Pada suatu malam ketika orang tertelap tidur, centeng-centeng di rumah Babah Yong di kampung Kemayoran
terkapar di lantai. Babah Yong sendiri terikat di tiang ruang tengah.
Perabot rumah berantakan. Barang-barang berharga dibawa kabur kawanan perampok.
Malam itu juga, Tuan Ruys penguasa daerah Kemayoran segera datang
mempelajari bekas-bekas perampokan. Di situ juga Nadir Bek Kemayoran.
Petugas lain yang ikut sibuk adalah para opas.
“Tangkap Asni!” perintah Tuan Ruys kepada Bek Kemayoran. Keesokan
harinya seorang pemuda yang gagah sudah diborgol dan ditahan di kantor
Opas Kemayoran. Bek Kemayoran melaporkan hasil tangkapannya kepada Tuan
Ruys.
“Langsung saja masukkan ke penjara, Saeyan!” perintah Tuan Ruys kepada Bek Kemayoran.
Asni keberatan dimasukkan ke penjara. Dia menjelaskan bahwa dia tidak
berbuat apa-apa. Malam itu dia di rumah. Dia tidak pergi ke mana-mana.
Saksinya juga berkata kalau malam itu Asni di rumah.
Setelah diselidiki dengan teliti, akhirnya Asni dilepas kembali, tidak jadi dimasukkan ke penjara.
Asni tidak dilepas dari penjara begitu saja, Tuan Ruys minta syarat, yaitu dia harus sanggup menangkap perampok
sebenarnya. Kalau tidak berhasil, dia akan dijebloskan kembali ke
penjara.
Sementara itu, di Marunda ada seorang gadis remaja cantik bernama
Mirah. Ibunya sudah lama meninggal, saat dia berusia tiga tahun.
Bapaknya, Bang Bodong, belum mau menikah lagi. Dia selalu teringat
istrinya yang tercinta. Oleh karena itu, Bang Bodong sangat menyayangi
Mirah. Dia asuh Mirah dengan baik.
Mirah dididik dengan penuh kesabaran agar kelak menjadi wanita yang
dapat dibanggakan. Anehnya, Mirah lebih suka bermain dengan kawan kawan
lelaki. Dia senang mendayung sampai ke muara atau berenang tiap hari di Sungai Blencong. Tidak aneh kalau Mirah sering adu renang dari seberang sungai ke seberang lainnya.
Mirah juga tertarik pada ilmu silat. Dia bergabung dengan
kawan-kawan lelakinya untuk berlatih silat. Dia bukan saja berbakat,
tetapi juga pemberani. Melihat hal itu Bang Bodong melatih sendiri
putrinya dengan lebih tekun. Dalam waktu singkat, ketangkasan Mirah
sangat mengesankan. Sering dia diadu dengan kawan-kawan lelakinya. Tidak
seorang pun sanggup menandingi ketangkasan Mirah. Semua lelaki yang
dihadapi dikalahkannya. Mirah sangat disegani dan tidak ada duanya di
kampung Marunda.
Bapaknya merasa khawatir terhadap masa depan putrinya. Bagaimanapun
Mirah adalah wanita, kelak memerlukan seorang pendamping, seorang
pelindung, dan seorang suami. Kalau semua lelaki yang datang selalu
ditolak, Mirah nantinya tidak menikah. la akan menjadi perawan tua.
Pada saat itu Asni melakukan penyelidikan ke Marunda. Dia ditegur penjaga gardu. “Apa siang hari begini harus permisi juga?” tanya Asni. Penjaga kampung Marunda tersinggung mendengar pertanyaan itu. Asni
dipelototi dan segera ditendang. Namun, Asni sudah slap. Tendangan itu
membuat penyerangnya hilang keseimbangan dan terjerembab. Kawan yang
lain langsung memukul kepala Asni dengan tongkat. Dengan mudahnya Asni
menangkap tangan penyerangnya, dipelintir sedemikian rupa hingga orang
itu mengaduh kesakitan.
Kedua penjaga kampung itu segera lari ke rumah Bang Bodong. Mereka
lapor kalau mereka telah diserang seorang perusuh yang mabuk. Kontan
Bang Bodong marah-marah. Dia mencari perusuh yang dimaksud. Tanpa banyak
tanya Bang Bodong menyerang dengan jurus-jurusnya yang berbahaya. Repot
juga Asni menangkis. Bang Bodong memang pendekar
berpengalaman. Asni harus hati-hati mengambit langkah-langkah mengelak
sehingga tidak heran kalau Bang Bodong hanya mendapatkan angin. Asni
sigap sekali meloncat, bersalto ke belakang, koprol, dan
berguling-guting. Akhirnya, Bang Bodong terengah-engah. Tanpa melakukan
serangan balasan Bang Bodong sudah jatuh dengan sendirinya.
Mendengar ayahnya dikalahkan Asni yang jauh Iebih muda itu, Mirah seperti melayang saat lari menyerang ke arah lawan.
Asni justru senang menghadapi pendekar wanita yang mengamuk.
Jurus-jurus Mirah sangat berbahaya. Mirah menggunakan tongkat. Hal itu
membuat Asni jungkir balik. Elakan disertai tepisan tangan membuat Mirah
terlempar ke kolam ikan. Tentu saja Mirah ditelan lumpur, tetapi dia bangkit kembali dengan cepat. Kemudian, Asni diserang dengan pedang. Entah bagaimana caranya, pedang terlepas dari tangan dan Mirah terlempar ke pohon
yang bercabang-cabang. Saat jatuh ke tanah, tubuh Mirah sudah ditangkap
Asni. Mirah geram sekali, sementara Asni tersenyum-senyum. Hal itu
membuat Mirah makin marah. Untung Bang Bodong mengikuti adu silat itu
dengan saksama.
“Jodohmu datang juga akhirnya, Mirah,” kata ayahnya, “kamu harus
terima dia sebagai pemenang yang jantan. Kamu tidak boleh ingkar janji.
Dia berhak mengambilmu sebagai istri.”
Para pengikut Bang Bodong langsung bersorak. Asni diterima bekas musuhnya sebagai keluarga Baru.
Tak lama kemudian Asni menceritakan asal usul
dirinya. Dia datang ke Marunda untuk mencari kawanan perampok. Dulu
perampok itu merampok rumah Babah Yong di Kemayoran. Kalau sampai gagal
menangkap kawanan perampok itu, dia akan masuk penjara.
Baik Mirah maupun ayahnya segera tahu siapa yang dimaksud. Tidak lain
Tirta dan kelompoknya yang sering berbuat onar. Mereka tinggal di
Karawang. Untuk menangkapnya tidak sulit, undang saja Tirta dan
kawan-kawannya ke pesta perkawinan yang segera dilaksanakan di kampung
Marunda.
Undangan disebar. Pesta dilangsungkan besar-besaran. Tamu-tamu Bang
Bodong datang dari berbagai pelosok. Ketika Tirta datang, dia amat kaget
bertemu dengan Bek Kemayoran. Ternyata bukan Bek saja yang dijumpai.
Tirta juga melihat Tuan Ruys. Kemudian yang membuatnya paling tidak
tenteram duduk adalah opas-opas dan para centeng Babah Yong. Mereka
seperti sudah mengepung dirinya. Oleh karena itu, tidak ada cara lain
yang dapat dilakukan Tirta kecuali mengeluarkan pistolnya. Dia
mengacung-acungkan senjata api itu ke arah Bek Kemayoran dan segera
ditembakkan. Letusan itu membuat para tamu undangan panik dan bubar. Bang Bodong
bermaksud menghalangi Tirta yang ingin menembak lagi. Pistol meletus dan
melukai Bang Bodong. Pendekar tua itu terpental dan dadanya berdarah.
Dia pingsan tidak sadarkan diri.
Tirta
kabur dari tempat pesta itu. Opas-opas mengejarnya. Centeng-centeng
ikut mengejar sambil menghunus golok masing-masing. Akan tetapi, dari
semua mengejar itu justru Mirah paling cepat. Dia segera tampak berebut
pistol derigan Tirta. Setelah beberapa saat berguling-guling di pasir pantai, tiba-tiba letusan pistol menggema. Tirta tampak berwajah pucat sambil merintih kesakitan.
“Pokoknya saya sudah lega dapat berjumpa denganmu, Mirah. Hanya Benda ini yang dapat saya berikan kepadamu,” kata Tirta.
Setelah bungkusan itu dibuka, Mirah melihat pending emas yang indah.
Dengan terharu Mirah memperkenalkan Asni yang datang menyusul.
“Ini suami saya, Tirta,” kata Mirah.
Tirta dan Asni bertatapan.
“Kamu adik saya, Asni,” kata Tirta sambil memeluk, “kita satu ayah. Ibu saya dari Karawang, Ibumu dari Banten.”
Tidak lama kemudian Tirta kehabisan darah dan tidak bernapas lagi.
Asni dan Mirah amat sedih. Bang Bodong sudah siuman dari pingsannya dan
mendapatkan perawatan.
Beberapa minggu kemudian, Asni dan Mirah meninggalkan Marunda. Mereka
telah menjadi pasangan suami istri yang berbahagia dan tinggal di
Kemayoran sampai tua.