Thursday, November 13, 2014

Tititnya Dempet




Dua orang anak laki-laki tengah bermain-main. Tiba-tiba anak yang lebih besar berlari ke semak-semak, lalu ia melorotkan celananya. Rupanya ia ingin membuang air alias kencing. Melihat hal itu, temannya yang lebih kecil atau muda ikut-ikutan, ia membuang air di samping kawannya. Curahan air seni kedua anak itu menyatu menjadi sebuah genangan kecil di tanah. Setelah menarik kembali celananya, anak yang lebih besar meludahi genangan itu, ia pun menyuruh temannya melakukan hal yang sama.
"Kenapa harus diludahi?" Tanya anak yang lebih kecil.
"Memang begitu mestinya", sahut anak itu. "Dahulu pernah carita ada anak-anak yang buang air bersama-sama. Maka seperti kita juga, air seninya menyatu menjadi sebuah genangan. Tetapi mereka tidak meludahi genangan itu. Akibatnya, kemaluan keduanya berdempet dan tak bisa dipisahkan hingga mati".
---------- 0000---------
 

Entong Gendut Jagoan dari Batu Ampar, Condet

Pajak pantesnya  diambil seperlima dari hasil panen. Pajak itu bisa berbentuk padi, palawija, atau hasil pertanian lainnya, semuanya harus diserahkan kepada tuan tanah. Setelah tahun 1912, tuan tanah tidak mau lagi menerima bagian pajaknya. Dia minta kenaikan dua kali lipat. Alasannya, antara lain karena hasil panen jauh lebih bagus dari musim lalu. Dengan perbaikan sistem irigasi dari sungai ke sawah-sawah membuat hasil panen berlipat ganda, serta akibat pengukuran ulang. Tidak diremehkan pula kegigihan para mandor melakukan kontrol menjelang potong padi.
Umumnya para petani keberatan. Kenaikan 20% bukan hal ringan. Pajak yang berat. Para petani usul agar pajak itu diganti dengan sewa tanah. Akan tetapi, tuan tanah menolak sebab dialah yang berkuasa. Jadi, dia pulalah yang menentukan. Mereka yang merasa keberatan lebih baik pindah ke gunung saja.

Praktek-praktek busuk para mandor beserta centeng-centengnya di sawah waktu menimbang padi sangat meresahkan para petani. Kalau menimbang padi untuk pajak tuan tanah dilebih-lebihkan. Pihak petani dirugikan terus. Merekalah yang selalu menerima bagian paling buruk dan paling sedikit.

Kegiatan lain yang meresahkan para petani adatah “kompenian”, yaitu kerja bakti tanpa upah untuk kepentingan para tuan tanah. Para petani dan warga desa, laki-laki dewasa pada umumnya, bersungut-sungut. Mereka sering berbisik-bisik atau berunding sembunyi-sembunyi untuk melakukan perlawanan.
“Patahkan saja lehernya!”
Salah seorang petani dan warga desa lainnya menyambut dengan bersemangat, “Ya, nanti kita patahkan lehernya!”
Suasana makin panas.
Tuan tanah tahu suasana panas itu. Para petani dan warga desa tidak main-main. Oleh karena itu, permintaan agar pajak diganti dengan sewa tanah diluluskan. Akan tetapi, banyak petani yang akhirnya tidak mampu membayar. Barang-barang mereka dirampas mandor dan diserahkan kepada tuannya. Kalau tetap tidak bisa membayar sewa tanah, atau tidak ada lagi barang untuk menutup, rumah harus dijual. Pembelinya tuan tanah juga dengan harga amat murah. Tuan tanah sering hanya mendapat rumah rusak. Dia lalu memerintahkan mandor dan para centeng untuk membakar. Petani-petani malang itu makin sengsara. Sejak itu suasana semakin buruk.

Pada tanggal 14 Mei 1914 ada suatu peristiwa, yaitu Taha dihadapkan ke pengadilan. Dia petani dari Batuampar. Dia diputuskan pengadilan harus membayar pajak sebesar 7 gulden. Kalau tidak bisa membayar, rumahnya akan segera disita.
Kemudian, Taha bercerita kepada kawan-kawannya. Mereka berkumpul di kebun Jaimin, tidak jauh dari rumah Taha, Orang-orang itu diberi semangat oleh Entong Gendut. Lalu, mereka berteriak bahwa putusan itu tidak adil.

Kenyataannya, tiga hari kemudian rumah Taha disita, Tuan tanah hanya membayar 4 1/2 gulden. Untuk melunasi utang pajak saja masih kurang. Gema tidak puas melanda Batuampar, Entong Gendut dan kawan-kawannya marah sekali. Namun, untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah, Para mandor, dan centengnya, masih dirasa berat bagi Entong Gendut. Dia dan kawan-kawannya harus mempersiapkan din terlebih dulu, antara lain dengan belajar dan berlatih silat. Entong Gendut sebagai pelatih karena sejak dulu dia dikenal sebagai pendekar.

Entong Gendut dibantu Modin dan Maliki. Mereka dari Batuampar juga. Anggota perkumpulan silatnya semula hanya beberapa gelintir orang, tetapi akhirnya bertambah, mencapai lebih dari 400 orang. Di antaranya yang bersungguh-sungguh adalah Haji Amat Awab, Said Keramat, Nadi, dan Dullah. Orang-orang Arab ada juga yang ikut, antara lain Ahmad Alhadat, Said Muksin Alatas dari Cawang, dan Alaidrus dari Cililitan.

Peristiwa berikutnya terjadi di Vila Nova, rumah mewah milik Lady Rollinson di Cililitan Besar. Malam itu tanggal 5 April 1916 berlangsung pesta amat meriah. Hiburan untuk rakyat sekitar juga semarak. Tuan Ament pemilik tanah luas di Tanjung Timur datang dengan mobilnya. Sebelum sampai di jembatan, sekelompok orang tidak dikenal melempari mobilnya dengan batu. Tuan Ament tidak mempersoalkan kaca belakang mobilnya yang pecah dan penyok-penyok itu. Dia bergegas masuk ke pelataran rumah Lady Rollinson. Di situ dia bergabung dengan tamu-tamu terhormat lainnya. Dia ikut menyaksikan hidangan seni berupa musik dan tari-tarian yang menyenangkan. Dia merasakan nikmatnya wiski, gurihnya daging kalkun, dan semerbaknya panggang babi. Dia bertukar pengalaman dengan kawan-kawannya yang sederajat. Ada tuan tanah Kemayoran, tuan tanah Pondok Gede, para wedana, serta tidak ketinggalan pula noni-noni bermata biru berambut pirang dan sinyo-sinyo yang tertawa-tawa kecil dan agak malu-malu.
Di luar halaman berpagar tinggi itu rakyat menonton hiburan gratis seperti topeng dan wayang kulit. Mereka berjubel. Sekali-sekali mereka yang berada di luar pagar itu memperhatikan pemandangan pesta di halaman rumah Lady Rollinson.
Pesta di dalam makin menghangat. Pasangan-pasangan berdansa diiringi musik. Lalu, mendekatlah seorang pelayan kepada Lady Rollinson.
“Bagaimana, Tija?” tanya nyonya majikannya. “Saya sudah tahu, Nyonya.”
“Jadi, benar Entong Gendut pimpinannya?”
“Tidak salah, Nyonya.”
“Dia pula yang menggerakkan orang untuk melempari mobil tuan Ament?”
“Ya, Nyonya.”
Lady Rollinson mendekati Tuan Ament dan menganjurkan agar dia melapor ke komandan polisi dengan cepat.
“Tentu saja, Lady Rollinson,” jawab Tuan Ament, “pada waktu yang diperlukan saya bisa bertindak cepat. Sekarang tenang saja dulu.”
Tiba-tiba tetabuhan di luar pagar berhenti. Orang-orang yang berjualan makanan dan minuman
menutup kegiatannya. Para penonton bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Seketika sepi dan lampu-lampu keramaian dimatikan. Hal itu membuat tamu-tamu yang berpesta di rumah Lady Rollinson mulai berpikir, jangan-jangan bahaya mengancam. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik mereka minta diri kepada nyonya rumah. Mereka tergesa-gesa pulang dengan bendi atau mobil. Lady Rollinson ikut gelisah dan marah. Dia segera lapor kepada komandan polisi dan berkeluh kesah kepada residen.

Sementara itu, pengaruh Entong Gendut dan pembantu-pembantu dekatnya makin kuat. Apa yang dikatakan Entong Gendut diikuti semua oleh warga Batuampar dan sekitarnya. Wedana Meester Cornelis didatangi bawahannya yang menyampaikan laporan. Ia mengatakan bahwa pengaruh bek di kelurahan tidak bermanfaat lagi. Telinga dan mulut Entong Gendut ada di mana-mana.
Wedana Meester Cornelis dikawal komandan pasukan serta polisi melakukan peninjauan ke Batuampar. Di depan rumah yang diduga milik Entong Gendut, dia langsung memerintahkannya keluar, kalau tidak pintu akan didobrak. Entong Gendut menjawab dari dalam akan bersembahyang dulu. Selesai sembahyang, Entong Gendut menampakkan diri. Dia berjubah putih, di dadanya tersembul keris, dan tangannya memegang tombak panjang. Para pengawalnya bersorban dan bertombak berdiri di belakangnya.
“Aku raja dan aku tidak mau tunduk kepada siapa pun. Aku tidak mau mengikuti pimpinan hukum, apalagi buatan Belanda.”

Wedana Meester Cornelis berunding dengan opsir-opsir polisi. Sementara itu Entong Gendut meneruskan bicaranya, “Wedana, ketahuilah. Aku amat malu kepada kawan-kawanku para tuan tanah. Mereka telah membakar rumah penduduk miskin. Apa salah mereka? Hanya karena mereka petani miskin dan tidak mampu membayar pajak serta sewa tanah yang mahal, lalu rumah mereka dihanguskan? Amat disayangkan!”
Para pengikut Entong Gendut lainnya keluar dari semak-semak. Mereka bersenjatakan panah dan tombak. Wedana dan para pengawalnya kaget sekali. Dia lalu memerintahkan untuk melepaskan tembakan, ramailah kampung Batuampar. Tidak sedikit polisi kena bacok dan tertembus anak pariah. Entong Gendut bersuara lantang. Teriakan-teriakan Allahu Akbar menggema.
“Amuk, amuk!” teriak anak buah Entong Gendut sambil melemparkan tombak dan mengayunkan pedang. Serdadu Bala bantuan datang. Anak buah Entong Gendut banyak yang bergelimpangan. Beberapa rumah terbakar, penduduk yang tua, kaum perempuan, dan anak-anak diungsikan. Akan tetapi, korban warga Batuampar semakin banyak juga.
Entong Gendut terluka. Dadanya tertembus peluru, darah segar mewarnai jubahnya yang putih. Anak buahnya mengerumuninya. Wedana Meester Cornelis memerintahkan komandan pasukan untuk mengikat tangan Entong Gendut. Lalu, dia dinaikkan ke tandu dan diangkut ke Rumah Sakit Kwini. Namun, di tengah perjalanan, Entong Gendut tidak bernapas lagi. Para pengikutnya dikejar-kejar polisi. Mereka terus dicari sampai ke Condet dan Tanjung Timur. Setelah tertangkap, mereka dimasukkan ke penjara.

Wednesday, November 12, 2014

Nyai Dasima, Nyai cantik dari Pejambon




Perempuan itu cantik sekali. Karena kecantikannya, tuan Edward terpikat dan berupaya dengan berbagai cara untuk mendapatkannya. Ia adalah Dasima wanita yang berasal dari Kahuripan. Dasima wanita cantik yang enggan hidup melarat. Karenanya Dasima dengan senang hati menjadikan dirinya sebagai wanita piaraan tuan Edward. Hasil hubungan mereka membuahkan seorang anak wanita bernama Nancy. Meskipun telah beranak, Dasima tetap cantik seperti masa perawannya. ltulah yang mendorong tuan Edward laki-Iaki asal Inggris tak segan-segan memberikan sebuah rumah serta para pembantu yang siap melayani keperluan Dasima. Semula Dasima dan tuan Edward menetap di Curug Tangerang, kemudian pindah ke Pejambon. Setiap lelaki dewasa yang lewat didepan rumahnya, manakala melihat Nyai Dasima, maka menitiklah air liur mereka. Bagi mereka yang telah beristeri, tumbuh sesaat penyesalan, mengapa tidak beristerikan wanita itu saja, pastilah hidup bahagia cahaya kecantikan yang terpancar dari bola mata dan liuk lekuk tubuhnya.
Bagi lelaki perjaka dan duda, ada setetes keinginan untuk memperisterikan Nyai Dasima. Sungguh, ada magnit yang melekat ditubuhnya membuat lelaki secara refleks mengalih pandang kearah rumah Dasima dan berharap bisa melihat meskipun sehelai rambut lewat jendela. Samiun lelaki yang beruntung karena punya paman seorang tentara dengan jabatan Komandan Onder Distrik Gambir, sehingga punya peluang untuk berkesempatan masuk ke rumah Nyai Dasima atas urusan pamannya. Samiun sekalipun telah beristerikan Hayati, tetapi melihat Nyai Dasima, goncanglah ketahanan jiwanya. Hayati isterinya yang dahulu dipuja dan diburu kini baginya hampir bagaikan kendaraan tua rongsokan bilamana dibandingkan dengan Nyai Dasima ibarat kereta kencana para raja. Samiun tergila-gila dan merubuhkan pilar imannya, menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan seorang Nyai Dasima yang dimatanya bagaikan Cleopatra seperti dalam Mitologi Yunani ataupun bagaikan Sinta dalam cerita pewayangan.

Samiun dengan segala daya upaya mengumpulkan uang, lalu mencari Haji Salihun di Pecenongan untuk minta guna-guna agar bisa memetik kuntum Pejambon, Nyai Dasima yang cantik rupawan. Samiun dengan akal liciknya berhasil menyuap mak Buyung untuk menjadi perantara sekaligus ujung tombak panah asmaranya agar bisa menancap direlung hati Nyai Dasima.

Berbekal sehelai rambut Nyai Dasima yang diperoleh lewat tangan kotor mak Buyung, mengendalikan permainan mistik. Nyai Dasima berubah, kini Samiun dimatanya adalah pria tergagah di Batavia, yang tak sebanding bilamana dijejer dengan Edward yang tak lebih dari lelaki tua karatan yang tak ada harga di pasar Senen. Melalui permainan mistik, Nyai Dasima menyongsong Samiun yang menanti ditepi kali dengan getek bambu. Mereka pergi kerumah Mak Soleha ibunya Samiun. Nyai Dasima menetap di rumah itu, di  bilangan Kwitang.

Sebelum menggelar rencana, Samiun telah berkolusi dengan Hayati sang isteri. Dengan janji harta untuk Hayati, disetujui Samiun menikahi Nyai Dasima dengan harapan dapat meraup harta. Persetujuan isterinya membuat Samiun percaya diri dalam mendapatkan Nyai Dasima.

Perempuan cantik kembangnya Pejambon, kini berada dalam rumahnya, menurutnya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Samiun memanggil penghulu agama dan pernikahan dilangsungkan. Ketika pernikahan berlangsung di tangan Nyai Dasima ada nilai harta sebesar 6000 Gulden, suatu jumlah yang sungguh banyak dibanding gaji seorang wedana di Batavia tak lebih dari 50 Gulden.
Samiun menyayangi Nyai Dasima, demikian juga Mak Soleha serta Hayati. Namun berangsur hari dan makin susut rasa sayang tersebut karena harta yang dibawa Nyai Dasima semakin berkurang dan akhirnya ludes. Kini Nyai Dasima menjadi beban mereka. Sebenarnya masih ada hartanya, tetapi di Pejambon dan itu tak mungkin diambil.

Melihat perilaku Hayati, Mak Soleha dan Samiun yang berubah total, Nyai Dasima sadar bahwa dirinya menjadi objek Samiun, Hayati dan Mak Soleha. Nyai Dasima tak tahan lagi dan minta cerai. Samiun setuju menceraikan dengan syarat harta Nyai Dasima yang ada di Pejambon pemberian tuan Edward harus diserahkan pada Samiun.

Hayati sangat berperan dalam menentukan langkah Samiun. Hayati terus mendesak agar Samiun bisa memperoleh harta Nyai Dasima. Dengan berbagai upaya Samiun mencoba melunakkan hati Nyai Dasima agar bersedia mengalihkan hartanya, tetapi hal itu sulit dilakukan Nyai Dasima. Tidak mungkin ia kembali ke Pejambon menemui tuan Edward, jangan-jangan kemurkaan dan penjara yang didapatnya karena telah mempermalukan tuan Edward dimata orang Belanda dan Eropa umumnya.

Samiun menceraikan Nyai Dasima tetapi tak mendapatkan hartanya, sementara Nyai Dasima tetap berada di rumah karena tak punya saudara di Batavia, tak punya uang lagi untuk pulang ke kampungnya, tak punya keberanian menemui tuan Edward untuk memohon pengampunan atas kecurangan yang dilakukannya.
Hayati menjadi semakin kesal melihat Nyai Dasima yang telah berubah menjadi beban bagi keluarganya. Hayati mendesak Samiun untuk menyingkirkan Nyai Dasima.
"Buat apaan dia disitu, kalo nyusahin kite Un", ujar Hayati pada Samiun.
"Sabar, Gue pan mesti mikir gimane caranya" jawab Samiun. Samiun yang terus didesak oleh Hayati untuk mengusir Nyai Dasima karena tidak bermanfaat lagi baginya, serta ketidaktepatan janji Samiun linglung dan mengambil keputusan penuh yaitu menghabisi nyawa Nyai Dasima.

Untuk melakukan hal itu, Samiun tak sanggup sendiri, perlu menggunakan tangan orang lain. Untuk hal itu, Samiun menyewa bang Puasa jagoan dari Kwitang dengan upah 100 Pasmat. Samiun merundingkan teknis pelaksanaan penghabisan nyawa Nyai Dasima. Akhirnya mereka menyepakati cara terbaik yang harus dilakukan Samiun menyerahkan panjar sebesar 5 pasmat kepada bang Puasa, kemudian kembali ke rumahnya.

Sikap Samiun mengembangkan senyum yang manis sekali kepada Nyai Dasima. Mak Soleha menjadi kaget, mengapa Samiun bukannya mengusir Nyai Dasima malah berbaikan. Hayati yang mendengarkan cerita dari Mak Soleha tentang sikap barn Samiun menjadi sangat kesal. Ingin saja ia pergi ke rumah itu untuk menghabisi nyawa Nyai Dasima.

Sikap Samiun yang simpatik dan terkesan melindunginya membuat semangat Nyai Dasima tumbuh, serta hadir perasaan menyayangi kepada Samiun. Samiun mengajak Nyai Dasima ke kampung Ketapang untuk mendengarkan' pertunjukan seni tutur tentang Amir Hamzah. Nyai Dasima yang telah melimpahkan harapannya kepada Samiun langsung setuju dengan ajakan tersebut. Nyai Dasima berharap mungkin malam ini adalah malam terindah dengan Samiun, dapat berjalan dibawah sinar rembulan sambil bercengkerama menumpahkan perasaannya selama ini terkandas di dasar lautan kebencian Hayati dan Mak Soleha.

Nyai Dasima segera bersolek secantik mungkin dengan sisa bahan kecantikan yang dimilikinya. Mak Soleha menjadi jijik dan hampir saja meludahi muka Nyai Dasima, untung ada Samiun sehingga masih ada rasa segan pada sang anak. Mak Soleha memanggil Samiun dan berkata,
"Un apa gue nggak saleh pandang ?"
"Ada ape nyak ?"
"Bukannye orang itu udah lu ceraiin ?"
"Pan dulu nyak, sekarang pan laen."
"Laen apenye, apa elmu pelet ngebalik ame diri lu ?"
"Lha bukan nyak."
Mak Soleha menjadi aneh dengan perilaku Samiun, jangan-jangan ilmu pelet Samiun menjadi bumerang buat Samiun. Hayati yang mendengarkan laporan Mak Soleha kelihatannya acuh tak acuh. Hayati sendiri sudah hilang kesabaran atas janji Samiun yang akan memberikan harta yang banyak buatnya. Sekarang Hayati masa bodoh, tak ada gunanya berharap lagi, dan rasanya tak ada urusannya lagi dengan Nyai Dasima dan Samiun.
"Ti... lu kok masa bodoh ?" tanya Mak Soleha keheranan.
"Abis, mau diapain lagi, gua nggak percaya ame Samiun".
"Kalau Samiun jadi pergi dengan Nyai Dasima dan nggak balik lagi pegimane ?".
"Biarin, gue juga bisa cari lelaki laen."
"Astaghfirullah !"
"Percuma nyak ngucap kalu niatnya nggak baek ame orang itu."
Mak Soleha menjadi kaget dengan pernyataan Hayati seakan menuding dirinya ikut dalam permainan kotor mendapatkan harta milik Nyai Dasima. Mak Soleha menjadi bend dengan Hayati dan bertekad minta pada Samiun untuk menceraikan Hayati, biarlah dengan Nyai Dasima saja. Mak Soleha berubah pikiran dan menyesali sikapnya yang sempat membenci Nyai Dasima belakangan ini. Mak Soleha segera kembali ke rumahnya tetapi mendapati Samiun dan Nyai Dasima telah pergi.
Samiun dan Nyai Dasima pergi ke Ketapang. Mereka bergandengan tangan bagaikan dua sejoli yang baru mengenal cinta pertama. Sambil berjalan, Samiun kelihatan gugup. Ingin saja mengurungkan niat untuk tidak jadi pergi, tetapi menjadi bimbang manakala mengingat Hayati yang terus mendesaknya, dan Mak Soleha yang selalu menatap dengan nanar dan lecehan.
"Rangkulin pinggang aye Un." pinta Nyai Dasima
"Kayak orang baru demenan aje." sahut Samiun, tetapi tangannya melingkar di pinggang Nyai Dasima. Samiun menghentikan langkah, Nyai Dasima ikut berhenti dan bertanya.
"Ade apa Bang Miun ?"
"Kite jalan sono aje."
"Pan jalan Ketapang lewat sini. "
"Abang kuatir kalo-kalo ada opas Belande, nanti kita bisa di tangkap, lagian tuan Edward pasti masih nyariin lu."
Mereka menggunakan jalan lain, jalan setapak yang akan melewati sebuah kali dengan jembatan titian bambu. Di ujung tepian kali tempat menyeberang, Samiun melepaskan Nyai Dasima sendiri di belakang, bukannya menuntun tangan Nyai Dasima agar tidak terpeleset manakala menyeberang.
Nyai Dasima tertinggal di belakang dan memanggil Samiun tetapi Samiun meneruskan langkah untuk sampai ke tepian seberang kali. Dalam kesempatan itu, sebuah bayangan muncul. Bayangan seorang lelaki kekar dengan sigap memburu kearah Nyai Dasima : Sambil mengirimkan pukulan maut ke tengkuk Nyai Dasima. Pukulan itu meleset karena Nyai Dasima sempat melangkah sebelum tangan lelaki kekar itu mendarat, sehingga yang terkena bagian belakang tetapi sakitnya bukan main, Nyai Dasima menjerit memanggil samiun. samiun dengan tenang dan meneibir berkata,
" Ajallu udah sampe biarin, pasrahin aje diri lu." Nyai Dasima berusaha lari untuk minta perlindungan pada samiun yang telah berdiri di seberang tepian kali, memang sudah naas bagi Nyai Dasima, sebuah pukulan keras yang keluar dari tangan seorang jagoan terkenal Bang Puasa, mendarat tepat pada posisi yang sensitif di bagian tengkorak kepala, dan Nyai Dasima rubuh bagai daun kering disapu badai gurun. Matanya sebelah kanan melotot, lidah terjulur keluar yang sebagian putus tergigit gigi yang merapat akibat tekanan dari atas, darah mengueur dari hidung dan mulut, Nyai Dasima rubuh, dan Bang Puasa menyongsong dengan golok tergenggam langsung menggorok leher Nyai Dasima. Tamatlah ajal Nyai Dasima yang disertai semburan darah yang keluar dari urat di lehemya.

Samiun berdiri terpaku, kemudian memburu Nyai Dasima yang telah berubah menjadi seonggok bangkai manusia. samiun mengangkat mayat Nyai Dasima dengan belah tangannya. Kenangan indah ketika baru pertama menjadi isteri dengan Nyai Dasima lewat dimatanya bagaikan slide membuatnya menitikan air mata. Bang Puasa dan samiun berembuk sebentar untuk membuang mayat Nyai Dasima di kali Ciliwung, kemudian melemparkannya ke kali Ciliwung.

Si Kuntum yang berjalan bersama Bang Puasa diancem mau dibunuh bila membuka rahasia kematian Nyai Dasima. Sementara di seberang kali dibalik rerimbunan pohon, Musanip dan Ganip yang sedang memaneing menyaksikan peristiwa itu dengan jelas, dan keduanya ketakutan, bersembunyi agar tidak diketahui oleh Bang Puasa. Isteri Musanip yang rumahnya berdekatan dengan peristiwa itu terjadi, sempat mendengar jeritan Nyai Dasima, dan mengintip melalui celah dinding bambu rumahnya, dan ketakutan akan diketahui oleh Bang Puasa.

Bangkai Nyai Dasima hanyut terbawa arus kali Ciliwung. Bangkai tersebut kemudian menyangkut di tangga tempat mandinya tuan Edward, orang yang pemah memeliharanya sebagai isteri piaraan. Tuan Edward sangat masgul, menangis melihat tubuh Nyai Dasima yang rusak. Tuan Edward segera melaporkan ke polisi tentang kematian Nyai Dasima. Di depan polisi tuan Edward mengakui bahwa Nyai Dasima adalah isterinya. 

Karena pengaduan tersebut polisi distrik Weltevreden menganggap hal ini sebagai persoalan serius yang bisa mengancam jiwa setiap orang Eropa khususnya Belanda. Polisi menerapkan cara mengadakan sayembara berhadiah 200 pasmat bagi siapa saja yang bisa memberikan keterangan akurat tentang Nyai Dasima, siapa yang menbunuhnya. Tergiur oleh jumlah uang, Kuntum, Musanip dan Ganip tak kuatir kemungkinan kemarahan Bang Puasa di kemudian hari. Mereka melaporkan kepada polisi tentang kejadian yang dilihat.
"Jadi si Puase yang bunuh itu Madam Edward ?"
"Betul, Tuan."
"Bagus, kamu orang pantas diberi hadiah nanti."
"Tapi kami takut, Tuan."
"Takut apa ?"
"Takut ame Bang Puasa."
"Ne Kamu orang jangan takut
Atas dasar laporan tersebut, polisi menangkap Bang Puasa serta barang bukti golok yang belum sempat di bersihkan dari darah Nyai Dasima. Sedangkan Samiun melarikan diri dan tak kembali lagi ke Kwitang karena takut ditangkap, sebab dialah dalang yang menyewa Bang Puasa untuk membunuh Nyai Dasima.

Laskar Revolusi


"Ampir aja gue kemplang tu orang!" kata Bang Hamdan marah-marah, "Sembarangan aje ngatain bendera orang. Biar jelek-jelek juga bendera gue tuh, riwayatnya jempolan, gak ade yang ngejabanin. Huh, die nggak tau sih! Gue bole rebut dari ujung hotel De-Sen tuh dulu waktu zaman siap-siapan kemerdekaan...." 
"Ude-ude deh gak usah ngomel!" sahut bininya, "Nggak same jaman abang ama jaman sekarang. Tenggak dulu tuh kopi, pan katanye lu mau ke Gambir!". 

Begitulah di tanggal 17 Agustus itu setelah berdandan rapi dan tak lupa pake lencana merah putih di dadanya, berangkatlah Bang Hamdan ke depan istana. Bininya ogah ikut, lantaran ia tak suka berdesak-desakan, gampang pusing, gampang mabok katanya. 


"Wah, ude rame!" bisik Bang Hamdan setibanya di depan Istana. Tapi die nyelak terus, maju. Dia mau lihat Bung Kamo dari dekat. "Eh-eh," katanya, "dasar orang gede, tetap wibawe dan angker aje keliatannya!" Tapi heran juga dia, waktu Bung Kamo lagi pidato berapi-api banyak orang asyik isi pada perut masing-masing. "Bukannya dia dengerin omongan Bapak kita, eeh pade enak-enakan nongkrong gegares makanan ....." katanya geram, "Minum es lah, ngelebok ketoprak lah!" tambah kesel lagi ketika dilihatnya banyak lelaki pada cengar-cengir melirik perempuan-perempuan, malah ada yang iseng sengaja main dorong-dorongan, hingga Bang Hamdan ngomel sendirian: "Suseh deh bangse gue ...." 

Kira-kira pukul satu ia tiba lagi di rumahnya. Segera disambut oleh bininya: "Pegimane Bang, rame?" serenta menghapus-hapus keringat, jawabnya : "Rame sih rame, cuman begitu; banyak orang nonton orang, banyak yang bercande-cande, banyak yang gegares! Kayaknye orang udeh mulai lupe ame sejare."

Tuesday, November 11, 2014

Ariah Si Manis Dari Ancol: Harga diri seorang gadis




Ariah, atau disebut jugaArie, anak kedua Mak Emper. Ariah mempunyai seorang kakak perempuan. Tatkala kakak beradik ini masih kecil, ayahnya meninggal. Hancurlah kehidupan tiga hamba Allah dari Kampung Sawah, Kramat Sentiong. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1860. Sudah menjadi adat orang Betawi jaman dulu, siapa yang kaya menolong yang miskin. Seorang saudagar padi di kampung Kramat yang mempunyai sawah luas mengajak Mak Emper dan kedua anak perempuannya tinggal di emperan rumahnya. Emperan ialah bangunan rumah kecil yang berdiri menempel pada bangunan rumah besar. Mak Emper dan kakak Ariah membantu menumbuk padi milik saudagar itu. Ariah sehari-hari mencari kayu bakar, sayuran dan telur ayam hutan di hutan Ancol. Tahun demi tahun berlalu, kehidupan Mak Emper datar saja. Tidak kelaparan, tetapi sangat jauh untuk dikatakan berada.


Ariah atau Arie tumbuh sebagai gadis cantik. Hati saudagar tertarik akan kecantikan Ariah. Ariah dipinangnya. Mak Emper pun bingung, mengingat ia tinggal menumpang pada saudagar itu, sedangkan saudagar itu telah pula beristeri.
"Mak, Mak gak usah bingung, biar Arie aje yang ambil keputusan" Berkata Ariah pada suatu sore sepulangnya mencari kayu bakar di hutan.
"Keputusan ape, Arie?" Kata Mak Emper.
"Arie kagak bakalan mau kawin sarna saudagar yang punya rumah ini. Mpok 'kan belum kawin. Lagian apa kata nyonya yang rumahnye kite tumpangin ?"
"Arie, itu yang bikin Mak bingung. Kite numpang di sini. Tuan rumah mauin Arie. Die yang ajak kite tinggal di sini. Mau saja deh, Arie. Kalau kita diusir, mau tinggal dimana. Babe elu 'kan sudah meninggal".
Mak Emper mengucapkan kata-katanya sambil menangis terisak-isak.
"Mak jangan menangis Mak, Arie sedih kalau lihat Mak menangis. Arie pan udah bilang. Arie udeh ambil keputusan Mak lihat saja deh".
Ariah bangkit dari duduknya menuju dapur menemui kakaknya yang sedang masak air.
"Pok, Arie cuma dapat telor dua biji". Kata Ariah sambil menyerahkan dua butir telur ayam hutan kepada kakaknya.
"Arie, ngomong-ngomong Mpok ikhlas deh Arie kawin sama Tuan yang punya rume. Mpok enggak ape-ape dilangkahin. ini 'kan buat kebaikan kita. Kalau Tuhan ijinkan, suatu hari juga mpok dapat jodoh, Arie".
Kakak perempuan Ariah berkata sambil membesarkan nyala api di dapur.
"Mpok jangan begitu dong. Kagak baik Pok, kagak baik. Arie kawin duluan ngelangkahin Mpok. Arie kagak bakalan kawin sebelum Mpok berume-tangge".
Air mata Ariah membanjir di pipinya seraya mengucapkan kata kata itu.
"Arie, Mpok ikhlas, Mpok redo, ude dong jangan menangis. Kita mau bilang apa lagi, Arie, kita miskin. Orang miskin kagak punya hak ape-ape Arie, melengken nurutin kemauan orang".
"Pok, maapin Arie, biar bagaimana Arie sudah membuat keputusan. Ape bole lantaran kite miskin kite jual semua hak kite termasuk perasaan. Biar kite miskin, Pok, kite kudu jaga perasaan. Arie kagak kuat melihat hati Mpok luka. Biar bagaimana juga Mpok tentu luka melihat Arie kawin duluan, Pok. Hati Mpok bakalan keiris-iris lihat Arie di puade. Sebagai anak perempuan Betawi Mpok tabah, tapi sampe dimane Pok, sampe dimane Mpok bisa tahan ngeliat orkes hermunium rnaen ngehibur tamu-tamu yang dateng ke perkawinan Arie. Pok, Arie kagak lupa sarna Mpok. Mpok yang ajar Arie maen ci ci putri. Kalau Arie nangis lantaran lapar, Mpok hibur Arie sambil maen pong pong balong. Pok jangan korbanin perasaan Mpok, jangan Pok. Biar Mpok redo, Arie yang kagak redo".
Ariah meninggalkan kakaknya menuju pangkeng. Ia rebahkan dirinya di pangkeng sambi! menangis tersedu sedan.
Mak Emper menghampiri Ariah. Ia duduk di samping pangkeng sambil membelai rambut Ariah.
"Arie, denger kata Mak. Mak ude tua. Kalau Mak mati, ape jadinye semue".
"Mak, duduk yang lama di sini Mak. Kayaknya besok Arie kagak bakalan ngerasain lagi tangan Mak ngerabe rambut Arie".
"Arie ngomong ape sih, Arie kagak sayang sarna Mak ?"
"Ude deh, Mak" Ariah berkata lemah, lalu tertidur.
Seperti biasanya, pagi-pagi Ariah meninggalkan rumah untuk mencari kayu bakar, satur-sayuran, dan telur ayam hutan. tetapi tidak seperti biasanya, pagi hari itu sebelum meninggalkan rumah Ariah mencium tangan Mak dan kakaknya lama sekali, serta memandang wajah mereka tak putus-putusnya. Dan tanpa mengucapkan sesuatu perkataan ia berlalu dari emperan rumah.
Ariah berjalan menuju Ancol dengan langkah yang enteng. la melihat-lihat pekerja yang sedang membuat jalan kereta api. Langkah dilanjutkan menuju Utara. Setibanya di sebuah tempat yang bernama Bendungan Melayu, Ariah membuka timbelnya. la makan dengan lahap. Ariah duduk termangu sambi! merapihkan bekas makannya. Dari kejauhan ia mulai mendengar debur ombak. Hari telah sore.Ariah bangkit melanjutkan perjalanannya. Bendungan Melayu ditinggalkan. la tiba di Ancol. Hari semakin gelap. Laut terhampar di hadapannya. la tak ingin kembali pulang, tapi juga tak tahu kemana lagi harus melangkah. Angan-angannya berlayar, tapi kemana.
"Hey, anak perawan daTi mane lu?"
Tiba-tiba dari sela-sela pokok kayu muncul dua sosok laki-laki berbaju hitam-hitam. Ariah terdiam.
"Ikut gua, lu".
Seorang yang tubuhnya kekar menggamit tangan Ariah.
"Saya mau dibawa kemana, Bang?"
Ariah berusaha mengelak.
"Ah diem, lu. Pendeknya lu bakal idup enak di Bintang Mas".
Yang seorang lagi berkata sambi! mengibas-ngibas goloknya.
"Kagak mau, kagak mau". Ariah meronta-ronta.
"Banyak omong lu, dasar orang miskin, mau dikasi senang lu kagak mau".
Tubuh Ariah dihempaskan ke tanah.
"Abisin aja, Bang, ni bocah". dan dua sabetan golok mengakhiri hidup Ariah.
Kedua laki-laki itu yang ternyata Pi'un dan Sura setelah membunuh Ariah menggotong jenasah Ariah ke pinggir laut, jenasah gadis malang itu dilemparkannya.
Pi'un dan Sura kaki tangan seorang pemuda kaya raya bemama Tambahsia. Tambahsia bertabiat buruk. Ia mernpunyai kesenangan mernperkosa perempuan di villanya di Aneal yang bemama Bintang Mas. Tugas Pi'un dan Sura mencari perempuan untuk dimangsa majikannya. Akibat perbuatan Tambahsia yang sernacam ini pada suatu hari membawa Tambahsia ke tiang gantungan. Mernang banyak sekali perernpuan yang menjadi korban Tambahsia. Ia berurusan dengan polisi. Pengadilan di Kota rnenjatuhkan hukuman mati gantung kepada Tambahsia. Tambahsia menjalani hukuman gantung pada tahun 1872 dalam usia 29 tahun. Begitu juga Piun dan Sura harus menjalani hukurnan gantung kepala sarnpai mati. Ketiga penjahat itu
menjalani hukuman mati· di halarnan kantor rnahkamah di Kota.

Malam hari sepeninggalnya Ariah, Mak Emper dan kakak Ariah tidak tidur menunggu pulangnya Ariah. Hari demi hari, bulan demi bulan,tahun demi tahun mereka menunggu. Dan Ariah tak pernah kembali.
Pada suatu malam Mak Emper duduk bersedih memikirkan kakak Ariah yang dilamar orang. Meski biaya pesta perkawinan menjadi tanggungan keluarga calon suami, tetapi sebagai orang tua Mak Emper merasa berkewajiban untuk menyiapkan makanan menyambut calon besan dan calon menantunya yang akan datang ke rumahnya untuk mengajukan lamaran secara resmi. Lelah berpikir, Mak Emper tertidur.
"Mak, jangan sedih Mak, jangan pikirin makanan buat sedekahan Mpok."
Ariah hadir dalam mimpi ibunya.
" Arie, Arie"
Mak Emper memanggil-manggil anaknya.
"Iye Mak ini Arie, anak Mak. Mak jangan pikirin Arie. Idup Arie senang deh Mak. Tapi Arie ingat Mak, ingat Mpok. Makanya Arie datang, apalagi Mak lagi susah mikirin Mpok yang mau duduk nikah. Arie bakal bantu. Arie senang Mak, syukur deh Mpok nikah. Ude deh Mak, Arie pulang".
"Arie, Arie"
Mak Emper memanggil-manggil nama Ariah lagi.
"Mak, kok manggil-manggil Arie, bangun Mak ude beduk subu".
Kakak Ariah membangunkan Mak Emper.
"Mak ngimpiin Arie".
Kata Mak Emper kepada anaknya.
"Ngimpiin Arie, ape katenya Mak?"
Kakak Ariah bertanya. Mak Emper diam saja seraya berjalan menuju pintu ke luar rumah empernya.
"Astagfirullah al azim".
Mak Emper sangat terkejut melihat di depan rumahnya terdapat berpikul-pikul ikan laut serta sayur-mayur.
Begitulah kisah Ariah. Di jaman sekarang orang menyebut dia Maria, Mariah, atau Mariam. Boleh dikatakan tidak ada gadis Betawi jaman dulu bernama Maria, Mariah, atau Mariam. juga di jaman sekarang orang mengatakan Ariah menjadi setan Ancol, Ariah tidak menjadi setan. Ia adalah pejuang perempuan yang mempertahankan martabat dan harga dirinya. Ia gugur sebagai pejuang yang mempertahankan kehormatan dan harga diri perempuan.
Kematian Ariah memang akhirnya menjadi dongeng. Banyak orang Betawi pesisir yakin bahwa Ariah, yang diberi nama julukan si Manis, itu menjadi penguasa laut Utara. Dan banyak orang Betawi pesisir yang tidak menyebut nama aslinya, melainkan si Manis saja. Diyakini si Manis mempunyai pengawal yang gagah berani. Pengawal itu adalah makhluk dari alam lain. Mereka adalah si Kondor, yaitu siluman monyet, si Gempor, si Gagu, dan Tuan Item. Wallahu'alam. hanya Tuhan yang Maha Mengetahui.

Sunday, November 9, 2014

Genderuwo




Mansur adalah seorang pedagang keliling. Ia menjajakan dagangannya hingga ke Cirebon. Karena itu, sekali ia pergi, paling cepat ia baru akan kembali seminggu kemudian. Suatu pagi Mansur baru akan berangkat, di jalan ia berjumpa sahabatnya, Otong dan Udin.
"Mau jalan lu Sur?" tegur Udin.
"Iya, nanti malam giliran kita ronda yah?" ,ujar Mansur seraya menyodorkan sejumlah uang.
"Ini buat beli bako".
"Wah jadi nggak enak nih", sahut Otong, namun tak urung uang itu dikantunginya juga.
Mansurpun meneruskan perjalanannya, sedang Otong dan Udin bergegas menuju kebun. Malamnya Otong dan Udin bersama beberapa orang lain meronda. Sepanjang malam mereka berjaga dan berkeliling. Menjelang dini hari mereka memutuskan untuk pulang.

Di perjalanan pulang Otong dan Udin melewati rumah Mansur. Tampak Mansur baru keluar dari halaman. Otong dan Udin heran, karena baru pergi kemarin mereka melihat Mansur berangkat mengapa dini hari ini ia sudah terlihat lagi?
"He Sur", tegur Otong, "Kenapa lu udah pulang lagi?"
Namun Mansur tak menghiraukan teguran itu, ia terus saja berlalu. Otong dan Udin menjadi gusar. "Sombong bener dia", ujar Udin, "Ditanya nengok aja kagak".
"Iya", sahut Udin, "Mentang-mentang kemaren udah ngasih duit kali".
Dini hari berikutnya Otong dan Udin hendak berangkat ke kota. Saat melewati rumah Mansur, keduanya kembali melihat pedagang itu keluar rumah. Kedua sahabat itu sudah lupa pada peristiwa dini hari yang lalu. Dengan ramah keduanva menegur Mansur.
Kali ini ternyata sama saja. Mansur terus saja berlalu. Teguran sahabatnya tak dihiraukan. otong dan udin kembali merasa gusar. "Kenapa sih dia?" tanya Otong. "Ditegur baek-baek kagak nyaut. Emangnya gua kirik".
Udin tak segera menyahut, ia merasa ada sesuatu yang ganjil.
"Tong", ujar Udin, "Tempo hari waktu dia ngasih duitkan biasa aja. Tapi besoknya ama sekarang dia berubah".
"Iya, karena udah ngasih duit makanya dia ngerasa berkuasa".
"Bukan itu maksud gua", tukas Udin, "Dia kan kalo pergi lama. Paling cepet seminggu baru pulang, kadang-kadang ampe sebulan".
"Iyayah" , ucap Otong heran," Kenapa dua hari ini dia bolak-balik terus?"
"Makanya gua jadi curiga", timpal Udin "Jangan-jangan dia bikin macem-macem".
Kecurignan itu membuat Otong dan Udin sepakat untuk mengintai Mansur. Malam itu keduanya bersembunyi di semak-semak, mata mereka mengawasi rumah Mansur dan jalan sekitarnya.
Lewat tengah malam otong dan Udin melihat Mansur di kejahuan. suasana terasa aneh. Otong dan Udin merasa tercekam. Keduanya mendekam dengan tegang di tempat persembunyian.
Tampak Mansur memasuki halaman rumahnya. Pedagang itu mengetok pintu sesaat kemudian pintu terbuka, Mansur pun masuk. Otong dan Udin terus mengawasi.
"Din", bisik Otong, "Perasaan gua nggak enak".
"Sama gua juga", sahut Udin.
"Tapi, kenapa Si Mansur baru pulang tengah malam begini?"
"Makanya gua jadi makin curiga".
"Ayo kita intip ke dalem".
Otong dan Udin beranjak dari persembunyian. Keduanya mengendap-endap mendekati rumah Mansur. Namun setelah dekat keduanya mengurungkan niatnya. Lekas mereka menjauh dengan wajah merah padam, di dalam rumah sayup terdengar lenguhan isteri Mansur.
"Sialan", umpat Otong setelah jauh, "Gua kirain lagi ngapain".
"Dasar pejajaran tu orang", timpal Udin, "Pantes bolak-balik mulu".
Selagi Otong dan Udin mengumpat-ngumpat muncul para peronda. Kedua sahabat itu menceritakan pengalaman mereka. Para peronda tertawa terbahak-bahak.
"Udah-udah jangan ribut", ujar Komar, "Bentar lagi subuh."
Mereka semua terdiam. Saat itulah nampak Mansur keluar dari rumahnya. Otong dan Udin bersama para peronda terkiki-kikik. Tetapi seperti dua hari sebelumnya pedagang itu terus saja berlalu. Sedikitpun ia tak menghiraukan teman-temannya.
Komar si jago pencak silat merasa heran. Pengalamannya saat malang melintang sebagai jawara membuatnya peka. Ia tahu, ada yang ganjil pada diri Mansur.
Segera Komar mengejar Mansur. Namun pedagang itu berjalan cepat sekali. Komar pun berlari. Mansur berlari lebih cepat lagi. Melihat itu Otong dan Udin bersama peronda lainnya turut mengejar.
Setiba di pengkolan tersentaklah para pengejar. Mereka melihat Mansur melompat, begitu ringan lompatannya. Tubuh Mansur lenyap di kerimbunan daun pohon Johar.
Sadarlah semua orang, yang tengah mereka kejar bukanlah Mansur melainkan Genderuwo. Mahluk jahat itu biasa tinggal di pohon-pohon besar yang tua.
Jika Genderuwo tengah berhasrat, ia akan mendatangi perempuan yang tengah ditinggalkan suami. Akibatnya, perempuan itu akan hamil.
Hal itu terjadi pada isteri Mansur. Ia hamil. Saat lahir, bayinya amatlah mengerikan. Sekujur tubuhnya berbulu lebat, wajahnya pun menakutkan. Umur bayi itu hanya beberapa hari, ia lalu meninggal. Namun sesungguhnya bayi itu tidak meninggal, ia hanya mengikuti bapaknya.

Nenek Jenab dan Buaya Buntung




Pada suatu kisah menurut cerita pada masa dahulu, hiduplah seorang gadis yang bernama Jenab. Ia berumur 20 tahun. Parasnya amat cantik. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua di sebuah rumah yang besar dan indah. Rumah itu warisan ayahnya. Di masa hidupnya, ayah Jenab kaya raya dan terpandang di kampungnya. Kedua orang tuanya amat menyayangi Jenab sebagai anak semata wayang. Setelah ayahnya meninggal karena sakit, Jenab diurus ibunya dengan baik, sehingga tumbuh dewasa sebagai gadis cantik. Kecantikannya itu terkenal di seluruh kampung di Betawi. Boleh dikatakan tak ada kekurangannya kecantikan Jenab itu, sehingga seluruh pemuda tergila-gila padanya. Sayang di balik kecantikannya itu Jenab mempunyai sifat tercela. Ia angkuh. Karena itu banyak pemuda yang akhirnya kecewa terhadap Jenab. Meskipun demikian, ada juga pemuda yang tertarik kepada Jenab. Hal itu menyebabkan keangkuhan Jenab menjadi-jadi. Sifatnya dari hari ke hari menjadi makin kasar. Melihat tingkah laku Jenab yang kasar, ibunya bersedih hati.
Pada suatu hari berkatalah ibunya kepada Jenab :
"Jenab, ibu ini sudah tua, ibu kepengin kamu menikah. Tapi ibu lihat, engkau terlalu angkuh dan sombong, sehingga banyak pemuda yang menghindar darimu. Jenab, apakah engkau ingin menjadi tua tanpa suami yang mendampingimu ? Rubahlah sisfat burukmu, nak "
Jenab termenung, lalu berkata : "Coba ibu katakan, siapa gerangan pemuda yang ingin melamarku, nanti Jenab jelaskan mengapa Jenab tidak mau dengan dia". Ibunya berpikir sejenak, lalu berkata lagi : "Lamaran si Ayub dulu mengapa kau tolak ? Padahal ia berasal dari keluarga terpandang".
"Oh, si Ayub yang pendek itu ? Maaf, bu, aku tak tertarik padanya."
Ibunya sangat terpukul dengan jawaban Jenab, kemudian ibunya berkata:
"Baiklah, nak, itu alasanmu menolak si Ayub. Tapi bagaimana dengan Mat Bongkar yang tubuhnya tinggi dan tegap, Jenab tolak juga kan ?".
"Mat Bongkar, bu, hidungnya pesek, lagi pula ia miskin".
Ibunya bangkit amarahnya, dan berkata :
"Jenab, kalau begitu, terserah kepadamulah, ibu tak ingin turut campur lagi" .
Ibunya kemudian berlalu dengan hati yang kecewa meninggalkan Jenab.
Percakapan dengan ibunya ini tidak mengubah perangai Jenab, ia tetap sombong.
Pada suatu hari, adalah seorang pemuda bernama Roing berjalan di depan rumah Jenab. Jenab asyik menyapu beranda rumahnya, sehingga tak terpandang olehnya si Roing itu. Tiba-tiba beberapa lembar kertas yang disapunya melayang dan jatuh di kaki si Roing. Pemuda itu menoleh ke arah dari mana datangnya sampah, dan ia terkejut bukan kepalang melihat gadis cantik sedang menyapu. Roing tersenyum, Jenab malah membuang muka. Roing berusaha tersenyum lagi, dan berkata :
"Mohon maaf, bolehkah aku menolongmu ?".
Jenab menjawab dengan tegas :
"Kau sungguh kurang ajar dan tak tahu kesopanan, beraninya kau menyapa gadis yang belum kau kenal".
Dengan kecewa Roing berlalu dari rumahJenab. Ia berusaha melupakan peristiwa itu, tetapi hatinya yang sakit susah diobati. Dari hari ke hari Roing merasakan sakit hatinya dihina Jenab. Akhimya ia berdoa kepada Tuhan agar memperoleh jalan untuk mengatasi perasaannya itu. Setelah berdoa dan sembahyang, Roing tertidur. Dalam tidur ia bermimpi kedatangan seorang lelaki tua bersorban dan berjanggut putih seraya berkata padanya: "Janganlah kau bersedih anakku. Jenab itu bukan jodohmu. Suatu hari kelak ia akan mendapat balasan Tuhan atas kesombongannya itu"

Syahdan, menurut cerita di kampung itu hidup seorang perampok. Perampok itu ingin menuntut ilmu hitam, yaitu ilmu kejahatan di sebuah gunung yang angker. Caranya dengan bertapa di dalam gua di pegunungan tersebut. Bila sampai waktunya, maka jin Afrit penguasa gunung akan muncul dan menurunkan ilmu hitamnya kepada si pertapa. Tapi sebagai imbalannya, si pertapa mesti menjalankan syarat yang ditentukan jin Afrit dan menuruti kemauannya.

Perampok tadi melakukan tapa, dan setelah jin Afrit muncul perampok dapat menerima syarat yang diminta jin Afrit. Maka iapun menerima ilmu hitam dari jin Afrit. Syarat yang harus dipenuhinya ialah si perampok tak boleh menikah seumur hidupnya. Jika perampok itu melanggar, maka ia akan menjadi seekor buaya.
Perampok itu turun gunung, dan kembali ke kampung. Maka ia pun mengumpulkan pengikut, lalu menjalankan aksi kejahatan. Karena ilmu hitam yang dimilikinya itu, perbuatan jahat ini tak diketahui orang siapa sesungguhnya pelakunya. Maka ia pun kaya raya sebagai hasil perbuatannya menjarah harta orang lain.
Karena kekayaannya, maka ia pun menjadi orang terpandang di kampung itu. Banyak orang yang memandang harta menginginkan perampok itu menjadi menantunya. tetapi tidak seorang wanita pun dapat menarik hati si perampok. Sebenarnya si perampok hatinya galau, karena ia teringat perjanjiannya dengan jin Afrit.

Pada suatu hari ketika berjalan di depan rumah Jenab, perampok itu bertatap pandang dengan Jenab. Hatinya tertarik, namun Jenab segera masuk ke dalam rumahnya. Perampok itu lalu singgah di sebuah warung kopi, dan bertanya kepada seorang wanita penjaja kopi:
"Mpok siapa gadis cantik yang berdiam di rumah besar dan indah itu ?"
"Oh, itu si Jenab. Dia cantik memang, tapi sombong. Tidak mungkin deh ada lelaki yang dapat mengawininya".

Mendengar keterangan penjaja warung, perampok itu merasa ditantang. Ia bergegas meninggalkan warung. Perjanjiannya dengan Jin Afrit dilupakannya demi hawa,nafsu ingin menikah dengan Jenab.
Pada suatu hari ia nekad bertandang ke rumah Jenab. Ia diterima ibu si Jenab dengan baik. Maklum perampok itu di kampung dikenal sebagai orang kaya, tak ada yang tahu bahwa ia sesungguhnya perampok belaka. Ternyata Jenab amat tertarik mendengar dari balik pintu percakapan perampok dengan ibunya itu. Perampok mengajukan lamaran, ibu si Jenab tidak menjawab melainkan masuk ke dalam rumah memberitahu Jenab. Tak disangka Jenab menerima lamaran perampok itu.
Tidak perlu diceritakan betapa gembiranya perampok itu mendengar lamarannya diterima Jenab. Dialah satu-satunya laki-laki yang mampu meminang Jenab. Perampok itu makin melupakan perjanjiannya dengan jin Afrit.
Maka persiapan pesta perkawinan pun diadakan, tenda besar dipasang di depan rumah Jenab. Undangan disebar ke seluruh sanak saudara dan handai taulan. Dan pesta pun berlangsung dengan meriahnya selama tiga hari tiga malam.

Perampok itu hidup dengan Jenab sebagai suami isteri. Tak lama kemudian Jenab pun hamil. Sembilan bulan kemudian Jenab melahirkan seorang anak lelaki yang gagah dan diberi nama Mi'ing. Kedua orang tuanya merawat Mi'ing dengan kasih sayang. Mi'ingpun tumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan.
Sehari-hari Mi'ing bemain dengan sesama anak orang kaya juga. Tapi Mi'ing bertabiat buruk. Ia serakah dan suka mengambil barang milik orang lain. Pada suatu malam Mi'ing bermupakat dengan temantemannya untuk mengambil buah-buahan dari kebun seorang haji. Namun haji itu sudah mendengar sejak lama perbuatan Mi'ing yang tidak senonoh. Setiap malam haji itu tidur larut malam menjaga tanaman buah-buahannya. Ia selalu menyelipkan sebilah golok di pinggangnya bila berjalan mengelilingi kebun buahnya.
Tengah malam Mi'ing masuk ke kebun milik haji bersama temantemannya dengan merusak pagar kebun. Haji bersiap menanti aksi Mi'ing. Ketika Mi'ing mendekat, langsung haji menebas Mi'ing dengan goloknya. Mi'ing yang tidak menyangka dirinya akan kena batunya tak dapat menghindar dari sabetan golok haji. Tulang pinggul Mi'ing patah terkena golok haji. Ia jatuh tersungkur. Teman-temannya segera melarikan Mi'ing. Haji melihat dari kegelapan anak-anak kurang ajar itu bertolak dari rumahnya sambil memapah Mi'ing.
Jenab amat terkejut melihat anak kandung sibiran tulang digotong temannya dalam keadaan mandi darah. Jenab bertanya kejadian apa yang telah menimpa Mi'ing. Dengan terbata-bata Mi'ing mendustai ibunya tentang na'as yang menimpa dirinya. Ia mengatakan terkena kecelakaan. Ibunya sibuk memanggil orang yang pandai untuk mengobati Mi'ing. Ketika itu si perampok tidak berada di rumah. Sehingga Jenablah yang mengurus segalanya. Mi'ing dapat disembuhkan, tapi ia cacat.

Pada suatu malam ketika si perampok sedang tidur bersama isterinya Jenab, terdengar suara gemuruh yang amat dahsyatnya yang didengar perampok dan Jenab : "Hei perampok celaka, aku jin Afrit datang bersama setan-setan pegunungan. Engkau ingkar janji. Kau telah berjanji untuk tidak kawin, tapi kau bohong. Sekarang engkau kami hukum. Engkau dan anakmu menjadi buaya, dan harta bendamu akan kembali ke tempat asalnya, ha-ha-ha".

Jin Afrit dan setan-setan pegunungan meninggalkan perampok dan Jenab yang dalam kebingungan. Selang beberapa saat Jenab memekik sekuat-kuatnya melihat suaminya berubah jadi buaya. Jenab berlari ke kamar Mi'ing, ia hampir pingsan melihat Mi'ing berubah menjadi buaya buntung. Kedua binatang itu merayap meninggalkan kamarnya masing-masing. dan sebelum meninggalkan rumah kedua buaya itu menatap wajah Jenab dengan sedih.

Jenab menangis sejadi-jadinya. Tak ada seseorang tempat mengadu, karena ibunya telah lama meninggal dunia beberapa bulan setelah Jenab menikah. Tapi tak ada lagi yang dapat dibuatnya melainkan mengantarkan dua ekor buaya itu ke tepi sungai.
Jenab menjadi pemurung, tampak sekali ia cepat tua. Wajahnya menyerupai nenek-nenek. Yang menghibur Jenab adalah saat-saat ia berdiri di tepi sungai.

Pada suatu hari, seperti biasanya, Jenab berdiri di tepi sungai memanggil-manggil nama suami dan anaknya. Tetapi yang muncul hanya seekor buaya buntung. Itulah Mi'ing anaknya. Jenab memanggil nama suaminya lagi. Buaya buntung malah bergerak ke arah Utara sungai. Jenab menatap dengan cemas gerakan buaya buntung. Sekitar 20 meter dari arah tempat Jenab biasa berdiri terlihat bangkai seekor buaya mengambang. Buaya buntung kembali lagi ke tempat semula, Jenab memandang dengan sedih. Tak lama kemudian buaya buntung menyelam. Tahulah Jenab bahwa suaminya telah mati. Kini hanya tinggal buaya buntung saja yang ia jumpai setiap berdiri di tepi sungai.