-hati mereka memindahkan reruntuhan puing-puing di sekitar wanita yang sudah meninggal. Ada seorang anak kecil berusia 3 bulan terbungkus dalam selimut bunga di bawah mayat ibunya. Jelas, wanita itu membuat pengorbanan untuk melindungi putranya. Ketika rumahnya ambruk, dia menggunakan tubuhnya untuk membuat 'perisai' untuk melindungi anaknya. Anak itu masih tidur pulas ketika pemimpin tim penyelamat mengangkatnya.

Dokter medis datang dengan cepat untuk memeriksa kondisi bayi tersebut. Setelah ia membuka selimut, ia melihat sebuah ponsel di dalam selimut. Ada pesan teks pada layar. Tertulis, "Anakku,
Jika kamu dapat bertahan hidup, kamu harus ingat bahwa ibu sangat mencintaimu." Isi tulisan Ponsel ini akhirnya beredar lewat dari satu tangan ke tangan lain. Setiap orang yang membaca pesan tersebut menangis. "Anakku, Jika kamu dapat bertahan hidup, kamu harus ingat bahwa ibu sangat mencintaimu." Itulah cinta sejati seorang ibu untuk anaknya !!