Wednesday, July 3, 2013

Musik yang Mungkin Takkan Pernah Terdengar

Musim semi sudah lelah menyelinap memasuki pemukiman kami dan bentangan pegunungan dengan membawa bunga-bunga liar dan aroma tanah yang segar, ini mengingatkanku pada masa lalu yang bahagia. Saat itu Hari Ibu dan kami merayakannya bersama ketiga anak kami yang sudah dewasa beserta keluarga mereka, berpiknik dan bermain voli di halam belakang kami. Kami menjalani saat yang indah, tapi aku merindukan satu ekor domba yang hilang.


Anak laki-laki bungsu kami, Brian, tidak ada. Ia telah berubah dari pribadi penyayang, lembut, dan pencinta keluarga menjadi sosok orang asing yang menjengkelkan sebelum meninggalkan bangku sekolah dan tim tenis, dan menghilang ke dalam kehidupan jalanan enam bulan lalu.
   Aku merindukan hari-hari ketika ia meloncat-loncat masuk ke dalam rumah sambil berteriak, "Ibu mau ke sekolah dan melihatku berlatih service?" Setiap minggu siang, ia memasang rintangan 'olimpik' untuk para keponakannya dan bersorak sorai membangkitkan semangat mereka meraih kemenangan, memastikan mereka semua mendapat pita. Kadang, ia membuatkan tempat tidur untuk kami semua di atas geladak, menimbulkan keinginan untuk berpesta semalam suntuk dan mengamatibintang di musim panas.
   Kami merindukannya.
   Meskipun kepekaan dan bela rasa Brian membuatnya disyangi orang dewasa dan anak-anak, ia tidak mudah berkawan dengan anak seusianya dan menghadapi siksaan yang tak pernah berhenti sepanjang masa sekolah.
   Di usia tujuh belas, ia berperang melawan depresi. Tak sanggup menghadapinya, ia melarikan diri dan hidup di jalanan di mana ia diterima, tapi tak lama kemudian, ia kembali ke rumah dengan janji akan menaati peraturan rumah dan mengendalikan hidupnya. Di suatu siang musim dingin, isak tangisnya bergema di rumah, "Ibu, kemarilah, " katanya. "Aku takut. Dunia ini sangat jelek."
   Aku berlari menghampiri anak laki-lakiku yang tingginya seratus sembilan puluh sentimeter lebih dan membuainya dalam pelukanku. Keringat bercampur dengan air mata di pipinya. Aku menyeka dahinya. Aku bisa melicinkan rambutnya tapi tidak jalan hidupnya. "Brian," kataku. "Kau akan melewati masa-masa sulit ini. Dunia membutuhkan anak laki-laki sepertimu. Kita akan mencari bantuan profesional, dan kita semua akan menghadapi kesulitan ini bersama-sama."
   Tapi beberapa hari kemudian ia menghilang lagi.
   Aku tahu ketika Brian lahir bahwa suatu hari aku akan harus melepaskannya-tapi tidak dengan cari ini.
Di usia tiga tahun ia selau bermain di luar rumah entah cuaca hujan atau cerah, tertawa kepada awan di atas, menyekop sinar matahari, membangun jalanan dan terowongan untuk truknya. Suatu pagi ia berlari masuk dengan napas tersengal-sengal. "Ibu," teriaknya, melambai-lambaikan tangan, lalu membisikkan rahasianya, "Ibu, hatiku begitu bahagia sampai terasa menggelegak."
   Di bangku SMU, ia berteman dengan orang-orang yang ia jumpai di sepanjang rute korannya. Ia pulang dengan tangan penuh tanaman untuk membuat kebun. Seorang janda memberinya satu koleksi perangko lengkap. Seorang pelanggannya yang lain sedang mengikuti pencalonan ulang sebagai wakil negara bagian. Brian meninggalkan pesan dalam surat kabarnya. "Ibu North, aku menonton pemilihan di TV tadi malam. Aku senang anda menang." Ia kemudian bekerja sebagai pegawai parlemen di Gedung Capitol dengan rekomendasi wanita itu.
   Seorang mantan guru termasuk salah satu pelanggannya, dan iamembantu merawat anjingnya yang sakit. Ia sering duduk menemani mereka pada malam hari dan mendengarkan kisah-kisah tentang Chiquita, yang bisa disimpan di dalam saku Ibu Hall. Pada hari Chiquita meninggal, ia membawakan bunga lilac bagi temannya yang berdukacita dan tidak menyentuh makan malamnya.
   Aku telah membuainya ketika ia bermimpi buruk dan menderita demam, menyharing "emas" bersamanya di sungai, menjadi penunjuk jalan menyelusuri lereng pegunungan, dan berlari bersamanya di perlombaan maraton 5K. Aku takkan menyerah sekarang!.
   Aku membuka pintu kamarnya, disengat sisa aroma lotion cukurnya yang kukenal ketika keheningan menjerit kepadaku. Aku melicinkan selimut perca di ranjangnya dan berlutut, membenamkan kepala dalam kelembutannya, mencengkeram kehadirannya, berdoa seperti seperti semua ibu diseluruh dunia berdoa ketika anaknya sedang dalam kesulitan.
   Aku berduka untuk musik dalam dirinya yang mungkin takkan pernah terdengar, mengingat nada-nada masa kecilnya-pesan corat-coret di secarik kertas-diselipkan di bawah pintu kamar mandi ketika aku sedang mandi, ketukan remajanya di dinding untuk mengucapkan selamatmalam setelah semua lampu dimatikan.
   Semua kenangan itu membantuku melewati malam-malam ketika aku tak bisa tidur dan hari-hari yang gelap. Setelah beberapa minggu, Brian menelpon lagi. "Ibu, apa menurut Ibu aku bisa pulang? Di sini tidak enak. Kurasa aku akan gila. Bisakah kita bertemu untuk bicara?"
   Kakiku nyaris tak menyentuh tanah ketika aku bergegas meraih kunciku dan berlari ke mobil, berdoa sepanjang perjalanan. Disana, di restoran yang gelap, duduklah anak laki-lakiku, mata kosong menatap dari wajahnya yang tirus. Ia kelihatan seperti orang tua, dan sekaligus, seorang anak yang hilang. Ketika aku mendekati bangkunya, sesaat ia tampak agak cerah. "Hai Bu. Terima kasih mau datang."
   Aku duduk menghadapnya, dan ia berkata, "Aku sangat bingung. Kepalaku rasanya seperti mau pecah."
   Aku memegang lengannya. "Jika kau bisa menaati peraturan kau boleh pulang. Kau melangkah kearah yang benar."
   Ia menangkup dagunya dengan satu tangan dan melihat keluar jendela. "Minggu lalu aku berjalan ke taman tempat aku dulu main tenis. Jika tidak mengacaukannya, aku sebenarnya bisa mendapat beasiswa tenis keperguruan tinggi. Aku mendaki bukit di mana Ibu biasanya duduk untuk memberiku semangat. Di sana sepi dan tenang. Aku duduk di sanadalam derai hujan sampai gelap, lalu berjalan kembali ke tempat aku tinggal dan tidur di dalam mobil seseorang."
   Penderitaan di mata anakku menyayat hatiku yang sudah memendam kepedihan.
   Ia pulang ke rumah hanya untuk menghilang lagi beberapa hari kemudian. Sekali lagi kami kehilangan dirinya. Yang lebih buruk, kami harus hidup dari bulan ke bulan dengan dihantui ketidakpastian.
   Entah bagaimana, waktu berlalu. Hari Ibu datang, yang pertama kurayakana tanpa Brian. Dengan tabah aku ikut piknik dan bermain, tapi pada malam harinya, setelah anak-anak kami kembali ke rumah masing-masing, kekosongan menusuk-nusuk hatiku. aku menikmati memanjakan cucu-cucu kami, bersykur bisa melewati hari keluarga bersama-sama, tapi rumah terasa terlalu sepi dalam remang petang yang lembut. Ketika kudengar ketukan di pintu, aku menyambut gangguan itu dengan penuh syukur.
   Di sana berdirilah Brian, wajahnya kurus, bajunya kusut dan bau apek, tapi matanya memancarkan sedikit cahaya dibalik penderitaannya. "Aku harus datang," katanya. "Aku tidak bisa membiarkan Hari Ibu berlalu tanpa memberitahukan bahwa aku memikirkan Ibu." Ia menegakkan bahunya dan tersenyum, menyodorkan dua tangkai anyelir merah muda berselimutkan kuntum putih bunga baby's breath. Aku membaca kartunya: "Ibu, aku mencintaimu, dan kau lebih sering dipikirkan daripada yang pernah kau tahu."
   Lengannya memelukku seperti sinar matahari menembus badai hitam, suaranya hanya berupa bisikan lirih, "Ibu, aku berniat bunuh diri, mengakhiri penderitaan ini, tapi aku tidak pernah bisa melakukannya kepadamu." Aku bersandari di bahunya dan membenamkan wajah dalam keringatnya yang apek.
   Kali ini Brian menetap. Pada awalnya sulit, tapi sekarang sepuluh tahun kemudian, keadaannya baik. Dan setiap tahun pada Hari Ibu, aku merayakan kepulangan terakhir anakku, dan jauh di dalam, aku mengenang perayaan rahasia hatiku ini.


No comments:

Post a Comment