Salah satu kampung tua di Jakarta. Nama kampung berasal dari kata mayor
yang merupakan "jabatan (pangkat)" yang diberikan pemerintah Belanda
kepada orang yang bertugas menarik pajak. Jabatan mayor diberikan kepada
orang Belanda dan juga orang Cina, yang karena jabatannya bisa kaya
dan memiliki tanah-tanah luas, sehingga disebut sebagai "tuan tanah".
Pada masa Belanda, Kemayoran merupakan sebuah Wekmeester yang
dipimpin seorang Bek. Setelah Indonesia merdeka, Kemayoran menjadi
bagian dari wilayah Kecamatan Sawah Besar, Kawedanan Penjaringan. Pada
tahun 1963-1968, dimasukkan ke dalam wilayah Kecamatan Senen
dan wilayahnya meliputi lima kelurahan, yaitu Gunung Sahari Selatan,
Kemayoran, Kebon Kosong, Serdang dan Harapan Mulia.
Pada mulanya penduduk Kampung Kemayoran
adalah orang Betawi. Setelah dikuasai Belanda mulai muneul para
pendatang dari Cina, India, Sumatera, dan Indonesia bagian timur yang
dijadikan pekerja dalam pembuatan jalan, parit-parit, atau ikut
dalam wajib militer untuk menghadapi Sultan Hasanuddin dan Sultan Agung
dari Mataram. Ada juga orang Indo (eampuran Belanda dan Indonesia) yang
tinggal di komplek tentara di Jl. Garuda. Bahkan setelah PD II banyak
bekas tentara Belanda yang menetap di Kemayoran. Sekitar tahun 1930-an,
Kemayoran pun terkenal sebagai pemukiman kaum Indo-Belanda,
sehingga muncul sebutan Belanda Kemayoran. Selain itu juga ada pendatang
dari Jawa, kaum priyayi rendah yang bekerja sebagai pangreh praja.
Semula para pendatang dipandang negatif karena dianggap berasal dari
golongan orang susah, namun dengan adanya komunikasi diantara mereka
anggapan tersebut mulai berubah bahkan penduduk asli mulai terpengaruh
untuk bekerja keras demi kesejahteraan keluarganya. Dengan dibukanya
lapangan terbang Kemayoran tahun 1935, mereka mulai merambah bidang
kerja selain petani, sebgai pedagang keliling, perbengkelan, atau
berjualan alat-alat rumah tangga.
Di Kampung Kemayoran banyak berkembang berbagai seni budaya daerah, diantaranya keroncong. Contohnya sebagai berikut:
Ani-ani bukannya waja
Memotong padi di gunung
Saya menyanyi bukan sengaja
Menghibur hati nan bingung
Reff: Olele di Kotaraja
Bole enggak boleh
Dibawa saja
Sepenggal lagu keroncong itu menjadi
simbol kebanggaan penduduk Kemayoran, kampungnya musik keroncong, yang
terkenal pada masa Hindia Belanda. Syairnya tidak terikat kepada suatu
cerita bersambung, melainkan pantun-pantun lepas yang diingat
secara improvisasi tatkala bernyanyi dan kadang-kadang tidak ada kaitan
dialog satu sama lainnya, asalkan efek pantun mengenai sasaran dengan
sindiran lueu, gembira dan tidak menyinggung perasaan lawan
bernyanyi. Irama Keroncong Kemayoran bukanlah irama "kendangan" yang
kemudian dinamakan "keroncong beat", melainkan irama "kocokan" (Belanda:
roffelen) menurut pembawaan keroncong masa-masa permulaan.
Tidak hanya keroncong yang
digemari masyarakat saat itu tetapi juga Robana Gembrung, Wayang Kulit,
Tanjidor, Cokek (Cokek Ken Bun), orkes Gambus, Gambang Kromong, dan
Dermuluk masih mendapat tempat di hati mereka. Keroneong Tugu banyak
mendapat pengaruh dari Portugis dan berkembang menjadi keroneong
yang sampai kini dan merupakan lanjutan dari keroncong Oud Batavia (lief de Java)
dan keroncong asli Kemayoran. Kelompok-kelompok orkes keroncong yang
ada di daerah Kemayoran selain orkes Keroncong Kemayoran sendiri adalah
kelompok Lief de Java yang disponsori orang Belanda dengan para pemain campuran orang Belanda dan Indonesia, orkes Keroncong Fajar (1929), orkes Keroncong Sinar Betawi, dan orkes Keroncong Suara Kemayoran
(1957). Mereka tampil dengan memakai pakaian seragam khas Betawi, yaitu
jas tutup dan kain batik. Sedang bentuk rumah tradisional di
daerah Kemayoran banyak menggunakan rumah model joglo dan bapang. Ada
juga rumah koko yang bentuk dan teknik pembuatannya tidak jauh berbeda
dengan rumah joglo Betawi. Untuk adat perkawinan di Kemayoran hampir
sama dengan masyarakat di Jakarta.