Wednesday, July 1, 2015

Sejarah Gerakan anti Cina di Indonesia 1959

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1959 adalah sebuah peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia [1]
Peraturan ini menjadi kontroversial karena pada penerapannya memakan korban jiwa (dikenal sebagai kerusuhan rasial Cibadak), dan mengakibatkan eksodus besar-besaran orang Cina (belum warganegara Indonesia) dan keturunan Tionghoa kembali ke Cina.

Latar belakang dan dampak

  • Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, rakyat Indonesia mengalami euforia kemerdekaan dan merebut banyak perusahaan-perusahaan milik asing dan dinamakan "sentimen anti Belanda". Di antara perusahaan-perusahaan yang direbut termasuk Koninklijke Pakketvaart Maatschappij (KPM), sebuah perusahaan pelayaran milik Belanda yang melayani jalur transportasi dagang dari Belanda menuju Indonesia oleh kelompok buruh Marhaen, dan perebutan-perebutan lapangan-lapangan minyak oleh kelompok pekerja lapangan dan pengilangan minyak zaman kolonial yang bersenjata dan menamakan diri "Laskar Minyak"[2].
  • Namun setelah beberapa waktu pemerintah Indonesia menyadari bahwa orang Indonesia yang terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit. Kaum pribumi pun tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin bersaing dengan perusahaan asing dan Tionghoa [3]. Perusahaan-perusahaan ini mengalami kemunduran setelah diambil alih. Sebagai jalan keluar ditanda tangani persetujuan di Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda yang isinya Pemerintah akan mengembalikan semua perusahaan asing yang telah diambil alih kepada pemiliknya. Sebagai gantinya untuk memperkuat ekonomi pribumi berdasarkan persetujuan Konferensi Meja Bundar maka pemerintah Indonesia diberikan hak untuk mengeluarkan peraturan yang melindungi kepentingan nasional dan "golongan ekonomi lemah".
  • Pada awal 1950 dikeluarkanlah Program Benteng importir oleh Menteri Kesejahteraan Djuanda, yang mengumumkan bahwa hanya pengusaha pribumi saja yang diberi izin mengimpor barang tertentu yang dikenal sebagai sebutan barang benteng. Dalam penerapannya hal ini menelurkan istilah "Ali Baba" yang berarti kongsi antara kaum pribumi yang memiliki akses birokrasi dengan pengusaha Cina.
  • Pada tanggal 19 Maret 1956 pada Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, Asaat Datuk Mudo, Mantan Pejabat Presiden Republik Indonesia berorasi bahwa orang-orang Cina telah bersikap monopolistis dalam perdagangannya dengan tidak membuka jalan bagi penduduk pribumi untuk ikut berdagang.
Orang-orang Cina sebagai satu golongan yang eksklusif menolak masuknya orang-orang lain, terutama dalam bidang ekonomi. Mereka begitu ekslusif sehingga dalam praktiknya bersikap monopolistis...
. Sebagai penutup Asaat berkata bahwa ia percaya bahwa pada masa itu diperlukan perlindungan khusus di bidang ekonomi kepada warga negara Indonesia asli.
  • Dilihat dari fakta yang terjadi dilapangan pada era 1950an hampir semua toko di Indonesia dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa. Mulai dari toko kelontong, toko bangunan, hingga toko makanan. Hal ini dibenarkan oleh pengamat budaya Betawi, Alwi Shahab yang menyatakan bahwa pada masa mudanya di daerah Kwitang, Jakarta Pusat, pusat perekonomian di Jakarta betul-betul bergantung pada pengusaha keturunan Tionghoa.
Jangan bayangkan ada warung Padang atau yang lain seperti sekarang. Semua dikuasai orang Cina
  • Pidato ini menjadi awal "gerakan Asaat" atau "pribumisasi" yang dinilai berpengaruh besar pada gerakan anti-Cina selanjutnya. Pada bulan November 1959 dikeluarkan PP Nomor 10 tahun 1959 yang berisi larangan untuk orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bahwa dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari 1960. PP No.10 ini dimaksudkan untuk menyehatkan perekonomian nasional, namun menimbulkan ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Subandrio dengan Duta Besar Cina untuk Indonesia (Huang Chen) di Jakarta, pemerintah Peking mendesak peninjauan kembali PP No. 10 dan permintaan itu ditolak [4]. Selanjutnya di depan sidang parlemen, Menteri Subandrio menegaskan, sama sekali tidak diperdapat anasir-anasir anti Cina dalam hubungan pelaksanaan PP No. 10. Pelaksanaan PP No. 10 tersebut, selain merupakan dimulainya nasioanalisasi dan sosialisasi di bidang ekonomi, juga merupakan bagian pelaksanaan dalam revolusi Indonesia, katanya. Dalam nasionalisasi tersebut, PP No.10 memerintahkan agar usaha-usaha pedagang eceran bangsa asing di luar ibukota kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh berdomisili di tempat tinggalnya. Sedangkan tempatnya berjualan selama ini tidak dibenarkan digunakan untuk usaha dan semua barang-barangnya yang berada di dalam tempatnya berjualan harus diserahkan kepada koperasi[5]. Pemerintah Cina pun berang, pada tanggal 10 Desember 1959 radio Peking mengumumkan ajakan warga Cina perantauan untuk kembali ke "kehangatan Ibu Pertiwi". Kedubes RRT di Jakarta segera mendaftar Cina perantau yang tertarik oleh ajakan itu.
  • Pada praktiknya "orang asing" pada pasal ini terbatas hanya pada orang Tionghoa karena dari 86.690 pedagang kecil asing yang terdaftar, 90 persennya adalah orang Tionghoa. Saat peraturan ini diterapkan, sekitar 500 ribu pengusaha keturunan Tionghoa terimbas (Majalah Tempo) sedangkan Harian Waspada memiliki perhitungan lain, yaitu terdapat sekitar 25.000 warung/kios milik pedagang asing yang umumnya orang Cina yang terkena PP No. 10 (harian Waspada 1960) [6]. Tercatatat bahwa di beberapa tempat penerapannya juga dipaksakan dengan kekuatan militer; tidak hanya tidak diperbolehkan berdagang, namun orang Tionghoa dilarang tinggal di tempat tersebut. Di Curut, Cibadak, dan Cimahi hal ini memakan korban. Di Cimahi, Jawa Barat, terjadi pengusiran orang Tionghoa dan tentara menembak mati dua perempuan Tionghoa (Majalah Tempo). Namun harian Waspada yang terbit pada tahun 1960 menilai lain, secara umum pelaksanaan PP 10 berjalan lancar, namun di beberapa daerah wilayah Indonesia, seperti Bandung dan Medan, ada pedagang-pedangan asing (Cina) yang menyulitkan pelaksanaan PP 10 sehingga sempat menimbulkan gejolak. Banyak pedagang yang mencoba melakukan praktik spekulasi dengan menutupi/ mengosongkan tokonya dan menimbun barang dagangannya di gudang serta menaikkan harga bahan pokok. Apalagi setelah keluarnya peraturan pemerintah mengenai penyesuaian harga barang-barang. Sesuai instruksi khusus Kejaksaan Agung, di beberapa daerah termasuk di Sumut dibentuk Tim Pengawasan Ekonomi yang bertugas untuk mengadakan pengawasan di bidang ekonomi, menstabilkan harga, mengadakan tindakan drastis kepada siapapun juga yang menghalangi program sandang pangan yang dilakukan pemerintah. Tim Operasi Pengawasan Ekonomi yang dibentuk di Sumut berhasil menemukan 200 gudang di Medan yang menimbun bahan-bahan sandang pangan. Dan kepada pedagang bersangkutan dikenakan hukuman badan[7].
  • Menanggapi himbauan Pemerintah Peking, sekitar 199 ribu yang mendaftar, namun hanya 102 ribu yang terangkut ke Cina menggunakan kapal yang dikirim oleh pemerintah RRT.[8] [9]. Ketegangan berkurang setelah Perdana Mentri RRT Zhou Enlai menemui Presiden Soekarno.

Pro dan Kontra

Menurut sejarawan Mestika Zed dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat; Asaat Datuk Mudo merupakan nasionalis sejati yang selalu berpijak pada fakta di lapangan. Ekonomi pribumi pada waktu itu (setelah kemerdekaan) lemah, terkatung-katung, dan tidak ada yang membela. Sementara sejak masa kolonial kedudukan ekonomi orang Cina selalu di atas pribumi. Setelah Indonesia merdeka, mereka menguasai perekonomian mulai dari skala kecil, menengah, hingga yang besar. Gagasan Assaat belakangan diterapkan oleh Tunku Abdul Rahman dan Mahathir Mohammad sebagai kebijakan ekonomi untuk melindungi mayoritas melayu di Malaysia.

Menilik dari sejarahnya, pada awal kemerdekaan keturunan Cina selalu dicurigai karena mereka terbagi dalam tiga kelompok yaitu; "pro Belanda", "pro pemerintah Cina", dan "pro pergerakan nasionalisme Indonesia". Ada juga kelompok warga Tionghoa yang menyetujui "pembauran" atau "pribumisasi" warga Tionghoa melalui Islam dan PITI sebagai organisasi Islam. Buya Hamka termasuk dalam kelompok ini. Mereka telah memberikan kesempatan dan dukungan pada warga Tionghoa untuk membuktikan bahwa mereka ingin dan mau berusaha menjadi warga negara Indonesia yang "baik". Sebaliknya warga pribumi juga banyak yang bersahabat dan pernah bekerja sama dengan warga Tionghoa dalam pergerakan nasionalisme Indonesia. Beberapa tokoh Tionghoa pun berusaha keras mendorong "kembalinya" warga Tionghoa ke pangkuan Republik Indonesia. Yap Thiam Hien, pengacara yang terkenal berjiwa nasionalis Indonesia mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) pada 1954. Organisasi yang bertujuan untuk "mewarganegarakan warga Tionghoa" khususnya mereka yang berorientasi kepada pemerintah Belanda dan kepada Pemerintah Cina. Lembaga ini juga berjasa menyusun Undang-Undang kewarganegaraan Tahun 1958 yang diimplementasikan pada awal 1960 [10]

Namun Leo Suryadinata, pengajar di Universitas Nasional Singapura berpendapat bahwa baik peraturan benteng maupun PP 10 tahun 1959 adalah awal perlakuan anti-Tionghoa di Indonesia. Menurutnya pada zaman kolonial orang Cina umumnya hanya pedagang kecil, namun setelah Indonesia merdeka kedudukan bisnis mereka lebih kuat, karena itu pengusaha dan pedagang "pribumi" merasa tidak bisa bersaing dan ingin mengambil alih bisnis orang Tionghoa dengan kekuatan pemerintah. Aturan diskriminatif ini juga dilansir sebagai upaya melestarikan politik pecah belah.
(sumber: wikipedia.org)

Wednesday, June 24, 2015

Sejarah kelam yang luput dari catatan sejarah Indonesia

Oleh: Kafil Yamin
(Wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. 

Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1989. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.

Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim. Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?

Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi. Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].

Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok. Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Mungkin karena dipersatukan oleh kedua barang beracun itu, kami cepat akrab. Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya. “Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat. Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu.

“Panggil saja saya Laffae,” katanya.
“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.
“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.
Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.  Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya. Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.
“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”
Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.
Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.
Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.
Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.
Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.
Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi. 

Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.
Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi. Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan. Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.

Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.
Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule. Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.

Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung. Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
“Kafil, we can’t run the story,” katanya.
“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.
“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.
“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.
“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”
“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”
“I think we still can run the story but we should change it.”
“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.
Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
***
Kira-kira jam 5:30 sore, 29 Agustus 199, saya tiba di penginapan. Lagi-lagi, Laffae sedang dikerumuni tokoh-tokoh pro-integrasi Timtim. Terlihat Armindo Soares, Basilio Araujo, Hermenio da Costa, Nemecio Lopes de Carvalho, nampaknya mereka sedang membicarakan berbagai kecurangan UNAMET.
Makin malam, makin banyak orang berdatangan. Orang-orang tua, orang-orang muda, tampaknya dari tempat jauh di luar kota Dili. Kelihatan sekali mereka baru menempuh perjalanan jauh. Seorang perempuan muda, cukup manis, tampaknya aktifis organisasi, terlihat sibuk mengatur rombongan itu. Saya tanya dia siapa orang-orang ini.
“Mereka saya bawa ke sini karena di desanya tidak terdaftar,” katanya. “Mereka mau saya ajak ke sini. Bahkan mereka sendiri ingin. Agar bisa memilih di sini. Tidak ada yang membiayai. Demi merah putih,” jawabnya bersemangat.
Saya tergetar mendengar bagian kalimat itu: “…demi merah putih.”
Mereka semua ngobrol sampai larut. Saya tak tahan. Masuk kamar. Tidur. Besok jajak pendapat.
Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanye kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.
Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.


Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang. Besok pengumuman hasil jajak pendapat.
Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali saya menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh kebiasaan buruk: merokok sambil minum kopi di lobi penginapan. Kali ini, Laffae mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.
Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.
Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen.
Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, tegar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.
“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”
Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. “Saya bertahan, nDari. Tinggalkan saja saya.”
Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.
Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.
Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung.
“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.
“Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.
“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.
“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.
“Kita akan usahakan,” kata Armindo.
Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.
Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.
Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.
Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.
Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.
Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.
Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.
Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua. Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.
Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..”
Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.
Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya.
Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.
***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.
Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.
Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.
Sore, 7 Novembe3, 1999, saya mendarat di Jakarta.
Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.
Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.
 

Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.
Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.
Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.
Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.
Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.
***
12 TAHUN BERALU SUDAH. APA KABAR BAILOUT IMF YANG 43 MILYAR DOLAR ITU? SAMPAI DETIK INI, UANG ITU ENTAH DI MANA. ADA BEBERAPA PERCIK DICAIRKAN TAHUN 1999-2000, TAK SAMPAI SEPEREMPATNYA. DAN TIDAK MENOLONG APA-APA. YANG TERBUKTI BUKAN MENCAIRKAN DANA YANG DIJANJIKAN, TAPI MEMINTA PEMERINTAH INDONESIA SUPAYA MENCABUT SUBSIDI BBM, SUBSIDI PANGAN, SUBSIDI LISTRIK, YANG MEMBUAT RAKYAT INDONESIA TAMBAH MISKIN DAN SENGSARA. ANEHNYA, SEMUA SARANNYA ITU DITURUT OLEH PEMERINTAH RENDAH DIRI BIN INLANDER INI.
Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.
Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.
Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun.

KENAPA MAU MELEPAS TIMTIM DENGAN IMBALAN UTANG? BUKANKAN SEMESTINYA KOMPENSASI? ADAKAH DI DUNIA INI ORANG YANG HARTANYA DI BELI DENGAN UTANG? NIH SAYA BAYAR BARANGMU. BARANGMU SAYA AMBIL, TAPI KAU HARUS TETAP MENGEMBALIKAN UANG ITU. BUKANKAH INI SAMA PERSIS DENGAN MEMBERI GRATIS? DAN DALAM KASUS INI, YANG DIKASIH ADALAH NEGARA? YA, INDONESIA MEMBERI NEGARA KEPADA IMF SECARA CUMA-CUMA.

Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.

SAMPAI HARI INI INDONESIA MASIH MENYICIL UTANG KEPADA IMF, UNTUK SESUATU YANG TAK PERNAH IA DAPATKAN. SAYA HARAP GENERASI MUDA INDONESIA TIDAK SEBODOH PARA PEMIMPIN SEKARANG.

Thursday, June 18, 2015

Remaja belasan tahun bercinta dengan anjing neneknya

Seorang remaja mengakui telah mengambil photo diri (selfies) saat ia berhubungan seks dengan anjing di rumah nenek nya.
Ashley Miller mengatakan kepada polisi bagaimana dia membujuk anjingnya, jenis pit bull  untuk melakukan hubungan badan pada dirinya sekitar antara 30 dan 40 kali selama lima tahun terakhir.
Petugas juga telah menunjukkan photo dirinya pada saat ia bersama anjingnya melakukan oral seks pada dirinya.
Miller, dari Bradenton, Florida, telah didakwa dengan dua tuduhan kegiatan seksual yang melibatkan hewan setelah polisi menemukan gambar keji di telepon genggamnya.

Wednesday, June 17, 2015

Bercinta dengan anjing akibat istri kurang perhatian

Seorang pria  dituduh telah melakukan hubungan seks dengan seekor anjing milik istrinya karena  karena isterinya terlalu berlebihan dalam merawat hewan peliharaannya.

Jonathan Edward Medley, Jenewa, Alabama telah didakwa dengan tuduhan berbuat 'keji' terhadap hewan, menurut polisi, yang mengatakan bahwa ia merasa bahwa istrinya tidak lagi memperhatikan dirinya dan lebih mengutamakan Shi Tzu anjingnya..

 Kapten Polisi  Ricky Morgan mengatakan bahwa pria berusia 39 tahun itu "marah pada istrinya karena dia lebih memerhatikan anjingnya  daripada dirinya sehingga dia nekat berhubungan seks dengan anjing untuk memberi 'pelajaran pada isterinya.

Menurut New York Daily News: "Istrinya  benar-benar tidak menyangka suaminya berbuat seperti itu, bahkan dia berpikir suaminya telah berselingkuh dengan wanita lain.

"Dia belajar untuk menganiaya anjing." kata isterinya.

Meskipun anjing berusia dua tahun itu menderita luka-luka dari perbuatan sang suami, dokter hewan yang merawatnya  mengatakan anjing tersebut  akan pulih dari sakitnya.

Atas perbuatan tersebut Jaminan Medley di denda  $ 535 - sekitar £ 340 - dan polisi telah menuduhnya dengan "pelanggaran"  atau kejahatan kecil  yaitu  kekejaman terhadap hewan.

Shih Tzus adalah  anjing ras  yang  memiliki ukuran dan tinggi sekitar  10.5 inici.
(sumber: mirror)

Tuesday, June 16, 2015

Suami cemburu vagina istri dikasih lem superglue


Abuse: The woman says she was threatened with a machete to comply with her husband

A jealous husband who thought his wife was having an affair decided to get revenge - by putting superglue on her vagina.

The green-eyed husband became obsessed with the idea that his 40-year-old wife was sleeping with her uncle after he dropped her off at home one day in South Africa.

Locking her in a bedroom the 45-year-old forced her to strip while pointing a machete at her and threatened to chop her head off if she did not do as he said.

The distraught woman said: "He had previously tried to cut my hand off so I was terrified.
"He ordered me to lie down and open my legs and then took out super glue and applied it to my vagina.

"I had tears streaming down my face and was begging him to stop, but he didn't seem to care.
"I do not know what would make a man who loves a woman do that to her."
The woman later tried to remove the glue but is now scarred for life which means she won't be able to have sex again and suffers terribly from the pain.

She says she wants to see him arrested but is afraid her husband will come and get her.
She said: "I wanted to press charges but he fled and has not been seen since the incident.
"I am scared that he might come back anytime and remove my head."
(source: mirror.co.uk)

Friday, June 12, 2015

Kucing dan Monyet yang licik

Pada jaman dahulu kala menurut cerita, ada seekor kucing dan monyet yang hidup berdampingan sebagai hewan peliharaan seorang janda tua di suatu rumah. Monyet dan Kucing berteman baik dan sering bermain, keluyuran dan sama-sama berbuat nakal. Tiap hari yang mereka lakukan adalah bagaimana mendapatkan makanan dan mereka tidak perduli bagaimana cara mendapatkannya.

Suatu hari ketika mereka sedang duduk di dekat perapian, mereka sibuk kacang kastanya (chestnut). Tetapi mereka tidak tahu bagaimana mengeluarkan kacang-kacang tersebut dari bara api. Mereka pun mencari cara untuk mengeluarkan kacang tersebut dari panggangan api 

"Saya dengan senang hati akan mengeluarkan kacang tersebut dari panggangan api," kata monyet yang licik, "Tetapi kamu hai kucing, kamulebih ahli dalam hal ini dibandingkan saya. Tariklah keluar kacang-kacang tersebut dari api lalu  kita akan membaginya kacang-kacang ini dengan adil."

Sang Kucing lalu menjulurkan tangannya dengan hati-hati, lalu dengan cepat menarik kacang yang sangat panas dari panggangan api. Ia mengulangi lagi dan menarik kacang tersebut keluar sedikit demi sedikit, dan pada usaha ketiganya, sang Kucing berhasil menarik keluar kacang tersebut. Aksi ini di lanjutkan beberapa kali terhadap kacang yang masih ada dalam panggangan. Secepat tangannya yang menarik kacang tersebut dari api, secepat itu pula sang Monyet mengambil dan memakannya.

Tak lama kemudian sang pemilik rumah pun pulang, kucing dan monyet kaget lalu lari bersembunyi agak tidak dimarahi oleh ibu janda tua. Kucing yang bekerja keras hingga telapaknya melepuh oleh panasnya bara  api, tidak mendapatkan satu buah kacang pun dari apa yang ia kerjakan, sementara sang monyet tinggal menikmati hasil kerja sang kucing.. Sejak saat itu  sang Kucing tidak pernah ma lagi berteman dan bekerja sama dengan sang Monyet yang terlihat lugu namun penuh siasat dan licik itu. Sang Kucing beranggapan, pertemanannya dengan sang Monyet itu ternyata ia hanya dijadikan alat untuk mencapai segala keinginan sang monyet.

Teman yang baik pasti akan selalu setia, saling berbagi dan tidak melupakan jasa.


Sunday, May 17, 2015

Circle of Gold



Mattie curled herself into the warm a center of the bed and listened for the early morning sounds of her mother and twin brother-kitchen sounds and bathroom sounds. But the apartment was silent. On the count of three, she told herself, she would get.

          One…. One  and a half … two …. Two and half … three …. Mattie threw back the covers and jumped out of bed. When her feet touched the cold, smooth wooden floor she caught her breath and raced out of the bedroom.


A quick cheek of the apartment told her that Mama wasn’t there. Mattie stopped to pick up the newspapers scattered on the living room rug. Since Daddy had died, Mama had lost all interest in keeping the place neat.  Walking down the narrow hallway again, Mattie paused by her mother’s room. The empty bed with its wrinkled white sheets and tossed pillows looked like a stormy sea.


Continuing down the hall. Mattie peeked into her brother’s room. She could just see the top of Matt’s curly head poking above the covers. His drawing pad was on the bed and the easel he used for his painting stood against the window, draped with a sheet. The jars of water he used to wash his paintbrushes were lined up like colorful sentries aling the windowsill.


In the kitchen, Mattie found  a note propped against the sugar bowl on the table. Kids, Went to working early. Will be home late. Get dinner and do your homework.


Mattie frowned. Mamahad to work late again. This was the fourth time in the past two weeks. How could Mama do the superintendent chores and work overtime at the factory too? Eventually Mrs. Rausch, the Manager of their building, was going to find out that things were falling apart at 6129 Julian Street. Mrs. Adams was complaining about her dripping kitchen faucet. The Reynolds’s radiators didn’t work, and old Mr. Richards wanted a new stove. If word got to Rausch, Mama would be in trouble. Rausch the Rat was what Mattie called the real estate agent, but not so anyone could hear.


Mattie poured oatmeal into a pot of boiling water and stirred it furiously. She forced back the tears that came when she remembered how things used to be when Daddy was alive. He would have fixed the faucet and the radiators and ordered a new stove for Mr. Richards.

“And he would kiss me and call me his princess,” Mattie murmured. Mama never did that. Mattie ached for her father. She was only eleven and it didn’t seem fair that she would never see him again. Daddy had gone to work as usual one day six months ago, and on his way home some drunk driver had hit his car and killed him. From that day everything in her life had changed.


Mattie turned the stove down to simmer and called out to her brother. “Get yourself up. Matt Matisse. I’ve got the cereal cooking.”

Matt hated oatmeal, but she couldn’t stand his favorite either-Malt-o-Meal. He wouldn’t be happy about the oatmeal but they had agreed that the first one up got to choose breakfast.

Mattie poured the oatmeal into two bright yellow bowls and was already eating when Matt took his place at the table. He groaned when he saw the oatmeal, but that was the only greeting he gave Mattie.

The twins ate silently, cleaned the kitchen, and left for school. Matt didn’t even seem to notice the bright sunshine and cotton candy clouds that promised a glorious April day. Mattie hummed to herself as she waited for her brother to speak. When he did, the words fairly exploded of him.

“Darn it. Mattie. Oatmeal again and I didn’t have a clean shirt and I didn’t have a chance to tell Mama that the Reynolds stopped by again yesterday afternoon about their radiators. They want them fixed now,” he stormed. Matt was as thin and copper-colored as Mattie, and he had the same large dark eyes.

“look, Matt, I’ll do the wash tonight. Did you tell Mr. Reynolds that Mama put in their request?”

“No, because I don’t think Mama did put it in, Mattie. Things are getting worse all the time.” Matt kicked at the pavement in frustration.

“not worse, just the same, “ Mattie sighed. She watched her brother, knowing there was more.

“Mama won’t eat,” he continued. “She hardly sleeps. The house is a mess except for the times you clean it. I never know whether she’s going to cry or smile or yell. We never laugh anymore, Mattie. We never have any fun. You call this a family?” his brown eyes challenged her.

Maybe it was because they were twins and twins were special, Mattie knew. But they understood one another and fiercely protected one another. Mattie wanted to say something now to comfort her brother, but before she had a chance, her best friend, Toni Douglas, called to them from the corner by her apartment building Mattie eyed her twin and they silently agreed to erase their faces. She and Matt had always been able to communicate without using words.

“Hey girl, ready for the math test!” Toni shouted as she waited for them to catch up. She was a bouncy, cheerful girl with bright black eyes and thick black hair that she wore in braids. A fire-engine red beret was perched on the side of her head.

“Well, are you ready?” she repeated, not event noticing when Matt barely mumbled good bye and walked on. “I did my homework but I just know I’m going to fail. You know what, Miss Mattie Mae Benson? I’m just too young to understand fractions.”

Mattie didn’t answer. She pulled her thick navy sweater around her shoulders and watched matt walk away. Her thin brown face would have been unremarkable except for her eyes. Intelligence and caution existed together