Muhammad Ali dalam puncak karirnya, merupakan pria yang paling terkenal di planet bumi.
Bakat tinjunya makin berkembang karena kepercayaan dirinya yang sangat besar.
"Saya
adalah yang terhebat," kata dia, dan siapa yang bisa meragukan seorang
pria yang memenangkan gelar juara dunia kelas berat selama tiga kali.
Dia terkenal lantang mendukung hak-hak sipil yang membuatnya dicintai oleh jutaan orang di dunia.
Di
masa hidupnya, Ali pernah ditanya bagaimana dia ingin dikenang. Dan ia
menjawab bahwa ia ingin dikenang "Sebagai seorang pria yang tidak pernah
menjual kaumnya. Tetapi jika itu terlalu berlebihan, maka (kenanglah)
sebagai seorang petinju yang baik. Saya tidak akan keberatan jika Anda
tidak menyebutkan bagaimana gantengnya saya."
Kehilangan sepeda
Ali
lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay di Louisville, Kentucky, pada
17 Januari 1942, anak seorang pelukis reklame. Dia diberi nama
berdasarkan nama seorang pejuang penghapusan perbudakan yang terkenal
pada abad ke-19.
Ketika dia berusia 12 tahun, dia melaporkan
kehilangan sepeda, dan mengatakan kepada seorang petugas polisi bawah
dia ingin 'menghajar' pencurinya.
Petugas polisi, Joe Martin, yang melatih para
petinju kanak-kanak di sebuah pusat olahraga lokal, menyarankan bocah
ini untuk belajar tinju terlebih dahulu sebelum dia menantang si
pencuri.
Clay dengan cepat berlaga di ring, dan memulai debutnya
pada 1954 dalam sebuah pertandingan amatir yang berlangsung selama tiga
menit.
"Dia berhasil karena dia memiliki tekad yang lebih tinggi
dibandingkan sebagian besar anak lain," kata Martin. "Dia merupakan
pekerja paling keras dibanding anak-anak lain yang pernah saya latih."
Selama lima tahun, karir amatirnya berkembang dan dia menang di berbagai kejuaraan Golden Gloves Tournament of Champions pada 1959.
Pada
1960 dia terpilih masuk dalam tim AS untuk Olimpiade Roma. Awalnya dia
menolak pergi karena dia takut terbang. Akhirnya dia pun pergi dengan
membawa parasut bekas dan menyiapkannya selama penerbangan, menurut anak
laki-laki Joe Martin.
Tidak sia-sia. Pada 5 September 1960, dia
mengalahkan petinju Polandia Zbigniew Pietrzykowski untuk menjadi juara
Olimpiade di kelas berat ringan.
Dia mendapat sambutan sebagai
pahlawan ketika timnya kembali ke New York, tetapi ia dihadapkan pada
masyarakat AS yang terbelah ketika kembali ke kampung halamannya di
Kentucky: ia ditolak masuk sebuah restoran.
Dalam otobiografinya
di tahun 1975, Ali mengklaim bahwa dia melempar medali Olimpiadenya
karena jijik tetapi kemudian dia mengungkapkan medali itu hilang setahun
setelah kembali dari Roma.
Habis-habisan
Meski
baru berusia 18 tahun, dia bergabung dengan tinju berbayar dan kemudian
memulai karir profesionalnya di tahun yang sama dengan kemenangan angka
enam ronde dari Tunney Hunsaker, seorang kepala polisi dari West
Virginia.
"Clay cepat seperti petir," kata Hunsaker setelah
pertandingan."Saya berusaha menggunakan trik yang saya ketahui untuk
mengalahkan dia tetapi dia sangat bagus."
Ali kemudian ditangani pada Angelo Dundee, pelatih yang berperan besar dalam kesuksesan karir tinjunya.
Kemenangan demi kemenangan diraihnya, diperkuat oleh promosi diri yang habis-habisan, membawanya dalam ketenaran.
Sikap Clay yang luar biasa di atas ring yang bagai melakukan tarian mengeliling lawannya seperti petinju kelas ringan.
Dia mengajari mereka, dia memuaskan banyak orang dengan gayanya, kaki yang terus bergerak dan refleks yang cepat.
Di luar ring, Clay melawan rasisme yang ketika itu masih menjadi persoalan besar di AS pada 1960an.
Dalam
kurun waktu itu pula Clay memeluk agama Islam dan mengubah namanya
menjadi Muhammad Ali. Dia mengatakan Cassius Clay, merupakan 'nama
budaknya,' dan dia protes terhadap sejumlah orang yang tetap menggunakan
nama lahirnya.
Di luar tinju Ali pernah menolak mengikuti wajib
militer, dan mendapatkan hukuman penjara atas sikapnya. Dia diganjar
lima tahun penjara, tetapi setelah tiga tahun muncul penolakan dari
warga AS terhadap perang Vietnam. Kemudian Ali mendapatkan penangguhan
hukuman dan kembali ke ring pada 1970 dengan menang atas Jerry Quarry.
Tetapi
kemudian pada 1971 Ali kalah untuk pertama kalinya dalam karir
profesionalnya oleh Joe Frazier. Ali kembali meraih kemenangan dari
Frazier tiga tahun kemudian.
Mungkin momen terbaik Ali pada Oktober 1974 ketika dia mengalahkan George Foreman di Zaire yang disebut sebagai pertandingan "Rumble in the Jungle".
Pada usia 32 tahun, Ali menjadi pria kedua dalam sejarah yang meraih kembali juara dunia kelas berat.
Setahun kemudian, Ali bertemu dengan Frazier untuk ketiga kalinya yang dijuluki "Thrilla in Manila," yang bisa jadi merupakan pertandingan paling brutal dalam sejarah tinju kelas berat.
Ali
mengatakan saat itu dia sangat dekat dengan kematian di ring tinju,
tetapi kemudian dia menang setelah kubu Frazier menghentikan
pertandingan setelah ronde ke-14.
Ali dapat dan mungkin harus pensiun pada saat itu, tetapi dia bertanding kembali.
Pada
Februari 1978, dia kehilangan gelarnya yang direbut Leon Spinks,
pemenang medali Olimpiade 1976 yang lebih muda 12 tahun darinya.
Delapan bulan kemudian dia kembali ke laga tinju dunia, dengan jumlah penonton yang mencapai jutaan.
Saat itu Ali menang gelar juara dunia untuk ketiga kalinya pada usia 36 tahun.
Penghargaan
Ali
dikenal sangat dermawan, meski diperkirakan dia menghasilkan uang lebih
dari $60 juta dollar dari ring tinju, tetapi pada 1979, hartanya tak
banyak. Bisa jadi itu merupakan salah satu alasannya untuk tidak
mundur dari ring tinju, tetapi dia kalah dan gelar juaranya pindah ke
mantan rekan latihannya Larry Holmes di Las Vegas pada 1980.
Ali
kemudian kembali bertanding melawan petinju Kanada Trevor Berbick pada
Desember 1981, dan setelah kalah angka, akhirnya dia pun menggantung
sarung tinju di usia 40 tahun.
Setelah itu muncul berbagai kabar tentang
kesehatannya. Dia cadel ketika berbicara, berjalan dengan menyeret kaki
dan seringkali tampak mengantuk.
Ali didiagnosa menderita Parkinson, tetapi dia terus bepergian untuk memenuhi berbagai undangan di sejumlah negara.
Sejumlah
penghargaan pun diberikan kepada Muhammad Ali, pada 2005, dia
mendapatkan dua penghargaan sipil tertinggi di AS - Presidential
Citizens Medal dan Presidential Medal of Freedom - atas teladan yang
diberikan kepada negara.
Di tahun yang sama dia tampil dalam
pembukaan lembaga non-profit Muhammad Ali Center di Louisville,
Kentucky, yang mempromosikan perdamaian, tanggung jawab sosial dan
penghormatan.
Sepanjang 21 tahun karirnya, Muhammad Ali membukukan 56 kemenangan dengan 35 KO dan lima kali kalah.
Salah satu pertandingannya berlangsung di jakarta, saat mengalahkan juara Belanda, Rudie Lubers, tahun 1973.
(sumber: BBC Indonesia)
(sumber: BBC Indonesia)
No comments:
Post a Comment