Sunday, May 17, 2015

Circle of Gold



Mattie curled herself into the warm a center of the bed and listened for the early morning sounds of her mother and twin brother-kitchen sounds and bathroom sounds. But the apartment was silent. On the count of three, she told herself, she would get.

          One…. One  and a half … two …. Two and half … three …. Mattie threw back the covers and jumped out of bed. When her feet touched the cold, smooth wooden floor she caught her breath and raced out of the bedroom.


A quick cheek of the apartment told her that Mama wasn’t there. Mattie stopped to pick up the newspapers scattered on the living room rug. Since Daddy had died, Mama had lost all interest in keeping the place neat.  Walking down the narrow hallway again, Mattie paused by her mother’s room. The empty bed with its wrinkled white sheets and tossed pillows looked like a stormy sea.


Continuing down the hall. Mattie peeked into her brother’s room. She could just see the top of Matt’s curly head poking above the covers. His drawing pad was on the bed and the easel he used for his painting stood against the window, draped with a sheet. The jars of water he used to wash his paintbrushes were lined up like colorful sentries aling the windowsill.


In the kitchen, Mattie found  a note propped against the sugar bowl on the table. Kids, Went to working early. Will be home late. Get dinner and do your homework.


Mattie frowned. Mamahad to work late again. This was the fourth time in the past two weeks. How could Mama do the superintendent chores and work overtime at the factory too? Eventually Mrs. Rausch, the Manager of their building, was going to find out that things were falling apart at 6129 Julian Street. Mrs. Adams was complaining about her dripping kitchen faucet. The Reynolds’s radiators didn’t work, and old Mr. Richards wanted a new stove. If word got to Rausch, Mama would be in trouble. Rausch the Rat was what Mattie called the real estate agent, but not so anyone could hear.


Mattie poured oatmeal into a pot of boiling water and stirred it furiously. She forced back the tears that came when she remembered how things used to be when Daddy was alive. He would have fixed the faucet and the radiators and ordered a new stove for Mr. Richards.

“And he would kiss me and call me his princess,” Mattie murmured. Mama never did that. Mattie ached for her father. She was only eleven and it didn’t seem fair that she would never see him again. Daddy had gone to work as usual one day six months ago, and on his way home some drunk driver had hit his car and killed him. From that day everything in her life had changed.


Mattie turned the stove down to simmer and called out to her brother. “Get yourself up. Matt Matisse. I’ve got the cereal cooking.”

Matt hated oatmeal, but she couldn’t stand his favorite either-Malt-o-Meal. He wouldn’t be happy about the oatmeal but they had agreed that the first one up got to choose breakfast.

Mattie poured the oatmeal into two bright yellow bowls and was already eating when Matt took his place at the table. He groaned when he saw the oatmeal, but that was the only greeting he gave Mattie.

The twins ate silently, cleaned the kitchen, and left for school. Matt didn’t even seem to notice the bright sunshine and cotton candy clouds that promised a glorious April day. Mattie hummed to herself as she waited for her brother to speak. When he did, the words fairly exploded of him.

“Darn it. Mattie. Oatmeal again and I didn’t have a clean shirt and I didn’t have a chance to tell Mama that the Reynolds stopped by again yesterday afternoon about their radiators. They want them fixed now,” he stormed. Matt was as thin and copper-colored as Mattie, and he had the same large dark eyes.

“look, Matt, I’ll do the wash tonight. Did you tell Mr. Reynolds that Mama put in their request?”

“No, because I don’t think Mama did put it in, Mattie. Things are getting worse all the time.” Matt kicked at the pavement in frustration.

“not worse, just the same, “ Mattie sighed. She watched her brother, knowing there was more.

“Mama won’t eat,” he continued. “She hardly sleeps. The house is a mess except for the times you clean it. I never know whether she’s going to cry or smile or yell. We never laugh anymore, Mattie. We never have any fun. You call this a family?” his brown eyes challenged her.

Maybe it was because they were twins and twins were special, Mattie knew. But they understood one another and fiercely protected one another. Mattie wanted to say something now to comfort her brother, but before she had a chance, her best friend, Toni Douglas, called to them from the corner by her apartment building Mattie eyed her twin and they silently agreed to erase their faces. She and Matt had always been able to communicate without using words.

“Hey girl, ready for the math test!” Toni shouted as she waited for them to catch up. She was a bouncy, cheerful girl with bright black eyes and thick black hair that she wore in braids. A fire-engine red beret was perched on the side of her head.

“Well, are you ready?” she repeated, not event noticing when Matt barely mumbled good bye and walked on. “I did my homework but I just know I’m going to fail. You know what, Miss Mattie Mae Benson? I’m just too young to understand fractions.”

Mattie didn’t answer. She pulled her thick navy sweater around her shoulders and watched matt walk away. Her thin brown face would have been unremarkable except for her eyes. Intelligence and caution existed together

Wednesday, March 25, 2015

Jakarta tempo dulu

Pada tahun 1865, R.A. Sastrodarmo menulis buku yang berjudul "Kawontenan Ing Nagari Betawi". Dalam buku itu ditulis tentang kehidupan kota betawi pada masa itu. Sastrodarmo menulis, orang-orang laki di Betawi kurang senang berambut gondrong, namun menyukai rambut gundul, barangkali menyesuaikan iklim yang panas.  Peraturan Polisi dilakukan dengan ketat, bila ada persoalan diselesaikan cepat tanpa memungut biaya sedikitpun, dan berlaku tanpa pandang bulu bangsa.

Bagi pembuang sampah yang sembrono kena denda.  Setiap penduduk yang sudah mencapai umur 15 tahun harus punya KTP dan dikeluarkan oleh Lurah (BEK) masing-masing dengan membayar 25 sen.  Siapa yang ketangkap tanpa KTP kena denda kurungan 5 hari.  Selewat jam 19.00 malam dilarang bawa senjata tajam misalnya golok dan sebagainya.  Bagi pedagang yang menetap maupun keliling harus punya Surat Pas yang menerangkan jenis dagangannya.  Setiap jalan besar dijaga

petugas yang kerjanya keliling kampung juga, mereka inilah mata-mata Polisi yang sering menangkap penjahat atau pelanggar peraturan lainnya.  Gardu penjagaan  selalu ada penjaga 2 orang waktu siang, kalau malam 5 orang, bersenjata tombak berujung dua.

Bila ada kebakaran, kentongan dibunyikan bertalu-talu.  Demikian juga bila ada orang mengamuk.  Di Jakarta waktu itu baru ada 4 rumah gadai yaitu didekat pasar: Tanah Abang, Senen, Pasar Baru, dan Glodog.  Kepala penduduk Betawi disebut komendan.  Semuanya ada 4 orang, ditambah seorang jaksa, 4 ajun jaksa dan 12 orang ajudan.  Dibawah ajudan ada para lurah kampung atau yang di sebut BEK, mambawahi Tueidhe dan 2 orang Sarean. 

Pada umumnya menurut buku yang ditulis oleh Soedarmo, lelaki di Betawi kurang senang berambut gondrong, dan lebih  menyukai rambut gundul, mungkin untuk diri dari  menyesuaikan iklim di Betawi yang panas.  
Peraturan yang dibuat Polisi kolonial dilakukan dengan ketat, bila ada persoalan diselesaikan cepat tanpa memungut biaya sedikitpun, dan berlaku tanpa pandang suku bangsa. Bagi pembuang sampah yang sembarang bisa dikenakan denda.  
Setiap penduduk yang sudah berumur 15 tahun harus punya tanda pengenal atau KTP dan KTP itu dikeluarkan oleh Lurah (BEK) masing-masing dengan membayar 25 sen.  Bagi yang telah wajib memiliki KTP tetapi belum memiliki KTP akan dikenai denda kurungan 5 hari.  
Pada malam hari setelah pukul  19.00 malam warga Betawi dilarang bawa senjata tajam semisal golok, pisau dan sejenisnya. Para pedagang yang menetap maupun keliling harus punya Surat Pas yang menerangkan jenis dagangannya.  Setiap jalan besar dijaga  petugas yang kerjanya keliling kampung, mereka inilah mata-mata Polisi yang sering menangkap penjahat atau pelanggar peraturan lainnya.  
Gardu penjagaan  selalu dijaga siang dan malam dan dijaga oleh centeng sebanyak 2-5 orang dengan , bersenjatakan tombak berujung dua.

Bila ada kebakaran, kentongan dibunyikan bertalu-talu.  Demikian juga bila ada orang mengamuk.  Di Jakarta waktu itu baru ada 4 rumah gadai yaitu didekat pasar: Tanah Abang, Senen, Pasar Baru, dan Glodog.  Kepala penduduk Betawi disebut komendan.  Semuanya ada 4 orang, ditambah seorang jaksa, 4 ajun jaksa dan 12 orang ajudan.  Dibawah ajudan ada para lurah kampung atau yang di sebut BEK, mambawahi Tueidhe dan 2 orang Sarean. 

Friday, March 20, 2015

Batavia tempo doloe: Gang Madat

Pada zaman Hindia Belanda merupakan tempat lokalisasi para pemadat (pecandu madat) yang terdapat di sekitar Pasar Tanah Abang. Orang yang kemadatan (ketagihan) madat, dapat melepaskan nafsunya di situ tanpa perlu takut ditangkap oleh pihak yang berwajib. Pada masa  itu, candu di Batavia sangatlah terkenal, sehingga akhirnya sampai-sampai para pedagang mendirikan Perkumpulan Masyarakat Candu di Batavia pada tahun 1745. Lembaga ini adalah sebuah perusahaan swasta yang bermaksud mengontrol perdagangan candu agar mudah diawasi jalur peredarannya. Namun dalam kenyataannya, VOC-Iah yang memonopoli pembelian candu dari Bengal, India dan kemudian membawanya ke Batavia dan menerima 450 rijksdaalders per krat.

Masyarakat Candu ini mendapat hak lelang candu di Batavia, sehingga VOC mendapat beberapa keuntungan: Pertama, dengan memberi hak istimewa kepada perusahaan swasta membeli semua candu dari Bengal, VOC terbebas dari kewajiban mengontrol perdagangan candu di sepanjang pantai utara Jawa. Kedua, VOC merasa aman karena Masyarakat Candu harus membeli semua candu yang dipasok oleh VOC dengan harga tertentu. Dan ketiga, Pembentukan Masyarakat Candu berpengaruh positif bagi perekonomian di Batavia.

Saturday, March 14, 2015

Heng Ngantung: Gubernur DKI yang hidup dalam kemiskinan

Sebelum menjadi Gubernur Jakarta, Henk dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal. Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia ikut medirikan "Gelanggang". Henk juga pernah menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok 1955-1958. 

Sebelum diangkat menjadi gubernur, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai deputi gubernur di bawah Soemarno. Saat itu banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung. Soekarno ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dan, Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik. Salah satu pengalaman yang barangkali menarik adalah tatkala presiden memanggilnya ke istana untuk mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati perlu dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas dari perhatian Ngantung. Tapi semuanya tidak berhasil.
 
Pelukis, dan gubernur DKI Jakarta ini , bernama lengkap Hendrick Joel Hermanus Ngantung. Lahir di Bogor, 1 Maret 1921 dan meninggal 12 Desember 1990. Ayah bundanya berasal dari Tomohon (Minahasa). Ia hanya menamatkan SD Belanda, seterusnya tidak bercita-cita meneruskan sekolah karena orangtuanya bukan berada. Yang dicita-citakannya hanya menjadi pelukis, sesuai dengan bakatnya sejak SD dan mendapat dorongan dari E. Katoppo, kepala SD itu. Gurunya itu pula yang menganjurkannya membuat pameran gambar dan cat air saat usianya 15 tahun di Tomohon. Tahun 1937 pindah ke Jawa dan menetap di Bandung dan belajar secara serius dan akademis dari Prof. Rudolf Wenghart, seorang pelukis potret terkenal asal Wina (Austria).

Sejak itu ia berkenalan dengan Affandi dan tokoh seni lukis Indonesia lainnya yang tergabung dalam PERSAGI dan Keimin Bunka Shidoso. Di awal tahun 1940-an, ia berkesempatan ikut pameran bersama di Bataviasche Bond von Kunstkring, yang mendapat ulasan baik dari pers Belanda. Dan semenjak itu, selalu menjadi peserta aktif dalam berbagai pameran baik di masa pendudukan Jepang maupun masa Agresi Belanda. Baru pada bulan Agustus 1948, di Hotel Des Indes, Jakarta, ia berkesempatan mengadakan pameran tunggal. Setelah itu sejak Oktober 1948, mengembara ke seluruh Indonesia untuk menyaksikan sendiri kehidupan bangsanya yang sedang berevolusi. Dokumentasi sketsa-sketsa hitam putih yang dibuatnya, kemudian dirangkum dalam buku Sketsa-Sketsa Henk Ngantung(Sinar Harapan, 1981).

Sejak 1957 ia duduk dalam berbagai Panitia maupun Lembaga Negara dan juga mendapat kesempatan melawat ke berbagai negara di Eropa Barat maupun Timur, lalu Asia, Afrika, Amerika Serikat maupun Amerika Selatan. Sudah tentu juga pulau-pulau lain di luar Jawa. Di luar dugaan dia diangkat menjadi Wakil Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1960-1964) dan kemudian menjadi Gubernur DKI (1964-1965). Setelah menduduki berbagai jabatan tersebut, ia kembali menjadi pelukis dan tinggal Cawang, hingga akhir hayatnya.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung tidak sekadar tinggal dalam kemiskinan hingga harus menjual rumah di pusat kota untuk pindah ke perkampungan. Derita Henk Ngantung terus menerpa karena nyaris buta oleh serangan penyakit mata dan dicap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia tanpa pernah disidang, dipenjara, apalagi diadili hingga akhir hayatnya bulan Desember 1991. Henk Ngantung hingga akhir hayatnya tinggal di rumah kecil di gang sempit Cawang, Jakarta Timur.

Kesetiaan Henk melukis terus berlanjut meski dia digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfungsi 30 persen. Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Sebulan sebelum wafat, saat ia dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha Ciputra memberanikan diri mensponsori pameran pertama dan terakhir Henk.


Tuesday, March 3, 2015

Main Dampu

Suatu permainan yang dimainkan anak laki-aki maupun perempuan di Betawi pada tempo dulu. Diagram dampu digambar di atas tanah dengan torehan batu runcing. Diagram dampu terdiri dari 5 blok, dimana masing-masing blok mengandung makna tertentu yaitu gunung, rumah, dan tangga. Dampu dibuat dengan tinggi sekitar 3 meter, dan sisi yang paling lebar sekitar 1,20 meter. 

 Kata Dampu boleh jadi berasal dari kata Melayu dampu, yaitu panggilan kehormatan pada seseorang. Istilah dampu dipopulerkan oleh primbon Cina Peranakan bernama Dampoo Awang yang berisi tanya jawab masalah peruntungan. Tetapi besar kemungkinan kata dampu berasal dari di + ampu, diampu dampu. Ampu dapat berarti angkat. Dalam bermain dampu para pemain mengangkat sebelah kakinya me-Ioncat dari satu block ke block lain. Diagram dampu secara berurutan menempatkan gunung (A) pada strata tertinggi yang mensimbolkan gunung sebagai preferensi pada sistem nilai Betawi. Dalam mitos Betawi ada gunung yang dianggap punya nilai magis yaitu: Gunung Puteri, Gunung Sindur, Gunung Kreneng, dan Gunung Sembung. Setelah gunung, kita dapatkan rumah (B), yang menyimbolkan kemapanan hidup duniawiah. Untuk mencapai A dan B orang harus melalui leher (C) yang menggambarkan sasaran antara, dan sebelumnya harus ditempuh dulu sayap (D) dan tangga (E). Ini yang disebut dampu gunung.

Jenis lain dari permainan dampu disebut dampu kapal. Prinsipnya dampu kapal sama saja dengan dampu gunung, hanya saja dampu kapal lebih sederhana. Blok-bloknya ialah gunung (A), sayap (B), dan tangga  (A). Permainan dampu terkenal di seluruh dunia, hanya saja tingkat kerumitannya berbeda, tetapi prinsip permainannya sama. Dan latar belakang philosofinya juga berbeda.

Menurut buku Games of The World, Frederic V. Grunfeld (ed), New York, 1975, permainan yang dinamakan dampu disebut hopscotch. Meski nama permainan ini berbau Scotlandia, tetapi permainan ini tidak berasal dari sana. Kapan permainan ini dimulai tak seorangpun tahu. Permainan ini dikenal baik di Inggris, Rusia, India, maupun Cina. Masuk ke Jakarta (Indonesia) dibawa bangsa Barat, boleh jadi pada abad ke-18. Latar belakang filosofi permainan ini sangat dekat dengan kepercayaan agama. Block-block hopscotch terdiri atas bumi, neraka, syurga, dan pos-pos. Surga merupakan block puncak, di dalam permainan dampu disebut gunung.

Monday, February 23, 2015

Bunglon dan Kelelawar



Suatu kali pernah timbul pertentangan  antara  beberapa ekor kelelawar dan seekor bunglon. Perkelahian antara mereka sudah sedemikian sengitnya, sehingga pertentangan itu  sudah melampaui  batas.  Para  kelelawar  setuju  bahwa  jika saat petang  menjelang  malam  telah   menyebar   melalui   ceruk lingkaran  langit,  dan  matahari  telah  turun  di  hadapan bintang-bintang menuju lingkup terbenamnya matahari,  mereka akan   bersama-sama   menyerang   si  bunglon  dan,  setelah menjadikannya tawanan mereka, menghukumnya sesuka  hati  dan melampiaskan  dendam.  Ketika  saat  yang  dinantikan  tiba, mereka menyerang dengan tiba-tiba, dan semuanya bersama-sama menyeret  bunglon  yang  malang dan tak berdaya itu ke dalam sarang mereka. Dan malam itu mereka memenjarakannya.

Ketika fajar tiba, mereka  bertanya-tanya  apakah  sebaiknya bunglon  itu  disiksa  saja.  Mereka  semua setuju bahwa dia harus dibunuh, tetapi mereka  masih  merencanakan  bagaimana cara  terbaik  untuk  melaksanakan pembunuhan  itu. Akhirnya mereka memutuskan  bahwa  siksaan  yang  paling  menyakitkan adalah  dihadapkan pada matahari. Tentu saja, mereka sendiri tahu bahwa tidak ada siksaan yang lebih menyakitkan,  selain berada  dekat  dengan  matahari; dan, dengan membuat analogi dengan keadaan mereka sendiri, mereka mengancam  supaya  dia memandang   matahari.   Bunglon   itu,  sudah  pasti,  tidak mengharapkan yang lebih baik lagi. 'Penghukuman' semacam itu persis  seperti  yang  diinginkannya,  sebagaimana dikatakan oleh Husayn Manshur,

Bunuhlah aku, kawan-kawanku, sebab dengan
terbunuhnya diriku, aku akan hidup. Hidupku ada
dalam  kematianku, dan kematianku ada dalam
hidupku. (keterangan: baris-baris ini terdapat
dalam Al-Hallaj, 14.1)

Maka  ketika  matahari terbit, mereka membawanya keluar dari
rumah mereka yang menyedihkan agar dia tersiksa oleh  cahaya
matahari,   siksaan   yang   sesungguhnya   merupakan  jalan
keselamatan baginya.

Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur dalam peperangan di jalan Allah itu mati. Tidak!
Bahkan mereka hidup. Mereka  mendapat rizki dan
Tuhannya. (QS 3:169)

Kalau  saja  para  kelelawar  itu  tahu  betapa  murah  hati
tindakan  mereka  terhadap  bunglon  itu,  dan betapa mereka
telah  berbuat  keliru,  karena  mereka  justru   memberinya
kesenangan, mereka pasti akan mati sedih. Bu-Sulayman Darani
berkata, "Jika orang-orang yang lalai itu tahu betapa mereka
telah  mengabaikan kesenangan orang-orang yang sadar, mereka
pasti akan mati karena kecewa." (dikutip dalam bahasa Persia
'Aththar, Tadzkirah, hal. 282)

dalam peperangan di jalan Allah itu mati. Tidak!
Bahkan mereka hidup. Mereka  mendapat rizki dan
Tuhannya. (QS 3:169)

Kalau  saja  para  kelelawar  itu  tahu  betapa  murah  hati tindakan  mereka  terhadap  bunglon  itu,  dan betapa mereka telah  berbuat  keliru,  karena  mereka  justru   memberinya kesenangan, mereka pasti akan mati sedih.
Bu-Sulayman Daran I berkata, "Jika orang-orang yang lalai itu tahu betapa mereka telah  mengabaikan kesenangan orang-orang yang sadar, mereka pasti akan mati karena kecewa." (dikutip dalam bahasa Persia
'Aththar, Tadzkirah, hal. 282)

Menguak jalan kebenaran



Suatu hari aku duduk di halaqah seorang guru di India Utara. Ketika itu seorang pemuda asing dibawa masuk. Ia mencium tangan Syekh tersebut dan mulai berbicara. Selama tiga setengah tahun, katanya, ia telah mengkaji berbagai agama, mistisisme dan okultisme dari buku-buku di Jerman, Perancis dan Inggris. Ia telah pindah dari satu kelompok (keagamaan) ke kelompok lainnya, untuk mencari sesuatu yang bisa membawanya ke jalan yang benar. Agama formal tidak menarik hatinya. Dengan mengumpulkan semua uang yang bisa ia dapatkan, ia telah mengembara ke Timur, dan telah bolak-balik dari Iskandariah ke Kairo, dari Damaskus ke Teheran, melalui Afghanistan, India dan Pakistan. Ia pernah tinggal di Burma [Myanmar] dan Bangladesh, begitu juga di Malaysia. Di semua tempat ini ia telah berbicara dan mengambil catatan-catatan salinan dari guru-guru spiritual dan keagamaan.

Tentu saja, secara fisik maupun batin, ia telah menempuh jarak yang jauh. Ia ingin bergabung dengan Syekh ini, sebab ia ingin melakukan sesuatu yang praktis, memusatkan perhatian pada gagasan-gagasan untuk mengembangkan diri. Ia memperlihatkan semua tanda bahwa ia lebih dari siap untuk menyerahkan dirinya kepada disiplin dari sebuah tarekat darwis.
Syekh tersebut bertanya kepadanya, mengapa ia menolak semua ajaran lainnya. Ada berbagai alasan, katanya, berbeda-beda dalam hampir setiap kasus. "Ceritakan kepadaku sebagian!" ucap sang guru.

Agama-agama besar, katanya, tampaknya tidak melangkah cukup mendalam. Mereka memusatkan diri pada dogma-dogma. Dogma-dogma tersebut harus diterima apa adanya. Zen (salah satu pecahan Budha) sebagaimana telah ia temukan di Barat, sama sekali tidak menyentuh realitas. Yoga menuntut disiplin keras jika hal itu tidak ingin menjadi "sekadar suatu mode sambilan". Kultus-kultus yang terpusat pada kepribadian seseorang didasarkan pada pemusatan terhadap orang tersebut. Ia tidak bisa menerima dasar pemikiran bahwa seremoni, simbolisme dan apa yang disebut sebagai peniruan kebenaran-kebenaran spiritual itu memiliki suatu kebenaran sejati.

Di antara para Sufi yang bisa dihubunginya, tampak baginya hanya berusaha mencapai pola yang serupa. Sebagian memiliki sifat pengajaran yang tulus, sebagian menggunakan gerakan-gerakan ritmis yang tampak sebagai peniruan dari sesuatu. Yang lain mengajarkan melalui bacaan-bacaan (wirid) yang tidak bisa dibedakan dari ucapan-ucapan (khotbah). Sebagian Sufi disibukkan dengan memusatkan perhatian pada tema-tema teologis.
Maukah Syekh membantunya?
"Lebih dari yang engkau ketahui," ucap Syekh. "Manusia itu sedang berkembang, apakah ia mengetahuinya atau tidak. Kehidupan itu satu, meskipun dalam bentuk-bentuk tertentu ia tampak bermacam-macam. Selama engkau hidup, engkau sebenarnya sedang belajar. Mereka yang belajar melalui upaya sengaja sebenarnya merusak pengajaran yang diproyeksikan bagi mereka pada keadaan normal. Orang-orang yang tak terdidik sampai pada tingkatan tertentu mempunyai hikmah, sebab mereka menerima akses dari dampak-dampak kehidupan itu sendiri. Ketika engkau berjalan dan melihat benda-benda atau orang, kesan-kesan ini sebenarnya mengajarimu. jika engkau secara aktif berusaha belajar dari mereka, engkau mengetahui hal-hal tertentu, tetapi semua itu merupakan hal-hal yang telah ditentukan sebelumnya. Engkau melihat wajah seseorang. Di saat engkau melihatnya, pertanyaan-pertanyaan muncul di benakmu, dan pertanyaan itu dijawab oleh pikiranmu sendiri. Apakah ia hitam? Apakah ia jujur? Manusia seperti apakah dia? Juga ada pertukaran konstan antara orang lain dan dirimu sendiri."
"Pertukaran ini didominasi oleh pandangan subyektifmu. Maksudku adalah bahwa engkau melihat apa yang engkau lihat. Ini telah menjadi suatu tindakan otomatis; engkau seperti mesin, tetapijuga seorang manusia yang hanya terlatih secara superfisial. Engkau melihat sebuah rumah. Ciri-ciri umum dan khusus dari rumah tersebut terpilah-pilah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan tersimpan dalam akalmu. Tetapi (semua itu) tidak secara obyektif --hanya sesuai dengan pengalaman-pengalamanmu sebelumnya. Pengalaman-pengalaman manusia modern mencakup ini, apa yang telah disampaikan kepadanya. Dengan demikian rumah itu akan tampak besar atau kecil, baik atau jelek, seperti milikmu atau tidak. Dengan rincian yang lebih luas, ia memiliki atap seperti rumah lainnya, memilikijendela-jendela yang aneh. Mesin (pikiran) tersebut berputar dalam lingkaran-lingkaran, sebab ia semata-mata menambah pengetahuan formalnya."
Pendatang baru tersebut tampak kebingungan.
"Apa yang ingin kusampaikan," ucap Syekh, "adalah bahwa engkau memahami semua hal itu sesuai dengan gagasan-gagasan yang telah ada. Hal ini hampir tidak bisa dihindari kalangan intelektual. Engkau telah memutuskan bahwa engkau tidak menyukai simbolisme." Ia berhenti sejenak. "Apa yang engkau maksud?"
"Aku pikir apa yang kumaksudkan adalah bahwa penggunaan simbolisme oleh berbagai lembaga (keagamaan) tersebut tidak bisa memuaskanku sebagai sesuatu yang murni atau perlu," ucap anak muda tersebut.
"Apakah itu berarti bahwa engkau ingin menemukan suatu bentuk penggunaan simbol-simbol yang benar?" sergah si guru.
"Bagiku, simbolisme dan ritual tidaklah penting,"jawab calon murid tersebut, "dan hal-hal fundamental itulah yang aku cari."
"Apakah engkau bisa mengenali sesuatu yang fundamental jika engkau memang (pernah) melihatnya?"
"Aku pikir begitu."
"Maka hal-hal yang kami katakan dan lakukan akan tampak bagimu semata-mata sebagai persoalan-persoalan pendapat, tradisi, keanehan, sebab kami benar-benar menggunakan simbol-simbol. Yang lain menggunakan mantera-mantera, gerakan, pemikiran dan keheningan, konsentrasi dan perenungan --dan puluhan hal-hal lainnya," Syekh tersebut berhenti sejenak.
Pendatang tersebut berbicara.

"Apakah Anda berpikir secara eksklusif tentang Yudaisme, ritual-ritual Kristiani, puasa dalam Islam, kepala gundul (para Biksu) Budha, sebagai hal-hal yang fundamental?" Sekarang tamu tersebut tengah memanaskan suasana dengan merambah pada suatu tema intelektual yang karakteristik.
"Diktum Sufi mcnyatakan bahwa apa yang tampak itu merupakan jembatan menuju yang 'Sejati'," ucap Syekh itu. "Dalam kasus yang kita bahas, ini berarti bahwa semua itu mempunyai makna. Makna tersebut bisa hilang, hanya menampilkan sebuah ejekan, suatu tindakan sentimental atau kesalahpahaman terhadap sebuah peran. Tetapi jika dipergunakan dengan tepat, hal-hal tersebut secara sinambung terkait dengan realitas yang sebenarnya.
"Jadi, pada mulanya semua ritual itu bermakna dan niscaya mempunyai pengaruh penting?"
"Secara esensial semua ritual, simbolisme dan lainnya merupakan refleksi dari suatu kebenaran. Ia mungkin telah dicampur, disesuaikan, diselewengkan dengan tujuan-tujuan lain, tetapi ia menggambarkan suatu kebenaran-kebenaran batin dari apa yang kita sebut jalan Sufi."
"Tetapi para pelaku tersebut tidakkah mengetahui maknanya?"
"Mereka mungkin mengetahuinya dalam satu pengertian, pada satu tataran, suatu tataran yang cukup mendalam untuk mendukung sistem tcrsebut. Tetapi sejauh menyentuh realitas dan pengembangan-diri, penggunaan teknik-teknik ini adalah kosong."
"Lantas," ucap murid tersebut, "bagaimana kita bisa mengetahui siapa yang menggunakan tanda-tanda lahir tersebut dengan cara yang benar, yaitu cara pengembangan, dan siapa yang tidak mengetahuinya? Aku bisa menerima bahwa indikasi-indikasi superfisial itu memiliki nilai potensial, sebab indikasi-indikasi tersebut bisa membawa kepada sesuatu yang lain, dan kita memulainya di mana saja. Tetapi aku tidak bisa mengatakan kepada Anda, sistem apa yang harus kuikuti?"
"Tadi engkau mengajukan permintaan agar diijinkan memasuki lingkaran kami," ucap Syekh, "dan sekarang aku telah berhasil membuatmu kebingungan sampai pada satu tingkatan dimana engkau mengakui bahwa dirimu tidak bisa menilai. Baiklah, itulah esensinya. Engkau tidak bisa memutuskan. Engkau tidak bisa menggunakan instrumen untuk menilai. Engkau melakukan sebuah tugas sendirian: mencari kebenaran spiritual. Engkau melihat kebenaran ini dengan arah yang keliru dan menafsirkan manifestasi-manifestasinya dengan cara yang salah. Apakah mengejutkan jika engkau akan tetap dalam keadaan ini? Ada satu alternatif lain untukmu dalam keadaanmu saat ini. Pemusatan yang berlebihan terhadap tema tersebut, kecemasan dan emosi yang lahir dari dirimu, pada akhirnya akan bertumpuk sedemikian rupa sehingga engkau akan berusaha menjauhinya. Lalu apa yang akan terjadi? Emosi akan menguasai akal, dan engkau bisa jadi akan membenci agama atau --lebih mungkin-- beralih pada cara pemujaan tertentu yang mengambil tanggung jawab tersebut. Engkau akan menetap dengan anggapan bahwa dirimu telah menemukan apa yang engkau cari."

"Apakah tidak ada alternatif lain, meskipun dengan anggapan bahwa aku menerima keyakinan Anda, bahwa emosiku bisa menguasai akalku?" Pelatihan intelektual tidak (bisa) menerima secara ramah terhadap setiap anjuran yang tidak komprehensif, ia juga tidak bisa dikuasai oleh emosi. Kekakuan berpikir dengan nada yang samar ini membuktikan bahwa pemikir tersebut berusaha menegaskan sesuatu. Hal ini tidak lolos dari pengamatan Syekh tersebut.
"Pilihan, yang tidak akan engkau ambil ini, adalah pelepasan. Engkau lihat, ketika kami melepaskan, kami tidak melakukannya seperti cara yang engkau lakukan. Akal mengajarmu untuk melepaskan pikiran dari sesuatu dan memandangnya secara intelektual. Apa yang harus kami lakukan adalah untuk melepaskan diri dari akal dan (sekaligus) dari emosi. Bagaimana engkau bisa mencapai sesuatu jika menggunakan akal untuk menilainya? Masalahmu adalah bahwa apa yang engkau sebut akal (intelek) sebenarnya merupakan serangkaian gagasan yang secara bergantian menguasai kesadaranmu. Engkau tidak memandang akal secara memadai. Bagi kami, intelek merupakan suatu kumpulan sikap yang relatif harmonis yang telah melatihmu untuk memandang sesuatu dengan cara tunggal. Menurut pemikiran Sufi, ada suatu tingkatan di bawah akal yang tunggal dan kecil, tetapi vital. Ia adalah akal sejati. Akal sejati ini merupakan alat pemahaman yang ada pada setiap manusia. Dari waktu ke waktu dalam kehidupan manusia biasa, ia menyeruak, yang menghasilkan fenomena aneh yang tidak bisa dipahami melalui cara-cara biasa. Kadang-kadang fenomena ini disebut fenomena supranatural (occult phenomena), kadangkala hal ini dianggap sebagai suatu yang melampaui hubungan ruang atau waktu. Ini merupakan unsur dalam diri manusia yang bertanggung jawab atas perkembangannya menuju suatu bentuk yang lebih tinggi."
"Jadi aku harus menerimanya berdasar kepercayaan?"
"Tidak, engkau tidak bisa menerimanya berdasar kepercayaan; meskipun engkau menginginkannya. Jika engkau menerimanya berdasar kepercayaan, engkau akan segera mengabaikannya. Meskipun secara intelektual engkau (bisa) diyakinkan bahwa ia perlu diambil sebagai hipotesa, tetapi engkau akan segera kehilangan dia. Tidak, engkau harus mengalaminya. Tentu saja hal ini berarti bahwa engkau harus merasakannya dengan suatu cara dimana engkau tidak merasakan yang lain. Ia akan masuk ke dalam kesadaranmu sebagai suatu kebenaran dengan kualitas yang berbeda dari hal-hal lain yang telah terbiasa engkau pandang sebagai kebenaran. Karena sangat berbeda, maka engkau mengenali bahwa ia berasal dari kawasan yang kami sebut 'kawasan lain'."
Pengunjung tersebut kesulitan untuk mencerna hal ini dan kembali pada cara berpikirnya yang sudah mapan. "Apakah Anda mencoba menekankan suatu kepercayaan dalam diriku bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dan bahwa aku (bisa) merasakannya? Sebab jika tidak, aku tidak melihat begitu banyak waktu yang dihabiskan untuk diskusi ini?"
"Aku yakin, engkau akan mengira bahwa aku telah berkata kasar," ucap Syekh tersebut dengan ramah, "tetapi aku harus mengatakan bahwa semua hal itu tidak seperti yang engkau lihat. Engkau tahu, engkau datang ke sini untuk berbicara. Aku telah berbicara kepadamu. Sebagai akibat dari pembicaraan dan pemikiran kita, banyak hal telah terjadi. Sejauh menyangkut perhatianmu, selama ini kita memang hanya berbicara. Engkau mungkin merasa bahwa dirimu bisa diyakinkan atau tidak. Bagi kami makna dari keseluruhan peristiwa tersebut jauh lebih besar. Sebuah tenaga timbul sebagai akibat dari pembicaraan ini. Ia tengah terjadi, sebagaimana engkau bisa membayangkannya dengan baik pada pemikiran-pemikiran dari semua yang hadir di sini. Tetapi sesuatu yang lain juga tengah terjadi --kepadamu, kepadaku, dan di mana saja. Sesuatu yang engkau pahami ketika engkau memahaminya. Ambillah contoh pada tingkat yang sangat sederhana tentang sebab dan akibat sebagaimana yang biasa dipahami. Seseorang pergi ke sebuah toko dan membeli sebuah sabun. Sebagai akibat dari pembelian ini, banyak hal bisa terjadi --si pemilik toko memiliki uang lebih banyak, mungkin lebih banyak sabun yang akan dipesan dan seterusnya. Kata-kata yang diucapkan dalam transaksi ini mempunyai suatu akibat, bergantung pada kondisi jiwa dari kedua belah pihak. Ketika orang tersebut meninggalkan toko, ada satu faktor tambahan dalam kehidupannya yang tidak ada sebelumnya --yakni sabun. Banyak hal bisa terjadi sebagai akibat dari transaksi ini. Tetapi bagi dua karakter utama tersebut, kejadian penting sebenarnya adalah bahwa sebatang sabun telah dibeli dan dibayar. Mereka tidak mempunyai kesadaran tentang percabangan transaksi itu dan tidak tertarik kepadanya. Hanya ketika sesuatu yang berarti --dari sudut pandang mereka-- terjadi, barulah mereka berpikir lagi tentang hal ini. Kemudian mereka akan mengatakan, 'Lucunya, orang yang membeli sabunku adalah seorang pembunuh atau mungkin ia seorang raja. Atau ia meninggalkan sebuah uang palsu.' Seperti setiap kata, setiap tindakan mempunyai satu akibat dan satu tempat. Ini merupakan dasar sistem-tanpa-sistem dari Sufi. Sebagaimana tentu saja telah engkau baca dalam berbagai cerita, Sufi bergerak dengan tindakan-tindakan yang sangat kompleks dan terjadi dalam kesadaran batin terhadap makna tindakannya."
"Aku mengerti apa yang Anda maksudkan," ucap pengunjung itu, "tetapi aku tidak bisa mengalaminya. Jika ini benar, tentu saja hal ini sangat bergantung pada banyak hal. Cara pemujaan tertentu berlaku, pengalaman-pengalaman profetik; kegagalan dari semua orang, kecuali segelintir saja yang berhasil, dalam memecahkan teka-teki kehidupan hanya dengan memikirkannya. Hal ini juga bisa berarti bahwa seseorang yang menyadari perkembangan-perkembangan kompleks di sekitarnya bisa menyelaraskan dirinya dengan perkembangan-perkembangan tersebut sampai pada satu tingkatan yang mustahil bagi orang lain. Tetapi harga percobaan ini dibayar dengan membuang pengetahuan seseorang yang berharga. Aku tidak bisa melakukan itu."
Syekh tersebut tidak menginginkan suatu kemenangan verbal dan tidak menutup pembicaraan. "Sahabatku, suatu ketika seseorang pernah cidera kakinya. Ia harus berjalan dengan sebuah tongkat. Tongkat ini sangat berguna baginya, untuk membantunya berjalan maupun untuk tujuan-tujuan lain. Ia mengajarkan semua keluarganya untuk menggunakan tongkat padahal mereka hidup dengan kaki normal. Akan tetapi, setiap orang berambisi untuk memilikinya. Sebagian tongkat terbuat dari gading, yang lain dihiasi dengan emas. Sekolah-sekolah dibuka untuk melatih orang menggunakannya, kursi-kursi universitas dimasuki untuk mengkaji aspek-aspek yang lebih tinggi dari ilmu ini. Ada segelintir orang memulai berjalan dengan tongkat. Hal ini dianggap memalukan dan tidak masuk akal. Disamping (memang) ada banyak kegunaan tongkat. Sebagian dari mereka (yang berjalan tanpa tongkat) dicaci dan sebagian dihukum. Mereka berusaha memperlihatkan bahwa sebuah tongkat kadang-kadang bisa digunakan, ketika diperlukan. Atau banyak kegunaan tongkat tersebut yang bisa dipenuhi dengan cara-cara lainnya. Sedikit orang yang mau mendengar. Untuk mengatasi prasangka, sebagian orang-orang yang bisa berjalan tanpa dukungan (tongkat) tersebut mulai berperilaku yang sama sekali berbeda dari masyarakat yang mapan. Tetap saja jumlah mereka sedikit.
Meskipun ternyata tongkat digunakan selama beberapa generasi, sebagian kecil orang sebenarnya bisa berjalan tanpa tongkat, sebagian besar masyarakat 'membuktikan' bahwa tongkat itu merupakan keharusan. Mereka berkata, 'Lihat orang ini. Ia berjalan tanpa tongkat. Lihat! Ia tidak bisa.' 'Tetapi kami memang berjalan tanpa tongkat,' ucap pejalan-pejalan biasa (yang tidak menggunakan tongkat) mengingatkan mereka. 'Itu tidak benar, itu hanyalah khayalanmu sendiri,' ucap orang-orang yang pincang tersebut --sebab pada waktu itu mereka juga menjadi buta, sebab mereka tidak mau melihat."
"Analogi tidak sepenuhnya sesuai untuk hal ini," ucap anak muda tersebut.
"Apakah analogi (bisa) sepenuhnya diterima?" tanya Syekh tersebut. "Tidakkah engkau pahami bahwa jika aku bisa menjelaskan segala sesuatu dengan mudah dan sempurna melalui satu cerita tunggal, maka pembicaraan ini tidak perlu? Hanya kebenaran-kebenaran parsial yang bisa diungkapkan secara tepat melalui analogi. Sebagai contoh, aku bisa memberikan suatu bentuk sempurna dari suatu lempengan yang berbentuk bundar dan engkau bisa memotongnya menjadi ribuan kepingan. Masing-masing potongan bisa jadi suatu duplikat dari potongan-potongan lainnya. Tetapi, sebagaimana kita semua tahu, sebuah lingkaran tentu saja relatif berbentuk bundar. Tambahkan dimensinya secara proporsional ratusan kali, maka engkau akan menemukan bahwa ia bukan lagi suatu lingkaran yang sesungguhnya."
"Ini merupakan fakta dari ilmu kebendaan, aku tahu bahwa kebenaran teori-teori ilmiah hanyalah bersifat relatif. Ini adalah klaim dari semua ilmu."
"Tetapi engkau tetap mencari kebenaran utuh melalui cara-cara relatif."
"Ya dan demikian pula Anda, sebab Anda mengatakan bahwa simbol-simbol dan yang lainnya merupakan 'Jembatan menuju hakikat,' meskipun semua itu tidak sempurna."
"Perbedaannya adalah bahwa engkau telah memilih satu metode tunggal dalam mendekati kebenaran. Ini tidak cukup. Kami menggunakan banyak cara yang berbeda dan mengetahui bahwa ada suatu kebenaran yang bisa dipahami oleh suatu organ batin. Engkau mencoba mendidihkan air, tetapi tidak tahu caranya. Kami mendidihkan air dengan membawa semua unsur-unsur tertentu --api, wadah, air."
"Tetapi bagaimana dengan akalku?"
"Ia harus menempati perspektifnya yang benar, menemukan tingkatannya sendiri, bila ketimpangan kepribadian tersebut ingin diperbaiki."
Ketika pengunjung itu telah pergi, seseorang bertanya kepada orang alim tersebut, "Maukah Anda mengomentari tanya jawab ini.
"Jika aku mengomentarinya," ucapnya, "Ia akan kehilangan kesempurnaannya."

Kita semua telah belajar sesuai dengan status kita.
Doktrin Sufi tentang keseimbangan antara titik-titik ekstrim itu mempunyai beberapa makna. Ketika diterapkan pada pengajaran, yaitu kemampuan untuk belajar dari yang lain, itu berarti bahwa seseorang harus terbebas dari pemikiran yang salah sebelum ia mulai belajar. Calon murid Barat itu harus mempelajari bahwa dirinya tidak bisa membawa asumsi-asumsi tentang kemampuannya sendiri untuk mempelajari suatu bidang dimana dalam kenyataannya ia tidak tahu apa sebenarnya yang dicobanya untuk dipelajari. Sebenarnya ia tahu bahwa dalam cara tertentu ia tidak puas. Sisanya adalah kumpulan gagasan-gagasannya sendiri menyangkut alasan apa yang membuatnya tidak puas dan suatu upaya untuk menentukan obat bagi penyakit yang telah ia diagnosa tanpa sebelumnya menanyakan kepada dirinya sendiri tentang kemampuan-kemampuan diagnostiknya.
Kita telah memilih sebuah insiden aktual yang melibatkan seorang Barat; tetapi bentuk pemikiran ini tidak terbatas pada Barat. Demikian juga, sikap kebalikannya yang ekstrim --yaitu orang yang ingin menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak seorang guru-- dan dikatakan sebagai ciri khas pikiran Timur, hampir-hampir tidak berguna. Pencari (ilmu) tersebut pertama kali harus mencapai tataran keseimbangan tertentu antar dua pikiran ekstrim ini sebelum bisa dianggap mempunyai kapasitas untuk belajar.

Kedua tipe (pikiran) ini belajar tentang kapasitas untuk belajar terutama dengan mengamati guru Sufi dan pola perilakunya. Sebagai teladan manusia, tindakan dan ucapan guru Sufi merupakan jembatan antara ketidakmampuan relatif dari seorang murid dan posisi menjadi seorang Sufi. Kurang dari satu dalam seratus orang biasanya mempunyai salah satu konsepsi dari dua syarat ini. Jika melalui kajian yang seksama terhadap literatur Sufi, seorang murid telah benar-benar melihat prinsip pengajaran tersebut, maka ia sungguh sangat beruntung.
Ia bisa menemukannya dalam bahan-bahan Sufistik, dengan syarat harus bersedia membaca dan menelaahnya kembali, untuk mengajari dirinya menghindari asosiasi-asosiasi otomatis dari pemikiran yang mengendap atau label Sufi (dan semua julukan lainnya) yang ada pada dirinya. Singkat kata, ia lebih tertarik secara temporer pada sekolah tertentu yang lebih masuk akal, yang meletakkan prinsip-prinsip kaku dan bisa ia jadikan sandaran.

-------------***---------------