Syaikh San'an orang suci di zamannya, dan telah
menyempurnakan dirinya hingga ke tingkat yang tinggi. Lima
puluh tahun lamanya ia tinggal dalam pengasingan diri
bersama empat ratus muridnya yang melatih diri siang dan
malam. Syaikh itu banyak ilmunya dan dianugerahi petunjuk
lahir dan batin. Sebagian besar hidupnya telah dilewatkannya
dalam ibadah-ibadah haji ke Mekah. Salat dan puasanya tiada
terhitung lagi dan ia tak meninggalkan sedikit pun
amalan-amalan Ahlus sunnah. Ia dapat melakukan
keajaiban-keajaiban, dan nafasnya menyembuhkan mereka yang
sakit dan menderita.
Suatu malam ia bermimpi pergi dari Mekah ke Yunani dan di
sana menyembah patung; dan terjaga dicekam sedih dari mimpi
yang menekan ini, ia pun berkata pada murid-muridnya, "Aku
harus segera berangkat ke Yunani hendak melihat apakah aku
dapat menemukan arti impian ini."
Bersama empat ratus muridnya ia meninggalkan Ka'bah dan
pada waktunya sampailah ia ke Yunani. Mereka pun berjalan
dari ujung ke ujung negeri itu, dan suatu hari kebetulan
tiba di tempat di mana terlihat seorang dara sedang duduk di
langkan. Dara ini orang Nasrani, dan airmukanya menunjukkan
bahwa ia memiliki pembawaan suka merenungkan masalah-masalah
mengenai Tuhan. Keindahannya bagai matahari dalam seri
kegemilangannya, dan keagungannya bagai nama-nama rasi
bintang. Karena cemburu akan seri cahaya si dara, bintang
pagi pun lama melena di atas rumahnya. Siapa terjerat
hatinya di rambut gadis itu akan mengenakan tali pinggang
orang Nasrani, dan yang nafsunya hinggap pada manikam mirah
bibirnya akan merasa kebingungan. Pagi tampak lebih hitam
warnanya karena rambut hitam gadis itu, dan negeri Yunani
tampak berkeriput karena keindahan tahi lalatnya. Kedua
matanya umpan bagi para pencinta, dan kedua alisnya yang
melengkung merupakan dua bilah sabit di atas bulan kembar.
Bila tenaga membuat biji matanya bersinar, seratus hati pun
menjadi mangsanya. Wajahnya berbinar bagai nyala api yang
hidup, dan manikam mirah bibirnya yang basah dapat membuat
semesta dunia dahaga. Bulu-bulu matanya yang lunglai ialah
seratus pisau belati, dan mulutnya begitu mungil sehingga
kata-kata saja pun tak dapat lalu. Pinggangnya, lampai bagai
sehelai rambut, terhimpit sepanjang lingkar
zunnarnya2 dan
lekuk perak dagunya begitu menghidupkan bagai
khotbah-khotbah Isa.
Bila ia mengangkat sesudut cadarnya, hati syaikh itu pun
berkobar; dan seutas rambut saja mengikat pinggangnya dengan
seratus zunnar layaknya. Tak dapat ia mengalihkan matanya
dari gadis Nasrani ini, dan sedemikian besar cintanya hingga
maksudnya terluncur dari tangannya. Kekufuran dari rambut si
gadis menghamburkan diri pada keimanan Syaikh itu. Syaikh
itu pun berseru, "O betapa hebat cinta yang kurasakan
terhadapnya ini. Bila agama membebaskan kita, alangkah
beruntungnya hati!"
Ketika pengikut-pengikutnya mengerti apa yang telah
terjadi dan mengetahui keadaan yang melibatnya, mereka pun
pusing memikirkannya. Sebagian mulai menyadarkannya, tetapi
ia tak mau mendengarkan. Ia hanya berdiri saja siang dan
malam, matanya tertuju ke langkan dan mulutnya ternganga.
Bintang-bintang yang bersinar bagai lelampu meminjam panas
dari orang suci yang terbakar hatinya ini. Cintanya tumbuh
membesar hingga ia lupa diri. "O Rabbi," doanya, "dalam
hidup hamba ini, hamba telah berpuasa dan menderita, tetapi
belum pernah hamba menderita seperti ini; hamba dalam azab.
Malam sepanjang dan sehitam rambutnya. Di manakah lampu
Sorga? Adakah keluhan-keluhan hamba telah memadamkannya
ataukah lampu itu menyembunyikan diri lantaran cemburu? Di
manakah nasib baik hamba? Mengapakah ia tak menolong hamba
mendapatkan cinta gadis itu? Dimanakah akal budi hamba agar
hamba dapat mempergunakan pengetahuan hamba? Di manakah
tangan hamba untuk menyucikan kepala hamba? Di manakah kaki
hamba untuk berjalan mendapatkan kekasih hamba, dan mata
hamba untuk melihat wajahnya? Di manakah kekasih hamba yang
akan memberikan hatinya pada hamba? Apakah artinya cinta
ini, duka ini, kepedihan ini?"
Sahabat-sahabat syaikh itu datang lagi padanya. Seorang
berkata, "Sadarlah Tuan dan enyahkan godaan ini.
Berpeganglah pada diri Tuan sendiri dan lakukan sesuci yang
ditetapkan." Jawab syaikh itu, "Tidakkah kalian tahu bahwa
malam ini aku telah melakukan seratus kali sesuci, dan
dengan darah hatiku?" Yang lain berkata, "Di manakah untaian
tasbih Tuan? Bagaimana dapat Tuan berdoa tanpa itu?"
Jawabnya, "Telah kucampakkan untaian tasbihku agar aku dapat
mengenakan zunnar orang Nasrani." Yang lain lagi berkata, "O
syaikh yang suci, bila Tuan berdosa lekaslah bertaubat."
"Aku bertaubat kini," jawabnya, "karena telah mengikuti
hukum yang benar, dan aku hanya ingin meninggalkan hal yang
bukan-bukan itu." Seorang lagi berkata, "Tinggalkan tempat
ini dan pergilah menyembah Tuhan." Jawabnya, "Kalau saja
patung pujaanku di sini, akan layaklah bagiku untuk bersujud
di hadapannya." Yang lain berkata, "Kalau demikian, Tuan
tidak pula berusaha untuk bertaubat! Apakah Tuan bukan lagi
pengikut Islam?" Jawab Syaikh itu, "Tiada orang yang
bertaubat lebih dari aku, merasa menyesal bahwa selama ini
aku tak pernah bercinta." Yang lain lagi berkata, "Neraka
menunggu Tuan bila Tuan terus juga di jalan ini; jagalah
diri Tuan, maka Tuan pun akan terhindar daripadanya."
Jawabnya, "Jika adalah neraka, maka itu hanyalah dari
keluhan-keluhanku, yang akan mengisi tujuh neraka."
Mengetahui bahwa kata-kata mereka tak membekas sedikit
pun pada syaikh itu meskipun mereka memohon padanya
sepanjang malam, maka mereka pun pergi. Sementara itu, pagi
yang bagai orang Turki dengan pedang dan perisai emas
memenggal kepala malam yang hitam sehingga dunia angan-angan
pun mandi terang matahari. Syaikh itu, sebagai barang
permainan cintanya, berkeliaran bersama anjing-anjing, dan
sebulan lamanya duduk di jalan itu dengan harapan akan
melihat wajah sang gadis. Debu ialah tempat tidurnya dan
ambang pintu rumah gadis itu bantalnya.
Kemudian, mengetahui bahwa syaikh itu putus asa dalam
bercinta, gadis Nasrani yang jelita itu pun mengenakan
cadarnya, lalu keluar dan berkata padanya, "O syaikh,
bagaimana maka kau, seorang zahid, begitu mabuk dengan
anggur kemusyrikan, dan duduk di sebuah jalanan Nasrani
dalam keadaan demikian? Bila kau memujaku seperti ini, kau
akan jadi gila." Jawab syaikh itu, "Ini karena kau telah
mencuri hatiku. Kembalikan hatiku itu atau sambut cintaku.
Bila kau menghendaki, akan kukorbankan hidupku untukmu,
tetapi kau dapat memulihkannya kembali dengan sentuhan
bibirmu. Karena kau, hatiku terbakar. Telah kutumpahkan
airmata bagai hujan, dan mataku tak dapat melihat lagi. Di
mana hatiku, di sana hanyalah darah. Andaikan aku dapat
menjadi satu denganmu, hidupku akan pulih kembali. Kau
matahari, aku bayang-bayangnya. Aku orang yang tiada berarti
lagi, tetapi bila kau mau mengindahkan diriku, aku akan
menguasai tujuh kubah dunia di bawah sayapku. Kumohon
padamu, jangan tinggalkan aku!"
"O kau peliur tua!" kata gadis itu, "tidakkah kau malu
menggunakan kapur barus untuk kain kafanmu? Mestinya kau
malu menyarankan hubungan mesra padaku dengan nafasmu yang
dingin! Lebih baik kau bungkus dirimu dengan kain kafan
ketimbang kauhabiskan waktumu memikirkan aku. Kau tak
mungkin menimbulkan cinta. Pergilah!"
Syaikh itu menjawab, "Katakan sesukamu, namun aku cinta
padamu. Tak peduli apakah kita tua atau muda, cinta
mempengaruhi segala hati."
Gadis itu berkata, "Baiklah, kalau kau tak bisa ditolak,
dengarkan aku. Kau harus meninggalkan Islam; karena cinta
yang tak menyamakan dirinya dengan yang dicintainya hanyalah
sekedar warna dan wangian."
Kata syaikh itu, "Akan kulakukan apa yang kauinginkan.
Akan kusanggupi segala yang kauperintahkan, kau dengan
tubuhmu yang bagai perak: Aku hambamu. Ikatkan seutas
rambutmu yang ikal di leherku sebagai tanda
pengabdianku."
"Jika kau seorang pengamal dari apa yang kau katakan,"
kata gadis Nasrani itu, "kau harus melakukan empat perkara
ini: bersujudlah di muka patung-patung itu, bakarlah Quran,
minumlah anggur, dan tutuplah mata terhadap agamamu." Syaikh
itu berkata, "Aku mau minum anggur demi kecantikanmu, tetapi
ketiga perkara yang lain tak dapat kulakukan." "Baiklah,"
kata gadis itu, "mari minum anggur bersamaku, kemudian kau
pun akan segera mau menerima syarat-syarat yang lain
itu."
Dibawanya syaikh itu ke kuil para sahir di mana ia
melihat sebuah perjamuan yang sangat aneh. Mereka duduk pada
suatu pesta di mana wanita penjamunya terkenal
kecantikannya. Gadis itu mengunjukkan satu piala anggur pada
sang syaikh, dan ketika syaikh itu menyambutnya dan
memandang kedua manikam mirah bibir kekasihnya yang
tersenyum, bagai dua tutup kotak perhiasan, api pun
berkorbar dalam kalbunya dan aliran darah menderas ke
matanya. Ia berusaha mengingat kembali kitab-kitab suci
tentang agama yang telah dibaca dan ditulisnya, dan Quran
yang begitu dikenalnya; tetapi ketika anggur mengalir dari
piala ke dalam perutnya, ia pun lupa akan semua itu;
pengetahuan ruhaninya hilang lenyap. Ia pun kehilangan
kemauannya yang bebas dan membiarkan hatinya terluncur lepas
dari tangan. Ketika ia berusaha menyentuh leher si gadis,
gadis itu pun berkata, "Kau hanya pura-pura mencintai. Kau
tak mengerti rahasia cinta. Jika kau merasa yakin akan
cintamu, kau akan dapat menemukan jalan ke ikal rambutku
yang berlingkar-lingkar. Tenggelamkan dirimu dalam kekufuran
lewat ikal rambutku yang kusut; selusuri ikal rambutku, dan
tanganmu pun akan dapat menyentuh leherku. Tetapi jika kau
tak mau mengikuti cara ;yang kutunjukkan itu, bangkitlah dan
pergi; dan pakailah jubah serta tongkat orang fakir."
Mendengar ini, syaikh yang mabuk cinta itu merasa tak
berdaya; dan kini ia pun menyerah tanpa ribut-ribut lagi
kepada nasibnya. Anggur yang telah diminumnya membuat
kepalanya jadi segoyah kompas. Anggur itu tua dan cintanya
muda. Bagaimana ia tak akan mabuk dan tenggelam dalam
cinta?
"O Seri Cahaya Bulan," katanya, "katakan padaku apa yang
kauinginkan. Jika aku bukan penyembah patung selagi aku
masih sadar, maka kini di saat aku mabuk akan kubakar Quran
di muka patung pujaan."
Jelita muda itu berkata, "Kini kau benar-benar suamiku.
Kau pantas bagiku. Selama ini kau mentah dalam cinta, tetapi
setelah memperoleh pengalaman kau pum matang. Bagus!"
Ketika orang orang Nasrani mendengar bahwa syaikh itu
telah memeluk agama mereka, maka mereka bawa dia, masih
dalam mabuk, masuk ke gereja, dan mereka katakan padanya
agar mengenakan zunnar. Ia lakukan ini dan ia campakkan
jubah darwisnya ke dalam api, ia tinggalkan agamanya dan ia
patuhi kebiasaan-kebiasaan agama Nasrani.
Ia pun berkata pada gadis itu, "O puteri yang menawan
hati, tiada seorang pun yang pernah berbuat bagi seorang
wanita sejauh yang kulakukan itu. Aku telah menyembah
patung-patung pujaanmu, aku telah minum anggur, dan aku
telah meninggalkan agamaku yang sejati. Semua ini kulakukan
demi cinta padamu dan agar aku dapat memilikimu."
Lagi gadis itu pun berkata padanya, "Peliur tua, budak
cinta, bagaimana mungkin wanita seperti aku menyatukan diri
dengan seorang fakir? Aku membutuhkan uang dan emas, dan
karena kau tak punya apa-apa, enyahlah kau sama sekali."
Kata Syaikh itu, "O wanita jelita, tubuhmu pohon saru dan
dadamu perak. Jika kautolak aku, kau akan mendorongku ke
dalam putus asa. Pikiran untuk memiliki dirimu telah
melemparkan aku dalam kekalutan. Lantaran kau kawan-kawanku
telah menjadi musuhku. Seperti kau, demikianlah mereka; apa
dayaku kini? O kekasihku, lebih baik aku di neraka bersama
kau ketimbang di sorga tanpa kau."
Akhirnya gadis itu merasa kasihan, dan syaikh itu pun
menjadi suaminya, dan mulai pula gadis itu merasakan nyala
cinta. Tetapi untuk mengujinya lagi, gadis itu berkata"
"Kini, sebagai maskawin, o manusia tak sempurna, pergilah
menjaga babi-babiku selama setahun, dan kemudian kita akan
melewatkan hidup kita bersama-sama dalam suka atau duka!"
Tanpa membantah, syaikh yang berkiblat pada Ka'bah ini,
orang suci ini, menyerah untuk menjadi penjaga babi.
Dalam fitrah kita masing-masing ada seratus babi. Wahai
kalian yang tak berarti apa-apa, kalian hanya memikirkan
bahaya yang melibat syaikh itu! Sedang bahaya itu terdapat
dalam diri kita masing-masing, dan menegakkan kepala sejak
saat kita mulai melangkah di jalan pengenalan-diri. Jika
kalian tak mengenal babi-babi kalian sendiri, maka kalian
tak mengenal Jalan itu. Tetapi jika kalian tempuh perjalanan
itu, kalian akan memergoki seribu babi --seribu patung
pujaan. Halaukan babi-babi ini, bakar patung-patung pujaan
ini di dataran cinta; atau jika tidak, kalian akan serupa
syaikh itu, dihinakan cinta.
Maka kemudian, ketika tersiar kabar bahwa syaikh itu
telah menjadi seorang Nasrani, sahabat-sahabatnya amat
bersedih hati, dan semua menjauhinya, kecuali seorang yang
berkata padanya, "Ceritakan pada kami rahasia peristiwa ini
agar kami dapat menjadi orang-orang Nasrani bersama Tuan.
Kami tak ingin Tuan tinggal dalam kemurtadan seorang diri;
maka kami akan mengenakan zunnar orang Nasrani. Jika Tuan
tak berkenan, kami akan kembali ke Ka'bah dan menghabiskan
waktu kami dalam berdoa agar tak melihat apa yang kami lihat
sekarang ini.
Syaikh itu berkata, "Jiwaku penuh duka. Pergilah ke mana
kau suka. Adapun bagiku, gereja ini tempatku, dan gadis
Nasrani itu tertakdir bagiku. Tahukah kau. mengapa kau
bebas? Itu karena kau tak berada dalam keadaan seperti aku.
Jika kau berada dalam keadaan demikian, tentulah aku akan
mempunyai kawan dalam percintaanku yang malang. Maka
kembalilah, sahabatku sayang, ke Ka'bah, karena tak seorang
pun akan dapat ikut pula merasakan keadaanku yang sekarang
ini. Jika mereka nanti menanyakan tentang diriku,
katakanlah, "Matanya berlumur darah, mulutnya penuh racun;
ia tetap berada dalam rahang naga-naga kekerasan. Tiada
kafir 'yang akan bersedia melakukan apa yang telah diperbuat
si Muslim sombong ini lantaran pengaruh nasib. Seorang gadis
Nasrani telah menjerat leher si Muslim itu dengan jerat dari
seutas rambutnya'." Dengan kata-kata itu ia pun memalingkan
muka dari sahabatnya lalu kembali ke kawanan babinya.
Para pengikutnya yang selama itu mengawasi dari jauh,
menangis pedih. Akhirnya mereka pun menempuh perjalanan
kembali ke Ka'bah, dan dengan malu dan bingung
menyembunyikan diri di sudut.
Di Ka'bah ada seorang sahabat syaikh itu, orang yang
bijak dan berada di Jalan yang benar. Tak seorang pun yang
lebih mengenal syaikh itu ketimbang dia, meskipun dia tak
ikut menyertainya ke Yunani. Ketika orang ini menanyakan
kabar sahabatnya, murid-murid pun menceritakan segala yang
telah menimpa syaikh itu, dan mereka menanyakan cabang-pohon
yang buruk manakah telah menusuk dadanya, dan apakah ini
telah terjadi karena kehendak nasib. Mereka katakan bahwa
seorang gadis kufur telah mengikatnya dengan seutas rambut
saja dan menghalanginya dari seratus jalan agama Islam. "Dia
bermain-main dengan rambut ikal dan tahi lalat gadis itu,
dan telah membakar khirka-nya.3
Dia telah meninggalkan agamanya dan kini dengan mengenakan
zunnar ia menjaga sekawanan babi. Tetapi sungguhpun ia telah
mempertaruhkan jiwanya sendiri, namun kami rasa masih ada
harapan."
Mendengar ini, wajah, sahabat itu pun berubah warnanya
jadi keemasan, dan ia mulai meratap pedih. Kemudian katanya,
"Kawan dalam kesusahan, menurut agama tak pandang laki-laki
atau perempuan. Bila seorang kawan yang menderita kesusahan
membutuhkan pertolongan, kadang-kadang terjadilah bahwa
hanya seorang saja dalam seribu yang mungkin berguna."
Kemudian disesalkannya mereka yang meninggalkan syaikh itu
dan dikatakannya bahwa seharusnya mereka jadi orang-orang
Nasrani pula demi syaikh itu. Tambahnya, "Kawan harus tetap
menjadi kawan. Dalam kesusahanlah kalian akan mengetahui
pada siapa kalian dapat menggantungkan diri; sebab dalam
kebahagiaan kalian akan mempunyai seribu kawan. Kini di saat
syaikh itu jatuh ke rahang buaya setiap orang menjauhkan
diri darinya agar tetap dapat menjaga nama baik mereka
sendiri. Bila kalian jauhi dia karena peristiwa yang aneh
ini, mestinya kalian harus diuji dan dinyatakan lemah."
"Kami menawarkan diri untuk tinggal bersama dia," kata
mereka, "dan malah bersedia pula untuk menjadi penyembah
patung. Tetapi ia orang yang berpengalaman dan bijak, dan
kami percaya padanya, sehingga ketika ia mengatakan pada
kami agar pergi, kami pun kembali ke sini."
Sahabat yang setia itu menjawab, "Bila kalian benar-benar
ingin berbuat, kalian harus mengetuk pintu Tuhan; maka
dengan doa, kalian akan diterima di hadirat-Nya. Mestinya
kalian bermohon pada Tuhan buat syaikh kalian, masing-masing
dengan doa sendiri; dan mengetahui keadaan kalian yang
bingung, Tuhan tentu akan mengembalikan dia pada kalian.
Mengapa kalian enggan mengetuk pintu Tuhan?"
Mendengar itu, mereka pun malu mengangkat kepala. Tetapi
sahabat setia itu berkata, "Kini bukan saatnya untuk
menyesal. Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Mari kita baring
di debu dan menyelubungi diri kita dengan pakaian doa
permohonan agar kita dapat menyembuhkan pemimpin kita!"
Murid-murid itu pun segera berangkat ke Yunani, dan
setiba di sana tinggal berada di dekat syaikh.
Empat puluh hari empat puluh malam mereka berdoa. Selama
empat puluh hari empat puluh malam ini mereka tidak makan
dan tidak tidur; mereka tak mengenyam roti maupun air.
Akhirnya kekuatan doa orang-orang yang tulus ini terasa di
langit. Para malaikat dan para pemimpin malaikat, dan
sekalian Orang Suci yang berjubah hijau di puncak-puncak
bukit dan di lembah-lembah, kini berdandan, dengan pakaian
berkabung. Panah doa itu telah mencapai sasarannya. Ketika
pagi tiba, angin sepoi yang membawa bau kesturi berhembus
halus menimpa sahabat setia yang sedang berdoa dalam
biliknya, dan dunia pun tersingkap di muka mata batiniyah.
Ia melihat Nabi Muhammad datang mendekat, gemilang bagai
pagi, dua ikal rambutnya tergerai di dadanya; bayang-bayang
Tuhan ialah matahari wajahnya, damba seratus dunia terikat
pada setiap helai rambutnya. Senyumnya yang ramah menarik
semua orang kepadanya. Sahabat setia itu bangkit dan
berkata, "O Rasulullah, pemimpin sekalian makhluk, tolonglah
kami! Syaikh kami telah sesat. Tunjukkan jalan padanya, kami
mohon pada Tuan dengan nama Tuhan Yang Maha Tinggi!"
Muhammad bersabda, "O kau yang melihat segala sesuatu
dengan mata batin, berkat usahamu maka hasrat-hasratmu yang
suci dikabulkan. Antara syaikh dan Tuhan sudah lama ada noda
hitam, aku telah melimpahkan embun doa permohonan dan telah
menebarkannya di debu hidupnya. Ia telah bertaubat dan
dosanya pun terhapus. Kesalahan-kesalahan dari seratus dunia
pun dapat lenyap dalam uap saat pertaubatan. Bila lautan
rasa persahabatan menggerakkan ombak-ombaknya terhapuslah
dosa laki-laki dan wanita."
Sahabat setia itu berseru gembira, membuat seluruh langit
bergetar. Ia berlari menyampaikan kabar gembira itu pada
kawan-kawannya, lalu sambil menangis karena gembiranya ia
bergegas ke tempat di mana syaikh menjaga babi-babinya.
Tetapi syaikh itu laksana api, laksana orang yang diterangi
cahaya. Ia telah melepaskan tali pinggang Nasraninya,
membuang ikat pinggang itu, merobek kerudung kemabukan dari
kepalanya dan meninggalkan kenasraniannya. Ia merasa dirinya
sebagai semula, dan sambil mengucurkan airmata penyesalan
diangkatnya kedua belah tangannya ke langit; segala yang
telah ditinggalkannya --Al-Quran, segala kerahasiaan
dan ramalan, datang kembali padanya, dan ia pun terbebas
dari nestapa dan kebodohannya.
Mereka berkata padanya, "Inilah saat bersyukur. Nabi
telah mengantara bagi Tuan. Bersyukurlah pada Tuhan yang
telah mengangkat Tuan dari lautan kegelapan dan menempatkan
kaki Tuan di Jalan Terang."
Segera setelah itu, syaikh itu pun mengenakan kembali
khirkanya, melakukan sesuci, dan kemudian berangkat ke
Hejaz.
Sementara yang demikian itu terjadi, si gadis Nasrani
dalam mimpinya melihat matahari turun kepadanya, dan
mendengar kata-kata ini, "Ikuti syaikhmu, peluk agamanya,
jadilah debunya. Kau kotor, jadilah suci seperti dia kini.
Kau telah membawa dia ke jalanmu, sekarang ikuti jalan yang
ditempuhnya."
Ia pun terjaga; cahaya merekah menerangi jiwanya, dan
timbul keinginannya hendak pergi mencari. Tetapi ketika
disadarinya bahwa ia seorang diri saja, dan tak tahu jalan,
maka kegembiraannya berubah menjadi kesedihan dan ia pun
lari ke luar hendak membuang keresahan dalam pikirannya.
Kemudian ia pun berangkat mencari syaikh dan murid-muridnya;
tetapi dalam keadaan letih dan bingung, bersimbah peluh, ia
menjatuhkan dirinya ke tanah dan berseru, "Semoga Tuhan Sang
Pencipta mengampuni diriku! Aku perempuan, muak dengan hidup
ini. Jangan kecewakan aku lantaran telah menyengsarakanmu
karena kebodohanku, dan lantaran kebodohan itu telah banyak
kuperbuat kesalahan. Lupakan kejahatan yang telah kuperbuat.
Kini aku mengakui Kepercayaan yang benar."
Suara batin membuat syaikh tahu akan seruan itu. Ia pun
berhenti dan katanya, "Gadis remaja itu bukan kafir lagi.
Cahaya telah datang padanya dan ia telah mengikuti Jalan
kita. Mari kita kembali. Dapatlah kini mengikatkan diri
dengan mesra pada patung pujaan itu4
tanpa dosa."
Tetapi sahabat-sahabatnya berkata, "Kini apalah gunanya
segala taubat dan penyesalan "Tuan! Hendak kembalikah Tuan
pada kekasih Tuan?" Syaikh itu pun memberitahukan pada
mereka tentang suara yang telah didengarnya, dan
mengingatkan mereka bahwa ia telah meninggalkan sikapnya
yang lama. Maka mereka pun kembali hingga tiba di tempat
gadis itu terbaring. Wajah gadis itu telah berwarna kuning
keemasan, kakinya telanjang, pakaiannya koyak-moyak. Ketika
syaikh membungkuk padanya, gadis itu pingsan. Ketika ia
sadar kembali, airmatanya jatuh bagai embun dari bunga-bunga
mawar, dan ia pun berkata, "Aku merasa begitu malu karena
kau. Singkapkan tabir rahasia itu dan ajarkan Islam padaku
agar aku dapat berjalan di Jalan itu."
Ketika patung pujaan yang jelita ini akhirnya tergolong
di antara orang-orang yang beriman, para sahabat syaikh itu
mengucurkan airmata kegirangan. Tetapi hati gadis itu tak
sabar menunggu pembebasan dirinya dari kesedihan. "O,
Syaikh," katanya, "kekuatanku lenyap. Aku ingin
meningggalkan dunia yang berdebu dan bising ini. Selamat
tinggal, Syaikh San'an. Aku mengakui segala kesalahanku.
Maafkan aku, dan biarlah aku pergi."
Maka alkamar keindahan ini, yang telah menempuh separoh
dari hidupnya, mengiraikan hidup itu dari tangannya.
Matahari bersembunyi di balik awan sementara ruh jelita
gadis itu melepaskan diri dari jasadnya. Dia, setitik air di
lautan khayali, telah kembali ke lautan hakiki.
Kita semua akan berlalu bagai angin; dia telah pergi dan
kita pun bakal pergi pula. Peristiwa-peristiwa demikian
sering terjadi di jalan cinta. Ada keputusasaan dan belas
kasihan, angan-angan dan kepastian. Meskipun jasad nafsu tak
dapat memahami rahasia-rahasia itu, namun kemalangan tak
mungkin memukul-lepas bola polo kemujuran. Kita harus
mendengar dengan telinga hati dan pikiran, bukan dengan
telinga jasmani. Pergulatan jiwa dan jasad nafsu tiada
akhirnya. Merataplah! Karena ada alasan buat berduka.
Catatan kaki:
1 Orang yang menuntut
kehidupan suci, menjauhi kesenangan duniawi.
2 Ikat pinggang. Juga
berarti tali pinggang yang dipakai orang Nasrani atau
Yahudi. Istilah ini digunakan kaum Sufi untuk menyatakan
ketulusan menempuh jalan agama.
3 Jubah para darwis,
terbuat dari sobekan-sobekan kain yang ditempel-tempel.
4 Di sini maksudnya si
gadis Nasrani.