Wednesday, November 26, 2014

Pak Kumis Tipis dan Monyet Pemalas

Di pagi, ketika matahari baru mengintip di balik perbukitan. Namun demikian pak Kumis tipis telah sibuk, ia berjalan kian kemari mencari kayu bakar dan bahan panganan lain di hutan. Kayu dan bahan makanan itu dibawa kerumahnya untuk persediaan, disebuah lubang di pojok rumah tua yang cukup besar. Kesibukan pak Kumis Tipis rupanya telah mengganggu si Monyet. Dengan terkantuk-kantuk ia menggeliat dari dahan tempat ia tidur. Setelah melihat ke kiri dan ke kanan, si monyet kesibukan pak Kumis tipis. 

"Hmm, dia lagi", Gerutu monyet kesal, "Tak bisakah ia diam barang sebentar?"
Sesaat kemudian monyet turun dari pohonnya. Mujur, sebutir buah mangga yang ranum ditemukannya tergeletak di tanah. Monyet pun memungut buah itu. Sambil berjemur di bawah matahari pagi, monyet pun mengunyah mangganya. Sesekali ia menggosok-gosok matanya yang terlalu banyak tidur. Monyet itu masih mengantuk, namun tak mungkin ia tidur lagi, sebab kesibukan pak Kumis tipis membuatnya merasa terganggu.

Saat menjelang senja, monyet duduk berayun-ayun di dahan seraya mengunyah jambu. Buah jambu itu ia temukan di cabang yang menjorok ke arahnya. Dan pada saat itu pak Kumis tipis masih saja sibuk, berjalan kian kemari mengumpulkan kayu dan bahan makanan. Lama-kelamaan monyet menjadi gusar melihat kelakuan beliau. "He pak Tua", seru monyet, "Tak dapatkah kamu diam barang sejenak? Pusing kepalaku melihat kelakuanmu yang gak bisa diam, sedari tadi aku tak dapat tenang karena kelakuanmu" .
"Wah maafkan aku sobat", sahut pak Kumis tipis, "Aku tak bermaksud mengganggumu".
"Jika demikian, behentilah berputar-putar, pulanglah kerumahmu".
"Tetapi aku harus mengumpulkan makanan".
"Astaga", seru monyet gusar, "Mengapa lagi harus dikumpulkan makanan itu? Lihat jambu ini, juga durian dan mangga. Semua yang kumakan ini datang sendiri menghampiri aku", omel monyet. "Jadi berhentilah menimbun makanan, sungguh sia-sia kelakuanmu itu".
Pak Kumis tipis hanya tersenyum mendengar perkataan monyet itu. Kebetulan hari mulai gelap. Maka pak Kumis pun segera kembali kerumahnya yang tak jauh dari sarang si Monyet. Tumpukan makanan miliknya telah cukup banyak. Namun jumlah persediaan makanan itu belum cukup memuaskan tupai, ia memutuskan untuk mencari lebih banyak lagi esok hari. Malam itu, ia hanya memakan sedikit makanan yang didapat untuk persediaan nanti.

Esok harinya, tanpa menghiraukan omelan dan cemooh monyet, Pak Kumis tipis kembali sibuk dengan pekerjaannya. Berhari-hari lamanya pak Kumis tipis  itu terus menerus sibuk dengan pekerjaannya.

Tibalah musim kemarau. Air sungai telah surut, dedaunan mengering, pepohonan merangas. Tak lagi ada buah yang dapat dipetik, tak lagi ada segala  umbi-umbian yang dapat dipungut. Hutan telah kering. Namun bagi pak Kumis tipis tak ada yang perlua dicemaskan, persediaan makanan cukup banyak untuk sekeluarga, bahkan berlebih. Ia dapat berbaring-baring dengan senang di rumahnya yang tenang, terlindung dari terik panas matahari.

Bagaimana dengan si monyet? Alangkah malang nasibnya kini, setiap hari ia harus berjalan jauh, meloncat dari pohon ke pohon, di bawah terik matahari untuk mencari bantuan dan makanan. ltupun didapatnya tak pernah banyak, akibatnya tubuhnya menjadi kurus kering kurang makan.

Sungguh menyesal hati monyet. Pada pikirannya, jika sewaktu musim penghujan ia rajin bekerja, mengumpulkan makanan untuk persediaan. Seandainya ia mengikuti jejak pak Kumis tipis, tentulah kini nasibnya tak akan semalang ini.
------------ 000-----------

Tuesday, November 25, 2014

Jacatraweg

encyclopedia/ead73474b494f8453fb62073dd8838dfNama jalan daerah elit di Batavia, banyak terdapat rumah-rumah milik orang kaya. Jalan tersebut membujur dari barat laut ke tenggara. Nama tersebut diambil dari nama sebuah benteng kecil bernama Jacatra yang terletak di ujung timur jalan tersebut. Sekarang disebut Jl. Pangeran Jayakarta. Sering juga disebut Herrenweg.

Di tempat ini pernah didirikan klenteng penguburan, tetapi sejak akhir abad ke-17 sudah hancur. Ada juga pekuburan Tionghoa yang pertama didirikan tahun 1650. Makam Souw Bing Kong juga berada di dekat jalan ini. Terdapat satu lagu untuk menggambarkan tentang Jacatraweg, karya Mr. Speenholf berikut:

At long last I enjoyed my self
ouside Batavia along the green
heather on Jaketra road.
(a song by Mr. Speenholf)

Terjemahan Bebasnya:
beristirahat diri ini akhirnya
diluar Batavia, sepanjang
kehijauan suasana Jalan Jaketra
(Satu lagu dan Mr.Speenholf)

Jl. Pangeran Jayakarta merupakan salah satu jalan tertua di Jakarta, sebagai bagian Batavia yang berkembang di luar tembok kota lama. Sebelah utara berbatasan dengan dinding dalam kota. Selama masa VOC, dibangun sebuah benteng yang sekarang berada di ujung timur Jl. Dr. Suratmo. Di utara jalan terdapat Gereja Tua Portugis yang masih ada sampai sekarang. Di sebelah selatan gereja ini berdiri Monumen Pieter Erberveld.

Pada awal abad ke-18, penduduk yang tinggal di luar dinding kota yang terkena wabah malaria pindah ke lingkungan Jacatraweg yang diduga lebih sehat. Pada waktu itu wilayah ini menjadi pemukiman elit dengan kebun-kebun luas. Namun ketika wilayah ini menjadi kurang sehat, para penghuninya pindah ke Molenvliet dan rumah-rumah lama dibiarkan runtuh (1835). Tidak jauh dari Jacatraweg, mengalir Sungai Ciliwung yang di pinggirnya berderet gedung-gedung bergaya Belanda dengan pekarangan berpagar dalam gaya barok. Di belakang gedung di tepian sungai dibuat tempat-tempat pemandian dan pangkalan-pangkalan perahu. Di antara tepian sungai dengan gedung dibuat taman yang terpelihara dengan baik, sehingga pemandangan makin indah. Ada suatu kebiasaan bagi penghuni Jacatraweg untuk berkunjung dengan tetangga menggunakan orembasi, yaitu sejenis perahu-perahu kecil yang didayung oleh budak-budak belian.

Sunday, November 23, 2014

Sejarah Kampung Kemayoran

encyclopedia/91496415e2a4fe5aff7e6edca482a8dbSalah satu kampung tua di Jakarta. Nama kampung berasal dari kata mayor yang merupakan "jabatan (pangkat)" yang diberikan pemerintah Belanda kepada orang yang bertugas menarik pajak. Jabatan mayor diberikan kepada orang Belanda dan juga orang Cina, yang karena jabatannya bisa kaya dan memiliki tanah-tanah luas, sehingga disebut sebagai "tuan tanah". Pada masa Belanda, Kemayoran merupakan sebuah Wekmeester yang dipimpin seorang Bek. Setelah Indonesia merdeka, Kemayoran menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Sawah Besar, Kawedanan Penjaringan. Pada tahun 1963-1968, dimasukkan ke dalam wilayah Kecamatan Senen dan wilayahnya meliputi lima kelurahan, yaitu Gunung Sahari Selatan, Kemayoran, Kebon Kosong, Serdang dan Harapan Mulia.

Pada mulanya penduduk Kampung Kemayoran adalah orang Betawi. Setelah dikuasai Belanda mulai muneul para pendatang dari Cina, India, Sumatera, dan Indonesia bagian timur yang dijadikan pekerja dalam pembuatan jalan, parit-parit, atau ikut dalam wajib militer untuk menghadapi Sultan Hasanuddin dan Sultan Agung dari Mataram. Ada juga orang Indo (eampuran Belanda dan Indonesia) yang tinggal di komplek tentara di Jl. Garuda. Bahkan setelah PD II banyak bekas tentara Belanda yang menetap di Kemayoran. Sekitar tahun 1930-an, Kemayoran pun terkenal sebagai pemukiman kaum Indo-Belanda, sehingga muncul sebutan Belanda Kemayoran. Selain itu juga ada pendatang dari Jawa, kaum priyayi rendah yang bekerja sebagai pangreh praja. Semula para pendatang dipandang negatif karena dianggap berasal dari golongan orang susah, namun dengan adanya komunikasi diantara mereka anggapan tersebut mulai berubah bahkan penduduk asli mulai terpengaruh untuk bekerja keras demi kesejahteraan keluarganya. Dengan dibukanya lapangan terbang Kemayoran tahun 1935, mereka mulai merambah bidang kerja selain petani, sebgai pedagang keliling, perbengkelan, atau berjualan alat-alat rumah tangga.
Di Kampung Kemayoran banyak berkembang berbagai seni budaya daerah, diantaranya keroncong. Contohnya sebagai berikut:
Ani-ani bukannya waja
Memotong padi di gunung
Saya menyanyi bukan sengaja
Menghibur hati nan bingung
Reff: Olele di Kotaraja
Bole enggak boleh
Dibawa saja
Sepenggal lagu keroncong itu menjadi simbol kebanggaan penduduk Kemayoran, kampungnya musik keroncong, yang terkenal pada masa Hindia Belanda. Syairnya tidak terikat kepada suatu cerita bersambung, melainkan pantun-pantun lepas yang diingat secara improvisasi tatkala bernyanyi dan kadang-kadang tidak ada kaitan dialog satu sama lainnya, asalkan efek pantun mengenai sasaran dengan sindiran lueu, gembira dan tidak menyinggung perasaan lawan bernyanyi. Irama Keroncong Kemayoran bukanlah irama "kendangan" yang kemudian dinamakan "keroncong beat", melainkan irama "kocokan" (Belanda: roffelen) menurut pembawaan keroncong masa-masa permulaan.

Tidak hanya keroncong yang digemari masyarakat saat itu tetapi juga Robana Gembrung, Wayang Kulit, Tanjidor, Cokek (Cokek Ken Bun), orkes Gambus, Gambang Kromong, dan Dermuluk masih mendapat tempat di hati mereka. Keroneong Tugu banyak mendapat pengaruh dari Portugis dan berkembang menjadi keroneong yang sampai kini dan merupakan lanjutan dari keroncong Oud Batavia (lief de Java) dan keroncong asli Kemayoran. Kelompok-kelompok orkes keroncong yang ada di daerah Kemayoran selain orkes Keroncong Kemayoran sendiri adalah kelompok Lief de Java yang disponsori orang Belanda dengan para pemain campuran orang Belanda dan Indonesia, orkes Keroncong Fajar (1929), orkes Keroncong Sinar Betawi, dan orkes Keroncong Suara Kemayoran (1957). Mereka tampil dengan memakai pakaian seragam khas Betawi, yaitu jas tutup dan kain batik. Sedang bentuk rumah tradisional di daerah Kemayoran banyak menggunakan rumah  model joglo dan bapang. Ada juga rumah koko yang bentuk dan teknik pembuatannya tidak jauh berbeda dengan rumah joglo Betawi. Untuk adat perkawinan di Kemayoran hampir sama dengan masyarakat di Jakarta.

Chaisah yang malang

Satu legenda Jakarta. Menceritakan tentang Chaisah seorang anak gadis rupawan dari seorang petani yang memiliki tanah luas. Murdan pemuda dari Cakung, orangnya ramah pada siapapun dan lahir dari sebuah keluarga hartawan di Cakung. Meski demikian Murdan tidak sombong dan memamerkan kekayaan orang tuanya, dia juga taat menjalankan ibadah dan pandai bermain silat. Selain Murdan ada seorang pemuda lain bernama Amsar yang juga anak hartawan di Cakung. Namun keduanya sangat berlawanan tingkah laku perangainya.

Suatu ketika orang tua Murdan datang ke orang tua Chaisah dan hendak menikahkan Murdan dengan Chaisah. Lamaran itu diterima ayah si Chaisah di sawah. Pada saat yang sama orang tua Amsar juga melamar Chaisah dan diterima ibu Chaisah di rumahnya. Akhirnya karena ditekan oleh bapaknya Amsar serta istrinya sendiri, bapaknya Cjaisah terpaksa menyampaikan pembatalan lamaran sekaligus memulangkan uang panjar tanda jadi. Orang tua Murdan sangat terpukul dan merasa malu diperlakukan dengan tidak pantas oleh bapak Kaisah.

Bapaknya Murdan menjadi sakit hati dan bertekad hendak merusak pernikahan Amsar dengan Kaisah dengan bantuan dukun sakti untuk mengguna-gunai Chaisah. Pada saat pernikahan berlangsung mantera dari dukun dibaca oleh bapaknya Murdan dan semuanya telah terjadi begitu cepat di luar dugaan. Chaisah menjadi gila, bapaknya Murdan ditahan untuk diadili karena membunuh bapaknya Amsar.

Saturday, November 22, 2014

Sejarah Tanah Abang dan Sekitarnya

Tanah Abang adalah salah satu wilayah yang rukup tua di Jakarta. Ada dua pendapat mengenai asal mula nama Tanah Abang. Pertama, dihubungkan dengan penyerangan Kota Batavia oleh pasukan Mataram pada tahun 1628. Serangan dilancarkan ke arah kota melalui daerah selatan, yaitu Tanah Abang. Tempat tersebut digunakan sebagai pangkalan karena kondisinya yang berupa tanah bukit dengan daerah rawa-rawa dan ada Kali Krukut di sekitarnya. Karena tanahnya yang merah, maka mereka menyebutnya "tanah abang" yang dalam bahasa Jawa berarti merah.

Kedua, adanya pendapat yang mengartikan Tanah Abang dari kata "abang dan adik", yaitu dua orang bersaudara kakak dan adik. Karena adiknya tidak mempunyai rumah, ia minta kepada abangnya untuk mendirikan rumah. Tanah yang ditempati disebut tanah abang. Nama Tanah Abang mulai dikenal ketika seorang kapten Cina bernama Phoa Bhingam minta izin kepada Pemerintah Belanda untuk membuat sebuah terusan pada tahun 1648. Penggalian terusan dimulai dari arah selatan sampai dekat hutan kemudian dipecah menjadi dua bagian, daerah timur sampai ke Kali Ciliwung dan ke arah Barat sampai Kali Krukut. Terusan ini bernama Molenvliet dan berfungsi sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil bumi dengan menggunakan perahu ke arah selatan sampai dekat hutan. Adanya Molenvliet memperlancar hubungan dan perkembangan daerah kota ke selatan. Bahkan jalan-jalan yang berada di sebelah kiri dan kanan terusan itu merupakan urat nadi yang menghubungkan Lapangan Banteng, Merdeka, Tanah Abang, dan Jakarta Kota.
Daerah selatan kemudian muncul menjadi daerah perkebunan yang diusahakan oleh tuan tanah orang Belanda dan Cina. Jenis perkebunan yang diusahakan antara lain kebun kacang (minyak kacang merupakan bahan komoditi yang laris), kebun jahe, kebun melati, kebun sirih, dan lainnya yang kemudian menjadi nama wilayah sampai sekarang. Karena melimpahnya hasil-hasil perkebunan di daerah tersebut mendorong Justinus Vinek untuk mengajukan permohonan mendirikan sebuah pasar di daerah Tanah Abang dan Senen. Setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patras pada tanggal 30 Agustus 1735, Vinck membangun dua pasar, yaitu Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Peranan Kali Krukut pun makin penting sebagai tempat berlabuhnya perahu yang memuat barang-barang yang akan djual ke Pasar Tanah Abang. Selain digunakan sebagai sarana transportasi, Kali Krukut juga digunakan untuk keperluan sehari-sehari penduduk. Untuk menjaga kebersihan dan mencegah banjir, Pemerintah Belanda membuat pintu airpada tahun 1917. Di bawah kekuasaan penjajah penduduk Tanah Abang juga tidak tinggal diam. Pernah terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan penduduk daerah Tanah Abang di Kampung Karet dekat kuburan. Waktu itu Belanda mencoba menduduki kantor cabang polisi supaya Tanah Abang terputus hubungannya dengan daerah-daerah lain.

Wilayah Tanah Abang meliputi Kelurahan Kampung Bali, Kebon Kacang, dan Kebon Melati. Tetapi yang menjadi inti Kampung Tanah Abang adalah di sekeliling Pasar Tanah Abang. Asal mula nama Kampung Bali berawal dari banyaknya orang Bali yang tinggal di sana. Pada waktu itu pemerintah Belanda memberikan pangkat kapten kepada kepala kelompok suku-suku bangsa yang ada di Batavia. Sehingga muncul nama Kampung Bali, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Cina, dll. Bahkan menjelang akhir abad ke-19 banyak orang Arab yang menghuni wilayah ini. Di tahun 1920 jumlahnya mencapai 13.000 jiwa. Untuk memenuhi kesukaan orang-orang Arab makan daging kambing, Pasar Tanah Abang pun makin ramai melayani keperluan kambing. Ada juga suatu daerah yang disebut Kombongan. Dulu tempat ini dipakai kusir saldo dan delman untuk beristirahat sambil memberi makan kudanya. Makanan kuda itu diletakkan di sebuat tempat yang disebut kombongan, yaitu alat (wadah) yang bentuknya bulat, terbuat dari batu dan semen. Tidak jauh dari pangkalan-pangkalan saldo dan delman, terbentang perkebunan pohon jati yang luas. Penduduk di sekitarnya menyebut daerah itu Jatibaru. Nama Kebun Dalam berasal dari sebuah kebun milik tuan tanah Cina, Tan Hu Teng yang agak menjorok ke dalam. Nama Tanah Rendah, karena tanahnya agak rendah dan letaknya berdekatan dengan Kali Krukut.

Legenda Meriam Si Jagur

Meriam Portugis yang dibawa ke Batavia oleh Belanda sesudah berhasil merebut Malaka, tahun 1641. Banyak legenda tentang Si Jagur ini. Pertama, Raja Pajajaran memiliki seorang puteri cantik jelita, namun terjangkit suatu penyakit aneh. Dari selangkangannya keluar sinar ajaib, sehingga para pangeran yang ingin mempersuntingnya lari mengurungkan niat. Raja lalu membuat sayembara, siapa yang berhasil menyembuhkan putrinya akan dinikahkan. Hampir semua dukun dan orang pintar di Pajajaran datang berlomba-lomba untuk menyembuhkan sang putri, namun semuanya gagal. Hingga suatu hari, datang utusan Kompeni yang menawarkan diri. Baginda raja menyetujui dengan syarat agar menukarnya dengan tiga pucuk meriam. Pihak Kompeni menyanggupinya dan menyerahkan ketiga pucuk meriam tersebut, yang diberi nama Ki Amuk, Nyai Setomi dan Si Jagur.

Kisah kedua, masih di Kerajaan Pajajaran atau Sunda. Raja Pajajaran bermimpi buruk. Ia mendengar suara gemuruh dari sebuah senjata yang kelihatan sangat dahsyat dan tak dikenal tentaranya. Sang Raja memerintahkan patihnya, Kiai Setomo, untuk mencari senjata ampuh tersebut. Apabila gagal akan dihukum mati. Dalam mengupayakan senjata ampuh tersebut, Kiai Setomo dan istrinya Nyai Setomi bersemedi di dalam rumah. Setelah sekian lama Sang Patih tidak kelihatan, Sang Raja memerintahkan para prajurit menggeledah rumah Kiai Setomo. Namun tidak ditemukan siapapun dalam rumah itu, kecuali dua buah pipa aneh yang besar. Ternyata Kiai Setomo dan Nyai Setomi telah berubah wujud menjadi dua buah meriam seperti dalam impian Sang Raja.

Cerita berubahnya suami istri menjadi meriam tersiar kemana-mana, hingga terdengar oleh Sultan Agung di Mataram. Sultan Agung memerintahkan agar kedua meriam itu dibawa ke Mataram, namun meriam jantan Kiai Setomo menolaknya, bahkan melarikan diri ke Batavia. Warga Batavia gempar menyaksikan benda tersebut dan menganggap benda yang dilihatnya itu barang suci. Mereka lalu menutupinya dengan sebuah payung untuk melindunginya dari terik matahari dan hujan dan menamakannya Kiai Jagur atau Sang Perkasa. Sedangkan Nyai Setomi diboyong ke Mataram.

Dalam versi sejarah tulis, meriam Si Jagur dibuat di pabrik senjata "St. Jago de Barra" di Macao, Cina, oleh orang Portugis. Ada kemungkinan bahwa nama Si Jagur diambil dari nama pabrik pembuatnya. Kemudian meriam seberat 3,5 ton atau 24 pound dari perunggu ini ditempatkan di Benteng Batavia (Kasteel Batavia) untuk menjaga pelabuhan dan kota. Setelah Kasteel Batavia dihancurkan oleh Daendels tahun 1809 dipindahkan ke Museum Oud Batavia (Museum Wayang). Namun kemudian dipindahkan lagi dan ditempatkan di bagian utara Taman Fatahillah, diantara gedung kantor pos Jakarta Kota dan Kafe Batavia. Moncong meriam diarahkan ke arah Pasar Ikan, lurus ke arah Jl. Cengkeh, membelakangi Balai Kota (Stadhuis). Awalnya Meriam Si Jagur terletak di dekat Kota Intan. Namun pada masa Gubernur Ali Sadikin, meriam tersebut dipindah ke halaman utara Museum Fatahillah.

Bangau Tua Yang Licik




Di atas dahan pohon yang rimbun, si tua bangau tong-tong memperhatikan air telaga di hadapannya. Ikan-ikan besar, kecil tampak berenang-renang dengan elok-eloknya. Bangau tong-tong hanya mampu menelan liurnya. Perutnya keroncongan minta diisi, namun ia terlalu tua untuk memburu ikan-ikan di telaga yang jernih itu. Tiba-tiba paruh si tua bangau mendongak ke langit. Ia baru saja mendapat satu akal bulus. Suatu cara untuk mendapatkan ikan tanpa harus mengejar-ngejar mereka.
"Hai kawan-kawan", Si Bangau berseru-seru, "Kemarau segera akan tiba." "
Heh, apa pedulimu," ujar si Cabus.
"Semua juga tahu kemarau pasti datang", sahut Si Kepiting.
"Sudah, tak perlu hiraukan si tua pandir itu" si Tele berkata ketus.
"Tunggu kawan-kawan," seru bangau, "Kemarau kali ini akan berlangsung lama, danau ini akan mengering".
"Apaaa?" seru semua hewan penghuni telaga kaget.
"Ya! Benar kawan-kawan danau ini akan mengering".
Ketakutanlah semua hewan penghuni telaga itu. Ada yang menangis, ada yang mengumpulkan anak istrinya dan ada juga yang mengumpulkan harta bendanya. Mereka semua berenang-renang tak tentu arah.
"Tenang kawan-kawan tenang," ujar bangau, "Aku tahu sebuah danau yang luas di kaki bukit, telaga itu tak pernah kering walau kemarau sangat panjang."
"Danau-danau kepalamu", "bentak Si Gurami, "Kau pikir kami akan terbang ke sana?"
"Itulah yang kumaksud sobatku", ucap bangau, "Kalau kau mau aku bisa membawamu terbang ke sana"
"Sungguhkah?" sambut ikan mas tertarik.
"Tentu saja" jawab si Bangau,"Apapun akan kulakukan demi membantu teman".
"Bawa saja kami kesana paman, bawa kami", seru hewan-hewan penghuni danau dengan riuhnya penuh harap.
"Tenang-tenang, tak perlu berebut. Aku akan membawa kalian satu persatu."
Kemudian si bangau menghampiri kumpulan ikan-ikan. Dengan paruhnya ia mengangkat seekor ikan mas yang sedang besarnya. Lalu terbanglah bangau tong-tong itu dengan ikan mas di paruhnya.
Seharian itu berulang-ulang si bangau mengambil ikan-ikan dan berbagai hewan air lainnya dari telaga itu. Menjelang senja semua ikan telah terangkat habis. Tinggallah si kepiting  sendirian.
Si Kepiting menoleh kiri kanan. Sudah tak ada teman seekor pun. Pikir si Kepiting tentu mereka sudah senang di telaga besar di kaki bukit seperti janji si bangau.
Tak berapa lama si bangau kembali. Ia memandang berkeliling, tak ada ikan lagi yang nampak. Bangau tersenyum puas, perutnya kenyang sekali. Ia lalu hinggap di dahan pohon.
"Paman bangau, jangan lupakan aku", suara parau si Kepiting membangunkan si bangau.
"Hmm, kaukah itu kepiting?"
"Ya paman, bawa juga aku ke telagamu itu, tolonglah paman di sini aku sendirian sekarang".
Si bangau menatap ketam. Tak banyak daging ketam itu tentunya. Lagi pula bangau telah kenyang makan ikan-ikan penghuni telaga. Namun si bangau memang tamak, pikirnya ketam itu cukup nikmat untuk hidangan penutup.
"Baiklah sobat kecil," ujar si Bangau, "Mari kubawa kau ke danauku".
Dengan paruhnya Bangau tong-tong itu mengangkat si kepiting. Lalu bangau itu terbang. Gemetar ketakutan kepiting itu dalam jepitan paruh bangau yang tajam. Sekuat tenaga ia berpegangan.
Mendekati bukit yang dituju, alangkah terkejutnya ketam. Ia tak melihat danau atau genangan air barang setitikpun. Yang dilihat ketam sungguh mengerikan. Gundukan tulang-belulang ikan yang menggunung.
Sadarlah kepiting, ia dan teman-temannya telah tertipu. Si Bangau tong-tong telah membawa ikan-ikan dari danau untuk dimakannya. Kian kecutlah hati si kepiting.
Dalam ketakutannya, timbul kemarahan di hati si kepiting. Dengan kuat ia menjepit leher si bangau. Terperanjat bangau kesaktian. Ia berusaha meronta. Namun kedua jepit si kepiting kian kuat menjepit lehernya. si bangau tong-tong mencoba berteriak, namun tak mampu.
Akhirnya leher si bangau tong-tong putus dijepit si kepiting. Bangau itu pun jatuh dan mati. Sedang si kepiting yang tubuhnya bercangkang keras hanya memar saja saat ia terbanting di rerumputan.
Dengan sedih si kepiting masuk ke sebuah kubangan kecil. Ia telah kehilangan semua temannya. Kini ia harus hidup seidirian di tempat yang baru.