Tuesday, April 22, 2014

Roseta Dari Ancol

Cerita yang ditulis WL Ritter, yang bekerja antara lain sebagai wartawan. Mengkisahkan tentang seorang gadis Bali bernama Roseta, yang bekerja sebagai budak di rumah Tuan dan Nyonya van der Ploeg di Batavia. Sebagai budak ia merniliki paras rupawan di usia muda belia, penampilannya sangat sederhana namun demikian sangat pantas dilihat, sehingga kemanapun ia pergi senantiasa mempesona pria yang melihatnya. Ia bekerja sangat rajin dan tekun, tidak banyak tingkah. Namun ternyata keelokan parasnya telah membuat sang nyonya iri hati, hingga mengawinkan Roseta dengan Apol, budak laki-laki yang terpesona padanya. Walau sebenarnya kurang tertarik (karena hatinya telah tertambat pada seorang perjaka Jawa) tetapi tidak berani macam-macam dengan suaminya yang berasal dari Bugis itu.

Kekejaman Nyonya van der Ploeg kian hari semakin bertambah, hal itu berbeda dengan suaminya yang sangat perasa, tenang, dan memperlakukan budak dengan baik. Hingga suatu hari karena dianggap melakukan kesalahan, Roseta dihukum dengan menusuk tangannya menggunakan tusuk konde dan membakar tangannya. Peristiwa tersebut sangat membekas dihati Apol, sang suami, sehingga menimbulkan dendam. Suatu hari majikannya berlibur di rumah peristirahatan mereka bersama beberapa budak, sedangkan suaminya menyusul kemudian. Saat semua tertidur, Roseta yang telah terbujuk oleh kekasihnya (bernama Jaya) yang ditemuinya, melarikan diri dengan membawa semua perhiasan nyonyanya. Kepergian Roseta telah membuat Apol gelap mata dan menuduh majikannya sebagai penyebab kepergian isterinya. Di puncak kemarahannya ia membunuh majikan, anak, dan semua budak yang menyaksikan peristiwa tersebut. Peristiwa itu membuat hati Tuan van der Ploeg hancur dan menyerahkan Apol kepada polisi dan dihukum mati dengan ditarik kuda menjadi empat bagian.

Dalam pelariannya ternyata Roseta menemui kemalangan. Jaya yang mengaku. sebagai juragan perahu dari Jepara hanya bohong belaka. Sebenarnya ia kepala perampok yang senantiasa menggoda para budak wanita agar melarikan diri dengan mengambil harta majikannya, untuk kemudian diambil oleh Jaya beserta gerombolannya dan kemudian budak tersebut dibunuh. Mengetahui hal itu Roseta hendak kabur, namun tiada daya, sehingga dirinya ikut dalam gerombolan tersebut. Delapan tahun kemudian gerombolan itu tertangkap dan semuanya dihukum mati, tak terkecuali Roseta yang sedang mengandung. Ia dihukum mati tiga bulan setelah melahirkan anaknya.

Sunday, April 20, 2014

This story will inspire you: 4 finger pianist

What do you do when you’re born with two digits on each hand and your legs are amputated at the knees when you’re three? Well, if you’re Hee Ah Lee, you become a concert pianist. She is quite a pro at it now, and you’ll love hearing her play.

Lee Hee-ah (born 9 July 1985) is a Korean pianist with only two fingers on each hand. The thumb of her left hand does not have any bones. She does not have any limbs below the knee on each leg. Her father was injured in a war and took morphine for 10 years as he was paralysed below the waist. Her mother took motion-sickness pills to deal with carsickness without realizing she was pregnant. These factors may have contributed to Lee's birth defects. Not letting them hold her back, Lee tours the world giving concerts with her ability to play pieces that would be difficult even for able-bodied pianists.


When she was 7, her mother started her on the piano to train her hands, which at the time couldn’t even hold a pencil. "However, as time went by, the piano became my source of inspiration and my best friend," she recalls. Soon she diligently practised piano for hours at a time trying really hard to improve. For example, she worked on one passage from Chopin's Fantaisie-Impromptu for five years.
In 1992, she won the First Prize at the Korean National Student Music Contest, and has since won many more contests and has also played in many solo-concerts along with playing with many well-known artists. She was even awarded by the then President of Korea, Kim Dae-jung, for Overcoming Physical Difficulty. She has also been recognized as one of the best students in Seoul by the Korean Education Department. She currently attends The Korean National College of Rehabilitation and Welfare.



Hee Ah Lee was born with sever physical deformities. She only had two fingers on each hand. And her legs ended at her knees. Her doctors didn’t expect her to live.
But she did live. At the age of six she started to play piano. At the time, her four fingers were very weak. She couldn’t even hold a pencil. Her mother hoped playing piano would strengthen her grip.
It worked. But more than that, Lee found a calling. She now tours the world, playing for stunned audiences. She plays pieces that would be difficult for able-bodied pianists.

TRUE Story according to TruthorFiction.com
The videos are real and Hee Ah Lee is Authentic. It is the story of a mother and a daughter who have overcome odds from the very beginning.
Lee’s mother became unexpectedly pregnant while married to a disabled man.  Doctors told her that because of a medication she had been taking her child would not be normal.  She elected to continue with the pregnancy and in 1985 in Seoul, South Korea, little Hee Ah Lee was born with only two fingers on each hand, disfigurement of her legs, and slight brain injury.  The hospital told Sun that she could not care for the child at home and relatives wanted her to place the child for adoption in a foreign country.  Sun thought her baby was beautiful, however, and was determined that she would live a successful life.
When Lee was a pre-schooler her mother decided that she wanted her daughter to take piano lessons and for two reasons.  One was that she felt it would help her strengthen her hands so she could hold a pencil.  The other was that she felt that if she could master the piano, she could master anything.   For six months piano schools turned them down then the one teacher who did accept the task got discouraged and wanted to quit.  It became a three-month contest of wills between mother and daughter that led to a confrontation in which Sun actually threw her daughter on the floor in frustration.  She said Lee got back up on the piano bench and for the first time played the children’s song she had been trying to learn.  That was the turning point and one year later Lee won the grand prize in a piano concert for Kindergartners. It was at age 7 that Lee won Korea’s 19th National Handicap Conquest Contest and was presented with her award by the President of Korea.
Today Lee is 22, has won numerous awards, and is a widely traveled concert pianist with more than 200 appearances.  Her first album titled “Hee-ah, a Pianist with Four Fingers” was to be released in June, 2008.
Lee gives tribute to her mother for challenging her to master the piano and said that although her training was difficult, “as time went by, the piano became my source of inspiration and my best friend.”
(source: Inspire 21)


Saturday, April 19, 2014

Inspiration stories: It's just a typewriter

Paul Smith: One Man At His Finest - with a Typewriter

He lived at Rose Haven Nursing Home ( Roseburg , OR ) for years. Paul Smith, the man with extraordinary talent was born on September 21, 1921, with severe cerebral palsy. Not only had Paul beaten the odds of a life with spastic cerebral palsy, a disability that impeded his speech and mobility but also taught himself to become a master artist as well as a terrific chess player even after being devoid of a formal education as a child.

"When typing, Paul used his left hand to steady his right one. Since he couldn't press two keys at the same time, he almost always locked the shift key down and made his pictures using the symbols at the top of the number keys. In other words, his pictures were based on these characters ..... @ # $ % ^ & * ( )_ . Across seven decades, Paul created hundreds of pictures. He often gave the originals away. Sometimes, but not always, he kept or received a copy for his own records. As his mastery of the typewriter grew, he developed techniques to create shadings, colors, and textures that made his work resemble pencil or charcoal drawings."

This great man passed away on June 25, 2009, but left behind a collection of his amazing artwork that will be an inspiration for many.
You know that saying about "When life closes a door, God opens a window"? Well, I think God just helped this man build a whole new house.
 (source from: Rogerknapp)

Friday, April 18, 2014

Mengemis Demi Rumah Ibadah Dan Anak Yatim


Di Sofia, Bulgaria siapa yang tak kenal dengan Dobri Dobrey, pengemis jalanan yang lusuh dan renta. Pria 99 tahun itu dikenal sebagai seseorang yang ramah dan berhati mulia. Betapa tidak, semua uang yang didapatnya dari mengemis, seluruhnya diberikan kepada gereja dan panti asuhan.

Dia tidak pernah mengambil satu sen pun dari uang yang didapatnya selama mengemis. Kemuliaan hatinya bahkan membuat penduduk kota - tempatnya mengemis - menyebutnya santo. Menurut Yahoo News Kanada, pria ini kehilangan sebagian besar pendengarannya selama Perang Dunia II.

Dobri yang tinggal lebih dari 24 km di luar kota Sofia, awalnya berjalan kaki ketika berangkat mengemis. Namun, menurut SaintDobry.com (situs yang didedikasikan untuknya), kini pria itu bergantung pada bus karena kondisi fisiknya yang tak lagi bugar. Pria yang hidup dalam kesederhanaan itu mendapat uang pensiun bulanan sebesar 80 euro (sekitar Rp 1,2 juta). Uang itu lah yang kemudian dipergunakannya untuk menyambung hidup.

Tahun lalu, seorang pengguna Reddit dengan username Nullvoid123 menulis di akunnya bahwa dia telah bertemu Dobri beberapa kali. Pria itu mengatakan kepadanya bahwa dia dulu pernah melakukan hal buruk, dan sekarang dia mencoba untuk menebus dosanya di masa lalu dengan membantu orang lain


Menurut video yang dirilis oleh Nevsky Katedral St Alexander, Dobri pernah menyumbang 35.700 lev atau sekitar Rp 283 juta kepada gereja tersebut. Dia juga memberikan uang kepada panti asuhan di sekitar kotanya untuk membantu mereka membayar tagihan listrik.

Dalam film dokumenternya yang berjudul "Mite", Dobri mengatakan, "Kita tidak harus berbohong, atau mencuri, atau berzina. Kita harus saling mengasihi seperti Allah mengasihi kita." Film tersebut diproduksi pada tahun 2000. (sumber: yahoo news/merdeka.com) 
    



Tuesday, April 15, 2014

Nenek rela menggendong 4 kilometer demi sekolah cucunya

Cintailah orang-orang yang mengasihi Anda, selama Anda masih memiliki waktu untuk melakukannya. Karena, terkadang perhatian yang mereka berikan kepada Anda, terlewatkan begitu saja dengan berbagai rutinitas yang Anda jalani.

Demi sekolah, nenek 66 tahun gendong cucu sejauh 4 kmBagi kebanyakan penduduk kota yang ketepatan waktu dan kenyamanan pada moda transportasi umum adalah kebutuhan mutlak, yang biasa mereka tumpangi ketika hendak pergi sekolah atau bekerja. Namun, mereka sering lupa bahwa sebenarnya mereka sangat beruntung karena dapat bepergian dengan berbagai jenis moda transportasi umum yang tersedia di daerah perkotaan. Beberapa anak yang tinggal di pinggiran kota atau pedesaan menghabiskan waktu berjam-jam dengan berjalan kaki, beberapa bahkan harus menyeberangi gunung atau sungai hanya untuk sampai ke sekolah.

Alkisah, di suatu tempat di kota Yibin, Provinsi Szechuan, China, seorang nenek berusia 66 tahun berjalan sejauh empat kilometer - 2 km sekali jalan - setiap harinya untuk mengantar cucunya yang cacat ke sekolah. Tanpa lelah, dia menggendong cucunya sembari menyusuri jalan setapak di sekitar pegunungan. Dan, mereka tidak pernah terlambat ke sekolah!

Fang Qiu Mei, yang kini berusia 14 tahun itu, lahir dengan kondisi kaki yang tidak normal, yang membuatnya merasa sakit saat berdiri. Fang bahkan hanya mampu berdiri selama beberapa menit dengan bantuan kruk. Karena kondisinya, dia memiliki kesulitan berjalan, dan selalu membutuhkan bantuan untuk bergerak.

Seperti dikutip dari ETtoday, ketika Fang baru berusia dua tahun, ayahnya meninggalkan rumah, dan ibunya menikah lagi. Fang kemudian diserahkan kepada kakek-neneknya untuk dirawat. Sayangnya, nasib malang seperti tidak ingin pergi dari kehidupannya. Kakeknya yang sudah tua dan sakit-sakitan, membuat Fang dan kakeknya sangat tergantung pada neneknya.

Jam masuk sekolah Fang adalah pukul 08.30. Agar tidak terlambat, nenek biasanya bangun pukul 05.00 dan kemudian mempersiapkan semua yang dibutuhkan Fang dan dirinya selama perjalanan. Nenek meninggalkan rumah bersama Fang tepat pukul 07.00. Demi bisa melihat cucunya menuntut ilmu seperti anak sebayanya, nenek rela menggendong Fang selama hampir satu setengah jam. Dia bahkan harus menempuh rute sejauh sekitar dua kilometer untuk sampai ke sekolah Fang.

Berjalan kaki sejauh 4 km di jalan-jalan pegunungan yang tidak rata tentu akan menjadi tugas yang sangat melelahkan, bahkan bagi seorang pemuda yang sehat sekalipun. Apalagi jika itu harus dilakukan oleh seorang nenek yang sudah berusia 66 tahun. Belum lagi, dia juga harus menggendong Fang, yang beratnya sekitar 40 kg, dan belum termasuk berat tas sekolah gadis itu. Sang nenek rupanya telah melakukan rutinitas itu selama lima tahun terakhir, sehingga jika dihitung dia telah menempuh perjalanan sejauh lebih dari 4000 km.

Sebab kondisi tubuh nenek yang tak lagi bugar, dia dan Fang akan berhenti untuk beristirahat setidaknya lima kali selama perjalanan. Dan, mereka selalu mengambil rute yang sama untuk kembali ke rumah. Kebesaran cintanya pada cucu semata wayangnya diungkapkan sang nenek dengan mengatakan bahwa dia selalu merasa khawatir dengan masa depan Fang, karena dia dan kakek sudah tua.

Nenek bahkan mengaku sering terbangun di tengah malam karena mimpi buruk yang terus berulang. Di mimpinya, sang nenek melihat Fang tergelincir ke dalam sebuah genangan air berlumpur dalam perjalanan ke sekolah dan dia mencoba untuk menarik cucunya, tetapi Fang tidak dapat meraih tangannya.

Fang bukannya tidak tahu bahwa perjalanan tersebut tentu sangat melelahkan bagi neneknya yang sudah tua. Untuk itu, dia mencoba untuk menahan berat badannya dengan dua kruk bambu yang dibuat oleh neneknya. Kruk itu akan menahan tubuhnya saat sang nenek mulai merasa kelelahan. Untuk membayar perjuangan neneknya, Fang berjanji untuk belajar lebih keras, agar upaya neneknya tidak sia-sia.

Untungnya, setelah kisah mereka dipublikasikan ke media, pemerintah setempat telah memindahkan keluarga tersebut ke sebuah rumah yang berada di dekat sekolah Fang. Mereka juga menyiapkan sebuah kursi roda untuk Fang, sehingga dia bisa lebih leluasa bergerak, tanpa harus terus bergantung pada neneknya. Pemerintah juga telah meminta lembaga medis lokal untuk melihat apakah ada harapan untuk Fang bisa berjalan lagi.

 

Thursday, April 10, 2014

Dengan Kesadaran Kupertahankan Jilbabku

 
 
 KISAH INSPIRASI "Aku Pertahankan Jilbabku"
 
 
Pada suatu sore yang cerah, salah satu sahabat Female berkunjung ke kantor kami. Sahabat kami ini sudah berkeluarga dan memiliki dua orang putra, yang paling kecil bersekolah di TK dan si sulung berusia 8 tahun. Bisa dikatakan, sahabat kami ini memiliki kisah hidup yang dapat memotivasi perempuan lain, terutama sahabat Female yang memakai jilbab.

Sejak berusia 12 tahun, sahabat kami ini memutuskan untuk memakai jilbab, dengan kesadaran dari hatinya, tanpa paksaan dari orang tua. "Waktu itu jilbab masih menjadi sesuatu yang asing, hanya dipakai oleh para santri, tidak seperti sekarang," ujarnya sambil tersenyum.

Tiba saatnya ketika dia harus menempuh kuliah, sahabat kami memilih Inggris sebagai tempat melanjutkan kuliah, mengambil jurusan psikologi. Tidak sulit untuk mendapatkan beasiswa, karena sahabat kami ini memang cerdas. Semua berjalan lancar, hingga terjadi peristiwa 11 September 2001.

"Ada perubahan tentu saja, pandangan warga dunia pada Islam mengalami pergeseran, memang tidak semua, tetapi waktu itu saya mendapat imbasnya," lanjut sahabat kami. "Seringkali orang-orang menatap saya dengan pandangan aneh, sampai ada yang bertanya, 'kenapa tidak kau lepas saja jilbabmu?' saya hanya tersenyum dan mengatakan bahwa inilah pilihan saya. Apapun pandangan orang lain, saya tetap bertahan hingga kuliah saya selesai dan kembali ke Indonesia,"

Saat itu sahabat kami mendapat banyak tawaran pekerjaan, ada satu perusahaan yang sesuai dengan keahliannya di bidang psikologi dan memberi gaji yang sangat besar. Tetapi.. perusahaan tersebut tidak menerima karyawati yang memakai jilbab, dengan kata lain, sahabat kami harus melepas jilbab dan dia akan langsung diterima.

"Jujur, saat itu saya bimbang. Apalagi pada saat yang sama, ibu saya sakit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit," Sahabat kami melanjutkan, "Ketika dunia menawarkan materi berlimpah, saya tetap mempertahankan apa yang akan saya pertanggungjawabkan kelak, saya tidak mau melepas jilbab. Saya yakin akan ada jalan lain yang memudahkan saya,"

Dan benar saja, tak lebih dari satu bulan setelah sahabat kami menolak pekerjaan yang mengharuskannya membuka jilbab, dia mendapat pekerjaan di sebuah yayasan yang mengelola sebuah sekolah. "Memang, gajinya tak sebesar seperti yang dijanjikan perusahaan sebelumnya, tetapi ada kepuasan batin saat saya bisa menerapkan ilmu saya tanpa meninggalkan apa yang seharusnya saya kenakan,"

Hingga saat ini, sahabat kami tetap setia memakai jilbabnya. "Jangan takut dengan anggapan bahwa jilbab bisa menghalangi rejeki seseorang, yakin saja dengan apa yang sudah kamu putuskan dan fokus. Dengan sikap pantang menyerah, tekun dan doa, percayalah, semua akan dimudahkan, rejeki akan datang dari pintu manapun." tutup sahabat kami.

Sumber : Aku Pertahankan Jilbabku

Friday, October 25, 2013

Haunted House

Haunted HouseGone are the days where ghostly manifestations will stigmatize the sale of a haunted home.
According to realtor.com's 2013 "Haunted Housing Report," more than half of American home buyers are open to buying a spooky abode.
Sixty-two percent, to be exact, of nearly 1,400 respondents indicated they would consider buying a haunted home in a realtor.com survey that ran on their website from Sept. 25 to Oct. 1. That's up 30 percent from last year's figures!


While the news might prompt some sellers to flaunt their haunt, living in a haunted house is not all it's cracked up to be, according to Carmen Reed (formerly Carmen Snedeker).
"At first I thought it would be a neat Halloween conversation piece, but it didn't turn out that way," Reed said in a telephone interview with HuffPost.
Reed and her family were the basis for the 2009 horror film, "The Haunting In Connecticut."
In 1986, Reed and her family moved from Monticello, N.Y, to Southington, Conn., where they rented an old home. The move was prompted by the need to get their son, who was battling Hodgkin's disease, closer to the University of Connecticut Health Center in Farmington, where he was receiving treatment.

It was not until after the move, Reed said, that her family discovered the home had once been a funeral parlor.
"We found a lot of stuff that had been left behind," she said. "There were coffin pillows, a [coffin trolley], pictures of the deceased, toe tags, a blood tank and a body lift that went up into our bedroom."
According to Reed, her son and other family members were the first to experience strange occurrences. It was not until sometime after the move that she realized there was a supernatural force inside the home.
"I saw a hand go up my niece's shirt," Reed recounted. "There was a perfect imprint of the wrist bone, knuckles, joints and fingernails. It laughed a hideous laugh when it went above her shirt and out the window. I scooped her up and ran into the dining room and called the Catholic Church."
Reed said that while a number of other horrific events occurred -- some of which are detailed in the movie -- it was the subtle hauntings that caused her the most fear.

"In lots of ways, the subtle reality of spirits in a house [is] much more frightening than the things that slap you in the face," Reed said. "They get your adrenaline going and the fear builds to a crescendo. Those things can also cause you to think you are losing your mind."
Reed said she also suffered a number of nightmares while she was living in the home, but is not certain if they were caused by the haunting or things she was experiencing at the time.
"I was going through a dark time," she said. "My father had just been murdered, my son had cancer and my sister had just found out she was HIV positive. I can't say for sure if my dreams were related to the house. Sometimes I wonder if they happened because of the house, but I hate to give it that kind of power. It's one of those things I don't have the answers to, so for me to say anything is absolute is impossible."
Reed and her family eventually left the home, but not before they asked the Catholic Church to cleanse the place. The exact details of the alleged cleansing are unknown.
"It took four hours and there were several priests involved, but I am not permitted to discuss it because I signed an agreement that I would never divulge the ritual," she said. "When they were done, the difference in the house was amazing and it was completely clean."
Now it should be noted that in 2009, investigator Joe Nickell reported in the May/June issue of Skeptical Inquirer magazine that the Snedekers' landlady said she found the family's story ridiculous. She also said no one before or since the Reeds had experienced anything unusual in the house.
Nevertheless, Reed stands behind her accounts.
Truth or fiction? That's for you to decide. However, if a haunted house is on your shopping list, you may just want to give it a little more thought. If not for the sake of our words, perhaps because of Carmen Reed's.
"It was a horrible thing to go through," she said before hanging up the phone.
(HuffPost Weird News)