Suatu
hari aku duduk di halaqah seorang guru di India Utara. Ketika itu seorang
pemuda asing dibawa masuk. Ia mencium tangan Syekh tersebut dan mulai
berbicara. Selama tiga setengah tahun, katanya, ia telah mengkaji berbagai
agama, mistisisme dan okultisme dari buku-buku di Jerman, Perancis dan Inggris.
Ia telah pindah dari satu kelompok (keagamaan) ke kelompok lainnya, untuk
mencari sesuatu yang bisa membawanya ke jalan yang benar. Agama formal tidak
menarik hatinya. Dengan mengumpulkan semua uang yang bisa ia dapatkan, ia telah
mengembara ke Timur, dan telah bolak-balik dari Iskandariah ke Kairo, dari
Damaskus ke Teheran, melalui Afghanistan, India dan Pakistan. Ia pernah tinggal
di Burma [Myanmar] dan Bangladesh, begitu juga di Malaysia. Di semua tempat ini
ia telah berbicara dan mengambil catatan-catatan salinan dari guru-guru
spiritual dan keagamaan.
Tentu
saja, secara fisik maupun batin, ia telah menempuh jarak yang jauh. Ia ingin
bergabung dengan Syekh ini, sebab ia ingin melakukan sesuatu yang praktis,
memusatkan perhatian pada gagasan-gagasan untuk mengembangkan diri. Ia
memperlihatkan semua tanda bahwa ia lebih dari siap untuk menyerahkan dirinya
kepada disiplin dari sebuah tarekat darwis.
Syekh
tersebut bertanya kepadanya, mengapa ia menolak semua ajaran lainnya. Ada
berbagai alasan, katanya, berbeda-beda dalam hampir setiap kasus.
"Ceritakan kepadaku sebagian!" ucap sang guru.
Agama-agama
besar, katanya, tampaknya tidak melangkah cukup mendalam. Mereka memusatkan
diri pada dogma-dogma. Dogma-dogma tersebut harus diterima apa adanya. Zen
(salah satu pecahan Budha) sebagaimana telah ia temukan di Barat, sama sekali
tidak menyentuh realitas. Yoga menuntut disiplin keras jika hal itu tidak ingin
menjadi "sekadar suatu mode sambilan". Kultus-kultus yang terpusat
pada kepribadian seseorang didasarkan pada pemusatan terhadap orang tersebut.
Ia tidak bisa menerima dasar pemikiran bahwa seremoni, simbolisme dan apa yang
disebut sebagai peniruan kebenaran-kebenaran spiritual itu memiliki suatu
kebenaran sejati.
Di
antara para Sufi yang bisa dihubunginya, tampak baginya hanya berusaha mencapai
pola yang serupa. Sebagian memiliki sifat pengajaran yang tulus, sebagian
menggunakan gerakan-gerakan ritmis yang tampak sebagai peniruan dari sesuatu.
Yang lain mengajarkan melalui bacaan-bacaan (wirid) yang tidak bisa dibedakan
dari ucapan-ucapan (khotbah). Sebagian Sufi disibukkan dengan memusatkan
perhatian pada tema-tema teologis.
Maukah
Syekh membantunya?
"Lebih
dari yang engkau ketahui," ucap Syekh. "Manusia itu sedang
berkembang, apakah ia mengetahuinya atau tidak. Kehidupan itu satu, meskipun
dalam bentuk-bentuk tertentu ia tampak bermacam-macam. Selama engkau hidup,
engkau sebenarnya sedang belajar. Mereka yang belajar melalui upaya sengaja
sebenarnya merusak pengajaran yang diproyeksikan bagi mereka pada keadaan
normal. Orang-orang yang tak terdidik sampai pada tingkatan tertentu mempunyai
hikmah, sebab mereka menerima akses dari dampak-dampak kehidupan itu sendiri.
Ketika engkau berjalan dan melihat benda-benda atau orang, kesan-kesan ini
sebenarnya mengajarimu. jika engkau secara aktif berusaha belajar dari mereka,
engkau mengetahui hal-hal tertentu, tetapi semua itu merupakan hal-hal yang
telah ditentukan sebelumnya. Engkau melihat wajah seseorang. Di saat engkau
melihatnya, pertanyaan-pertanyaan muncul di benakmu, dan pertanyaan itu dijawab
oleh pikiranmu sendiri. Apakah ia hitam? Apakah ia jujur? Manusia seperti
apakah dia? Juga ada pertukaran konstan antara orang lain dan dirimu
sendiri."
"Pertukaran
ini didominasi oleh pandangan subyektifmu. Maksudku adalah bahwa engkau melihat
apa yang engkau lihat. Ini telah menjadi suatu tindakan otomatis; engkau
seperti mesin, tetapijuga seorang manusia yang hanya terlatih secara
superfisial. Engkau melihat sebuah rumah. Ciri-ciri umum dan khusus dari rumah
tersebut terpilah-pilah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan tersimpan
dalam akalmu. Tetapi (semua itu) tidak secara obyektif --hanya sesuai dengan pengalaman-pengalamanmu
sebelumnya. Pengalaman-pengalaman manusia modern mencakup ini, apa yang telah
disampaikan kepadanya. Dengan demikian rumah itu akan tampak besar atau kecil,
baik atau jelek, seperti milikmu atau tidak. Dengan rincian yang lebih luas, ia
memiliki atap seperti rumah lainnya, memilikijendela-jendela yang aneh. Mesin
(pikiran) tersebut berputar dalam lingkaran-lingkaran, sebab ia semata-mata
menambah pengetahuan formalnya."
Pendatang
baru tersebut tampak kebingungan.
"Apa
yang ingin kusampaikan," ucap Syekh, "adalah bahwa engkau memahami
semua hal itu sesuai dengan gagasan-gagasan yang telah ada. Hal ini hampir
tidak bisa dihindari kalangan intelektual. Engkau telah memutuskan bahwa engkau
tidak menyukai simbolisme." Ia berhenti sejenak. "Apa yang engkau
maksud?"
"Aku
pikir apa yang kumaksudkan adalah bahwa penggunaan simbolisme oleh berbagai
lembaga (keagamaan) tersebut tidak bisa memuaskanku sebagai sesuatu yang murni
atau perlu," ucap anak muda tersebut.
"Apakah
itu berarti bahwa engkau ingin menemukan suatu bentuk penggunaan simbol-simbol
yang benar?" sergah si guru.
"Bagiku,
simbolisme dan ritual tidaklah penting,"jawab calon murid tersebut,
"dan hal-hal fundamental itulah yang aku cari."
"Apakah
engkau bisa mengenali sesuatu yang fundamental jika engkau memang (pernah)
melihatnya?"
"Aku
pikir begitu."
"Maka
hal-hal yang kami katakan dan lakukan akan tampak bagimu semata-mata sebagai
persoalan-persoalan pendapat, tradisi, keanehan, sebab kami benar-benar
menggunakan simbol-simbol. Yang lain menggunakan mantera-mantera, gerakan,
pemikiran dan keheningan, konsentrasi dan perenungan --dan puluhan hal-hal
lainnya," Syekh tersebut berhenti sejenak.
Pendatang
tersebut berbicara.
"Apakah
Anda berpikir secara eksklusif tentang Yudaisme, ritual-ritual Kristiani, puasa
dalam Islam, kepala gundul (para Biksu) Budha, sebagai hal-hal yang
fundamental?" Sekarang tamu tersebut tengah memanaskan suasana dengan
merambah pada suatu tema intelektual yang karakteristik.
"Diktum
Sufi mcnyatakan bahwa apa yang tampak itu merupakan jembatan menuju yang
'Sejati'," ucap Syekh itu. "Dalam kasus yang kita bahas, ini berarti
bahwa semua itu mempunyai makna. Makna tersebut bisa hilang, hanya menampilkan
sebuah ejekan, suatu tindakan sentimental atau kesalahpahaman terhadap sebuah
peran. Tetapi jika dipergunakan dengan tepat, hal-hal tersebut secara sinambung
terkait dengan realitas yang sebenarnya.
"Jadi,
pada mulanya semua ritual itu bermakna dan niscaya mempunyai pengaruh
penting?"
"Secara
esensial semua ritual, simbolisme dan lainnya merupakan refleksi dari suatu
kebenaran. Ia mungkin telah dicampur, disesuaikan, diselewengkan dengan
tujuan-tujuan lain, tetapi ia menggambarkan suatu kebenaran-kebenaran batin
dari apa yang kita sebut jalan Sufi."
"Tetapi
para pelaku tersebut tidakkah mengetahui maknanya?"
"Mereka
mungkin mengetahuinya dalam satu pengertian, pada satu tataran, suatu tataran
yang cukup mendalam untuk mendukung sistem tcrsebut. Tetapi sejauh menyentuh
realitas dan pengembangan-diri, penggunaan teknik-teknik ini adalah
kosong."
"Lantas,"
ucap murid tersebut, "bagaimana kita bisa mengetahui siapa yang
menggunakan tanda-tanda lahir tersebut dengan cara yang benar, yaitu cara
pengembangan, dan siapa yang tidak mengetahuinya? Aku bisa menerima bahwa
indikasi-indikasi superfisial itu memiliki nilai potensial, sebab
indikasi-indikasi tersebut bisa membawa kepada sesuatu yang lain, dan kita
memulainya di mana saja. Tetapi aku tidak bisa mengatakan kepada Anda, sistem
apa yang harus kuikuti?"
"Tadi
engkau mengajukan permintaan agar diijinkan memasuki lingkaran kami," ucap
Syekh, "dan sekarang aku telah berhasil membuatmu kebingungan sampai pada
satu tingkatan dimana engkau mengakui bahwa dirimu tidak bisa menilai. Baiklah,
itulah esensinya. Engkau tidak bisa memutuskan. Engkau tidak bisa menggunakan
instrumen untuk menilai. Engkau melakukan sebuah tugas sendirian: mencari
kebenaran spiritual. Engkau melihat kebenaran ini dengan arah yang keliru dan
menafsirkan manifestasi-manifestasinya dengan cara yang salah. Apakah
mengejutkan jika engkau akan tetap dalam keadaan ini? Ada satu alternatif lain
untukmu dalam keadaanmu saat ini. Pemusatan yang berlebihan terhadap tema
tersebut, kecemasan dan emosi yang lahir dari dirimu, pada akhirnya akan
bertumpuk sedemikian rupa sehingga engkau akan berusaha menjauhinya. Lalu apa
yang akan terjadi? Emosi akan menguasai akal, dan engkau bisa jadi akan
membenci agama atau --lebih mungkin-- beralih pada cara pemujaan tertentu yang
mengambil tanggung jawab tersebut. Engkau akan menetap dengan anggapan bahwa
dirimu telah menemukan apa yang engkau cari."
"Apakah
tidak ada alternatif lain, meskipun dengan anggapan bahwa aku menerima
keyakinan Anda, bahwa emosiku bisa menguasai akalku?" Pelatihan intelektual
tidak (bisa) menerima secara ramah terhadap setiap anjuran yang tidak
komprehensif, ia juga tidak bisa dikuasai oleh emosi. Kekakuan berpikir dengan
nada yang samar ini membuktikan bahwa pemikir tersebut berusaha menegaskan
sesuatu. Hal ini tidak lolos dari pengamatan Syekh tersebut.
"Pilihan,
yang tidak akan engkau ambil ini, adalah pelepasan. Engkau lihat, ketika kami
melepaskan, kami tidak melakukannya seperti cara yang engkau lakukan. Akal
mengajarmu untuk melepaskan pikiran dari sesuatu dan memandangnya secara
intelektual. Apa yang harus kami lakukan adalah untuk melepaskan diri dari akal
dan (sekaligus) dari emosi. Bagaimana engkau bisa mencapai sesuatu jika
menggunakan akal untuk menilainya? Masalahmu adalah bahwa apa yang engkau sebut
akal (intelek) sebenarnya merupakan serangkaian gagasan yang secara bergantian
menguasai kesadaranmu. Engkau tidak memandang akal secara memadai. Bagi kami,
intelek merupakan suatu kumpulan sikap yang relatif harmonis yang telah
melatihmu untuk memandang sesuatu dengan cara tunggal. Menurut pemikiran Sufi,
ada suatu tingkatan di bawah akal yang tunggal dan kecil, tetapi vital. Ia
adalah akal sejati. Akal sejati ini merupakan alat pemahaman yang ada pada
setiap manusia. Dari waktu ke waktu dalam kehidupan manusia biasa, ia
menyeruak, yang menghasilkan fenomena aneh yang tidak bisa dipahami melalui
cara-cara biasa. Kadang-kadang fenomena ini disebut fenomena supranatural
(occult phenomena), kadangkala hal ini dianggap sebagai suatu yang melampaui
hubungan ruang atau waktu. Ini merupakan unsur dalam diri manusia yang
bertanggung jawab atas perkembangannya menuju suatu bentuk yang lebih
tinggi."
"Jadi
aku harus menerimanya berdasar kepercayaan?"
"Tidak,
engkau tidak bisa menerimanya berdasar kepercayaan; meskipun engkau
menginginkannya. Jika engkau menerimanya berdasar kepercayaan, engkau akan
segera mengabaikannya. Meskipun secara intelektual engkau (bisa) diyakinkan
bahwa ia perlu diambil sebagai hipotesa, tetapi engkau akan segera kehilangan
dia. Tidak, engkau harus mengalaminya. Tentu saja hal ini berarti bahwa engkau
harus merasakannya dengan suatu cara dimana engkau tidak merasakan yang lain.
Ia akan masuk ke dalam kesadaranmu sebagai suatu kebenaran dengan kualitas yang
berbeda dari hal-hal lain yang telah terbiasa engkau pandang sebagai kebenaran.
Karena sangat berbeda, maka engkau mengenali bahwa ia berasal dari kawasan yang
kami sebut 'kawasan lain'."
Pengunjung
tersebut kesulitan untuk mencerna hal ini dan kembali pada cara berpikirnya
yang sudah mapan. "Apakah Anda mencoba menekankan suatu kepercayaan dalam
diriku bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dan bahwa aku (bisa) merasakannya?
Sebab jika tidak, aku tidak melihat begitu banyak waktu yang dihabiskan untuk
diskusi ini?"
"Aku
yakin, engkau akan mengira bahwa aku telah berkata kasar," ucap Syekh
tersebut dengan ramah, "tetapi aku harus mengatakan bahwa semua hal itu
tidak seperti yang engkau lihat. Engkau tahu, engkau datang ke sini untuk
berbicara. Aku telah berbicara kepadamu. Sebagai akibat dari pembicaraan dan
pemikiran kita, banyak hal telah terjadi. Sejauh menyangkut perhatianmu, selama
ini kita memang hanya berbicara. Engkau mungkin merasa bahwa dirimu bisa
diyakinkan atau tidak. Bagi kami makna dari keseluruhan peristiwa tersebut jauh
lebih besar. Sebuah tenaga timbul sebagai akibat dari pembicaraan ini. Ia
tengah terjadi, sebagaimana engkau bisa membayangkannya dengan baik pada
pemikiran-pemikiran dari semua yang hadir di sini. Tetapi sesuatu yang lain
juga tengah terjadi --kepadamu, kepadaku, dan di mana saja. Sesuatu yang engkau
pahami ketika engkau memahaminya. Ambillah contoh pada tingkat yang sangat
sederhana tentang sebab dan akibat sebagaimana yang biasa dipahami. Seseorang
pergi ke sebuah toko dan membeli sebuah sabun. Sebagai akibat dari pembelian
ini, banyak hal bisa terjadi --si pemilik toko memiliki uang lebih banyak,
mungkin lebih banyak sabun yang akan dipesan dan seterusnya. Kata-kata yang
diucapkan dalam transaksi ini mempunyai suatu akibat, bergantung pada kondisi
jiwa dari kedua belah pihak. Ketika orang tersebut meninggalkan toko, ada satu
faktor tambahan dalam kehidupannya yang tidak ada sebelumnya --yakni sabun.
Banyak hal bisa terjadi sebagai akibat dari transaksi ini. Tetapi bagi dua
karakter utama tersebut, kejadian penting sebenarnya adalah bahwa sebatang
sabun telah dibeli dan dibayar. Mereka tidak mempunyai kesadaran tentang
percabangan transaksi itu dan tidak tertarik kepadanya. Hanya ketika sesuatu
yang berarti --dari sudut pandang mereka-- terjadi, barulah mereka berpikir lagi
tentang hal ini. Kemudian mereka akan mengatakan, 'Lucunya, orang yang membeli
sabunku adalah seorang pembunuh atau mungkin ia seorang raja. Atau ia
meninggalkan sebuah uang palsu.' Seperti setiap kata, setiap tindakan mempunyai
satu akibat dan satu tempat. Ini merupakan dasar sistem-tanpa-sistem dari Sufi.
Sebagaimana tentu saja telah engkau baca dalam berbagai cerita, Sufi bergerak
dengan tindakan-tindakan yang sangat kompleks dan terjadi dalam kesadaran batin
terhadap makna tindakannya."
"Aku
mengerti apa yang Anda maksudkan," ucap pengunjung itu, "tetapi aku
tidak bisa mengalaminya. Jika ini benar, tentu saja hal ini sangat bergantung
pada banyak hal. Cara pemujaan tertentu berlaku, pengalaman-pengalaman
profetik; kegagalan dari semua orang, kecuali segelintir saja yang berhasil,
dalam memecahkan teka-teki kehidupan hanya dengan memikirkannya. Hal ini juga
bisa berarti bahwa seseorang yang menyadari perkembangan-perkembangan kompleks
di sekitarnya bisa menyelaraskan dirinya dengan perkembangan-perkembangan
tersebut sampai pada satu tingkatan yang mustahil bagi orang lain. Tetapi harga
percobaan ini dibayar dengan membuang pengetahuan seseorang yang berharga. Aku
tidak bisa melakukan itu."
Syekh
tersebut tidak menginginkan suatu kemenangan verbal dan tidak menutup
pembicaraan. "Sahabatku, suatu ketika seseorang pernah cidera kakinya. Ia
harus berjalan dengan sebuah tongkat. Tongkat ini sangat berguna baginya, untuk
membantunya berjalan maupun untuk tujuan-tujuan lain. Ia mengajarkan semua
keluarganya untuk menggunakan tongkat padahal mereka hidup dengan kaki normal.
Akan tetapi, setiap orang berambisi untuk memilikinya. Sebagian tongkat terbuat
dari gading, yang lain dihiasi dengan emas. Sekolah-sekolah dibuka untuk
melatih orang menggunakannya, kursi-kursi universitas dimasuki untuk mengkaji
aspek-aspek yang lebih tinggi dari ilmu ini. Ada segelintir orang memulai
berjalan dengan tongkat. Hal ini dianggap memalukan dan tidak masuk akal.
Disamping (memang) ada banyak kegunaan tongkat. Sebagian dari mereka (yang
berjalan tanpa tongkat) dicaci dan sebagian dihukum. Mereka berusaha
memperlihatkan bahwa sebuah tongkat kadang-kadang bisa digunakan, ketika
diperlukan. Atau banyak kegunaan tongkat tersebut yang bisa dipenuhi dengan
cara-cara lainnya. Sedikit orang yang mau mendengar. Untuk mengatasi prasangka,
sebagian orang-orang yang bisa berjalan tanpa dukungan (tongkat) tersebut mulai
berperilaku yang sama sekali berbeda dari masyarakat yang mapan. Tetap saja
jumlah mereka sedikit.
Meskipun
ternyata tongkat digunakan selama beberapa generasi, sebagian kecil orang
sebenarnya bisa berjalan tanpa tongkat, sebagian besar masyarakat 'membuktikan'
bahwa tongkat itu merupakan keharusan. Mereka berkata, 'Lihat orang ini. Ia
berjalan tanpa tongkat. Lihat! Ia tidak bisa.' 'Tetapi kami memang berjalan
tanpa tongkat,' ucap pejalan-pejalan biasa (yang tidak menggunakan tongkat)
mengingatkan mereka. 'Itu tidak benar, itu hanyalah khayalanmu sendiri,' ucap
orang-orang yang pincang tersebut --sebab pada waktu itu mereka juga menjadi
buta, sebab mereka tidak mau melihat."
"Analogi
tidak sepenuhnya sesuai untuk hal ini," ucap anak muda tersebut.
"Apakah
analogi (bisa) sepenuhnya diterima?" tanya Syekh tersebut. "Tidakkah
engkau pahami bahwa jika aku bisa menjelaskan segala sesuatu dengan mudah dan
sempurna melalui satu cerita tunggal, maka pembicaraan ini tidak perlu? Hanya
kebenaran-kebenaran parsial yang bisa diungkapkan secara tepat melalui analogi.
Sebagai contoh, aku bisa memberikan suatu bentuk sempurna dari suatu lempengan
yang berbentuk bundar dan engkau bisa memotongnya menjadi ribuan kepingan.
Masing-masing potongan bisa jadi suatu duplikat dari potongan-potongan lainnya.
Tetapi, sebagaimana kita semua tahu, sebuah lingkaran tentu saja relatif
berbentuk bundar. Tambahkan dimensinya secara proporsional ratusan kali, maka
engkau akan menemukan bahwa ia bukan lagi suatu lingkaran yang sesungguhnya."
"Ini
merupakan fakta dari ilmu kebendaan, aku tahu bahwa kebenaran teori-teori
ilmiah hanyalah bersifat relatif. Ini adalah klaim dari semua ilmu."
"Tetapi
engkau tetap mencari kebenaran utuh melalui cara-cara relatif."
"Ya
dan demikian pula Anda, sebab Anda mengatakan bahwa simbol-simbol dan yang
lainnya merupakan 'Jembatan menuju hakikat,' meskipun semua itu tidak
sempurna."
"Perbedaannya
adalah bahwa engkau telah memilih satu metode tunggal dalam mendekati
kebenaran. Ini tidak cukup. Kami menggunakan banyak cara yang berbeda dan
mengetahui bahwa ada suatu kebenaran yang bisa dipahami oleh suatu organ batin.
Engkau mencoba mendidihkan air, tetapi tidak tahu caranya. Kami mendidihkan air
dengan membawa semua unsur-unsur tertentu --api, wadah, air."
"Tetapi
bagaimana dengan akalku?"
"Ia
harus menempati perspektifnya yang benar, menemukan tingkatannya sendiri, bila
ketimpangan kepribadian tersebut ingin diperbaiki."
Ketika
pengunjung itu telah pergi, seseorang bertanya kepada orang alim tersebut,
"Maukah Anda mengomentari tanya jawab ini.
"Jika
aku mengomentarinya," ucapnya, "Ia akan kehilangan
kesempurnaannya."
Kita
semua telah belajar sesuai dengan status kita.
Doktrin
Sufi tentang keseimbangan antara titik-titik ekstrim itu mempunyai beberapa
makna. Ketika diterapkan pada pengajaran, yaitu kemampuan untuk belajar dari
yang lain, itu berarti bahwa seseorang harus terbebas dari pemikiran yang salah
sebelum ia mulai belajar. Calon murid Barat itu harus mempelajari bahwa dirinya
tidak bisa membawa asumsi-asumsi tentang kemampuannya sendiri untuk mempelajari
suatu bidang dimana dalam kenyataannya ia tidak tahu apa sebenarnya yang
dicobanya untuk dipelajari. Sebenarnya ia tahu bahwa dalam cara tertentu ia
tidak puas. Sisanya adalah kumpulan gagasan-gagasannya sendiri menyangkut
alasan apa yang membuatnya tidak puas dan suatu upaya untuk menentukan obat
bagi penyakit yang telah ia diagnosa tanpa sebelumnya menanyakan kepada dirinya
sendiri tentang kemampuan-kemampuan diagnostiknya.
Kita
telah memilih sebuah insiden aktual yang melibatkan seorang Barat; tetapi
bentuk pemikiran ini tidak terbatas pada Barat. Demikian juga, sikap
kebalikannya yang ekstrim --yaitu orang yang ingin menyerahkan diri sepenuhnya
kepada kehendak seorang guru-- dan dikatakan sebagai ciri khas pikiran Timur,
hampir-hampir tidak berguna. Pencari (ilmu) tersebut pertama kali harus
mencapai tataran keseimbangan tertentu antar dua pikiran ekstrim ini sebelum
bisa dianggap mempunyai kapasitas untuk belajar.
Kedua
tipe (pikiran) ini belajar tentang kapasitas untuk belajar terutama dengan
mengamati guru Sufi dan pola perilakunya. Sebagai teladan manusia, tindakan dan
ucapan guru Sufi merupakan jembatan antara ketidakmampuan relatif dari seorang
murid dan posisi menjadi seorang Sufi. Kurang dari satu dalam seratus orang
biasanya mempunyai salah satu konsepsi dari dua syarat ini. Jika melalui kajian
yang seksama terhadap literatur Sufi, seorang murid telah benar-benar melihat
prinsip pengajaran tersebut, maka ia sungguh sangat beruntung.
Ia
bisa menemukannya dalam bahan-bahan Sufistik, dengan syarat harus bersedia
membaca dan menelaahnya kembali, untuk mengajari dirinya menghindari
asosiasi-asosiasi otomatis dari pemikiran yang mengendap atau label Sufi (dan
semua julukan lainnya) yang ada pada dirinya. Singkat kata, ia lebih tertarik
secara temporer pada sekolah tertentu yang lebih masuk akal, yang meletakkan
prinsip-prinsip kaku dan bisa ia jadikan sandaran.
-------------***---------------