Friday, May 20, 2016

Ritual-ritual aneh dari Barat

Sabtu malam secara khusus disucikan sebagai suatu ritual yang mempesonakan dan secara khusus pula diikuti oleh sejumlah pengikut dari suatu kelompok. Dua kelompok terdiri dari dua belas orang. Mereka berpakaian warna-warna dan melakukan gerakan-gerakan rumit di dalam ruang tertutup. Sekali waktu mereka merespon dorongan musikal dari instrumen primitif yang ditabuh oleh seorang yang tampak berwibawa beserta beberapa pembantunya dan mengawasi kegiatan mereka. Dengan mengitari tempat ritual itu, seluruh jamaah memberikan respon. Sekali waktu mereka bernyanyi, kadangkala berteriak dan kadangkala membisu. Sementara beberapa orang menabuh instrumen (musik) yang mengeluarkan bunyi aneh.

Tempat ritual itu dibangun secara geometris dengan perencanaan yang matang. Di sekelilingnya terdapat lencana, bendera, umbul-umbul dan dekorasi berwarna-warni yang mungkin dimaksudkan untuk membangkitkan puncak emosi individu dan kelompok. Suasana terasa menyeramkan karena beberapa perubahan mendadak dari emosi mereka. Reaksi mereka terhadap proses-proses ekstatogenik terbentuk ketika mereka begitu eksplosif sehingga seseorang akan merasa penasaran mengapa mereka tidak ikut dalam arena tertutup yang disucikan itu. Sementara kebahagiaan dan kesedihan akan muncul dalam diri para pengikutnya.

Kita adalah pengamat pertandingan asosiasi sepak bola di stadion dengan lampu sorot yang terang. Apa yang luput dari perhatian pengamat adalah pengetahuan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Jika kita memiliki pengetahuan ini, kita bisa mengenali pemain, penonton, wasit dan garis putih. Jika tidak, kita akan mengatakan: disini ada seseorang yang bergulingan di tanah, yang lain meringis kesakitan dan keringat menetes dari wajahnya. Salah seorang penonton memukul dirinya sendiri, yang lain memukul orang di dekatnya. Totem itu (baca: bola) melambung ke udara dan disambut dengan teriakan membahana dari kerumunan itu. Kemudian kita melihat darah tertumpah.
Bentuk-bentuk ritual lainnya adalah subyek pendekatan serupa bagi mereka yang tidak merasakan pengalaman yang mendahului pementasannya. Bahkan yang lebih penting, banyak sekali ritual serupa atau lainnya telah mengalami perubahan sepanjang zaman, sehingga semangat aslinya hilang. Bila hal ini terjadi, maka muncul suatu perubahan mekanis atau asosiatif dari faktor-faktor lain. Ritual itu diselewengkan, meskipun mungkin ada alasan-alasan yang jelas dari setiap aspeknya. Perkembangan ini adalah apa yang kita sebut sebagai kelalaian dalam praktek sistem keagamaan/peribadatan.
Berikut ini sebuah catatan orang luar tentang ritual darwis yang menggambarkan berbagai peristiwa dari sudut pandang pengamat sendiri. Dia adalah Pendeta John Subhan dari Gereja Episkopal Methodis yang menghadiri peristiwa itu di India:
Malam ini adalah malam Kamis, malam yang disucikan oleh para Sufi. Marilah kita mengunjungi beberapa kuil dan melihat betapa anehnya ritus-ritus keagamaan yang
dilaksanakan di depan mata kita. Kami memasuki sebuah ruangan dengan cahaya remang-remang tempat sejumlah orang berkumpul. Sebuah tanda diberikan oleh seseorang yang tampaknya sebagai pemimpin perkumpulan itu. Pintu-pintu pun ditutup. Ketika dua belas orang membentuk dua garis sejajar, suasana menjadi hening. Cahaya lampu menerpa wajah-wajah mereka di kegelapan dan hanya mata mereka yang tampak hidup. Kami semua mundur ke sudut ruangan dan dzikir segera dimulai.
Diiringi tepukan tangan, sang pemimpin mulai berayun ke kanan-ke kiri. Ia memulainya dengan sangat lambat dan orang-orang itu mengikuti irama ayunannya. Setiap kali berayun ke kiri, mereka mengucapkan kata, "Hu," secara serentak, "Hu ... Hu ... Hu ..."1
Ritual darwis sama sekali berbeda dengan pertandingan sepak bola itu, karena ia tidak bersifat simbolis tetapi berkaitan dengan aktivitas batin. Jadi penggambaran di luar konteks yang biasa itu sangat sedikit manfaatnya.
Suasana kegiatan Sufistik itu menghasilkan suatu persepsi bagi Sufi sendiri dan meninggalkan jejak yang bisa dikenalinya. Meskipun demikian, tidak ada gunanya untuk menyatakan bahwa seseorang bisa mengenali wujud yang sama dari peribadatan tertentu yang dipisahkan dari asal-usulnya, yaitu suatu sensasi yang dulunya adalah sensasi Sufistik. Bahan pengetahuan harus tersedia dalam bentuk yang bisa dipahami oleh pembaca, paling tidak sampai tingkatan tertentu.Karena itulah kita perlu memulai dengan persepsi batin bahwa fenomena Barat tertentu mempunyai asal-usul yang sama. Kemudian kita perlu melihat apakah bahan formal itu relatif bisa diterima sehingga seseorang bisa menggambarkan fakta itu? Untuk itu ada dua metode penting. Pertama, dengan merujuk pada fenomena serupa di Timur, jika memang ada. Kedua, dengan mencari jejak-jejak, seperti istilah-istilah dan makna-makna tersembunyi. Namun kita seharusnya menggunakan keduanya, setidaknya untuk mencermati salah satu aspek dari apa yang disebut sebagai sistem pemujaan tukang sihir perempuan di Eropa Barat.


Kata witch sebagaimana kita ketahui secara luas sebenarnya bermakna wise (bijaksana). Kata ini bisa ada di mana saja dan tidak harus berupa terjemahan dari bahasa Arab atau lainnya. Sementara wise adalah nama yang digunakan dalam sistem peribadatan darwis dan para penganut tradisi lainnya yang relatif masih bertahan.
Kata witch (penyihir perempuan) dalam bahasa Spanyol adalah bruja. Di Spanyol lah kita menemukan berbagai catatan awal dan relatif lengkap tentang berbagai ritual dan kepercayaan orang-orang Eropa Barat. Namun gereja memandang mereka sebagai penganut Ilmu Hitam.
Kita bisa menindaklanjuti kata kunci itu karena ternyata maskhara kaum darwis, meski mereka saat ini kebanyakan didapati di kantong-kantong Asia Tengah dan kadangkala di India, mempergunakan akar kata Arab BRSY
Kelompok maskhara (orang-orang yang bersuka cita) juga disebut mabrusy (orang-orang yang ditandai kulitnya), atau mungkin bermakna "mabuk kepayang". Dalam bahasa Spanyol, kata maja berasal dari bahasa Latin, sementara kata bruja (dilafalkan brusya) adalah kata yang muncul pada masa Spanyol Islam untuk menggambarkan keberadaan orang-orang ini. Jika kita menduga untuk sementara bahwa brusya mungkin sebuah istilah deskriptif yang diambil oleh kelompok Maskhara, kita bisa mencoba menguraikan penggunaan deskriptif gabungan dengan menggunakan metode syair Arab. Apa sebenarnya makna kata brusya itu, baik dalam bentuk akar kata maupun kata turunan (musytaq)? Menurut metode syair Arab, sejumlah kata dari kelompok bunyi yang sama diambil untuk melengkapi penggambaran suatu sistem peribadatan -- sebagaimana telah kita lihat dalam kata "Sufi".
Kata-kata dalam kamus adalah suatu seleksi dari suatu substansi khayali, suatu simbol dan tanda ritual. Semuanya berada dalam pengelompokan bunyi (konsonan) umum berikut ini
BRSY = Datura Stramonium (Duri Apel), dilafalkan BaRSY Alternatifnya dengan suara yang mirip: YBRUH = akar mandrake (tumbuhan beracun yang digunakan untuk persiapan pengobatan dan bisa menyebabkan kantuk), dilafalkan YaBRUUHH. Keduanya mengandung alkaline dan biasanya digunakan oleh para penyihir perempuan untuk mendapatkan wangsit, perasaan melayang dan digunakan pula dalam ritual.
Apakah simbol yang berhubungan dengan para penyihir perempuan itu?
M-BRSYa = sikat, sapu, pengikis (dialek Syria2) dilafalkan MIBRSYA.
Dengan menterjemahkan kelompok kata itu, kita bisa menggambarkan suatu komunitas yang menghubungkan diri mereka sendiri dengan pengaturan kalimat sebagai berikut: "Berkenaan dengan mandrake (atau apel duri), mereka menggunakan simbol sapu, ditandai dengan sebuah lambang di kulit, memakai jubah berwarna-warni atau campuran". Orang-orang ini digambarkan dengan akurat dalam bahasa Arab dan di Spanyol pada Abad Pertengahan sebagai brujo (untuk laki-laki) atau bruja (untuk perempuan) yang pada saat itu dilafalkan brusyo, brusya. Jika kita menerima hubungannya dengan Maskhara, maka kita bisa menghubungkannya lebih jauh. Penggunaan mandrake oleh mereka menunjukkan homonim yang lebih lanjut -- perkataan sehari-hari mabrusy, mabrusya (hingar-bingar) adalah merujuk pada tarian mereka. Tarian penyihir perempuan tradisional telah dicirikan atau paling tidak dibandingkan dengan dua bentuk tarian yang dikenal di Eropa -- tarian orang-orang Saracen (Muslim-Spanyol), waltz (yang diduga berasal dari Asia melalui negeri-negeri Balkan) dan dibka: tarian cincin Timur Tengah yang dikenal sejak dari Mediteranian sampai Teluk Persia.
Lebih dari itu, ada berbagai fakta tentang penyihir perempuan lain. Sumber-sumber Arab yang dikutip oleh Arkon Daraul berbicara tentang "Tarian Bertanduk Dua" dan mengungkapkan kunci rahasia tentang makna dari kata-kata "barbar" yang digunakan oleh para penyihir perempuan. Namun sampai saat ini, anggota persaudaraan (keagamaan) itu tidak bisa memahaminya. Berikut ini beberapa istilahnya dengan padanannya dalam bahasa Arab:
Pisau ritual yang secara rahasia disebut Athame berasal dari kata adhdhame, suatu huruf darah. Athame adalah upaya menjelaskan lafal adh-dhame. Kata Sab(b)at(h) adalah kata rancu karena pertemuan dengan kata Ibrani, maka maknanya berubah dalam bahasa Spanyol menjadi orang bertanduk dua, padahal sebenarnya berasal dari az-Zabat (yang kuat). Etimologi yang lucu ini selanjutnya berkembang dalam bahasa Perancis menjadi kata s'ebattre (bersenang-senang). Asosiasi suara yang sama dan diubah menjadi kata Robin dan Robinet serta lawan kata yang sebenarnya dari bahasa Semit adalah Rabba (Tuhan), tuhan yang pelik dan misterius atau pejabat (keagamaan) dari sekte Sabat. Kata Rabbana (wahai Tuhan kami) adalah bagian dari doa Muslim yang diucapkan lima kali sehari dengan khusyu'. 
Akhirnya kata coven mempunyai identifikasi yang jelas dengan pengertian panyatuan atau berkumpul bersama. Bahkan dalam pembacaan ritual oleh seorang mantan anggota sistem peribadatan Spanyol-Semit kuno, kata kafan merujuk pada kain penutup kepala para anggota Maskhara ketika mereka menari. Menurut riwayat ada dalam bahan penyihir perempuan yang berasal dari Skandinavia. Melalui asosiasi pada masa berikutnya, kata ini mungkin bermakna pertemuan atau anggota, namun jelasnya kafan digunakan sesuai dengan bentuk awal, artinya kain pembungkus.
Sekarang kita bisa melanjutkan pada tahapan lebih jauh -- salep (ramuan) penyihir perempuan dan apa bahan ramuannya. Pada mulanya mengapa salep itu digunakan? Dalam bahasa Arab, "salep" berasal dari kata RHM, kata yang digunakan juga untuk menunjukkan hubungan darah. Salep itu diberikan kepada penyihir baik laki-laki atau perempuan setelah upacara pembaiatan dan setelah ditandai (ditato). Marham (salep) dioleskan ke kulit dengan tujuan menetapkan suatu bentuk simbolis dari hubungan darah. Dengan "pemberian salep" itu, jika kita bisa berbicara dalam akar-akar bahasa Semit, salep (RHM) digunakan untuk membantu menciptakan kondisi hubungan darah (RHM). Salep ini digunakan di masa depan, untuk membawa penyihir perempuan itu kepada keluarganya, RHM. jadi, RHM itu membentuk hubungan mental dan farmalogikal dengan RHM.
Tetapi apakah tidak terdapat alkaline atau prinsip aktif lainnya dalam salep penyihir itu? Tentu saja hampir semuanya ada. Harus diingat, bahwa penyihir membuat suatu cairan dari tubuh atau potongan tubuh bayi-bayi yang tidak dibaptis. Akar pohon mandrake berbentuk "manusia". Secara tradisional ia dianggap sebagai tiruan manusia. Manusia kecil adalah seorang anak. Seperti tanaman, kita tidak bisa mengharapkan bahwa ia telah dibaptis. Sementara ramuan dari salep itu tampaknya berbentuk "bayi yang belum dibaptis".
Terlalu banyak analogi yang telah diupayakan untuk praktek-praktek sihir dalam agama Kristiani dan sistem peribadatan kafir dari jenis pra-Kristen. Jika Anda membaca karya-karya tentang ilmu sihir di Eropa, Anda akan menemukan bahwa sejauh menyangkut semua penulisnya, tidak terdapat hal serupa pada abad-abad kekuasaan Muslim di Spanyol atau berbagai generasi penyerapan kebudayaan Timur di setiap tahapnya. Bahkan nama "Yang Bijak" bisa jadi merupakan terjemahan langsung dari kata arifin, gelas yang diberikan kepada orang-orang di Timur yang mempercayai kemungkinan terjadinya komunikasi langsung dengan dunia supranatural.
Para penyihir modern tampaknya tidak mengetahui arti penting ukuran lingkaran mereka (diameternya sembilan kaki) dan hanya sedikit mengetahui tentang ilmu angka kuno mereka. Tetapi bahan ini tersedia di mana saja, bahkan untuk pengukuran. Secara insidentil, tradisi mereka sendiri berasal dari "Negeri Musim Panas" dan para anggotanya sendiri saat ini menganggapnya sebagai dunia Timur. Orang hitam (Moor) dan jimat mereka yang bertanduk (setan, dirancukan dengan bulan) berasal dari dunia "amal" mutakhir, karena akhir-akhir ini terdapat suatu upaya rasionalisasi sistem pemujaan mereka, dengan menelusuri berbagai festival musiman dan lain-lain. Demikian pula karena suatu perrggabungan dengan sistem peribadatan ekstatik dengan menggunakan sistem kode Arab dalam membentuk berbagai ritusnya.
Siapakah yang membawa penyihir itu ke Barat? Ketika Abad Pertengahan sebagai asal dari hampir semua informasi yang kita miliki, niscaya suku Aniza yang membawanya. Kita harus kembali menelusuri gurun-gurun Arab.
Klan Badui Aniza yang perkasa dan banyak melahirkan pejuang serta terkaya dalam kepemilikan unta, sangat terkenal dalam kepustakaan Arab karena kebengisannya dalam perang gurun. Perang-perang Badui adalah bahan bagi perkembangan dasar dari keksatriaan (chivalric) dan bagi epik cinta serta peperangan. Belum lagi untuk tarian dibka dan pisau penggores. Bentuk-bentuk syair yang dikembangkan oleh para penyair kesukuan itu telah mempengaruhi kesusastraan dari sejumlah bangsa setelah perluasan Islam ke Utara, Timur dan Barat.
Asal-usul kehidupan Badui bisa ditemukan pada masa-masa pra-Islam. Dalam buku Days of the Arabs, setiap Hari merupakan suatu epik dari beberapa peperangan yang asal-usulnya mungkin telah dilupakan orang. Namun budaya sampingannya berupa sajak, kemuliaan atau taktik-taktik militer tetap menjadi bagian dari warisan suku.
Inilah gambaran Badui dalam buku-buku cerita -- pejuang tangguh dengan kelembutannya kepada perempuan dan anak-anak menjadi kiasan serta diimbangi dengan keberaniannya berjuang sampai mati untuk mempertahankan sumber air atau sebatang pohon kurma, tetapi semua itu adalah tindakan yang mulia atau suatu kehormatan.Salah satu perang tertua dan paling berdarah pada masa itu selama empat puluh tahun dan berakhir pada abad kelima, adalah peperangan antara dua kelompok dari suku Aniza. Dimulai dengan pencurian seekor unta betina yang sakit milik seorang perempuan tua, peristiwa ini berakhir -- sebagaimana sering terjadi di masa itu -- dengan suatu mediasi. Hasil akhirnya -- sebagai ciri roman Spanyol-Islam dan mempengaruhi semua kepustakaan Barat -- adalah roman kepahlawanan Arab, yaitu The Story of el-Zir (Cerita tentang az-Zir).


Sejarah membawa orang-orang ini ke Eropa sekaligus membawa sebagian besar kebudayaannya. Salah satunya adalah seorang guru darwis yang secara mendalam terlibat dengan tradisi musik, roman dan kesukuan dari kabilahnya.
Suku orang tua dari Aniza itu diyakini oleh semua penyair Badui sebagai Klan al-Fakir ("yang sederhana"). Gelar ini diadopsi oleh para darwis, sementara salah satu istilah turunannya ditujukan kepada para guru yoga palsu yang berkeliling India yang mematikan rasa mereka sendiri dan berbaring di atas paku-paku, untuk tujuan yang tidak bisa diketahui dengan jelas; kecuali bahwa salah satu pandangan orang-orang yang melihatnya mungkin berharap bisa mengungguli mereka.

Suku al-Fakir masih hidup di Arab Barat Laut dekat pemukiman nenek moyangnya di Khaibar, kota kuno untuk benteng kuat pada masa Muhammad. Suku Aniza mempunyai banyak legenda, salah satunya terkait dengan keharusan perkembangbiakan lahiriah mereka. Menurut cerita ini, Wail al-Fakir dan semua nenek moyang suku Aniza pada suatu "Malam Kekuatan" (kemungkinan malam kedua puluh tujuh dari bulan Ramadhan) melakukan suatu permohonan. Ia meletakkan salah satu tangannya ke tubuhnya sendin dan tangan satunya ke unta betinanya yang agung, lalu berdoa agar benih keduanya bisa berlipat ganda. Akibatnya seperti yang diceritakan kepada kita, suku Aniza itu sekarang ini menjadi subur dalam kedua bidang itu, dengan kekuatan sekitar 37.000 orang dan sekitar satu juta ekor unta. Mereka juga mempunyai kesuburan yang semakin kuat. Tradisi mereka juga telah berubah ke dalam berbagai kepercayaan dari sistem peribadatan ini yang bergantung pada keanggotaan suku Aniza.

Saat ini mereka banyak tinggal di gurun Syria, karena mereka telah berjuang memperoleh pemukiman di sana lebih dari dua abad dan berakhir sekitar tahun 1600 M. Sistem peribadatan kelompok Maskhara yang terkait dengan nama mereka, paling tidak kembali kepada nama Abu al-Athahiyyah (748-kira-kira 828). Sebagai seorang pengrajin tembikar dan pemikir, ia merindukan kesembangan yang lebih sempurna antara kejayaan Baghdad pada masa Harun ar-Rasyid dengan perkembangan kemampuan batin manusia. Ia menyatakan hal itu kepada khalifah yang kemudian memberikan tunjangan hidup sebanyak 50.000 keping perak kepadanya.
Ia menjadi seorang penulis dan meninggalkan sebuah kumpulan sajak mistik yang "mengangkatnya pada posisi sebagan bapak syair Arab suci".
Setelah kematiannya, kelompok murid-muridnya, al-Arifin, memperingatinya dengan sejumlah cara. Untuk menandai sukunya, mereka mengadopsi kambing gunungyang asal-usulnya sama dengan nama kesukuan (Anz, Aniza). Obor di antara tanduk kambing ("setan" di Spanyol, sebagaimana hal itu terjadi pada masa berikutnya) menyimbolkan cahaya iluminasi intelek (kepala) "kambing", guru Aniza. Tanda kesukuannya (wasm) sangat mirip dengan sebuah anak panah lebar yang juga disebut kaki elang. Nama alternatif bagi Aniza adalah sejenis burung. Tanda ini -- dikenal oleh para pemikir sebagai kaki angsa -- menjadi tanda bagi tempat pertemuan mereka. Sebagian pengikutnya, terutama para gadis, ditandai dengan sebuah tato kecil atau tanda lain sesuai dengan tradisi Badui. Setelah kematian Athahiyyah, sebelum pertengahan abad kesembilan, riwayat menyatakan bahwa sekelompok sektenya pindah ke Spanyol yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Arab lebih dari satu abad.
Simbol-simbol dan berbagai kebiasaan yang terkait dengan afiliasi kesukuan itu tetap digunakan. Hal ini sesuai dengan praktek darwvis. Setiap guru mengajarkan suatu kebiasaan khas bagi sektenya dan berubah ketika sekte itu diambil-alih oleh guru lainnya. Tujuannya adalah memelihara perasaan kesukuan.3
Semua ini bukan berarti tidak ada sistem pemujaan yang lebih tua di Eropa dengan tipe serupa. Namun hal ini mungkin untuk memperlihatkan
peniadaan bunyi silabel dari dua kata itu yang pada akhirnya menakutkan gereja Abad Pertengahan. Sejak saat itu ia tetap menjadi misteri menarik bagi setiap kalangan. Bahkan beberapa bagian ajaran para penyihir perempuan itu sangat dekat dengan syair Sufi Abad Pertengahan, terutama ajaran Sufi Ibnu Arabi, yang sedikit banyak perlu disampankan dalam bahasan ini.
Sementara suku Quraisy adalah suku Arab paling mulia, dan klan tertinggi derajatnya adalah Bani Hasyim. Mereka dipandang berbeda, karena mereka adalah (asal) darah kenabian dan kebangsawanan. Meskipun demikian, suku yang hampir menyamai mereka adalah suku Aniza yang perkasa. Tiga penguasa pada saat ini (di jazirah Arab) berasal dari keluarga ini -- Raja Saudi Arabia, Syekh Kuwait dan penguasa Bahrain.
Bahan ini menunjukkan tiga kemungkinan penting atau cara-cara dalam menilai dan menggambarkan berbagai pertemuan para penyihir Barat. Pertama, kita bisa menyebutnya sebagai keberlangsungan agama kuno (pra-Kristiani); kedua, pemasukan suatu pemujaan Spanyol Islam; ketiga, suatu perkembangan anti-Kristen: salah satu atau semuanya tentu saja bisa mengandung unsur-unsur luar.
Para pendukung teori "agama kuno" telah menekankan segala sesuatu yang digunakan mereka. Bagi mereka, simbol tanduk berarti keberlangsungan suatu ritus perburuan atau kesuburan, di satu sisi berupa tarian, di sisi lain sebagai isyarat binatang. Para pengamat kependetaan menandaskan bahwa pesta itu adalah suatu sakramen terkutuk dan pemberian tanda itu (tato, dan lain-lain) adalah suatu pelecehan terhadap ajaran baptis, dan seterusnya.
Seperti pemahaman kita yang berbeda-beda tentang permainan sepak bola, penafsiran itu bergantung kepada pengetahuan tentang apa yang sesungguhnya terjadi, bukan bergantung pada dugaan-dugaan kita bahwa karena sesuatu ditemukan di tempat tertentu pada waktu tertentu, maka Ia pasti sesuai dengan teori atau dugaan kita tentang apa yang sesungguhnya terjadi. "Setan, tanduk, bayi-bayi yang direbus" adalah sebuah versi. "Tuhan/dewa-dewi, tarian kesuburan, kerahasiaan untuk mempertahankan agama kuno" adalah versi lain. Versi ketiga adalah "simbol dari suku Aniza, gurunya dan berbagai halusinasi".
Istilah "agama kuno" -- dua penyihir lainnya menerimanya sebagai suatu indikasi tentang asal-usul pra-sejarah dari sistem pemujaan itu -- adalah suatu ungkapan standar Sufi yang sering digunakan sebagai "kepercayaan antik", "agama kuno", "tradisi kuno". Hal ini ditekankan oleh Sufi Spanyol, Ibnu Arabi, dalam puisi-puisi cintanya.
Jika tradisi kuno itu benar-benar ada di Eropa sebelum abad kedelapan, ketika orang-orang Saracen (Spanyol Islam) menduduki kawasan tengahnya, maka tak ayal lagi bahwa ia telah berpenetrasi secara menyeluruh dalam aturan sistem politik, terminologi Sufi dan simbolisme kesukuan Arab dimana tingkat pengaruhnya berbeda-beda.
Apa yang bisa kita temukan dengan ungkapan "kepercayaan antik", atau "tradisi kuno"? Terjemahkan kata "antik", "kuno" ke dalam akar tiga huruf QDM,4 maka kita akan mendapatkan makna puitik:
QDM = konsep preseden (keutamaan).
Beberapa kata turunan (musytaq) dari akar kata ini bisa kita temukan dalam setiap kamus Arab sebagai berikut:
Qidam (QiDM) = keutamaan, keberadaan awal.
Qidman (QiDMan) = tua, masa yang lama.
Qadam (QaDaM) = tingkatan tinggi, keberanian.
Qadam (QaDaM) = kaki manusia, langkah, tahapan gerak.
Qadum (QaDUM) = kapak.
Qadim (QADiM) = masa depan.
Al-Qadim (AL-QaDiM) = Yang Maha Terdahulu (sifat Tuhan).
Qaddam (QaDDAM) = ketua, pemimpin.
Kata aneh ini mempunyai makna keabadian dengan pengertian bahwa ia memperlihatkan keabadian waktu. Padanannya dalam bahasa Inggris bisa jadi adalah kata precedence, yang mengandung makna "mendahului" (sehingga mengacu pada masa lalu) dan "bergerak ke depan". Kapak yang dibawa para pengembara darwis disebut qadum. Ada dua kata al-Qadim -- al-Qadim (Syekh, Pir) dari para Sufi dan al-Qadim (Tuhan). Dua kemungkinan ini, yang bermakna keabadian, di satu sisi manusia (pemimpin tarekat) dan di sisi lain sesuatu yang lebih tinggi (Tuhan), dimaksudkan untuk menyampaikan suatu konsep yang sangat pelik. Oleh karena itu, para Sufi sering dituduh meyakini bahwa para pemimpin mereka adalah Tuhan. Dengan menggunakan kata ini secara khusus dan puitis, mereka sebenarnya memperlihatkan bahwa ada dua versi yang mungkin diambil alih oleh istilah al-Qadim.5 Yang satu adalah guru yang memiliki berbagai kualitas tertentu dengan suatu sifat yang agung dan dekat dengan sifat ketuhanan yang mungkin bisa dilihat pada diri seorang manusia. Para Sufi maupun para penyihir menggunakan langkah pincang yang bersifat seremonial untuk mengungkapkan pengertian kata Arab qadam, maknanya langkah. Ada satu perbedaan penting dari versi Timur dan Barat. Di Timur, kata qadam (langkah, tahapan) diulang-ulang untuk tujuan penyampaian sandi-sandi rahasia. Sufi melangkah ke samping untuk mengingat-ingat akar kata yang sesungguhnya. Ketika ia melakukan suatu langkah pasti, baik sebagai suatu tanda pengenalan atau selama upacara, ia melakukannya untuk menegaskan penyampaian terus-menerus dari kata QDM. Dengan menerapkan kata ini dalam cara kerjanya, maka pembentuk ritual atau sistem password telah menjamin keberlangsungannya -- paling tidak di kalangan yang bisa memahami kata-kata Arab sampai pada tingkatan tertentu.
Dalam pengalaman saya sendiri, ketika diajari metode membuat tanda langkah tertentu, saya diutus untuk mempelajari semua unsur kata dari pengertian "langkah". Dari kajian ini muncul kesadaran bahwa ia maju setapak demi setapak, bahwa ia bergerak maju ketika ia juga berasal dari corak kuno yang terbesar.
Sangatlah jelas bahwa dalam penyampaian bentuk-bentuk lahiriah di negara-negara yang tidak berbahasa Arab, suatu penyesuaian kata-kata serupa tidak terjadi. Secara ideal, jika idea dari suatu agama kuno dengan suatu tujuan progresif diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh para penyihir atau apa pun namanya, mereka seharusnya memiliki kata semacam kata succeed. Kata sucession berarti "menyusul/datang kemudian", tetapi ia juga mengandung makna sesuatu di masa depan, sesuatu yang bisa diraih. Maka berbicara dari sudut pandang proses yang sedang digambarkan, pengertian kuno itu pastilah sudah dikenal dalam transisi Barat sebagai "penggantian".6
Perubahan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya dimana isyarat kuno tetap ada, bertentangan dengan gagasan evolusioner dari para Sufi. Sifat metamorfosis inilah yang menyebabkan perkembangan Sufi sangat sulit dipelajari secara akademik. Singkat kata, hanya versi-versi hampir punah yang telah kehilangan mobilitasnya.

Catatan kaki:
1 John A. Subhan, Sufism, Its Saints and Shrine, Lucknow, 1938, hlm. 1.
2 Di bawah kekuasaan Muslim Spanyol, ada sejumlah besar orang Syria di Spanyol. Hubungan Normandia-Syria niscaya telah berlangsung sejak tahun 844 M. ketika Sevilla dijarah.
3 Di antara para penyihir perempuan, ritual suku yang primitif diturunkan dari Aniza yang diliputi elemen Sufi. Induksi beruntun dari kaum Badui ke dalam kultus peribadatan hampir dipastikan bertanggungjawab atas pembalikan kultus demi tribalisme (rasa kesukuan).
4 Bandingkan dengan Asrar al-Qadim wa al-Qadam (Rahasia-rahasia Sufi tentang Masa Lalu dan Masa Depan).
5 Ada keanehan lain dari kosa-kata ini, yaitu sifat sugestif dan penuh makna dari kata-katanya. Kata-kata dalam bahasa Arab bagi seorang Sufi mempunyai kefasihan hebat. Kata-kata (Arab) itu sebenarnya mengandung makna yang memerlukan banyak penjelasan dalam bahasa lain. Oleh karena itu, kata-kata ini paling sesuai untuk menyampaikan berbagai konsepsi ghaib. (Syekh al-Musyaikh, Tasawwuf al-Islami, London, 1933 [Islamic Sufism, oleh I.A. Shah], hlm. 39).
6 Para penyihir Swedia dari Mohra menyesuaikan konsep ini secara cepat ketika mereka menyebut pemimpin mereka sebagai "Pendahulu" (Antecessor).