Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia.[6] Kadernya berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak dua juta orang.[7] Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.
Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom"
antara militer, kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan
kemilitanan PKI, serta dukungan Soekarno terhadap partai tersebut,
menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok Muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1960-an.[8] Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan mengancam posisi sosial para kyai.[9]
Pada tanggal 01 Oktober 1965, enam Jendral (tiga diantaranya dalam
proses penjemputan paksa pada pagi hari, sedangkan tiga sisanya dan satu
orang perwira menengah pada sore hari) dibunuh oleh kelompok yang
menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi --- namun Soeharto menamai
gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September,
walau fakta sejarahnya aksi penjemputan paksa dilakukan pada jam empat
pagi tanggal 01 Oktober 1965, untuk mendekatkan penyebutan GESTAPU
dengan sebutan GESTAPO (Polisi Rahasia Nazi Jerman yang dikenal bengis
dan kejam). Maka pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau
hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata
(yang dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa berkoordinasi dengan
Presiden Soekarno selaku pemangku jabatan Panglima Tertinggi menurut
Undang-Undang dalam struktur komando di tubuh APRI). Pada 2 Oktober, ia
mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal.
Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut.[10]
Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan.
Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di
seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia
dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini
adalah PKI.[10] Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh.[11] Maka ketegangan dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak.[12]
Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya.[3] Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Kabinet 100 Menteri dibersihkan dari pendukung-pendukung
Soekarno. Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa
dibunuh pada saat penangkapan, sisanya dihukum mati melalui proses
persidangan pura-pura untuk konsumsi HAM Internasional.[10] Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta.[10] Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar.[13][14]
Kelompok pemuda anti-komunis dibentuk, contohnya Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia (KASI).[11] Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000 aktivis dan petinggi PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer.[11]
Pembantaian
Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya
menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala
kecil dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya,[15] terutama Sumatera. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Timur.[12][14] Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatera utara dan Bali.[12] Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera sesudahnya.[13][16]
Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga
banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini.[17] Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas.[18] Di beberapa tempat, angkatan bersenjata melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal.[15] Di tempat lain, para vigilante
mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak
berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan.[19][20]
Di beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya komunis dan
simpatisannya, sementara di tempat lain tentara meminta daftar tokoh
komunis dari kepala desa.[21] Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam masyarakat.[22] Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar 5.000 orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia.[23][24]
Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan.[25][26] Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI" diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri.[27] Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis.[11]
Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah.[27] Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai.[18]
Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai.[18][27] Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata.[27]
Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969.[16][28][29] Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian.[29]
Jawa
Di Jawa, banyak pembunuhan dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa.[2]
Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di
Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang
lainnya hanya dituduh[29] atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik.[2][29]
Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando
kepercayaannya ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang
komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan
pergi dari sana.[11]
Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para pemuda,
dengan dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis.[30]
Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 antara partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober.[11] Kelompok Muslim Muhammadiyah
menyatakan pada awal November 1965 bahwa pembasmian "Gestapu/PKI"
merupakan suatu Perang Suci. Pandangan tersebut didukung oleh
kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatera. Bagi banyak
pemuda, membunuh orang komunis merupakan suatu tugas keagamaan.[16][18]
Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan
komunis supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka
lakukan. Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948.[27] Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap.[29]
Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal
tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian
berlangsung sampai bertahun-tahun. Di Blitar, ada aksi gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Aksi tersebut berhasil diberantas pada 1967 dan 1968.[31]
Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok komunis yang bercampur mistisisme
tradisional, bersama para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan
kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan
menghadapi angkatan bersenjata Indonesia.[31]
Bali
Bercermin dari melebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an, di pulau Bali meletus konflik antara para pendukung sistem kasta tradisional Bali
melawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu. Jabatan
pemerintahan, uang dan keuntungan bisnis beralih pada orang-orang
komunis pada tahun-tahun akhir masa kepresidenan Soekarno.[32]
Sengketa atas tanah dan hak-hak penyewa berujung pada pengambilan lahan
dan pembantaian, ketika PKI mempromosikan "aksi unilateral". Setelah
Soeharto berkuasa di Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot
dari jabatannya. Orang-orang komunis kemudian dituduh atas penghancuran
budaya, agama, serta karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya
rakyat Jawa, didorong untuk menghancurkan PKI.[33]
Sebagai satu-satunya pulau yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak memiliki kekuatan Islam yang terlibat di Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut pembasmian anggota PKI.[2]
Pendeta tinggi Hindu melakukan ritual persembahan untuk menenangkan
para roh yang marah akibat pelanggaran yang kelewatan dan gangguan
sosial.[29] Pemimpin Hindu Bali, Ida Bagus Oka,
memberitahu umat Hindu: "Tidak ada keraguan [bahwa] musuh revolusi kita
juga merupakan musuh terkejam dari agama, dan harus dimusnahkan dan
dihancurkan sampai akar-akarnya."[34]
Seperti halnya sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan nyaris
terjadi perang saudara ketika orang-orang komunis berkumpul kembali.[27]
Keseimbangan kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada
Desember 1965, ketika Angkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit
Brawijaya tiba di Bali setelah melakukan pembantaian di Jawa. Komandan
militer Jawa mengizinkan skuat Bali untuk membantai sampai dihentikan.[35][36]
Berkebalikan dengan Jawa Tengah tempat angkatan bersenjata mendorong
orang-orang untuk membantai "Gestapu", di Bali, keinginan untuk
membantai justru sangat besar dan spontan setelah memperoleh persediaan
logistik, sampai-sampai militer harus ikut campur untuk mencegah anarki.[37]
Serangkaian pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dipimpin oleh para pemuda PNI berkaus hitam. Selama beberapa
bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa dan menangkap orang-orang
yang diduga PKI.[27]
Antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000 orang Bali
dibantai, sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih
banyak dari daerah manapun di Indonesia.[38][39][40][41]
Sumatera
Tindakan PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis
asing di perkebunan-perkebunan di Sumatera memicu aksi balasan yang
cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh Sumatera.[10]
Pemberontakan kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit
peristiwa di Sumatera karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa
untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan
kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia. Berhentinya pemberontakan
tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat
Sumatera dipandang sebagai "pendudukan suku Jawa".[10] Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu tampaknya adalah transmigrasi penduduk dari Jawa.[18]
Jumlah korban
Meskipun garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya,[15] dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui.[42]
Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat
itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi,
sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga
dasawarsa.[43]
Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah
"Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada
Oktober 1966.[44] Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin,
hanya sedikit penyelidikan internasional yang dilakukan, karena
berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru"
atas PKI dan "Orde Lama".[45]
Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban.[37] Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal[46] sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa.[37] Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang.[31] Pada 1966, Benedict Anderson
memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada
1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.[37] Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai,[2][40][47][48] lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia.[2] Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.[29]
Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau
digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian
dilakukan dengan cara "tatap muka", tidak seperti proses pembantaian
massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.[49]
Penahanan
Penangkapan dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian.[2] Pada 1977, laporan Amnesty International menyatakan "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.[50] Antara 1981 dan 1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1.6 sampai 1.8 juta mantan tahanan ada di masyarakat.[51] Ada kemungkinan bahwa pada pertengahan tahun 1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa adanya proses peradilan.[16][31] Diperkirakan sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau lainnya.[37][52][53]
Orang-orang PKI yang tidak dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi
sedangkan yang lainnya mencoba menyembunyikan masa lalu mereka.[2] Mereka yang ditahan termasuk pula politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta Toer
, serta petani dan tentara. Banyak yang tidak mampu bertahan pada
periode pertama masa penahanan dan akhirnya meninggal akibat kekurangan
gizi dan penganiayaan.[31]
Ketika orang-orang mulai mengungkapkan nama-nama orang komunis bawah
tanah, kadang kala di bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan semakin
meninggi pada 1966–68. Mereka yang dibebaskan seringkali masih harus
menjalani tahanan rumah dan secara rutin mesti melapor ke militer.
Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai pemerintah, termasuk juga
anak-anak mereka.[31]
Dampak
Tindakan Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme
melalui Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara
efektif dimusnahkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis;
dan militer berada pada jalan menuju kekuasaan.[1][2]
Banyak Muslim yang tak lagi memercayai Soekarno, dan pada awal 1966,
Soeharto secara terbuka mulai menentang Soekarno, sebuah tindakan yang
sebelumnya berusaha dihindari oleh para pemimpin militer. Soekarno
berusaha untuk berpegang kepada kekuasaan dan mengurangi pengaruh baru
dari angkatan bersenjata, namun dia tidak dapat membuat dirinya
menyalahkan PKI atas usaha kudeta sesuai permintaan Soeharto.[54] Pada 1 Februari 1966, Soekarno menaikkan pangkat Soeharto menjadi Letnan Jenderal.[55] Dekrit Supersemar pada 11 Maret 1966 mengalihkan sebagian besar kekuasaan Soekarno atas parlemen dan angkatan bersenjata kepada Soeharto,[56]
memungkinkan Soeharto untuk melakukan apa saja untuk memulihkan
ketertiban. Pada 12 Maret 1967 Soekarno dicopot dari sisa-sisa
kekuasaannya oleh Parlemen sementara, dan Soeharto menjabat sebagai Presiden Sementara.[57] Pada 21 Maret 1968, Majelis Permusyawaratan Rakyat secara resmi memilih Soeharto sebagai presiden.[58]
Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah
Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari rakyat Indonesia
maupun warga internasional.[3][4][5]
Akan tetapi, setelah Soeharto mundur pada 1998, dan meninggal pada
tahun 2008, fakta-fakta mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam
pembantaian ini mulai terbuka kepada masyarakat dalam tahun-tahun
berikutnya.[26][59][60]
Pencarian makam para korban oleh orang-orang yang selamat serta anggoa
keluarga mulai dilakukan setelah tahun 1998, meskipun hanya sedikit yang
berhasil ditemukan. Lebih dari tiga dekade kemudian, rasa kebencian
tetap ada dalam masyarakat Indonesia atas peristiwa tersebut.[26] Film Australia The Year of Living Dangerously, yang ceritanya diadaptasi secara mirip dari novel berjudul sama
yang didasarkan pada peristiwa berujung pada pembantaian ini, dilarang
diputar di Indonesia sampai tahun 1999, pasca jatuhnya rezim Orde Baru.
Penjelasan memuaskan untuk skala dan kekejaman dari pembantaian ini
telah menarik minat para ahli dari berbagai perspektif ideologis. Salah
satu pendapat memandang kebencian komunal di balik pembantaian sampai
pemaksaan demokrasi parlementer ke dalam masyarakat Indonesia, mengklaim
bahwa perubahan semacam itu secara budaya tidak sesuai dan sangat
mengganggu pada masa 1950-an pasca-kemerekaan. Pendapat yang berlawanan
adalah ketika Soekarno dan angkatan bersenjata menggantikan proses
demokrasi dengan otoriterianisme, persaingan kepentingan-yaitu antara
militer, Islam politis, dan komunisme-tidak dapat secara terbuka
diperdebatkan, melainkan lebih ditekan dan hanya dapat ditunjukkan
dengan cara-cara kekerasan.[54]
Metode penyelesaian konflik telah gagal, dan kelompok-kelompok Muslim
dan angkatan bersenjata menganut prinsip "kita atau mereka", dan bahwa
ketika pembantaian sudah berakhir, banyak orang Indonesia menganggap
bahwa orang-orang komunis layak menerimanya.[54]
Kemungkinan adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam
konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem
politik.[18] Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto.[61] Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
Pemerintah dan media-media Barat lebih menyukai Soeharto dan Orde baru daripada PKI dan Orde Lama.[54][62] Pembantaian itu oleh Time digambarkan sebagai "Berita Barat Terbaik di Asia".[63] Kepala berita di US News and World Report tertulis: "Indonesia: Harapan... di mana dahulu pernah tidak ada".[64] Kolomnis New York Times, James Reston menyebutnya sebagai "Secercah cahaya di Asia".[65] Perdana Menteri Australia Harold Holt, yang sedang mengunjungi Amerika Serikat, berkomentar di The New York Times, "Dengan
500.000 sampai satu juta simpatisan komunis telah disingkirkan... Saya
kira sudah aman untuk menganggap bahwa re-orientasi telah terjadi."[66]
Keterlibatan Amerika Serikat
Joseph Lazarsky, wakil kepala CIA di Jakarta,
mengatakan bahwa konfirmasi pembantaian datang langsung dari markas
Soeharto. "Kami memperoleh laporan yang jelas di Jakarta mengenai
siapa-siapa saja yang harus ditangkap," kata Lazarsky. "Angkatan
bersenjata memiliki 'daftar tembak' yang berisi sekitar 4,000 sampai
5,000 orang. Mereka tidak memiliki cukup tentara untuk membinasakan
mereka semua, dan beberapa orang cukup berharga untuk diinterogasi.
Infrastruktur milik PKI dengan cepat dilumpuhkan. Kami tahu apa yang
mereka lakukan... Soeharto dan para penasehatnya mengatakan, jika kamu
membiarkan mereka hidup, kamu harus memberi mereka makan."[67][68]
Duta Besar Amerika di Jakarta adalah Marshall Green,
yang dikenal di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sebagai "ahli
kudeta". Green telah tiba di Jakarta hanya beberapa bulan sebelumnya,
membawa serta reputasi karena telah mendukung penggulingan diktator
Korea Syngman Rhee,
yang telah keluar bersama Amerika. Ketika pembantaian berlangsung di
Indonesia, manual mengenai pengorganisasian pelajar, yang ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Korea, disebarkan oleh kedutaan Amerika Serikat ke Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).[69]
Amerika Serikat juga secara langsung mendanai mereka yang
berpartisipasi dalam penindasan terhadap orang-orang komunis. Pada
tanggal 2 Desember 1965, Green mendukung rencana untuk menyediakan lima
puluh juta rupiah
untuk apa yang disebutnya sebagai "gerakan Kap-Gestapu," yang dia
gambarkan sebagai "kelompok aksi sipil tapi terilhami tentara" yang
"membawa beban upaya represif yang ditujukan kepada PKI, terutama di
Jawa Tengah." [70]
Green tidak menyebutkan fakta bahwa "upaya represif saat ini" terhadap
PKI di Jawa Tengah meliputi, menurut Konsulat Amerika Serikat di Medan,
usaha untuk "membasmi semua orang PKI". Apakah dia menyadari fakta ini
atau tidak, agak diragukan, karena ia sendiri mencatat bahwa Kedutaan
Besar Amerika Serikat memiliki akses ke "laporan intelijen substansial"
mengenai kegiatan Kap-Gestapu, kegiatan yang ia yakinkan pada Departemen
Luar Negeri sebagai kegiatan yang "sepenuhnya sejalan dengan dan
dikoordinasikan oleh tentara" dan yang ia puji sebagai kegiatan yang
"sangat sukses".[71]
Selain itu, Amerika Serikat memasok peralatan logistik penting pada
jenderal-jenderal Indonesia. Para jenderal memintanya melalui penghubung
yang ditunjuk di Bangkok, Thailand.[72] Dukungan itu datang terutama dalam bentuk alat komunikasi taktis dengan tujuan menghubungkan Jakarta dengan pasukan militer yang melaksanakan penindasan terhadap PKI di Sumatera, Jawa dan Sulawesi.[72]
Amerika Serikat juga menyediakan "senjata" yang berasal dari Amerika
Serikat maupun yang bukan dari Amerika Serikat, yang secara khusus
merupakan permintaan untuk "mempersenjatai pemuda Muslim dan Nasionalis
di Jawa Tengah untuk digunakan melawan PKI".[73][74] Kawat diplomatik menunjukkan bahwa senjata-senjata ini adalah senjata ringan, digunakan untuk membunuh dari jarak dekat.[75][76] Brad Simpson, Asisten Profesor Sejarah dan Studi Internasional di Princeton University dan direktur Proyek Dokumentasi Indonesia/Timor Timur di George Washington University,
menyatakan bahwa "Amerika Serikat terlibat langsung sejauh bahwa mereka
menyediakan bantuan kepada Angkatan Bersenjata Indonesia yang mereka
berikan untuk membantu memfasilitasi pembunuhan massal."[77]
Pada tanggal 5 Oktober 1965, Green mengirim telegram ke Washington
mengenai bagaimana Amerika Serikat dapat "membentuk perkembangan untuk
keuntungan kita". Rencananya adalah untuk memperburuk nama PKI dan
"pelindung"-nya, Soekarno. Propaganda ini harus didasarkan pada
"(penyebaran) kisah pengkhianatan, kesalahan, dan kebrutalan PKI". Pada
puncak pertumpahan darah, Green meyakinkan Jenderal Soeharto: "Amerika
Serikat umumnya bersimpati dan mengagumi apa yang sedang dilakukan oleh
angkatan bersenjata."[78]
Adapun mengenai jumlah korban, Howard Federspiel, ahli Indonesia di
Biro Intelijen dan Penelitian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
pada tahun tahun 1965, mengatakan, "Tidak ada yang peduli, selama mereka
adalah komunis, mereka harus dibantai. Tidak ada yang merasa perlu
melakukan sesuatu mengenai hal itu."[67]
Perkembangan kontemporer
Setelah Soeharto mundur
bekat adanya reformasi 1998, Parlemen membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi untuk menganalisis pembunuhan massal, tapi itu ditangguhkan
oleh Pengadilan Tinggi. Sebuah konferensi akademis mengenai pembantaian
diadakan di Singapura pada tahun 2009.[49]
Pada bulan Mei 2009, pada waktu yang berdekatan dengan Konferensi Singapura, penerbit di Britania Raya, Spokesman Books, menerbitkan buku yang ditulis oleh Nathaniel Mehr, berjudul Pertumpahan Darah Konstruktif di Indonesia: Amerika Serikat, Britania Raya dan Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, sebuah survei tingkat-pengantar mengenai pembantaian dan dukungan Barat untuk Soeharto.
Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
menyatakan pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan
pelanggaran HAM yang berat. Setelah melakukan penyelidikan selama empat
tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menunjukkan adanya sembilan
kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesembilan
pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan
atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan,
pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan
penghilangan orang secara paksa.
Hasil penyelidikan Komnas HAM ini diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan untuk membuka pengadilan adhoc untuk pelanggaran HAM berat pada masa lalu ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.[79]
Pada tahun 2012 dan 2014, dua film yang mengungkap bagaimana pembantaian massal dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, Sumatera Utara, diluncurkan. Film tersebut berjudul Jagal (judul versi Inggris: The Act of Killing) dan Senyap
(judul versi Inggris: The Look of Silence) masing-masing dengan fokus
yang berbeda, Jagal menelusuri bayangan, pandangan, dan pendapat para
pelaku pembantaian massal mengenai diri dan sejarah, sementara Senyap
memotret pandangan keluarga korban mengenai beban sejarah yang mereka
tanggung, serta bagaimana satu orang dari mereka meminta
pertanggungjawaban para pelaku.[80][81]
Pembantaian ini telah banyak dihilangkan dari buku pelajaran sejarah
Indonesia. Dalam buku pelajaran sejarah, disebutkan bahwa pembantaian
ini adalah "kampanye patriotik" yang menghasilkan kurang dari 80.000
korban jiwa. Pada tahun 2004, buku-buku pelajaran diubah dan
mencantumkan kejadian tersebut, tapi kurikulum baru ini ditinggalkan
pada tahun 2006 karena adanya protes dari kelompok militer dan Islam.[49] Buku-buku pelajaran yang menyebutkan pembunuhan massal itu kemudian dibakar,[49] atas perintah Jaksa Agung.