Friday, August 19, 2016

Misteri Kematian Van Gogh

Pada 27 Juli 1890, Vincent Van Gogh berjalan ke ladang gandum dekat sebuah kastil di Desa Auvers-sur-Oise di Prancis, beberapa kilometer sebelah utara Paris, dan menembak dadanya sendiri.

Selama 18 bulan dia menderita kelainan jiwa, sejak dia memotong telinga kirinya sendiri dengan silet pada suatu  malam di bulan Desember 1888, saat tinggal di Arles di Provence.
Setelah insiden melukai diri sendiri yang dikenal luas tersebut, Van Gogh terus mengalami serangan kejiwaan secara sporadis dan melumpuhkan yang membuatnya kebingungan atau tak bisa berbicara selama berhari-hari atau berminggu-minggu.
Di sela-sela serangan kejiwaan ini, Van Gogh merasakan ketenangan dan kejelasan pikiran yang memungkinkannya melukis.
Malah, waktu dia tinggal di Auvers sejak Mei 1890, setelah keluar dari rumah sakit jiwa di luar Saint-Remy-de-Provence, timur laut Arles, adalah masa-masa paling produktif dalam kariernya. Hanya dalam 70 hari, dia menyelesaikan 75 lukisan dan lebih dari 100 gambar serta sketsa.
Meskipun demikian dia terus merasa kesepian dan cemas, dan yakin bahwa hidupnya adalah suatu kegagalan. Akhirnya dia memperoleh pistol kecil milik pemilik rumah yang ia tempati di Auvers.
Senjata inilah yang  mengakhiri hidupnya  suatu tempat  terbuka pada Minggu sore pada akhir Juli.
Namun, senjata tersebut hanya pistol saku, dengan daya tembak yang terbatas, maka ketika dia melepas pemicu, peluru memantul dari tulang rusuknya dan gagal menembus jantungnya. Van Gogh hilang kesadaran dan jatuh.
Saat malam tiba, dia sadar dan mencari pistol itu lagi untuk menuntaskan misinya. Karena tak bisa menemukan pistol itu, Van Gogh pun terhuyung-huyung berjalan kembali ke penginapan, dan dokter pun dipanggil.
Saudara laki-laki Van Gogh yang setia, Theo, datang keesokan harinya. Untuk sementara, Theo percaya bahwa Vincent akan selamat.
Tapi pada akhirnya tak ada yang bisa dilakukan - dan malam itu, Van Gogh meninggal pada usia 37.
“Aku tak meninggalkannya sampai dia pergi,” tulis Theo pada istrinya, Jo. “Salah satu kalimat terakhirnya adalah, ‘aku ingin mati seperti ini’ dan butuh beberapa saat lalu dia pergi dan menemukan kedamaian yang tak pernah bisa ditemukannya di Bumi.”
On the Verge of Insanity atau Di Ambang Kegilaan adalah pameran baru di Museum Van Gogh di Amsterdam, yang menampilkan kisah detil dan berimbang tentang 1,5 tahun terakhir dalam kehidupan Van Gogh.
Meski pameran tersebut tak menampilkan diagnosis jelas tentang sakit yang dialami Van Gogh – selama beberapa dekade, sejumlah analisis muncul, dari epilepsi dan skizofrenia sampai penyalahgunaan alkohol, psikopat dan gangguan kepribadian – pameran tersebut menampilkan senjata api yang mengalami korosi berat yang ditemukan di lapangan di belakang kastil di Auvers pada 1960.
Analisis menyimpulkan bahwa pistol tersebut, yang sudah ditembakkan, ada di tanah selama 50 sampai 80 tahun. Dengan kata lain, kemungkinan ini adalah senjata yang digunakan Van Gogh.
Akar masalah
Pameran tersebut juga menampilkan sebuah surat yang baru ditemukan, yang sudah dilaporkan secara luas oleh media. Surat yang ditulis oleh Felix Rey, dokter yang merawat Van Gogh di Arles, menunjukkan diagram yang menggambarkan secara jelas bagian telinga yang dipotong oleh Van Gogh.
Selama bertahun-tahun, penulis biografi Van Gogh memperdebatkan apakah dia memotong keseluruhan telinga kirinya atau hanya cupingnya.
Surat tersebut, yang ditemukan oleh peneliti independen, Bernadette Murphy, yang menuliskan tentang temuannya dalam buku baru, Van Gogh’s Ear: The True Story, membuktikan secara jelas bahwa Van Gogh memotong keseluruhan telinganya.
Surat tersebut, tentu saja, adalah pengungkapan besar dalam pameran di Museum Van Gogh. Saat saya berkunjung ke sana baru-baru ini, ada sesuatu yang lain yang menarik perhatian saya: sebuah lukisan yang belum selesai, hanya satu meter di seberang surat, yang disebut Tree Roots (1890) atau ‘Akar Pohon’.
Van Gogh tengah mengerjakan lukisan itu pada pagi hari 27 Juli, beberapa jam sebelum bunuh diri. Ini adalah lukisan terakhir yang dibuatnya.
Sekilas, lukisan padat ini tampil seperti abstrak. Bagaimana kita bisa ‘membaca’ sapuan kuas tebal akan warna biru, hijau dan kuning, semuanya ditampilkan secara mencolok di kanvas, dan sapuannya terlihat jelas di beberapa tempat?
Pelan-pelan, gambar itu menampilkan lansekap yang memunculkan akar yang menonjol serta bagian bawah pohon yang terlihat di tanah warna pasir cerah di lembah curam batuan kapur. Langit kecil terlihat di kiri atas lukisan.
Selain pemandangan itu, seluruh kanvas hanya berfokus pada kelindan akar, pohon, cabang dan vegetasi yang padat.
Martin Bailey, sejarawan seni dan penulis buku Studio of the South: Van Gogh in Provence yang akan terbit, mengatakan, “Bagian atas pohon dipotong dengan komposisi yang tidak biasa – seperti yang biasa ditemukan di lukisan Jepang, yang sangat dikagumi Van Gogh.”
Dari berbagai sudut pandang, Tree Roots adalah gambar yang luar biasa: komposisi yang inovatif dan ‘menyebar’, tanpa satu titik fokus.
Lukisan tersebut mengantisipasi perkembangan terbaru dalam seni modern, seperti gaya abstrak. Namun di saat bersamaan, sulit untuk tak melihat lukisan tersebut secara retrospektif – lewat sudut pandang pengetahuan bahwa sesaat setelah lukisan itu dibuat, Van Gogh berusaha bunuh diri.
Apa yang disampaikan lukisan ini tentang kondisi kejiwaan Van Gogh?
Selamat tinggal semuanya?
Tentu saja, lukisan tersebut tampak terganggu, seperti penuh dengan naik-turun kondisi emosional. “Ini adalah salah satu lukisan di mana Anda bisa merasakan kondisi kejiwaan Van Gogh yang kadang tersiksa,” kata Bailey.
Terlebih lagi, subjek lukisannya terasa penting. Beberapa tahun sebelumnya, Van Gogh mempelajari akar-akar pohon yang, menurut Van Gogh dalam suratnya buat Theo, mewakili pergulatan kehidupan.
Beberapa saat sebelum kematiannya, dalam suratnya buat Theo, Van Gogh menulis bahwa hidupnya “diserang pada akarnya”.
Lalu mungkinkah Van Gogh melukis Tree Roots sebagai perpisahan?
Saat saya menyampaikan ini pada kurator Nienke Bakker, yang bertanggungjawab untuk koleksi lukisan di Museum Van Gogh, dia menyarankan untuk hati-hati.

“Ada banyak kemarahan emosional dalam karya-karya di beberapa minggu terakhir kehidupan Van Gogh, seperti di Wheatfield with Crows atau Ladang Gandum dengan Gagak dan Wheatfield under Thunderclouds atau Ladang Gandum di bawah Awan Badai,” katanya.
“Jelas bahwa Van Gogh berusaha menyampaikan kondisi emosional pikirannya. Namun Tree Roots juga sangat hidup dan penuh semangat. Karya ini penuh petualangan. Sulit dipercaya jika seseorang yang melukiskan ini pada pagi hari akan bunuh diri pada sore harinya. Buat saya, sulit untuk mengatakan bahwa Van Gogh meniatkan ini sebagai sebuah salam perpisahan – ini terlalu rasional.”
Pada akhirnya, Bakker lebih memilih untuk membantah teori bahwa penyakit Van Gogh adalah yang membuatnya menjadi seorang seniman hebat.
“Semua akar yang tersiksa dan berkelindan ini membuat Tree Roots sebagai lukisan yang sangat kacau dan emosional,” katanya.
“Namun ini bukan lukisan yang diciptakan oleh pikiran yang gila. Dia tahu sekali apa yang dia lakukan. Sampai akhir hidupnya, Van Gogh terus melukis terlepas dari sakitnya, bukan karena sakitnya. Maka sangat penting untuk mengingat itu.”

Versi bahasa Inggris tulisan ini bisa Anda baca di The mystery of Van Gogh's madness di laman BBC Culture

No comments:

Post a Comment