Ilustrasi
Sudah 66 tahun, setara dengan usia kemerdekaan Indonesia, ruang udara
Indonesia di wilayah Kepri dikuasai dan dikendalikan Singapura.
Pesawat-pesawat Indonesia, termasuk pesawar militer yang ingin
berangkat, mendarat, atau hanya sekedar melintas di atas Batam,
Tanjungpinang, dan Natuna harus mendapat izin Singapura terlebih dahulu.
Upaya merebut kembali kedaulatan itu selalu gagal di meja perundingan.
Dari pengeras suara di langit-langit ruang kantor pengelola Bandar Udara
Hang Nadim Batam, pengumuman itu terdengar nyaring. “ …Pesawat Lion Air
tujuan Jakarta segera diberangkatkan.” Pada saat yang sama, Kamis
siang pertengahan Februari 2012, di ruang tunggu A4, yang berjarak 50
meter dari kantor pengelola Bandara, puluhan calon penumpang merangsek
masuk ke tubuh bongsor Boeing 737 ER 900 milik Lion Air.
Sepuluh menit berselang, pesawat berjalan pelan menuju landasan pacu,
siap lepas landas. Kendati berangkat dari Batam menuju Jakarta, yang
sama-sama berada di wilayah Indonesia, tetapi pesawat Lion Air baru
boleh bergerak dari apron ke landasan pacu Hang Nadim dan kemudian
mengangkasa, setelah ada restu dari otoritas penerbangan Singapura.
“Di sini, semua pesawat yang ingin take off atau landing harus mendapat
izin dari Singapura. Kalau dari sana belum kasih persetujuan belum
boleh berangkat,” kata Hendro Harijono, Kepala Kantor Pengelola Hang
Nadim.
Sejak 66 tahun lalu, setahun setelah bangsa ini merdeka, ruang udara
Indonesia di wilayah Kepulauan Riau (mencakup Batam, Tanjungpinang, dan
Natuna) berada di bawah kendali Singapura. ”Luas penguasaan Singapura
atas wilayah udara kita mencapai 100 nautical mile,” kata Kepala
Keselamatan Penerbangan Bandara Hang Nadim, Irwansyah.
Satu nautical mile setara 1,825 kilometer. ”Artinya, luas kekuasaan
Singapura di atas negara kita sekitar 200 kilometer dari garis batas
kedua negara. Itu sudah nyaris masuk ke wilayah Pangkal Pinang (Bangka)
dan Palembang. Sangat luas,” kata Irwansyah.
Adalah pertemuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO di
Dublin, Irlandia, Maret 1946, yang memberi kekuasaan kepada Singapura
untuk mengontrol lalu lintas di angkasa Indonesia, khususnya wilayah
Kepri. ”Saat itu delegasi kita tidak hadir. Mungkin karena situasinya
kita baru merdeka. Sehingga peserta pertemuan menyerahkan kendali kepada
negara terdekat, yaitu Singapura,” kata Marsekal (Purn) Chappy Hakim,
mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara, kepada Batam Pos, Kamis (15/3).
Kewenangan yang dimiliki Singapura itu disebut flight information region
(FIR). Berdasarkan mandat dari pertemuan ICAO tahun 1946 itulah,
seluruh pesawat-termasuk pesawat militer Indonesia- yang ingin mendarat,
lepas landas, atau sekadar melintas di atas Batam, Tanjungpinang, dan
Natuna, wajib diinformasikan kepada Singapura dan harus mendapat izin
Singapura. “Kalau ada yang nekat mereka bisa menembak, meski itu secara
de facto adalah wilayah udara Indonesia,” kata Irwansyah.
Mandat ICAO tak hanya memberi Singapura kewenangan mengatur lalu lintas
udara di dalam area FIR, lebih daripada itu, Singapura juga berhak
memungut fee atau bayaran dari seluruh maskapai yang melintasi FIR,
termasuk fee dari maskapai Malaysia yang melintas dari kota-kota
Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur di Kalimantan dan sebaliknya.
Tarifnya dalam dolar Amerika. ”Besarnya berbeda-beda, tergantung jenis
pesawat dan kapasitasnya. Misalnya, tarif Boeing 737-400 dengan Airbus
A330 itu berbeda,” kata Irwansyah. Di Hang Nadim saja, rata-rata
terdapat 90 penerbangan dalam sehari. ”Kalau kita yang kontrol sendiri,
bayangkan berapa besar hasilnya yang diterima,” Irwansyah menambahkan.
Memang, kata dia, fee itu sebagian diserahkan ke Indonesia melalui
pemerintah pusat. ”Tapi kita enggak tahu jumlah pastinya. Siapa juga
yang bisa memastikan jumlah yang diterima Singapura,” ujarnya.
Kementerian Perhubungan (Ministry of Transport/MOT) Singapura menolak
memberi informasi terkait masalah ini. Saat Batam Pos mendatangi kantor
MOT di lantai 33 PSA Building, Alexandra Road, Singapura, Rabu (14/3),
pihak MOT enggan melayani wawancara. Alasannya, mereka butuh waktu
untuk menyiapkan kajian dan data-data yang lebih lengkap terkait masalah
ini.
”Sebaiknya Anda membuat janji terlebih dulu,” ujar Mary Chin, salah satu pegawai Divisi Media Relation di MOT Singapura.
Mary menyarankan Batam Pos mengirim pertanyaan dan daftar informasi yang
dibutuhkan melalui email. Namun hingga Sabtu (17/3), email dari Batam
Pos belum ditanggapi.
Sikap yang sama juga ditunjukkan pengelola Bandara Internasional Changi. Mereka menolak diwawancarai.
Di Bandara Changi itulah seluruh pengawasan dan pengaturan lalu lintas
udara di area FIR dipusatkan. Pemandu yang bertugas di Changilah yang
berhak mengeluarkan izin take off dan landing di Batam, Tanjungpinang,
dan Natuna.
Untuk memperoleh izin keberangkatan dan pendaratan pesawat, pengelola
Bandara Hang Nadim Batam mengajukan permohonan melalui approach centre
unit (APP) di Tanjungpinang. APP Tanjungpinang kemudian meneruskan
permohonan itu kepada area control centre (ACC) di Changi, Singapura.
Apapun jawaban Singapura, baik “OK” maupun “tunggu sebentar”,
disampaikan lagi melalui Tanjungpinang untuk diteruskan ke Hang Nadim.
“Kita seperti mengemis- ngemis kepada Singapura,” kata Irwansyah.
Serasa mengontrak di rumah sendiri. Itulah yang dirasakan para pilot dan
co-pilot maskapai Indonesia yang kerap singgah di Hang Nadim. Sebab,
kata Irwansyah, tak jarang jadwal penerbangan mereka harus tertunda
beberapa menit karena izin Singapura belum turun. ”Delay itu bagi
maskapai artinya biaya. Kan kasihan maskapai-maskapai kita,” ujarnya.
Yang paling menyakitkan, Irwansyah menuturkan, alasan yang sering
dikemukakan Singapura untuk menunda pemberian izin landing dan take off
kepada maskapai Indonesia di Hang Nadim, adalah angkatan udara mereka
sedang melakukan latihan tempur di wilayah Indonesia yang masuk area
FIR. ”Tidak mungkin tiap menit ada latihan militer. Itu bohongnya orang
Singapura saja,” ucapnya.
Karena alasan sedang ada latihan militer itu pula, penerbangan dari
Jakarta menuju Batam harus berbelok ke arah kanan dari rute normal saat
berada di atas perairan Anambas, dengan tambahan waktu terbang antara
20-30 menit. ”Dengan tambahan waktu itu, berapa fuel consumption
(persediaan bahan bakar) lagi yang harus disiapkan oleh maskapai kita.
Lagi-lagi, itu kan biaya yang tak seharusnya mereka keluarkan,” papar
Irwansyah.
Marsekal Chappy Hakim menjelaskan, di luar FIR, memang ada perjanjian
militer antara Indonesia dengan Singapura yang membolehkan angkatan
udara Negeri Singa menggunakan ruang udara Indonesia untuk berlatih.
Asisten Atase Perhubungan Kedutaan Indonesia di Singapura, Hendri
Ginting, mengatakan tidak semua kawasan di dalam FIR yang masuk dalam
perjanjian militer itu. Arena latihan itu dikenal dengan istilah
military training area (MTA), yang terbagi dalam dua zona, yaitu MTA 1
yang meliputi sebelah barat daya Singapura hingga wilayah Batam dan
Tanjungpinang. Sedangkan MTA 2 membentang dari sisi timur Singapura
hingga Kepulauan Natuna.
”Masalahnya, selain latihannya di wilayah kita, otoritas kendalinya juga
ada di tangan mereka. Siapa yang bisa memastikan telah terjadi
pelanggaran batas wilayah udara, wong yang kontrol mereka semua. Kita
sudah terlalu lama mau saja digoblok-goblokin Singapura,” kata Chappy
Hakim.
Karena itu, Chappy menegaskan, ruang udara Indonesia yang telah
bertahun-tahun dikontrol Singapura, harus diambil alih Indonesia.
”Singapura itu negara kecil, kok malah dia yang ngatur kita,” ujarnya.