Sunday, November 23, 2014

Chaisah yang malang

Satu legenda Jakarta. Menceritakan tentang Chaisah seorang anak gadis rupawan dari seorang petani yang memiliki tanah luas. Murdan pemuda dari Cakung, orangnya ramah pada siapapun dan lahir dari sebuah keluarga hartawan di Cakung. Meski demikian Murdan tidak sombong dan memamerkan kekayaan orang tuanya, dia juga taat menjalankan ibadah dan pandai bermain silat. Selain Murdan ada seorang pemuda lain bernama Amsar yang juga anak hartawan di Cakung. Namun keduanya sangat berlawanan tingkah laku perangainya.

Suatu ketika orang tua Murdan datang ke orang tua Chaisah dan hendak menikahkan Murdan dengan Chaisah. Lamaran itu diterima ayah si Chaisah di sawah. Pada saat yang sama orang tua Amsar juga melamar Chaisah dan diterima ibu Chaisah di rumahnya. Akhirnya karena ditekan oleh bapaknya Amsar serta istrinya sendiri, bapaknya Cjaisah terpaksa menyampaikan pembatalan lamaran sekaligus memulangkan uang panjar tanda jadi. Orang tua Murdan sangat terpukul dan merasa malu diperlakukan dengan tidak pantas oleh bapak Kaisah.

Bapaknya Murdan menjadi sakit hati dan bertekad hendak merusak pernikahan Amsar dengan Kaisah dengan bantuan dukun sakti untuk mengguna-gunai Chaisah. Pada saat pernikahan berlangsung mantera dari dukun dibaca oleh bapaknya Murdan dan semuanya telah terjadi begitu cepat di luar dugaan. Chaisah menjadi gila, bapaknya Murdan ditahan untuk diadili karena membunuh bapaknya Amsar.

Saturday, November 22, 2014

Sejarah Tanah Abang dan Sekitarnya

Tanah Abang adalah salah satu wilayah yang rukup tua di Jakarta. Ada dua pendapat mengenai asal mula nama Tanah Abang. Pertama, dihubungkan dengan penyerangan Kota Batavia oleh pasukan Mataram pada tahun 1628. Serangan dilancarkan ke arah kota melalui daerah selatan, yaitu Tanah Abang. Tempat tersebut digunakan sebagai pangkalan karena kondisinya yang berupa tanah bukit dengan daerah rawa-rawa dan ada Kali Krukut di sekitarnya. Karena tanahnya yang merah, maka mereka menyebutnya "tanah abang" yang dalam bahasa Jawa berarti merah.

Kedua, adanya pendapat yang mengartikan Tanah Abang dari kata "abang dan adik", yaitu dua orang bersaudara kakak dan adik. Karena adiknya tidak mempunyai rumah, ia minta kepada abangnya untuk mendirikan rumah. Tanah yang ditempati disebut tanah abang. Nama Tanah Abang mulai dikenal ketika seorang kapten Cina bernama Phoa Bhingam minta izin kepada Pemerintah Belanda untuk membuat sebuah terusan pada tahun 1648. Penggalian terusan dimulai dari arah selatan sampai dekat hutan kemudian dipecah menjadi dua bagian, daerah timur sampai ke Kali Ciliwung dan ke arah Barat sampai Kali Krukut. Terusan ini bernama Molenvliet dan berfungsi sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil bumi dengan menggunakan perahu ke arah selatan sampai dekat hutan. Adanya Molenvliet memperlancar hubungan dan perkembangan daerah kota ke selatan. Bahkan jalan-jalan yang berada di sebelah kiri dan kanan terusan itu merupakan urat nadi yang menghubungkan Lapangan Banteng, Merdeka, Tanah Abang, dan Jakarta Kota.
Daerah selatan kemudian muncul menjadi daerah perkebunan yang diusahakan oleh tuan tanah orang Belanda dan Cina. Jenis perkebunan yang diusahakan antara lain kebun kacang (minyak kacang merupakan bahan komoditi yang laris), kebun jahe, kebun melati, kebun sirih, dan lainnya yang kemudian menjadi nama wilayah sampai sekarang. Karena melimpahnya hasil-hasil perkebunan di daerah tersebut mendorong Justinus Vinek untuk mengajukan permohonan mendirikan sebuah pasar di daerah Tanah Abang dan Senen. Setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patras pada tanggal 30 Agustus 1735, Vinck membangun dua pasar, yaitu Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Peranan Kali Krukut pun makin penting sebagai tempat berlabuhnya perahu yang memuat barang-barang yang akan djual ke Pasar Tanah Abang. Selain digunakan sebagai sarana transportasi, Kali Krukut juga digunakan untuk keperluan sehari-sehari penduduk. Untuk menjaga kebersihan dan mencegah banjir, Pemerintah Belanda membuat pintu airpada tahun 1917. Di bawah kekuasaan penjajah penduduk Tanah Abang juga tidak tinggal diam. Pernah terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan penduduk daerah Tanah Abang di Kampung Karet dekat kuburan. Waktu itu Belanda mencoba menduduki kantor cabang polisi supaya Tanah Abang terputus hubungannya dengan daerah-daerah lain.

Wilayah Tanah Abang meliputi Kelurahan Kampung Bali, Kebon Kacang, dan Kebon Melati. Tetapi yang menjadi inti Kampung Tanah Abang adalah di sekeliling Pasar Tanah Abang. Asal mula nama Kampung Bali berawal dari banyaknya orang Bali yang tinggal di sana. Pada waktu itu pemerintah Belanda memberikan pangkat kapten kepada kepala kelompok suku-suku bangsa yang ada di Batavia. Sehingga muncul nama Kampung Bali, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Cina, dll. Bahkan menjelang akhir abad ke-19 banyak orang Arab yang menghuni wilayah ini. Di tahun 1920 jumlahnya mencapai 13.000 jiwa. Untuk memenuhi kesukaan orang-orang Arab makan daging kambing, Pasar Tanah Abang pun makin ramai melayani keperluan kambing. Ada juga suatu daerah yang disebut Kombongan. Dulu tempat ini dipakai kusir saldo dan delman untuk beristirahat sambil memberi makan kudanya. Makanan kuda itu diletakkan di sebuat tempat yang disebut kombongan, yaitu alat (wadah) yang bentuknya bulat, terbuat dari batu dan semen. Tidak jauh dari pangkalan-pangkalan saldo dan delman, terbentang perkebunan pohon jati yang luas. Penduduk di sekitarnya menyebut daerah itu Jatibaru. Nama Kebun Dalam berasal dari sebuah kebun milik tuan tanah Cina, Tan Hu Teng yang agak menjorok ke dalam. Nama Tanah Rendah, karena tanahnya agak rendah dan letaknya berdekatan dengan Kali Krukut.

Legenda Meriam Si Jagur

Meriam Portugis yang dibawa ke Batavia oleh Belanda sesudah berhasil merebut Malaka, tahun 1641. Banyak legenda tentang Si Jagur ini. Pertama, Raja Pajajaran memiliki seorang puteri cantik jelita, namun terjangkit suatu penyakit aneh. Dari selangkangannya keluar sinar ajaib, sehingga para pangeran yang ingin mempersuntingnya lari mengurungkan niat. Raja lalu membuat sayembara, siapa yang berhasil menyembuhkan putrinya akan dinikahkan. Hampir semua dukun dan orang pintar di Pajajaran datang berlomba-lomba untuk menyembuhkan sang putri, namun semuanya gagal. Hingga suatu hari, datang utusan Kompeni yang menawarkan diri. Baginda raja menyetujui dengan syarat agar menukarnya dengan tiga pucuk meriam. Pihak Kompeni menyanggupinya dan menyerahkan ketiga pucuk meriam tersebut, yang diberi nama Ki Amuk, Nyai Setomi dan Si Jagur.

Kisah kedua, masih di Kerajaan Pajajaran atau Sunda. Raja Pajajaran bermimpi buruk. Ia mendengar suara gemuruh dari sebuah senjata yang kelihatan sangat dahsyat dan tak dikenal tentaranya. Sang Raja memerintahkan patihnya, Kiai Setomo, untuk mencari senjata ampuh tersebut. Apabila gagal akan dihukum mati. Dalam mengupayakan senjata ampuh tersebut, Kiai Setomo dan istrinya Nyai Setomi bersemedi di dalam rumah. Setelah sekian lama Sang Patih tidak kelihatan, Sang Raja memerintahkan para prajurit menggeledah rumah Kiai Setomo. Namun tidak ditemukan siapapun dalam rumah itu, kecuali dua buah pipa aneh yang besar. Ternyata Kiai Setomo dan Nyai Setomi telah berubah wujud menjadi dua buah meriam seperti dalam impian Sang Raja.

Cerita berubahnya suami istri menjadi meriam tersiar kemana-mana, hingga terdengar oleh Sultan Agung di Mataram. Sultan Agung memerintahkan agar kedua meriam itu dibawa ke Mataram, namun meriam jantan Kiai Setomo menolaknya, bahkan melarikan diri ke Batavia. Warga Batavia gempar menyaksikan benda tersebut dan menganggap benda yang dilihatnya itu barang suci. Mereka lalu menutupinya dengan sebuah payung untuk melindunginya dari terik matahari dan hujan dan menamakannya Kiai Jagur atau Sang Perkasa. Sedangkan Nyai Setomi diboyong ke Mataram.

Dalam versi sejarah tulis, meriam Si Jagur dibuat di pabrik senjata "St. Jago de Barra" di Macao, Cina, oleh orang Portugis. Ada kemungkinan bahwa nama Si Jagur diambil dari nama pabrik pembuatnya. Kemudian meriam seberat 3,5 ton atau 24 pound dari perunggu ini ditempatkan di Benteng Batavia (Kasteel Batavia) untuk menjaga pelabuhan dan kota. Setelah Kasteel Batavia dihancurkan oleh Daendels tahun 1809 dipindahkan ke Museum Oud Batavia (Museum Wayang). Namun kemudian dipindahkan lagi dan ditempatkan di bagian utara Taman Fatahillah, diantara gedung kantor pos Jakarta Kota dan Kafe Batavia. Moncong meriam diarahkan ke arah Pasar Ikan, lurus ke arah Jl. Cengkeh, membelakangi Balai Kota (Stadhuis). Awalnya Meriam Si Jagur terletak di dekat Kota Intan. Namun pada masa Gubernur Ali Sadikin, meriam tersebut dipindah ke halaman utara Museum Fatahillah.

Bangau Tua Yang Licik




Di atas dahan pohon yang rimbun, si tua bangau tong-tong memperhatikan air telaga di hadapannya. Ikan-ikan besar, kecil tampak berenang-renang dengan elok-eloknya. Bangau tong-tong hanya mampu menelan liurnya. Perutnya keroncongan minta diisi, namun ia terlalu tua untuk memburu ikan-ikan di telaga yang jernih itu. Tiba-tiba paruh si tua bangau mendongak ke langit. Ia baru saja mendapat satu akal bulus. Suatu cara untuk mendapatkan ikan tanpa harus mengejar-ngejar mereka.
"Hai kawan-kawan", Si Bangau berseru-seru, "Kemarau segera akan tiba." "
Heh, apa pedulimu," ujar si Cabus.
"Semua juga tahu kemarau pasti datang", sahut Si Kepiting.
"Sudah, tak perlu hiraukan si tua pandir itu" si Tele berkata ketus.
"Tunggu kawan-kawan," seru bangau, "Kemarau kali ini akan berlangsung lama, danau ini akan mengering".
"Apaaa?" seru semua hewan penghuni telaga kaget.
"Ya! Benar kawan-kawan danau ini akan mengering".
Ketakutanlah semua hewan penghuni telaga itu. Ada yang menangis, ada yang mengumpulkan anak istrinya dan ada juga yang mengumpulkan harta bendanya. Mereka semua berenang-renang tak tentu arah.
"Tenang kawan-kawan tenang," ujar bangau, "Aku tahu sebuah danau yang luas di kaki bukit, telaga itu tak pernah kering walau kemarau sangat panjang."
"Danau-danau kepalamu", "bentak Si Gurami, "Kau pikir kami akan terbang ke sana?"
"Itulah yang kumaksud sobatku", ucap bangau, "Kalau kau mau aku bisa membawamu terbang ke sana"
"Sungguhkah?" sambut ikan mas tertarik.
"Tentu saja" jawab si Bangau,"Apapun akan kulakukan demi membantu teman".
"Bawa saja kami kesana paman, bawa kami", seru hewan-hewan penghuni danau dengan riuhnya penuh harap.
"Tenang-tenang, tak perlu berebut. Aku akan membawa kalian satu persatu."
Kemudian si bangau menghampiri kumpulan ikan-ikan. Dengan paruhnya ia mengangkat seekor ikan mas yang sedang besarnya. Lalu terbanglah bangau tong-tong itu dengan ikan mas di paruhnya.
Seharian itu berulang-ulang si bangau mengambil ikan-ikan dan berbagai hewan air lainnya dari telaga itu. Menjelang senja semua ikan telah terangkat habis. Tinggallah si kepiting  sendirian.
Si Kepiting menoleh kiri kanan. Sudah tak ada teman seekor pun. Pikir si Kepiting tentu mereka sudah senang di telaga besar di kaki bukit seperti janji si bangau.
Tak berapa lama si bangau kembali. Ia memandang berkeliling, tak ada ikan lagi yang nampak. Bangau tersenyum puas, perutnya kenyang sekali. Ia lalu hinggap di dahan pohon.
"Paman bangau, jangan lupakan aku", suara parau si Kepiting membangunkan si bangau.
"Hmm, kaukah itu kepiting?"
"Ya paman, bawa juga aku ke telagamu itu, tolonglah paman di sini aku sendirian sekarang".
Si bangau menatap ketam. Tak banyak daging ketam itu tentunya. Lagi pula bangau telah kenyang makan ikan-ikan penghuni telaga. Namun si bangau memang tamak, pikirnya ketam itu cukup nikmat untuk hidangan penutup.
"Baiklah sobat kecil," ujar si Bangau, "Mari kubawa kau ke danauku".
Dengan paruhnya Bangau tong-tong itu mengangkat si kepiting. Lalu bangau itu terbang. Gemetar ketakutan kepiting itu dalam jepitan paruh bangau yang tajam. Sekuat tenaga ia berpegangan.
Mendekati bukit yang dituju, alangkah terkejutnya ketam. Ia tak melihat danau atau genangan air barang setitikpun. Yang dilihat ketam sungguh mengerikan. Gundukan tulang-belulang ikan yang menggunung.
Sadarlah kepiting, ia dan teman-temannya telah tertipu. Si Bangau tong-tong telah membawa ikan-ikan dari danau untuk dimakannya. Kian kecutlah hati si kepiting.
Dalam ketakutannya, timbul kemarahan di hati si kepiting. Dengan kuat ia menjepit leher si bangau. Terperanjat bangau kesaktian. Ia berusaha meronta. Namun kedua jepit si kepiting kian kuat menjepit lehernya. si bangau tong-tong mencoba berteriak, namun tak mampu.
Akhirnya leher si bangau tong-tong putus dijepit si kepiting. Bangau itu pun jatuh dan mati. Sedang si kepiting yang tubuhnya bercangkang keras hanya memar saja saat ia terbanting di rerumputan.
Dengan sedih si kepiting masuk ke sebuah kubangan kecil. Ia telah kehilangan semua temannya. Kini ia harus hidup seidirian di tempat yang baru.

Tuesday, November 18, 2014

Si Bener




Tersebutlah seorang laki-iaki, si Bener namanya. Tiada lain kerja si Bener hanyalah mengail. Setiap hari ia mengail dilaut. Mata kailnya jarum sedang, umpannya bekatul. Karena itu ia tak pernah berhasil mendapatkan ikan. Malah ikan-ikan di laut menjadi kian banyak, sebab setiap hari memakan bekatul umpan kail Si Bener. Raja ikan di dasar lautan mengetahui hal itu. Maka sang raja mengumpulkan seluruh rakyatnya. Kepada para ikan raja itu berkata,"Hai rakyatku, kita harus menyayangi Si Bener, sebab setiap hari kita diberinya makan". "Akur-akuur". Seru ikan-ikan itu senang. "Hai raja" , ujar cucu! "Umurku sudah amat tua. Tak guna lagi hidup. Aku ingin membuktikan nyawaku kepada Si Bener". "Nah baguslah jika demikian", sahut Raja ikan, "Ini telanlah"' Raja ikan membeiikan intan sebesar kepala. Cucut menelan intan itu. Lalu ikan itu berenang ke pantai. Kail si Bener yang terapung-apung digigit oleh cucut itu. Tentu saja si Bener terkejut. Bertahun-tahun baru kali itu kailnya mengena.

Segera si Bener menarik pancingnya. Makin terkejut laki-laki itu. Baru pertama seumur hidupnya ia melihat cucut sebesar itu. Senang bukan main hati pengail itu.
Dari kejauhan tampak sebuah kapal. Segera si Bener berseru-seru. Seruannya terdengar oleh Matros. Lalu disampaikan kepada nakhoda. Nakhoda kemudian memerintahkan juru mudi menghentikan kapal.
Nakhoda turun dengan sekoci. Ia menanyai si Bener, "Hai nelayan, apa hajatmu hingga menghentikan kami?"
"Wahai tuan nakhoda", sahut Si Bener, "Sudilah tuan menyampaikan ikan ini sebagai persembahan hamba kepada raja negeri seberang".
"Baiklah akan aku sampaikan persembahan ini" .
Nakhoda pun meneruskan perjalanannya. Saat singgah di negeri seberang, ia pun menghadap baginda. Ikan cucut dari Si Bener dipersembahkannya.
"Hmm, hanya seekor ikan" Sabda Baginda setelah nakhoda pergi, "Sudah bau pula". Baginda menekan perut ikan itu dengan tongkatnya. Keluarlah sebutir intan sebesar kepala. Sungguh terkejut baginda. Lekas intan itu diambilnya.
"Intan sebesar ini kubeli dengan negaraku pun tak akan terbeli", pikir sang raja, "Jika demikian layaknya kuberi sedikit imbalan pada pemilik ikan bau itu".
Nakhoda yang baru saja akan bertolak segera dipanggil. Kepadanya baginda menitipkan sepeti uang emas untuk diserahkan kepada Si Bener.
Nakhoda pun kembali berlayar. Saat itu singgah di dusun Si Bener diserahkannya peti uang itu. Bukan main suka citanya Si Bener.
Dengan uang yang dimilikinya, Si Bener membeli sebuah rumah besar, ternak, sawah dan kebun. Kini hidup Si Bener menjadi senang.
Perihal kekayaan Si Bener terdengar oleh raja. Timbul rasa dengkinya. Baginda pun memanggil laki-laki itu. Ia ingin merebut harta kekayaan pengail itu.
Saat Si Bener berdatang sembah, bersabdalah sang raja "Hai Bener, karena kau hidup di atas tanahku, kau harus patuh pada perintahku".
"Ampun beribu ampun wahai paduka", sembah Si Bener, "Segala titah duli sah alam akan hamba junjung tinggi".
"Bagus jika demikian", baginda meneruskan, "Salah satu kapalku yang mengangkut selaksa jarum telah tenggelam, kini ambilkanlah jarum-jarum di dasar lautan itu. Jika ada yang kurang, kupancung kepalamu".
"Daulat wahai paduka", sembah Si Bener, "Titah paduka akan hamba laksanakan".
Selesai berucap demikian, pergilah Si Bener ke pantai. Hatinya kecut. Samudera demikian luas dan dalam. Bagaimana mungkin ia menemukan selaksa jarum di dalamnya.
Tiba-tiba muncul Si raja ikan. "Hai pengail", ujar raja ikan", "Mengapa kau tampak murung?"
"Hamba dititahkan baginda mencari selaksa jarum di laut", sahut Si Bener. "Bagaimana mungkin hamba dapat melakukannya?"
"Sudahlah laki-laki pengail. Serahkan saja perihal itu padaku".
Raja ikan memanggil seluruh rakyatnya. Ia memerintahkan para ikan untuk memunguti selaksa jarum di lautan. Hanya separuh ikan telah kembali. Semuanya membawa jarum.
Telah terkumpul selaksa jarum milik raja. Si Bener pun mempersembahkan jarum-jarum itu. Bukan main tercengangnya baginda raja.
"Hai Bener", sabda Baginda, "Aku lupa satu hal. Kapalku yang tenggelam itu juga membawa pedang wulung. Kini ambillah pedang itu. Jika kau gagal, kepalamu sebagai gantinya".
Kembali Si Bener ke pantai. Ia berpikir, raja tentu memiliki niat buruk. Jika tidak tentu ia tak akan menitahkan hal-hal yang mustahil kepadanya.
Selagi Si Bener berpikir, kembali muncul raja ikan. "Hai pengail", tegur si raja ikan, "Mengapa lagi kau murung?"
"Baginda menitahkan hamba mengambil pedang wulung", jawab Si Bener.
"Pedang wulung itu milik raja buaya", ujar Raja ikan "Jahat bener rajamu, ia menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Tapi baiklah, akan kupanggil raja buaya".
Tak berapa lama raja buaya pun muncul, "Hai raja ikan, aku sudah mendengar percakapan kalian. Jika raja manusia itu menginginkan pedangku, datanglah ke muara esok hari".
Perkataan raja buaya disampaikan kepada baginda raja. Esoknya baginda pergi ke muara. Duduklah ia menunggu kedatangan raja buaya.
Raja buaya pun muncul. Ia tak membawa pedang yang dijanjikannya. Ia memakan raja lalim itu. Ikan-ikan dan para penghuni air bersorak-sorai.
Raja telah tiada. Kini tinggalah patih. Patih memutuskan untuk mengangkat Si Bener menjadi raja. Rakyat pun senang. Si Bener memerintah dengan adil dan bijaksana.
--------- 000----------

Thursday, November 13, 2014

Tititnya Dempet




Dua orang anak laki-laki tengah bermain-main. Tiba-tiba anak yang lebih besar berlari ke semak-semak, lalu ia melorotkan celananya. Rupanya ia ingin membuang air alias kencing. Melihat hal itu, temannya yang lebih kecil atau muda ikut-ikutan, ia membuang air di samping kawannya. Curahan air seni kedua anak itu menyatu menjadi sebuah genangan kecil di tanah. Setelah menarik kembali celananya, anak yang lebih besar meludahi genangan itu, ia pun menyuruh temannya melakukan hal yang sama.
"Kenapa harus diludahi?" Tanya anak yang lebih kecil.
"Memang begitu mestinya", sahut anak itu. "Dahulu pernah carita ada anak-anak yang buang air bersama-sama. Maka seperti kita juga, air seninya menyatu menjadi sebuah genangan. Tetapi mereka tidak meludahi genangan itu. Akibatnya, kemaluan keduanya berdempet dan tak bisa dipisahkan hingga mati".
---------- 0000---------
 

Entong Gendut Jagoan dari Batu Ampar, Condet

Pajak pantesnya  diambil seperlima dari hasil panen. Pajak itu bisa berbentuk padi, palawija, atau hasil pertanian lainnya, semuanya harus diserahkan kepada tuan tanah. Setelah tahun 1912, tuan tanah tidak mau lagi menerima bagian pajaknya. Dia minta kenaikan dua kali lipat. Alasannya, antara lain karena hasil panen jauh lebih bagus dari musim lalu. Dengan perbaikan sistem irigasi dari sungai ke sawah-sawah membuat hasil panen berlipat ganda, serta akibat pengukuran ulang. Tidak diremehkan pula kegigihan para mandor melakukan kontrol menjelang potong padi.
Umumnya para petani keberatan. Kenaikan 20% bukan hal ringan. Pajak yang berat. Para petani usul agar pajak itu diganti dengan sewa tanah. Akan tetapi, tuan tanah menolak sebab dialah yang berkuasa. Jadi, dia pulalah yang menentukan. Mereka yang merasa keberatan lebih baik pindah ke gunung saja.

Praktek-praktek busuk para mandor beserta centeng-centengnya di sawah waktu menimbang padi sangat meresahkan para petani. Kalau menimbang padi untuk pajak tuan tanah dilebih-lebihkan. Pihak petani dirugikan terus. Merekalah yang selalu menerima bagian paling buruk dan paling sedikit.

Kegiatan lain yang meresahkan para petani adatah “kompenian”, yaitu kerja bakti tanpa upah untuk kepentingan para tuan tanah. Para petani dan warga desa, laki-laki dewasa pada umumnya, bersungut-sungut. Mereka sering berbisik-bisik atau berunding sembunyi-sembunyi untuk melakukan perlawanan.
“Patahkan saja lehernya!”
Salah seorang petani dan warga desa lainnya menyambut dengan bersemangat, “Ya, nanti kita patahkan lehernya!”
Suasana makin panas.
Tuan tanah tahu suasana panas itu. Para petani dan warga desa tidak main-main. Oleh karena itu, permintaan agar pajak diganti dengan sewa tanah diluluskan. Akan tetapi, banyak petani yang akhirnya tidak mampu membayar. Barang-barang mereka dirampas mandor dan diserahkan kepada tuannya. Kalau tetap tidak bisa membayar sewa tanah, atau tidak ada lagi barang untuk menutup, rumah harus dijual. Pembelinya tuan tanah juga dengan harga amat murah. Tuan tanah sering hanya mendapat rumah rusak. Dia lalu memerintahkan mandor dan para centeng untuk membakar. Petani-petani malang itu makin sengsara. Sejak itu suasana semakin buruk.

Pada tanggal 14 Mei 1914 ada suatu peristiwa, yaitu Taha dihadapkan ke pengadilan. Dia petani dari Batuampar. Dia diputuskan pengadilan harus membayar pajak sebesar 7 gulden. Kalau tidak bisa membayar, rumahnya akan segera disita.
Kemudian, Taha bercerita kepada kawan-kawannya. Mereka berkumpul di kebun Jaimin, tidak jauh dari rumah Taha, Orang-orang itu diberi semangat oleh Entong Gendut. Lalu, mereka berteriak bahwa putusan itu tidak adil.

Kenyataannya, tiga hari kemudian rumah Taha disita, Tuan tanah hanya membayar 4 1/2 gulden. Untuk melunasi utang pajak saja masih kurang. Gema tidak puas melanda Batuampar, Entong Gendut dan kawan-kawannya marah sekali. Namun, untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah, Para mandor, dan centengnya, masih dirasa berat bagi Entong Gendut. Dia dan kawan-kawannya harus mempersiapkan din terlebih dulu, antara lain dengan belajar dan berlatih silat. Entong Gendut sebagai pelatih karena sejak dulu dia dikenal sebagai pendekar.

Entong Gendut dibantu Modin dan Maliki. Mereka dari Batuampar juga. Anggota perkumpulan silatnya semula hanya beberapa gelintir orang, tetapi akhirnya bertambah, mencapai lebih dari 400 orang. Di antaranya yang bersungguh-sungguh adalah Haji Amat Awab, Said Keramat, Nadi, dan Dullah. Orang-orang Arab ada juga yang ikut, antara lain Ahmad Alhadat, Said Muksin Alatas dari Cawang, dan Alaidrus dari Cililitan.

Peristiwa berikutnya terjadi di Vila Nova, rumah mewah milik Lady Rollinson di Cililitan Besar. Malam itu tanggal 5 April 1916 berlangsung pesta amat meriah. Hiburan untuk rakyat sekitar juga semarak. Tuan Ament pemilik tanah luas di Tanjung Timur datang dengan mobilnya. Sebelum sampai di jembatan, sekelompok orang tidak dikenal melempari mobilnya dengan batu. Tuan Ament tidak mempersoalkan kaca belakang mobilnya yang pecah dan penyok-penyok itu. Dia bergegas masuk ke pelataran rumah Lady Rollinson. Di situ dia bergabung dengan tamu-tamu terhormat lainnya. Dia ikut menyaksikan hidangan seni berupa musik dan tari-tarian yang menyenangkan. Dia merasakan nikmatnya wiski, gurihnya daging kalkun, dan semerbaknya panggang babi. Dia bertukar pengalaman dengan kawan-kawannya yang sederajat. Ada tuan tanah Kemayoran, tuan tanah Pondok Gede, para wedana, serta tidak ketinggalan pula noni-noni bermata biru berambut pirang dan sinyo-sinyo yang tertawa-tawa kecil dan agak malu-malu.
Di luar halaman berpagar tinggi itu rakyat menonton hiburan gratis seperti topeng dan wayang kulit. Mereka berjubel. Sekali-sekali mereka yang berada di luar pagar itu memperhatikan pemandangan pesta di halaman rumah Lady Rollinson.
Pesta di dalam makin menghangat. Pasangan-pasangan berdansa diiringi musik. Lalu, mendekatlah seorang pelayan kepada Lady Rollinson.
“Bagaimana, Tija?” tanya nyonya majikannya. “Saya sudah tahu, Nyonya.”
“Jadi, benar Entong Gendut pimpinannya?”
“Tidak salah, Nyonya.”
“Dia pula yang menggerakkan orang untuk melempari mobil tuan Ament?”
“Ya, Nyonya.”
Lady Rollinson mendekati Tuan Ament dan menganjurkan agar dia melapor ke komandan polisi dengan cepat.
“Tentu saja, Lady Rollinson,” jawab Tuan Ament, “pada waktu yang diperlukan saya bisa bertindak cepat. Sekarang tenang saja dulu.”
Tiba-tiba tetabuhan di luar pagar berhenti. Orang-orang yang berjualan makanan dan minuman
menutup kegiatannya. Para penonton bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Seketika sepi dan lampu-lampu keramaian dimatikan. Hal itu membuat tamu-tamu yang berpesta di rumah Lady Rollinson mulai berpikir, jangan-jangan bahaya mengancam. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik mereka minta diri kepada nyonya rumah. Mereka tergesa-gesa pulang dengan bendi atau mobil. Lady Rollinson ikut gelisah dan marah. Dia segera lapor kepada komandan polisi dan berkeluh kesah kepada residen.

Sementara itu, pengaruh Entong Gendut dan pembantu-pembantu dekatnya makin kuat. Apa yang dikatakan Entong Gendut diikuti semua oleh warga Batuampar dan sekitarnya. Wedana Meester Cornelis didatangi bawahannya yang menyampaikan laporan. Ia mengatakan bahwa pengaruh bek di kelurahan tidak bermanfaat lagi. Telinga dan mulut Entong Gendut ada di mana-mana.
Wedana Meester Cornelis dikawal komandan pasukan serta polisi melakukan peninjauan ke Batuampar. Di depan rumah yang diduga milik Entong Gendut, dia langsung memerintahkannya keluar, kalau tidak pintu akan didobrak. Entong Gendut menjawab dari dalam akan bersembahyang dulu. Selesai sembahyang, Entong Gendut menampakkan diri. Dia berjubah putih, di dadanya tersembul keris, dan tangannya memegang tombak panjang. Para pengawalnya bersorban dan bertombak berdiri di belakangnya.
“Aku raja dan aku tidak mau tunduk kepada siapa pun. Aku tidak mau mengikuti pimpinan hukum, apalagi buatan Belanda.”

Wedana Meester Cornelis berunding dengan opsir-opsir polisi. Sementara itu Entong Gendut meneruskan bicaranya, “Wedana, ketahuilah. Aku amat malu kepada kawan-kawanku para tuan tanah. Mereka telah membakar rumah penduduk miskin. Apa salah mereka? Hanya karena mereka petani miskin dan tidak mampu membayar pajak serta sewa tanah yang mahal, lalu rumah mereka dihanguskan? Amat disayangkan!”
Para pengikut Entong Gendut lainnya keluar dari semak-semak. Mereka bersenjatakan panah dan tombak. Wedana dan para pengawalnya kaget sekali. Dia lalu memerintahkan untuk melepaskan tembakan, ramailah kampung Batuampar. Tidak sedikit polisi kena bacok dan tertembus anak pariah. Entong Gendut bersuara lantang. Teriakan-teriakan Allahu Akbar menggema.
“Amuk, amuk!” teriak anak buah Entong Gendut sambil melemparkan tombak dan mengayunkan pedang. Serdadu Bala bantuan datang. Anak buah Entong Gendut banyak yang bergelimpangan. Beberapa rumah terbakar, penduduk yang tua, kaum perempuan, dan anak-anak diungsikan. Akan tetapi, korban warga Batuampar semakin banyak juga.
Entong Gendut terluka. Dadanya tertembus peluru, darah segar mewarnai jubahnya yang putih. Anak buahnya mengerumuninya. Wedana Meester Cornelis memerintahkan komandan pasukan untuk mengikat tangan Entong Gendut. Lalu, dia dinaikkan ke tandu dan diangkut ke Rumah Sakit Kwini. Namun, di tengah perjalanan, Entong Gendut tidak bernapas lagi. Para pengikutnya dikejar-kejar polisi. Mereka terus dicari sampai ke Condet dan Tanjung Timur. Setelah tertangkap, mereka dimasukkan ke penjara.